Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,249
MCK di Ujung Kampung
Horor

Sepulang dari Sulawesi, aku langsung dihadapkan pada masalah yang menjengkelkan. Kloset rumah rusak total, dan air pun tak lagi mengalir deras. Untuk menampung satu galon saja, perlu menunggu seharian. Terpaksa, semua urusan kebersihan badan dialihkan ke MCK umum di ujung kampung yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah.

Letaknya memang tidak terlalu jauh, hanya saja agak terpencil, berdiri sendirian di antara rerimbunan pohon salam, kelapa, dan pisang. Suasananya rindang, menenangkan jika matahari masih tinggi di langit. Namun, saat malam menyelimuti, tempat itu berubah wajah. Sunyi dan dingin, seperti menyimpan sesuatu yang tak terlihat.

MCK itu terdiri dari empat bilik berjajar, dengan lorong sempit di depannya. Bukan lorong tertutup, melainkan jalur terbuka yang memisahkan kamar mandi dari tempat mencuci. Dindingnya setinggi dada, cukup untuk menciptakan bayangan panjang.

Tak banyak warga yang berani ke sana selepas senja. Terlalu sering terdengar cerita-cerita aneh yang beredar dari mulut ke mulut. Ada yang mengaku melihat sosok tinggi besar bersandar di pohon salam. Ada pula yang mendengar suara air mandi mengalir deras, padahal semua bilik kosong. Kadang pintu tertutup sendiri, lampu padam tanpa sebab, atau langkah-langkah samar terdengar mondar-mandir di luar bilik.

Aku tak bisa membantah cerita-cerita itu. Kampung ini memang penuh kisah yang membuat bulu kuduk berdiri. Meski begitu, aku belum pernah menggunakan MCK sejak dibangun tahun lalu. Aku lebih sering berada di luar kota, dan kalaupun pulang, aku jarang ke area ujung kampung itu.

Tidak sebelum keadaan memaksa. Tubuhku terasa lengket. Gerah. Aku butuh mandi.

Aku abaikan semua isu yang beredar. Kepala dijernihkan dari pekat yang membayangi. Aku tidak bisa tidak menunggu esok karena perutku juga melililit.

Dengan handuk di pundak dan sabun di genggaman, aku melangkah menuju MCK. Pohon salam menjulang di samping bangunan, diam dalam gelap, seolah mengawasi. Angin malam membawa suara dedaunan. Gemerisik berbisik, menguji nyali.

Air dingin menyentuh kepala, menyapu rasa lelah. Beberapa gayung kemudian, langkah kaki tehantar mendekat. Pelan, tanpa beban. Rasa ingin tahu muncul, walau nalar menahanku untuk memeriksa.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu tertutup di bilik sebelah. Tak ada suara sabun digosok, tak terdengar percikan air. Hening. Janggal.

Hingga aku selesai mandi, mengeringkan badan dengan handuk, baru terdengar suara air mengguyur deras. Tampak seperti seseorang mandi dengan cepat. Aku merasa agak lega. Pikiranku semula sudah mengawang dengan berbagai skenario mencekam.

Namun, saat keluar, semua bilik terbuka. Kosong. Kering, kecuali bilik tempatku mandi. Tak ada bekas air di lantai. Tak ada tanda kehadiran siapa pun, selain aku.

Aku terpaku sejenak. Menatap sekeliling, lalu pulang. Tanpa menoleh ke belakang.

***

Beberapa bulan kemudian, kabar hilangnya seorang anak kecil membuat geger seisi kampung. Siang hari, bocah itu bermain di dekat MCK dan tak pernah kembali hingga memasuki waktu petang. Dicari berjam-jam oleh warga, tak ada satu pun yang menemukannya. Lokasi bermainnya pun diperiksa berulang. Hasilnya nihil.

Berita merambat liar. Orang-orang menyebut sang anak disembunyikan oleh makhluk halus. Mungkin Kalong Wewe, begitu sebutannya di sini. Sosok dari dunia lain yang suka menculik anak kecil dan membawanya dimensi yang berbeda.

Menjelang gelap, anak itu ditemukan. Ia duduk sendirian di toilet musala, masih mengenakan pakaian yang sama. Matanya kosong, tubuhnya gemetar. Padahal, tak terhitung sudah berapa kali lokasi penemuan itu digeledah saat terang masih membentang. Entah bagaimana ia bisa muncul tanpa terlihat sebelumnya.

Aku pun teringat pengalaman saat mandi di MCK. Rasa penasaran mencuat. Ada dorongan dalam diri untuk menyelidiki lebih jauh. Maka, malamnya, aku ke sana. Tanpa tujuan jelas, hanya mengikuti perasaan.

Suara tangis anak kecil menyambutku. Pelan, terisak. Aku menelusuri, meski langkahku ragu.

Sekitar lima meter meter dari pohon salam yang sama, kulihat sosok mungil sedang duduk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Gerak-geriknya asing. Aku yakin ia bukan anak kampung ini.

Saat aku semakin dekat, sosok itu perlahan berdiri. Kemudian, sesosok bayangan lain menjelma dari sisi pohon yang tak tersentuh cahaya. Seorang pria tua. Tubuhnya tinggi, mengenakan pakaian serba hitam, dengan sorban warna senada menutupi kepala. Ia menggenggam tangan si anak.

Aku kaku sesaat. Napas tercekat. Pandangan masih coba meraba.

Tanpa pikir panjang, aku berbalik dan berlari menuju bilik MCK. Masuk, mengunci pintu, dan terduduk di lantai. Namun, aku bisa merasakannya, sesuatu ikut masuk bersamaku.

Aku coba atur napas. Membujuk diri sendiri.

"Itu cuma halusinasi," bisikku.

Akan tetapi, keringat di pelipis tak bisa dibohongi.

Beberapa menit berlalu. Atau mungkin detik. Atau jam. Aku tak tahu. Satu hal yang pasti, ketika akhirnya kubuka pintu untuk keluar, suasana terasa ganjil.

Lorong MCK masih sama. Gelap. Lembap. Gentong air tampak tak di tempat semula. Bau tanah lebih tajam, seperti baru digali. Dan yang paling sunyi, ialah jangkrik yang tadi ramai kini hilang begitu saja. Seolah ada sesuatu yang membuat mereka memilih diam.

Aku melangkah keluar. Langkah pertamaku justru membawaku kembali, ke bilik yang sama. Padahal, saat menarik gagang pintu tadi, aku sempat melihat lorong dan cahaya remang dari luar.

Aku coba lagi. Lebih cepat. Kali ini, pintu yang kubuka justru mengarah ke bilik lain. Lalu bilik berikutnya, dan berikutnya lagi.

Langit masih di atas. Angin masih lewat. Namun, tempat ini tak lagi mengenal arah. Seolah MCK ini bukan tempat, melainkan pusaran.

Bahkan setelah berlari menembus gelap, menabrak dingin yang menggigit kulit, dan membuka mata selebar mungkin, aku tetap terdampar di titik yang sama. Bilik ketiga. Masih berdiri di depannya, seakan tak pernah bergerak sedari tadi.

Aku menghela napas. Dada terasa sempit, kepastian makin memburam. Satu per satu, kubuka keempat pintu MCK.

Bilik pertama: kosong. Lantai kering. Tak ada bekas air.

Bilik kedua: sama. Hanya aroma sabun yang menggantung di udara.

Bilik keempat: juga tak berpenghuni. Di sudutnya, terdapat sepasang sandal jepit yang bukan milikku.

Aku menelan ludah, lalu menoleh ke bilik ketiga. Bilik yang membuatku nalarku tercabik-cabik.

Pintunya terbuka perlahan, digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat. Di dalamnya, berdiri sosok yang sangat kukenal, bayanganku sendiri. Membelakangi. Membisu.

Aku mundur selangkah. Udara di belakangku menghangat. Setelah itu, ada suara berat muncul. Lirih. Rapat. Berbisik, menempel kepala.

“Yang datang tanpa dipanggil, tak selalu bisa pulang.”

Tiba-tiba semua lampu padam, kecuali di bilik ketiga. Aku kembali masuk, memilihnya sebagai tempat untuk menata pikiran dan menemukan jalar keluar yang sesungguhnya.

Pintu-pintu mengurung dalam jarak yang tak pernah pasti. Langkahku sudah puluhan kali menyusuri jalan yang sama, tetapi tak kunjung menemukan pintu keluar. Napas makin berat. Ruangan ini terasa menyusut. Bukan secara ukuran, melainkan keberadaan.

Aku bersandar ke dinding. Anen. Ada sesuatu yang menyentuh balik. Dindingnya seolah hidup. Memeluk. Menahan.

Apakah ini masih tempat yang sama? Atau aku yang telah bergeser ke ruang lain?

Aku mencoba bicara. Suaraku terdengar jauh, serak, tersedak ketakutan.

“Keluar… aku cuma mau keluar.”

Tak ada gema. Hanya hening yang menelan kata-kata, dan udara pun enggan mengembalikannya.

Gelisah. Cemas. Perutku mual. Tempat ini terasa menyimpang. Terlalu tak wajar untuk ukuran kamar mandi umum.

Langkah kaki terhantar mengalun. Lembut. Mendekat.

Aku keluar. Siap menghadapi apa pun yang menunggu.

Pria tua bersorban. Anak kecil. Mereka berdiri di ujung jalur sempit itu, lebih dekat dari sebelumnya.

Keduanya menatap. Wajah mereka ada, tetapi tak bisa kutangkap utuh. Seperti bayangan yang terus bergeser setiap kali kucoba mengenalinya. Terlalu nyata untuk disebut samar, terlalu asing untuk disebut jelas.

"Setiap tempat… terbagi dua," kata pria itu dengan suara berat sama dengan yang kudengar sebelumnya.

"Yang tampak… dan yang menampung."

Aku ingin bertanya maksud perkataannya. Namun, mulutku terkunci.

"Sebagian masuk karena tak tahu. Sebagian lagi… karena sudah waktunya kembali."

Anak kecil itu mengulurkan tangan. Bibirnya mangadu, membentuk lengkung yang menyerupai senyum.

Tawa kecil menyusul, ringan, tanpa membawa rasa.

“Main, yuk,” ucapnya.

Aku masih belum bisa melihat wajahnya. Hanya tahu bahwa ia menatapku.

Aku mundur. Dinding menahan. Tubuhku tak bisa bergerak ke mana pun.

Kuutup mata. Rapat. Lama.

Ingin semuanya lenyap. Ingin bangun. Ingin pulang.

Senyap.

Saat kubuka mata, aku duduk di lantai kamar mandi rumahku sendiri. Kloset di depanku retak, menganga. Air menetes dari sambungan pipa yang lepas.

Aku masih terengah, seolah baru menempuh jarak yang tak kuketahui. Kakiku basah. Ember itu ada di sudut ruangan. Warnanya kusam, gagangnya bengkok. Bekas lecet di sisinya tak asing, jejak yang mestinya tertinggal di tempat lain.

Ini memang kamar mandiku. Di rumah. Bau sabun yang familiar. Handuk yang tergantung di belakang pintu. Semua terasa akrab, kecuali ember itu dan tulisan di cermin.

Kabur. Tipis. Goresan jari di atas embun yang belum mengering: “Jangan datang kalau tak dipanggil!”

Aku bangkit perlahan. Menatap tulisan di cermin, lalu menoleh pada bayangan diriku sendiri. Ada yang bergeser. Bukan pada pantulan, melainkan pada urutan.

Teriakan dari luar rumah masih terngiang. Tentang seorang anak yang hilang.

Itu terjadi siang ini. Atau mungkin belum terjadi sama sekali, hanya sisa gema yang tertinggal di kepala.

Sebelumnya, aku terbangun dari tidur yang berat, lelah karena begadang semalam.

Teriakan warga membangunkanku. Aku menuju kamar mandi untuk membasuh badan.

Langkahku terpeleset di lantai yang licin.

Urutannya tetap, tetapi rasanya tak lagi patuh.

Entah bagaimana, aku mengalami kejadian di MCK itu—di malam hari—saat aku berniat menyelidiki misteri anak yang hilang.

Padahal, semua itu seharusnya belum terjadi di waktu ini.

Aku memegang sisi wastafel. Napas tercekat.

Apakah aku kembali ke masa lalu?

Atau aku berjalan ke depan, dan setelahnya kembali ke titik sebelum semuanya dimulai?

Atau ini hanya mimpi, dari mimpi yang lain?

Kutatap tulisan di cermin sekali lagi. Jariku tanpa sengaja menyenggol ujung keran.

“Aw.”

Ada luka kecil di ujung jari. Sebuah serpihan kayu menancap, cukup dalam.

Aku mengenali rasa perih itu. Terjadi saat berusaha membuka pintu-pintu MCK.

Ya, benar.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)