Masukan nama pengguna
“Luh, jangan terlalu jauh, pulanglah...”
“Sebentar Ibu," balas Luh sambil menyibak untaian bambu yang menghalangi jalannya, lalu berkata lagi, "aku hendak mencari Romo di pekarangan belakang."
"Romo di dalam hutan mencari kantung semar pesanan," Ibu menjeda, memeras kain jarik yang baru dicucinya lantas menjembrengnya di palang bambu, "besok saja kau ikut Romo mengantarnya ke pasar," lanjutnya.
Luh menghentikan langkah, mendekati ibunya dan menarik ujung jarik hitam polos yang dikenakan Ibu. Wajah Luh memelas, "Ibu sebentar saja boleh ya," rengek Luh manja, kemudian meneruskan dengan mata berbinar-binar, "kemarin aku melihat anggrek lurik mulai berbunga dan kuncupnya wangi betul Ibu."
Ibu menaruh baju dari tangannya ke keranjang. Dia membungkukkan tubuhnya agar keduanya sejajar dengan mata Luh, lantas menatap lembut dua telaga kesayangannya itu.
"Kau ingin memeriksanya sekarang?"
Luh mengangguk cepat.
"Baik, pulanglah sebelum surup," ujar Ibu seraya mengusap rambut Luh.
Bola mata Luh membesar dan dia melompat girang. Meninggalkan Ibu, sempat dia teriakkan, "Terima kasih Kanjeng Ibu, terbaik sejagad alam!"
Luh melesat. Pekarangan rumah yang tertutupi lorong bambu tertinggal di belakang. Riang hati dia menembus rimbun hutan. Aneka paku tumbuh dengan subur dilindungi tingginya pepohonan tua. Udara lembab menghadirkan perasaan nyaman, mengirupnya pun terasa sejuk dan tentram. Ibu bilang itulah yang menumbuhkan paku, bambu, ringin, dan banyak pokok-pokok lain di dalam hutan. Saking suburnya, dedaunan itu bahkan membesar melebihi tinggi badan Luh. Helai-helai besarnya menjuntai sementara bagian tengan menggulung seperti Luh yang masih mengantuk setiap kali bangun pagi.
Luh menggumamkan tembang yang biasa Ibu nyanyikan;
Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng, seneng ....
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken
Langkah Luh tiba-tiba berhenti.
Seseorang berdiri menghalangi jalannya. Luh munduk setindak. Dadanya berdebar. Bukan takut dia hanya tak percaya apa yang dipandang kedua matanya. Keduanya mengerjap berkali-kali, bahkan sekali lagi. Tepat di hadapannya seorang anak laki-laki lebih tinggi sedikit darinya berdiri dengan tangan bersilang di dada. Sebuah keris kecil terselip di samping kurug bercorak warna merah saga yang dipakainya. Sementara dadanya dibiarkan terbuka.
"Minggir," kata anak itu.
"Tidak!" bantah Luh, sekarang dia berkacak pinggan. "Jalan ini bukan milikmu sendiri," kata Luh lagi.
Bocah lelaki itu mengayunkan batang bambu kurus di tangan kanannya, merisak rerumputan di kiri kanan mereka, lantas mengacungkannya kepada Luh. Luh tergeragap.
"Coba saja," tantang Luh.
"Aku sudah memperingatkan," katanya seperti tidak bermain-main.
Persis ketika bilah bambu hendak diayun, Luh menggeser kakinya. Bocah lelaki menebas perdu dan merebahkan bunga-bunga berputik kuning yang ada di dekat situ.
"Berhenti! kau melukai mereka," jerit Luh.
Si bocah pura-pura tak mendengar. Luh menarik pundak si bocah, "Berhenti kubilang!"
"Siapa kau?" pedar si bocah setelah menghentikan ayunan bambunya.
"Aku yang seharusnya bertanya. Aku Luh! Kau siapa?"
Anak lelaki itu menghadapi Luh. Dia maju mendekat bahkan sampai kedua dada mereka saling bertemu.
"Lantas kau siapa? kau yang menanamnya? kau yang menghidupinya? kau yang menumbuhkannya? he?!," cecar si bocah sampai matanya memerah.
Lagi, Luh tergeragap.
"Bu ... bukan aku, t ... tapi kata Romo mereka tak pantas dikasari mereka juga berhak hidup," Luh terbata-bata.
"Ngawur Romomu!"
Lelaki panutannya dikata ngawur, meledaklah amarah Luh.
"Kamu sing ngawur, Romoku tidak pernah keliru!" menggelegar teriakan Luh.
Sebegitu marahnya, sampai airmata merembes menganak sungai.
"Sudah benar begitu, menangis saja kau. Persis seperti arti namamu!"
Dada Luh perih dan pedih, baru kali ini dia merasa sakit hati yang tak terperikan. Berani-beraninya setan alas itu mengatai Romo ngawur. Sopo sing waton? bantah hati kecilnya. Lekas Luh berlari meringgalkan medan pertempuran.
Pokok jambu air menjadi pelampiasan Luh.
"Dia pikir dia siapa? anak dewa?" satu tendangan menggugurkan tiga, empat buah jambu.
Ditendangnya sekali lagi, "Dasar bocah batu, punya kepala tapi seperti batu!" teriak Luh geram. Kemudian, Luh menarik nafas dalam-dalam, memungut beberapa jambu yang jatuh dan meraupnya. Sudah itu dia berjalan ke samping rumah dan membuka pancuran. Dingin air pegunungan menyegarkan kepalanya, mendinginkan didih di hatinya.
Hari telah gelap. Malam ditingkahi gaduh suara jangkrik dan tokek yang bersahutan. Seolah mereka berebut mencari perhatian. Sementara kroak dan burung hantu yang menjerit di kejauhan seperti peringatan bagi mata untuk segera terpejam. Tetapi tidak seorang pun di rumah yang berbagi kehangatan dari sentir di dinding gedhek itu sudah mengistirahatkan tubuh.
Romo masih menyiang daun sirih dan menatanya ke dalam balok kayu, sementara Ibu membantunya menggepruk gambir dan mewadahinya ke dalam batok-batok kelapa.
”Romo, apa arti namaku?” tanya Luh.
“Luh itu air mata Nduk," jawab Romo tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Mengapa aku diberi nama Luh, Romo? Mengapa aku diberi nama airmata? Mengapa Romo?" kejar Luh seakan tak terima.
Luh membalikkan badan lalu tertunduk, menjawit kain yang dipakai, dan memainkannya.
"Teratai di parit depan rumah saja punya nama indah, Padma. Bulan yang jauh di sana itu namanya Sasikirana. Padma, Sasikirana, nama-nama yang bagus dan indah. Tapi mengapa aku dinamai airmata, Romo?" tuntut Luh.
Romo menaruh apa yang ada di tangannya dan beralih memutar tubuh Luh. Anak gadisnya itu berumur sewindu, seusia dengan pohon sawo di belakang rumah, 4 purnama lebih muda dari pohon asam di sebelah baratnya. Romo mengusap rambut Luh lalu masuk ke dalam bilik. Tak lama dia kembali membawa sebuah kotak kayu. Mata Luh mengerjap melihat ukirannya yang sebegitu indah. Kemudian Romo mengeluarkan sebuah benda menyerupai keris kecil seukuran telapak tangan, tetapi lebih mirip perhiasan. Ulirnya halus tetapi tegas. Ada guratan melati di pangkal dan lidah ular di ujungnya yang runcing.
“Cundrik ini adalah mahar saat Romo menikahi ibumu Nduk," ucap Romo.
Ibu mendekati Luh dan melabuhkan kepala anaknya itu ke dadanya. Sedang Romo meneruskan kata-katanya, "Romo menawarkan kesusahan, bukan surga yang indah untuk ibumu. Tapi Romo tak pernah bermaksud memberi neraka untuknya. Romo ingin membahagiakannya. Mungkin ada waktu-waktu di mana Romo membawa kesusahan untuknya, lalu kami menangis bersama. Rasanya, untuk hidup kami tak kekurangan airmata," Romo menghela nafas dalam-dalam, lepas itu menatap kanyaksuklanya.
"Dalam serba ketakberdayaan dan banyaknya airmata kami itu, kami mendapat anugerah, Nduk. Gusti Sang Hyang Widhi menitipkanmu dalam rahim Ibu. Airmata lagi-lagi menemani kami. Airmata tawa, gundah, nestapa, lara, hingga legawa. Cundrik ini yang menjadi saksi. Dia tahu airmata seperti apa yang mengaliri mata kami," ucap Romo bersungguh-sungguh.
Sambil terus mengusap rambut Luh, Ibu berkata,"Cundrik ini adalah benda paling berharga bagi Ibu. Satu-satunya yang paling berharga Ibu rasa. Tapi kamu tahu satu kebenaran, Cah Ayu?" tanya Ibu.
Luh menggelengkan kepalanya.
"Setelah kamu lahir, benda ini tak ada apa-apanya bagi Ibu. Kamu yang paling berharga, Cah Ayu ...," Ibu mencium kening Luh.
"Cah Ayu, Luh itu adalah kebahagian," kata Romo kemudian. Lalu melanjutkan, "Dan hidup ini selalu dipenuhi dengan airmata. Mengeri yo Nok, Cah Ayu. Romo tak punya nama yang lebih indah dari itu."
Kali ini airmata Luh mengombak. Tapi bukan sedih dirasanya.
Keesokan hari, Luh membelek batang bambu membuatnya lurus seperti sebilah pedang.
Luh melangkah mantap kembali ke medan laga yang ditinggalkannya begitu saja semalam. Kali ini dia sudah dibekali nyali. Bakal dia cecar setan alas, bocah tengik itu dengan sebenar-benarnya kenyataan. Sudah disusunnya kata-kata untuk menjelaskan jika di bocah menanyakan kembali, 'siapa kau?'
Luh mondar-mandir di titip itu. Berulang kali dia memastikan di situ tempat yang tepat, rumput dan perdu masih rebah. Bahkan jejak alas kaki pun masih tampak. Luh membenarkan pikirannya. Tetapi sampai matahari sudah naik sepenggalah bocak tengik itu belum memunculkan diri. Luh mendenguskan nafasnya dan terduduk di situ. Lama diam sambil menatap tumpukan rumah-rumah di kejauhan, Luh kemudian berteriak.
"Pengecut kamu! Muncul dan membuat gaduh sesaat lantas minggat begitu saja. Mana nyalimu? Rumput saja yang kau risak! Huu... sini kuberi tahu kalau aku bukan anak cengeng seperti tuduhmu!" bertalu-talu suara Luh dengan gaung yang berpantulan. Tetapi yang dipisuhnya tetap tak datang. Luh tertunduk, menyadari kedatangannya sia-sia hari ini.
Saat menatap tanah itulah dia menemukan bilah bambu yang kemarin dipegang si bocah. Luh meraihnya. Dan meraba tulisan yang terukir di sana;
“Airmatamu bersuara, sementara airmataku beku. Aku butuh emosi, seperti juga milikmu. Kita bertemu lagi esok, di kala airmata dan emosi bisa bersatu. Ranggas”
Tanpa diduga seketika Luh tersenyum.
Sepertinya bukan hanya wajah yang berubah bungah, juga hatinya.
Dibawanya bilah bambu itu pulang. Dengan riang, dinyanyikannya tembang yang sama, yang itu-itu saja;
Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng, seneng ....
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken
-Ra-