Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,756
Mana Paket Saya?
Horor

Menjadi pengantar barang terkadang cukup menjemukan. Setiap hari berputar bak kincir angin. Konsentrasi harus senantiasa terjaga agar tidak kehilangan banyak uang. Emosi pun acap kali diuji, sedangkan hati tidak melulu dalam kondisi senang.

Lelah dan mengeluh, tetapi sudah lebih dari dua tahun aku menjalani pekerjaan ini. Ya, mau bagaimana lagi?! Pesaing semakin banyak, lapangan kerja semakin sempit. Daripada terlunta di perantauan, lebih baik menguatkan mental, bukan?!

Kusortir paket satu per satu sesuai lokasi pertama yang akan dituju. Irama musik dangdut berdendang penyulut semangat.

Syukurlah, nama para penerimanya banyak yang sudah menjadi langganan. Ini cukup menghematku dalam bertamu dari satu pintu ke pintu yang lain.

"Ris, gue boleh nitip anterin jatah pengantaran gue, nggak? Kemarin gue kemalaman, hari ini gue nggak badan," ucap Erwin, menghampiriku dengan suara lesu.

Aku tak lantas mengangguk. Ada janji kencan nanti malam yang harus kepenuhi kepada calon tunanganku. Terlebih, jangkauan areaku dengan Erwin lumayan jauh. Aku di ujung Timur dan dia di ujung Barat kecamatan. Namun, tak ada salahnya aku meraba alamat sang penerima paket dulu.

Ah! Tidak ada gambaran dalam memoriku tentang lokasi yang tertera.

"Gimana, Ris? Lu bisa bantu, nggak?" Erwin bertanya kembali.

Mendengar dia tidak bertenaga dengan wajah pucat, hati mendorong mulutku untuk melafalkan kesediaan. Ada perasaan pemilik juga yang aku pikirkan sebab paket yang harus diantarkan ternyata sudah seminggu terkatung-katung.

Aku geser rute pengantaran. Tujuan pun dimulai dari yang terjauh terlebih dahulu. Desa Ciherang, begitulah kuketik alamat di peta ponsel. Estimasi waktu tempuh sekitar 45 menit. Ini akan lumayan menguras tenaga.

Untungnya, langit cerah berawan. Nuansa asri pun turut menyemangati perjalananku. Wilayah kerja Erwin masih pedesaan, sementara teritoriku (sebagian besar) bisa dikategorikan urban. Masing-masing memiliki keistimewaan pengalaman tersendiri.

Tak terasa tanda panah di peta berubah menjadi keterangan tiba di lokasi tujuan. Aku berhenti tepat di seberang balai desa. Semoga saja tidak terlalu jauh dari sini.

Akan tetapi, rumah penerima paket masih belum terlacak. Panggilan telepon dan pesanku melalui WhatsApp tidak direspon. Alamatnya yang ada hanya sampai sebatas desa dan rukun tetangga. Tidak ada catatan nama kampung atau jalan yang mempermudah pencarianku.

Aku turun dari motor dan bertanya kepada warga. Sayangnya, dia berdebat dengan suaminya: saling melemparkan pendapat letak alamat yang kucari.

Tak mau membuang waktu sia-sia. aku memilih untuk melipir ke kantor desa. Tanpa ada drama, staf desa memberikan petunjuk yang detil dan jelas.

Kampung Pabuaran, ada gapura kecil, lurus terus lewati persawahan dan pemakaman, sekitar 20 menit perjalanan. Ya, intinya begitu. Jika aku lupa, bertanya saja nama kampung tersebut kepada orang lain—begitu tuturnya.

Belajar menghafal sudah menjadi tugas pokokku selama menjadi kurir. Aku pun tiba di depan gapura kampung tanpa kesulitan.

Kuturunkan kecepatan seraya meninjau pemandangan sekitar. Kerongkonganku terasa kering. Jauhnya jarak yang ditempuh cukup menguras cairan tubuh.

Dalam jarak sekitar 200 meter terlihat ada warung di pinggir tempat terakhir pembaringan manusia. Tidak tampak keramaian, tetapi aku berharap setidaknya ada air minum.

Memang, agak aneh melihat warung bambu berdiri di tempat sepi tersebut. Apakah mungkin hanya dibuka musiman, seperti pada musim ziarah dan/atau musim tandur maupun panen?

 Ah, entahlah! Mengapa aku harus memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu untuk kuketahui?! Lebih baik aku bergegas untuk melepaskan dahaga.

Kulenturkan sendi sejenak, lalu memanggil pemilik warung. Seorang perempuan sebaya muncul dari samping. "Mau kopi, A?" Dia menanyakan sekaligus menawarkan.

Aku nyaris terjungkal dari tempat duduk. Aku terengah karena tidak menduga arah kehadirannya.

Melihatku terkejut, dia malah melambungkan senyum tipis. “Aa kaget, ya? Maaf,” ucapnya, setengah terkekeh.

Aku menggelengkan kepala, Kemudian, kuambil satu buah pisang goreng di atas nampan. "A… aqua aja, Teh. Sa… satu," pintaku.

Dia segera masuk ke dalam warung, dan kembali dengan 400 mililiter air putih di gelas kaca. "Maaf, di sini tidak ada air kemasan," terangnya.

Oke, apa pun. Yang penting sama-sama bisa meredakan haus.

Setelah terasa tenang, kukeluarkan satu paket dari dalam ransel. "Oh iya, Teh. Kenal sama Sumarni, nggak? Kata orang di kantor desa sih warga kampung sini," tanyaku, membaca nama dan alamat yang tercantum.

"Itu saya, A," jawabnya lembut.

Oh! Syukurlah. Amanah selesai dilaksanakan tanpa harus mengitari kampung. Kekhawatiran, yang sempat menyelinap di pikiran pun, tidak terjadi. Kuserahkan paket dengan perasaan lega.

Ya, awalnya aku menduga akan mendapat keluhan atau makian ketika paket yang kuantarkan tiba di tangan sang penerima. Namun, si Teteh justru memberikan aku tip berupa gorengan dan minuman yang masuk ke perutku. Rezeki yang manis sebelum waktunya makan siang.

Tenaga sudah pulih. Aku bisa memberikan tambahan kecepatan untuk menunaikan rutinitasku.

Sebentar! Langkahku terpaku tatkala rasa penasaran ingin mendapatkan jawaban.

"Maaf, Teteh jualan di sini, itu yang beli biasanya siapa?" Mataku memutar, menelisik keadaaan. Aku merasa semacam ada kesumbangan di kampung ini.

"Saya jualan di sini karena bingung aja di rumah nggak ngapa-ngapain," ungkapnya sambil merapikan susunan piring kosong. “Aa baru pertama kali ke daerah sini, ya?” tanyanya balik.

“Iya, Teh. Kebetulan teman yang tugasnya ke sini lagi sakit,” jelasku.

“Oh, gitu. Cuma… kalau nanti Aa ke sini lagi, hati-hati aja, ya, A. Banyak baca doa," paparnya, memberi masukan dan peringatan.

Ya, tidak ada yang salah dengan yang dia sampaikan. Hanya saja, terkesan seperti ada yang ganjil, sebagaimana kecurigaanku, sehingga membuatku ingin mendapatkan penjelasan. "Kenapa emangnya, Teh."

Dia tidak langsung menjawab. Dia berjalan ke sisiku. Matanya melihat ke kanan dan kiri seakan mengamati sesuatu. Hidungnya mengendus-endus aroma di bajuku.

Setelah itu, dia memandanginku—dalam dan tajam. Gesturnya menyiratkan ada kisahnya yang tak bisa dibagi seluruhnya.

Ah, mending tidak usah cerita kalau begitu. Gumamku dalam hati.

Kutunggu beberapa saat. Dia hening, dan memalingkan muka.

Aku tarik kedua garis bibir. "Maksudnya diusilin sama anak-anak sini atau ada yang dibegal, gitu, Teh?"

"Bukan." Raut wajahnya berubah datar dan serius. "Pokoknya… begitulah, A. Suka ada yang ganggu. Makanya, di sini tuh nggak banyak orang yang datang," tandasnya.

Aku paham. Dia berbicara tentang makhluk-makhluk gaib yang mungkin suka menganggu manusia. Tenang saja! Lagi pula, aku tidak akan ke daerah ini lagi. Wejangannya “kan kusimpan sebagai catatan.

Aku lemparkan senyum, kemudian pamit. Jika tergoda pada yang dia sampaikan, akan ada banyak pertanyaan lagi yang kuajukan.

Sunyi. Dingin. Diam.

Sekilas sulit menyangka bahwa ada sebuah perkampungan. Jejaknya tak terlacak dari kejauhan. Kecuali, bila diperhatikan secara saksama dari setitik atap di antara barisan pohon-pohon yang menjulang.

Tanda kehidupan yang langka. Gangguan tak kasat mata, kabarnya. Kontras sekali dengan cerita yang biasa aku temui di areaku yang banyak diwarnai kepenatan hidup.

Sudahlah. Aku masih harus berkejaran dengan waktu.

Kupacu motor di atas kecepatan biasanya. Anggap saja ini bagian kisah pekerja lapangan yang memang dinamis.

Setiba di wilayah tugasku, aku merasakan ada perasaan yang tidak biasa. Ini seperti menemukan kejanggalan dalam diri, tetapi sukar untuk menjabarkannnya.

Akh!!! Biarlah. Nanti saja lagi kukulik.

Satu per satu paket berjumpa dengan sang empunya. Jenuh dan lelah sudah menjadi hal yang harus bisa dihadapi. Setiap pekerjaan pasti ada bagian tersebut, walau tentu akan menyenangkan jika bisa bekerja sesuai minat dan hobi.

Sore menyapa. tinggal tersisa satu paket dalam daftarku. Alamatnya searah dengan jalan pulang. Bisa mengejar target sebelum malam hari merupakan hal yang menyenangkan. Aku sempat pesimis akan selesai sebelum matahari terbenam. Nyatanya, Tuhan mempermudah jalanku.

Namun, setelah aku mengantarkan paket yang terakhir, ada sesuatu yang asing di dalam ranselku. Aku tidak tahu apa dan dari mana ia berasal.

Mustahil. Aku kira sudah teliti dan mengingat dengan cermat yang harus aku lakukan.

Mengapa aku ceroboh? Bisa-bisanya aku lupa memberikan satu paket lagi milik Sumarni. Padahal saat hendak berangkat ke sana, aku mewanti-wanti diri supaya tidak lupa.

Duh! Ada-ada saja. Terus bagaimana, kuantarkan sekarang atau nanti?

Dalam kekecauan isi kepalaku, Erwin meneleponku. Dia meminta bukti foto penerimaan paket oleh Sumarni. Lagi, aku lupa melakukan hal tersebut.

Mau tidak mau, aku putar haluan—kembali ke Kampung Pabuaran. Pertama kalinya aku sebodoh ini.

Ah, tetapi mengapa Sumarni itu tidak mengingatkanku? Semestinya dia sadar ada dua paket yang harus dia terima.

Sial! Aku jadi kesal sendiri. Emosiku meluber ke mana-mana.

Tepat pukul 19:45 aku tiba di Ciherang. Gerimis memaksa berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan sekaligus memberi kabar kepada pujaan hatiku bahwa aku tidak bisa menepati janji.

Angkasa kian sendu ketika tiba di persimpangan jalan menuju tempat Sumarni. Semoga saja dia masih ada di warung, meski—jika melihat jam—kemungkinannya sangat kecil.

Temaram. Pekat menyelimuti seluruh penjuru. Nyanyian jangkrik dan kodok mengalun merdu. Sayangnya, irama tersebut mereka laksana menggigit keberanian. Maju atau balik kanan.

Dari gapura, aku lihat cahaya lampu di warung Sumarni dan samar-samar tertangkap ada yang duduk di depannya. Kuputuskan untuk menuntaskan tugas. Rasa takut yang coba menyelinap, kuhalau dengan segala tekad di dada.

Lupakan petuah Sumarni tadi siang. Aku datang hanya untuk mengantar paket. Lupakan pula kisah tentang tempat pemakaman yang kerap kali dicap angker. Tidak ada orang meninggal yang menjadi setan, kan?!

Begitu tiba di warung, siluet orang yang tadi kulihat menghilang. Suasana pun redup dalam sekedip.

Aku arahkan lampu motor ke setiap sudut warung dan jalanan. Mungkin saja sang pemilik baru saja pulang.

Akan tetapi, tidak tertangkap bayangan siapa pun. Kecuali.... ya, kecuali.... ada suara orang yang sedang menyapu. Suara mengadu antara lidi dan tanah yang terdengar nyaring, bahkan membuatku ngilu.

"Teh! Teh Sumarni! Assalamualaikum," seruku.

Aku ingin turun dari motor untuk memeriksa sang penyapu. Sebaliknya, kata hatiku mengatakan tidak perlu dan menyuruh untuk pulang.

Ini sudah tanggung. Usaha yang kutempuh menjadi sia-sia jika status pengiriman tidak berubah menjadi diterima.

"Paket, Teh. Teh Sumarni!" ulangku dengan sedikit lebih keras.

Suara menyapu seketika lenyap. Aku mulai merinding. Sekujur tubuh terasa menggigil.

Puk! Ada yang menepuk pundakku dari belakang. Aku berusaha tetap tenang karena, konon, ketakutan bisa melahirkan halusinasi.

Kualirkan udara dari hidung ke paru-paru, lalu berbalik badan. Tidak ada seorang pun yang tampak di tengah gemericik air dari langit.  Apa aku terbawa rasa takut saja?

Tidak. Ini bukan sugesti. Aku yakin ada tangan yang barusan mendarat di pundakku.

"Kopi, A," ucap suara yang masih kuingat. Apakah ini déjà vu?

Tanpa perlu memastikan, aku putar gas memasuki kampung. Lajuku kurang terkontrol hingga hampir menabrak pohon. Napasku tidak beraturan, pandangan pun mendadak kabur.

Aku coba mencari rumah yang sekiranya bisa untuk tempat singgah, mengatur detak jantung. Nahas, semua salamku tak mendapatkan respon.

Ke mana para penduduk? Adakah ini merupakan kampung mati? Akan tetapi, masih ada cahaya lampu yang menggantung di depan tiap-tiap rumah.

Kakiku gemetaran tak karuan. Aku bingung mencari arah pertolongan. Ketakutan semakin menjadi-jadi.

Puk! Ada yang menepuk pundakku lagi. Sontak, aku berteriak sekuat tenaga, “Jangan ganggu saya! Saya hanya mau antar paket.”

“Paket siapa, Kang?” tanya suara pria bernada tenang.

Aku menoleh cepat. Tampak pria setengah baya berpeci, menenteng bungkusan di tangan.

“Ada apa, Kang?” Dia memperhatikan rautku yang tercekam.

Mataku masih liar menatap sekitar, seolah tepukan itu terus memburuku.

“A… anu… Ba… Bapak beneran orang, kan?” ucapku, terbata.

Ia mengerutkan kening, kemudian mengajakku ke rumahnya. Aku pun menurut, menuntun motorku. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti.

Sesampainya di rumahnya yang sederhana, ia mempersilakan duduk di amben bambu di teras. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma kayu bakar dari dapur. Ia masuk sebentar, lalu keluar membawa segelas air hangat.

“Minum dulu, Kang. Biar tenang.”

Aku mengangguk pelan, menerima gelas itu dengan tangan masih sedikit bergetar. Perlahan kuteguk, kutarik oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha meredakan gejolak yang masih bersarang di dada.

Setelah otakku terasa tenteram, aku ceritakan tentang yang kualami. Mulai dari tujuanku mengantarkan paket atas nama Sumarni hingga kejadian yang membuat nalarku mengerut.

“Maaf, bukan maksud menakuti. Sumarni sudah meninggal seminggu yang lalu. Ini saya baru pulang tahlilan malam ketujuhnya,” ungkap si Bapak.

Katanya, Sumarni tewas setelah diperkosa oleh 7 orang pria yang saat ini masih buron. Jasadnya ditemukan tergeletak di saung pinggir kuburan. Kejadian tersebut sangat menggemparkan warga kampung, tetapi tidak terekspos media.

Setelah kejadian tersebut banyak yang berkata sering melihat Sumarni baik di siang atau malam hari. Wujudnya terkadang terlihat berjalan mengitari kampung, terkadang pula duduk di saung sambil menangis. Dari situlah, warga membatasi aktivitas saat gelap. Kampung pun mendadak sunyi seolah tidak berpenghuni di malam hari.

“Su… Sumarni gentayangan? Bagaimana bisa?” Aku selalu menyangkal adanya arwah yang mengusik kehidupan manusia sekalipun aku baru saja mengalaminya. Ya, ketika manusia meninggal dunia, maka hubungannya dengan dunia terputus saat itu juga. Bukankah demikan?

“Mungkin ada yang membangkitkannya,” tegasnya.

Membangkitkan? Apa yang dibangkitkan? Mungkinkan orang yang sudah mati bisa dihidupkan kembali?

”Akang pulangnya ke mana? Mau pulang sekarang atau nginep? Kalau mau pulang sekarang, saya bisa antar sampai kantor desa. Kebetulan saya mau jenguk kakak saya, rumahnya di sekitaran sana.” Si Bapak memberikan tawaran yang seakan mencoba menghentikan proses berpikirku.

Baiklah. Semakin ingin tahu, semakin aku ingin terus menggali. Lupakan yang terjadi, pulang, tidur, dan jalani hari esok seperti biasa lagi.

Gerimis berhenti. Bulan tampil dengan sinar sempurna. Aku mengendarai motor di depan dan si Bapak berkendara di belakang, menjagaku.

Meskipun tersisa kecemasan akan penampakan Sumarni, tetapi setidaknya aku merasa lebih aman sebab ada yang menemani perjalanan. Pengalaman ini, tentu, akan aku bagikan kepada Erwin. Dia harus tahu perjuanganku.

Kala melewati warung Sumarni, mataku terdorong untuk mengamatinya. Aku pun tercengang. Bentuk warung berubah menjadi saung tak berbilik, hanya beratap.

Belum sempat kupahami perubahan itu, terdengar jeritan minta tolong. Aku hampir terjatuh. Tangan dan kaki oleng memegang kendali motor.

“Lihat ke depan aja, Kang! Maju terus!” suruh si Bapak, berteriak.

Aku ikuti perintahnya. Fokus pada jalan yang ada di hadapanku. Segala godaan yang menyelinap, aku coba tepis dengan keinginan untuk segera keluar dari kampung ini.

Akhirnya, aku berpisah dengan si Bapak di depan kantor desa. Tidak lupa kuucapkan terima kasih yang mendalam atas bantuan yang dia berikan. Pertanyaan yang menyergap kepalaku, kulepaskan di perjalanan. Membahas Sumarni hanya akan membuat tidurku tidak nyaman.

Hari yang pelik dan menguji mental. Aku tiba di kost pukul 23:30. Tak terasa sudah masuk waktu tengah malam.

Kubasuh muka dan ganti pakaian, dilanjutkan dengan mengatur posisi untuk memejamkan mata. Tidur lebih cepat akan mampu menetralisasi pengalaman yang menimpaku. Aku juga ingin segera menatap hari esok.

Baru saja mematikan lampu, ponselku berdering. Aku terkejut sesaat. Rasanya, semua suara seperti hantaman keras ke jantung.

Oh, iya. Aku lupa mengabari kekasihku. Dia pasti ingin menumpahkan kekesalannya.

Kubiarkan saja dering berbunyi hingga berhenti sendiri. Aku benar-benar lelah, dan sedang tak mampu mengolah kata maaf serta alasan.

Sesuai dugaan, ponselku tak akan berhenti berbunyi sebelum kusentuh. Aku terpaksa bangkit mengambil ponselku di atas meja. Ya, apa pun yang akan dia katakan, aku cukup dengarkan saja.

Bukan. Ternyata bukan kekasihku yang menelepon. Nomor sang pemanggil tidak tersimpan dalam kontakku.

Jika nomor baru, biasanya pelanggan yang mengeluh atau menanyakan paketnya. Aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut. Kadang mereka memang tidak tahu waktu.

“Halo, siapa dan ada apa?” sapaku ketus.

“Mana paket saya, A,” ucapnya dengan nada kesal.

Aku lempar ponselku ke lantai. Itu suara Sumarni. Aku mengingatnya dengan sangat jelas.

Mengapa? Apa salahku?

Dia terus menghantuiku. Dia… menerorku.

Huh! Aku lekas memeriksa ranselku.

Bedebah! Mengapa tidak terlintas dalam benakku untuk menitipkan atau meninggalkan paket Sumarni di kampungnya?

Aku bergegas keluar kamar, kemudian membuang paket tersebut ke tong sampah. Aku siap bertanggung jawab atas kerugian materi daripada terus dihantui Sumarni.

Kukunci pintu. Badan berbaring di atas kasur dengan selimut menutup rapat dari kaki hingga kepala. Tolong jangan ganggu aku! Mohonku dalam hati.

Tuk! Tuk! Tuk! Ada yang mengetuk pintu. Namun, aku enggan menanggapi. Terserahlah!

“Mana paket saya?” ujarnya, meringis.

“Pergi, Brengsek!” makiku dengan suara bergetar.

Kutarik selimut menutupi seluruh badan. Semoga ini hanya mimpi, meski ketukan itu dan segala yang kualami hari ini melekat kuat di badan dan menempel erat di pikiran.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)