Masukan nama pengguna
“Trias kamu jarang banget aktif di komunitas, kenapa nih? Apa akhir-akhir ini ada masalah yang buat kamu jadi mangkir?” Suara kalem milik perempuan yang bertanya padaku barusan menjadi pemecah keheningan di tengah taman kota.
Akupun mengerling dan menatap temanku bernama Aisya. Mencoba mendapat moment ketika pelupuk mata yang tak lain menjadi penyumbang jeda berpikir itu memberi aba-aba. “Iyah, Sya,” jawab sekenaku.
“Iyah aja gitu? Aku yakin deh kalau kamu akhir ini lagi memendam masalahmu sendiri,” tebak Aisya.
Saat ini akupun mulai mengumpulkan keberanian dan tekad, menjawab Aisya supaya nggak lagi penasaran. “Mungkin aku yang bodoh, Sya…,” ujarku membuat sebelah alis mata Aisya naik satu pangkat.
“Maksudmu, Tri? Yuklah cerita mumpung kita berdua bisa hangout bareng,” bujuk Aisya ingin agar aku nggak setengah-setengah.
“Iya, maksudku adalah aku lagi bodoh aja. Ngapain aku selama ini nggak memaksimalkan hidup aku? Usaha yang lebih keras mungkin atau ambil konsekuensi lain dari nasibku sekarang ini. Kamus di dunia aku cuman satu aja. Biar sukses,” keluhku sedang dibutakan dengan tujuan hidup yang juga diincar semua orang.
“Memangnya kenapa kamu nggak ngerasa selama ini sudah berusaha maksimal? Santai aja, Tri. Hidup nggak selamanya harus perfect kok,” omong Aisya yang membuatku merasa memang nggak ada kenalan teman atau kerabat yang bisa menjadi pelampiasanku dari masalah yang kualami.
Perkataan Aisya casual, seperti teman yang secara standar memberikan suntikan semangat alakadarnya. Sedangkan masalahku akan membuat semakin rumit jika berbicara ke seorang ‘penyemangat casual’.
Ku memilih nggak menjawab, tapi disaat yang tepat Aisya mengubah arah obrolan.
“Tau nggak, kemarin aku kepilih jadi article of the month dari challenge menulis yang temanya itu neurosains. Aku inget sama cerita kamu kesulitan untuk punya hidup yang begitu antusias. Jadi, aku ngebahas lack of neurosains for human brain. Dan aku ketemu sama fakta menarik berkaitan sama antusiasme.” Ucapan itu lagi-lagi membuat badanku bergetar.
Alasannya karena memang challenge menulis di komunitas beberapa waktu silam lalu sengaja nggak dikerjakan karena itu berhubungan dengan neurosains.
Iya. Semua itu menyangkut ketakutanku mengenai hal-hal bermakna penyakit saraf, mental, hingga jiwa. Aku menghindari sejalan dengan rumitnya sebuah pemikiran, jika aku tidak mengalami gangguan saraf atau mental maka ada hal penyebab lainnya yang nggak bisa aku lihat secara nyata dari kondisiku sekarang.
Tapi ketika aku mengolah ucapan yang baru saja didengar tadi, dengan beraninya aku memberikan umpan balik ke Aisya. “Apa fakta menariknya, Sya?” Dengan jantungku yang berdetak tak karuan untuk menunggu Aisya menjawab, mukaku datar seakan tidak berdefinisi.
“Antusiasme itu bukan karakter manusia, melainkan lebih ke human nature yang dipengaruhi sama hal yang menyemangati kamu. Karena adalah sifat pembawaan, kadang kala kalau memang nggak stabil atau terasa datar di saat yang tepat ada sebab dari pengaruh faktor luar atau ada proses kejadian kehidupanmu yang menyempitkan perasaan bahagia itu sendiri.” beber Aisya dengan berucap sambil menyendokkan beberapa potong kue ke mulutnya di hadapanku.
Berangsur melihat ke arahku, Aisya melihat wajahku masih sama saja datarnya. “Tri? Kamu nggak apa-apa kan? Kenapa kamu kelihatan pucat dan beneran nggak ada antusiasnya sih? Kamu lagi sekarat atau gimana? Perlu aku temenin konsul?” ucap Aisya.
Serentetan pertanyaan itu membuatku berusaha menyunggingkan senyum. “Tenang aja aku nggak kenapa-kenapa. Lagian antusias itu hal yang nggak begitu penting, kok,” gumamku dengan cepat-cepat mengalihkan suasana dengan beranjak ke obrolan lain.
Untung saja aku bisa mengubah arah dari obrolan mengenai kerisauanku ini dengan menanyakan tugas yang dikerjakan Aisya.
*****
Hari berubah menjadi petang, dan Aisya juga sudah pamit pulang dari hangout bareng di taman kota yang cukup ternama ini.
Pertemuan ini ditutup dengan serangkaian pertanyaan dari diriku mengenai sisa obrolan yang tadi ku bicarakan dengan Aisya. Semua hal yang menyangkut antusiasme dan kegagalan dalam kehidupanku.
Tadi, Aisya sempat berkata mengenai antusiasme yang adalah human nature. Bisa dipengaruhi oleh faktor luar yang membuat setiap orang bersemangat dan dipersempit dengan proses kehidupan yang meniadakan kebahagiaan.
Menurutku paparan yang disebut Aisya membuka kembali pemikiran mengenai ketakutanku jika memang ada faktor lainnya yang akan membuat nasibku seperti ini. Dari faktor eksternal.
Aku tidak mengelak jika benar semua kesalahanku yang lalai dengan kesempatan hidup ini karena aku saja yang menyia-nyiakannya.
Akan tetapi jika dipikir ulang lagi selain faktor keberuntungan untuk bisa meraih kesuksesan, pasti hidupku ini telah diatur oleh tangan-tangan lain yang tanpa disadari tidak pernah terlihat.
Bagaimana bisa aku berprasangka seperti itu? Setelah aku pahami ada beberapa perumpamaan yang bisa jadi bukti kuatnya.
Pertama. Aku punya prinsip tinggi untuk mencapai kesuksesan dan kepribadian yang ada di diriku adalah seseorang yang selalu menginginkan semuanya bisa berjalan dengan selaras, terutama mengenai berusaha. Dengan mencoba setidaknya aku sudah berusaha walaupun hasilnya seperti tidak mencerminkannya.
Kedua. Setiap kali berpikir mengenai kendali yang aku punya, sering sekali menemukan jika salah satu belah sisi pikiranku memberontak ketika berlawanan dengan kehendakku. Seperti ada belahan lain yang melawan ketika tidak ada kesesuaian namun bagiku itu sesuai.
Ketiga. Ada banyak orang terdekatku diluar sana yang acuh tak acuh dengan keadaanku. Seperti memilih untuk bungkam dari kenyataan kalau di usiaku ini aku belum sukses, kebanyakan dari mereka bahkan tidak pernah mendorong ke arah yang lebih positif. Kecuali jika akulah yang memulai terlebih dahulu untuk bercerita atau meminta.
Dari ketiga perumpamaan tadi, aku menyimpulkan jika tidak ada kegagalan yang berasal dari diri sendiri jika sudah melakukan yang terbaik. Dibalik sudah mencoba agar merubah nasib pada kenyataannya adalah itu semua merupakan hasil diluar kendaliku yang bahkan tidak pernah kuketahui.
Atau apakah memang aku dikendalikan oleh orang asing yang dengan senonoh mempermainkan dan menjalankan kehidupanku? Namun bagaimana bisa itu terjadi?
Karena kebanyakan berdiam diri saja, aku tidak menyadari jika langit sudah berubah menjadi hitam kelam berhiaskan bintang dan bulan.
“Ahh, rupanya aku terlalu berlarut dengan pikiranku. Sampai-sampai aku kelupaan jika hari sudah malam. Kalau begitu aku harus segera pulang,” gumamku sambil kemudian berjalan ke arah jalan menuju ke trotoar hendak memesan ojol untuk pulang.
Namun setelah berjalan beberapa meter pandanganku tertuju ke salah satu lapak di sudut taman kota yang diterangi sinar lampu jalan.
Ada seorang bapak tua dengan lapaknya yang menjual segala perkakas kayu. Mulai dari sendok dan alat makan dari kayu, pot mini kayu, hingga pajangan rumah. Namun pusat perhatianku tidak ada disana, melainkan ada pada bapak itu.
Bapak itu sedang memainkan pertunjukan peraga manusia kayu dengan jemari-jemarinya. Lebih tepatnya peraga manusia kayu itu dilengkapi dengan benang yang disambungkan ke sebuah cincin yang bisa digerakkan dengan jari.
Melihat itu aku pun terdiam di jarak sekitar satu meter dari lapak bapak tua itu. Dengan seksama melihat ke arah sebuah miniatur peraga manusia kayu yang sedang bermain sebuah lakon karena digerakkan oleh bapak tua lewat jemarinya.
Dalam diam aku paham dengan kebetulan ini. Di saat aku memikirkan mengapa hidupku bukan kendali dari orang lain, di saat yang sama aku melihat sebuah lapak di sudut taman kota berisikan seorang bapak yang sedang bermain peraga manusia kayu.
Lalu apakah kebetulan ini adalah sebuah petunjuk jika benar kenyataannya kalau aku seperti peraga manusia kayu? Namun siapa yang menggerakkannya?
*****
Sungguh sampai detik ini aku masih membayangkan kebetulan yang kutemukan kemarin malam di taman kota, sebuah peraga manusia kayu.
Tadi pagi di keesokan harinya sempat aku menelpon Aisya sambil menjelaskan kejadian kemarin malam. Temanku perempuan satu itu mengambil kesimpulan yang juga susah aku abaikan.
“Tri, setauku sih memang kalau antusiasme itu ada kemungkinan bukan dari kendali kita. Cukup dirasakan saja kayak lagi menggebu-gebu, tapi kalau lagi nggak bisa, dipaksakan juga ya susah. Ada faktor luar yang menyebabkan antusiasmemu jadi menipis. Tapi, aku juga nggak setuju segitunya tentang hipotesismu yang manusia kayu.” Jawaban pertama dari Aisya itu terbesit di pikiran ini, beruntun dengan pernyataan lainnya yang masih terekam di benakku.
“Atau kalau nggak kamu harus mulai introspeksi sama sekitarmu lagi. Apa benar gerangan kalau kamu sudah jadi permainan tangan-tangan orang yang sengaja sudah mengatur hidupmu ini. Pasti seseorang itu punya alasan atau motif kuat melakukan kesalahan itu.” Itulah yang dikatakan Aisya.
Sekarang tinggal aku yang dibuat bingung dengan urusan introspeksi. Karena tidak mungkin jika aku menemukan salah orang teman atau kerabat yang memang ingin aku celaka. Semuanya punya topeng di kehidupan ini, sehingga yang terlihat hanya kebaikan saja.
Sampai aku mengingat mungkin keadaanku secara tidak sengaja sudah menyakiti salah satunya.
Kuingat jika kemarin malam aku membeli peraga manusia kayu itu. Dengan sigap aku mulai memfotonya tergeletak di atas meja dan segera mempostingnya di media sosial lengkap dengan captionnya yang berisi curhatanku mengenai keadaan akan persepsi kuat akan manusia kayu.
Saat mengetik caption, jemariku nampak kembali menulis dan mendelete seakan aku ragu apakah harus menambahkan pernyataan itu di akhir caption.
Namun aku memberanikan diri menulisnya dan segera mengupload postingan itu.
Penggalan caption itu sendiri adalah, “so, jika aku pernah salah atau menyakiti perasaan kalian, apa benar salah satu dari kalian adalah pelakunya? orang yang sedang menggerakkan jarinya demi aku si manusia kayu?”
*****
Sudah beberapa hari setelah aku memposting peraga manusia kayu itu hingga akhirnya aku lelah dan menyampingkan pandanganku terhadap tuduhanku atas nasib sial ini yang digerakkan oleh jari manusia di luar sana.
Bukannya asal menuduh, tapi setidaknya aku patut berburuk sangka karena selama ini aku sudah berusaha dengan hasil yang selalu mengecewakan. Iya ini karena aku pengangguran di umurku yang sekarang ini.
Selain aku gagal mendapatkan kehidupan layaknya seorang profesional dan hampir kehilangan rasa antusiasku ke banyak macam keadaan yang butuh antusiasme, aku lelah menyalahkan diriku sendiri. Setidaknya meminta kejujuran dari orang lain atau teringannya berburuk sangka saja adalah hal masih wajar.
Sekarang aku sedang rebahan di kasur kamarku dengan mengescroll media sosial. Tidak lama kemudian Aisya menelponku. Dia menyuruhku untuk pergi ke taman kota sekarang juga. Katanya dia menawari bantuan untuk mendapatkan jawaban dari misteri peraga manusia kayu.
Tidak lama aku pun pergi ke taman kota dengan ojol. Perjalanan mulus selama 15 menit sehingga pada akhirnya aku sudah ada di taman kota.
Aku berjalan sambil mencari-cari dimana gerangan Aisya berada, sudah kuputari taman kota hingga ada dua kali tapi aku nggak menemukan Aisya. Sehingga aku memilih duduk saja di salah satu undakan di bawah pohon.
Tidak lama, aku mendengar suara yang familiar seperti Aisya nampak berbicara dengan seorang lelaki. Hendak aku memalingkan mukaku, tapi kemudian aku terpengarah ketika menemukan Aisya berbicara dengan mantan teman masa sekolahku dulu bersama Aisya.
Aku mengurungkan memanggil Aisya karena aku masih penasaran dengan obrolan dia dengan mantan temanku dengannya yang adalah dua orang lelaki itu. Sehingga aku mencoba merapatkan duduk mendekati ke arah Aisya yang duduk membelakangiku. Aku mendekat ke sudut terdekat tempat Aisya dan Raga juga Akmal.
Sepertinya pembicaraan itu serius, sama seperti apa yang didengarnya di awal jika salah satu pria yang sepertinya Raga mengatakan jika perbuatan mereka bertiga secara tidak sengaja sudah merugikanku. Iya, mereka menyebutkan namaku.
Saat itu perbincangan sepertinya meloncat satu-dua perbincangan ketika aku menggeser badanku ke sudut terdekat tempat mereka bertiga. Namun sekarang aku bisa mendengar dengan lebih jelas.
“Ini bukan salahku aja, Ga. Aku nggak sengaja sama perasaan benciku pas liat Trias nyatanya yang bisa telepati sama kalian berdua. Dulu aku sadar pas liat kalian berdua selalu sedih pas tau kalau Trias lagi nggak bisa memaksimalkan dia temenan sama banyak anak. Aku cuman nggak nyangka hubungan kalian sama Trias sedekat itu. Tapi, kalian ninggal aku sama pertanyaanku. Kenapa kalian berdua yang bisa telepati sama Trias?” beber Aisya dia keliatan pasrah.
“Kita berdua nggak telepati ke Trias,” pungkas Akmal dengan nada dingin.
“Apanya, mal? Kamu nggak pernah mau deketin Trias, ngapain kamu sesedih itu?” ujar Aisya mengelak.
“Itu semua karena sebenarnya kamu sama anak-anak yang sudah kelewatan, Sya. Aku harap kamu tau aku sama Akmal nggak mau memperpanjang masalah dengan dekat sama Trias karena kita berdua nggak terima kalau dia itu yang sudah mengecewakan. Kamu sama anak-anak nggak rela kalau Trias yang punya kebebasan buat bersenang-senang, dilain hal nyatanya Trias memang mengecewakan karena dia sama sekali nggak peka sama sekitarnya. Jadi siapa yang perlu disalahin, selain orang yang pada dasarnya benci?” ujar Raga berbicara banyak sekiranya dia mengakuinya.
“Iya, oke. Aku memang dulunya benci sama Trias. Tapi kenapa kalian berdua malah nggak pernah mau deketin Trias, sedangkan aku sekarang jadi temannya Trias?” tanya Aisya melanjutkan perbincangan.
“Justru kita berdua nggak mau deketin Trias karena kita nggak mau kalau Trias tau perasaan kecewa kita berdua dari dulunya, maksudnya kita mau nyudahin semuanya. Sedangkan kita berdua yang menaruh curiga ke kamu, Sya. Gara-gara kamu dekat sama Trias karena ada maunya. Aku mengira kalau kamu yang sudah tidak sengaja mengendalikan Trias. Kamu yang memanfaatkan keadaan kalau aku sama Raga bisa telepati ke Trias karena kamulah orang yang tau itu. Otomatis segala kesedihan dan keluh kesahmu akan berhubungan sama telepati kita ke Trias.” Ucapan Akmal masih terdengar mengambang, namun setidaknya ada benang merah dari setiap rasa bersalah ketiga orang tersebut.
“Jadi menurut Akmal itu ya Sya, kebetulan yang ada dari hubungan telepati kita bertiga itu yang sudah berpengaruh ke keadaan nasib Trias. Kalau kamu masih nggak suka kalau Trias bisa bahagia, lebih baik kita bertiga minta maaf aja ke Trias. Setelahnya, kita pamit ke Trias biar kita nggak ikut campur sama urusan dia.” Raga menasehati Aisya.
Di saat yang tepat Trias yang menguping pembicaraan dari awal sampai akhir mulai menunjukkan batang hidungnya ke ketiga temannya itu. Dia berdiri dan menghadapkan badannya ke arah depan ketiga temannya. Sehingga ketiga temannya itu terkejut melihat kehadiran Trias.
“Aku sudah mendengar semuanya. Maaf kalau selama ini tanpa kusadari aku punya hubungan erat dengan kalian bertiga meskipun aku baru saja tau tentang kemampuan telepati Akmal dan Raga di masa lalunya. Kalau saja kalian berdua nggak telepati dengan kegagalanku dari dulu dan kalau saja Aisya tidak benci dengan kenyataan itu, pasti semua nggak akan kejadian. Jadi mari kita lupakan semuanya tentang siapa sebenarnya yang sudah mengendalikan aku selama ini. Aku akan pergi dari sini dan ini adalah ucapan terakhirku ke kalian bertiga,” ujarku datar ke hadapan ketiga temanku yang sekarang masih tercekat.
Aku segera menolehkan badanku agar bisa pergi dari situ secepatnya. Terdengar suara Aisya yang ingin menyela ucapanku tadi, namun Raga sepertinya melerai tanda perpisahan ini adalah hal paling bijak.
Dengan segera aku pergi dari sana. Meskipun masih penuh tanda tanya ketika aku meninggalkan mereka bertiga, aku tetap melangkah meninggalkan mereka hingga tidak tersisa penyesalan karena sudah terlibat dengan mereka bertiga.
*****
Kejadian beberapa hari lalu di taman kota sedikit membuatku bangkit dan mencoba menerima kenyataannya. Aku paham sedikit mengenai ketidak sengajaan dari cerita mereka bertiga.
Setidaknya aku paham dengan Aisya yang ingin mengaku dengan cara seperti beberapa hari lalu itu. Semenjak Aisya ingin merasa jika waktu sudah tepat, dia berusaha menyembunyikan kesalahannya dengan banyak berbicara mengenai teori.
Namun, ini semua karena kesalahanku sendiri. Kenapa aku dipertemukan dengan bapak penjual peraga manusia kayu dan mulai membesarkan kemungkinan itu. Sedangkan kenyataannya adalah aku hanya dikendalikan secara tidak sengaja oleh kejadian terjadi karena kesalahanku di awalnya, karena aku mengecewakan. Disamping memang sebenarnya aku tau sejak dari dulunya kalau sekitarku membenciku bisa bahagia, terutama dengan Aisya.
Jadi, semua sudah jelas. Ketika aku ingin bisa sukses dan bahagia dengan kehidupanku namun kenyataannya adalah itu tidak akan bisa berjalan dengan lancar, setidaknya ada kesalahanku dan orang disekitarku yang memang mempengaruhinya.
Apa kalian paham jika sebenarnya manusia kayu itu lekat dengan semua kejadian yang seakan silih berhubungan satu sama lainnya. Sehingga itu bisa digerakkan.
Selesai.