Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,716
Laut yang Tak Menjawab
Romantis

Andai saja mesin waktu itu nyata, aku akan memintanya berhenti di suatu sore yang merindu. Sore ketika hujan menggantung di atas kepala, dan dunia seakan merapatkan telinganya pada bisik yang ia tanam di dekat telingaku. Aku akan menukar kata-kata manis yang pernah ia lantunkan, mencopot setiap janji yang belakangan menjadi duri, lalu menggantinya dengan sepi yang aman.

Aku akan kembali ke titik sebelum Andre muncul, sebelum senyumnya menjadi peta yang keliru. Aku akan melangkah menjauh, tanpa menoleh. Agar hari ini tak terus berulang: aku berdiri di bibir Pantai Amahami, memandang laut yang tenang tetapi licik, membawaku pada wajahnya yang tak pernah mau hilang.

Ombak menghela ke pasir seperti napas panjang. Angin asin menampar pipi, menusuk sampai ke lidah. Di kejauhan, kapal nelayan yang kecil tampak menantang ombak. Aku menatapnya lama, berharap gulungan air mencuri wajah Andre dan menenggelamkannya di palung laut. Namun, nyatanya, setiap buih yang pecah justru mengembalikannya.

Aku tidak sedang menyalahkan pertemuan. Tidak pula ingin menodai rasa syukur pada pelajaran yang pernah ia titipkan. Hanya saja, jika ujungnya begini, bukankah lebih baik ia tak pernah hadir?

“Sial,” gumamku. Pelan. Perih.

Kata itu tercebur ke udara. Jatuh bersama riak kecil di teluk yang membentang dari Kota Bima hingga Soromandi. Rasanya lucu, mengutuk sambil menikmati pemandangan seindah ini.

“Kamu datang menawarkan sejuta harap yang tak pernah kunantikan. Dan pergi ketika aku tak lagi merasa sendiri,” suaraku lirih merintih dan pecah. “Bedebah! Kalau cuma mau meninggalkan jejak rindu, kenapa membelaiku dengan cita-cita yang tinggi? Pernahkah kamu tahu rasanya menunggu di siang yang panjang, lalu mengadu rasa di malam yang dingin? Pernahkah?”

Laut tak menjawab. Ia hanya mengulang bunyi yang sama. Bunyi yang tak pernah selesai menggema.

Aku membayangkan kalimat-kalimatku berkelana hingga sampai di kuping Andre. Entah lewat jalan rahasia yang hanya dimiliki angin, atau melalui cuaca dan musim yang berganti.

Aku tahu, harapan itu konyol. Ucapan yang dilempar ke laut jarang sekali kembali sebagai kabar. Mereka lebih sering pulang sebagai luka.

Suara langkah di belakang membuatku menoleh. Roy berdiri beberapa meter dari bibir air. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung seadanya. Ada noda kabur kopi di dada kirinya, seperti bekas terburu-buru. Tangan kanannya memegang sandal. Kakinya telanjang di pasir. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap ke laut, dan lalu ke arahku. Seolah mengukur jarak yang berani ia tempuh.

“Aku pikir kamu sudah mau pulang,” ucapnya, datar, sedikit serak.

“Mungkin sebentar lagi,” jawabku, gamang.

Roy melangkah mendekat. Ia berhenti di batas yang membuat kami bisa saling bicara tanpa berteriak. “Ombak sering kali datang untuk memeluk pasir. Tapi kadang hanya pura-pura,” katanya dengan pandangan menghampar lurus. “Dia hanya ingin mencuri sesuatu.”

Aku menoleh sesaat, mengamati wajahnya yang tampak tenang. “Kamu pikir aku pasirnya?”

“Mungkin.” Ia tersenyum tipis. “Atau mungkin kamu ombaknya.”

Roy selalu begitu, mengapungkan kata-kata tanpa benang. Membuatku tidak tahu harus merespons atau diam saja.

Kami bertemu dua bulan lalu, di sebuah acara pernikahan sepupuku. Ia bukan bagian dari keluargaku, hanya teman lama pengantin pria. Pertemuan yang tidak direncanakan, tidak dramatis, tetapi aku mengingat detailnya: tatapan yang sedikit lebih lama dari wajar, cara ia menyingkirkan rambut dari keningnya, dan gelas plastik berisi es teh yang ia putar-putar di meja.

Sejak itu, ia muncul bagaikan hujan sore di musim kemarau. Tidak rutin, tetapi kehadirannya cukup membuat udara berubah. Tak jarang ia menelepon tiba-tiba, lalu mengajak makan di luar. Setelah itu, ia menghilang dalam beberapa hari, dan aku membiarkannya. Tidak ada janji semu, tidak ada rayuan murahan. Semua berjalan tanpa harapan.

Seperti hari ini, ia bertanya di mana aku berada. Aku menjawab di tempat biasa. Tanpa perlu menjelaskan, ia sudah mengerti. Aku sudah menceritakan deritaku kepadanya. Bukan untuk memelas iba, melainkan memperkenalkan diriku yang tengah berjuang untuk bangkit dan pulih.

Roy duduk di pasir, lutut ditekuk, tangannya sibuk menggambar garis-garis tak berarti dengan ranting kecil.

“Kamu masih mikirin dia?” tanyanya tanpa menatapku.

Pertanyaan itu cukup menghentakku. Memenuhi ruang pernapasan.

“Kadang,” jawabku singkat.

“Kadang itu berapa kali sehari?” Ia melirik sekilas.

Aku terombang-ambing oleh pertanyaannya. Roy mengulas senyum samar, kemudian melempar ranting itu ke kawanan air yang menyapa kakinya.

Ada hal-hal tentang Roy yang membuatku tetap menaruh jarak. Ia tidak pernah melontarkan pertanyaan dua kali. Jika aku memilih mengatupkan bibir, ia tidak akan memaksa.

Namun, hal itu juga yang menautkan tanya dalam hatiku: apakah ia ingin benar-benar masuk atau sekadar mengamati terlebih dahulu. Ia seolah berdiri di ambang pintu, melihat dari luar, dan meragu untuk menjejakkan kaki ke dalam. Atau mungkin aku yang memberinya ketidakpastian. Aku yang belum selesai dengan masa laluku.

Matahari perlahan turun. Langit memerah di ujung teluk. Roy berdiri, menepuk-nepuk pasir di celana jeansnya.

“Ayo, sebelum gelap,” ajaknya, mengulurkan tangan.

Kami berjalan ke arah parkiran. Roy berjalan sedikit di depan. Sesekali ia menoleh untuk memastikan aku mengikutinya. Di mobil, ia memutar radio acak. Lagu yang keluar bukan lagu cinta, hanya berita jalan raya dan ramalan cuaca.

Di perjalanan, ia menceritakan pekerjaannya di pelabuhan. Tentang kapal yang terlambat sandar, tentang rekan kerja yang suka mengubah waktu makan siang untuk tidur di gudang. Ia berbagi kisah dengan santai, tanpa berusaha membuatnya terdengar menarik. Aku khidmat mendengarkan. Karena di setiap jeda ceritanya ada napas yang terdengar lelah, dan entah mengapa aku ingin tahu dari mana kelelahan tersebut berasal.

Sampai di depan rumah, Roy tidak mematikan mesin. “Besok aku ke Mataram,” katanya. “Mungkin seminggu atau lebih. Ada urusan.”

Aku mengangguk. “Hati-hati.”

Wajahnya merekah, tenang dan tak tergesa. “Kamu juga.” Ia menunggu sampai aku masuk rumah, baru mobilnya bergerak pelan menjauh.

Di dalam rumah, aku membuka jendela kamar. Aroma laut masih terasa, membawa sedikit hawa sejuk yang menempel di kulit. Aku menaruh ponsel di meja. Tak lama ia bergetar, menahan kakiku untuk beranjak.

Sebuah pesan masuk. Dari Andre.

“Indah, Apa kabar? Maaf untuk semua yang dulu. Aku di Jakarta sekarang, tapi minggu depan aku ke Bima. Bisa kita ketemu?”

Aku membaca pesan itu beberapa kali. Ada rasa yang aneh: bukan senang, bukan marah, tetapi semacam kekosongan yang padat.

Layar menyala tanpa suara. Aku diam, membiarkannya hingga padam sendiri.

Aku lantas duduk di tepi ranjang. Mata terpejam. Di dalam kepala, laut tak berhenti bergemuruh. Mungkin tidak semua yang hilang harus kembali, meski aku masih mengharapkannya setiap hari.

***

Waktu, selama ini, umpama pasir yang terus jatuh di sela jariku. Tak bisa kukendalikan, tetapi setiap butirnya menyimpan bekas yang tak mau terlepas. Aku berusaha berdamai, mengerahkan seluruh niat, menata hari-hari tanpa bayangan Andre. Kadang berhasil, kadang retak di tengah malam ketika suara hujan membangunkan kenangan.

Pertanyaan itu acap menunggu di sudut pikiranku: mengapa ia pergi tanpa jejak? Mengapa memilih senyap, seakan semua yang pernah dilalui bersama tak cukup penting untuk diberi penjelasan?

Ketika pesan singkatnya datang seminggu lalu, kabar bahwa ia akan ke Bima, aku tak menjawab. Diam memasang palang. Menutup pintu rapat-rapat.

Mungkin tidak semua pertanyaan datang dengan jawaban, atau memerlukan jawaban. Lidah paham, tetapi batin masih meraba.

Roy mengirim pesan singkat: “Lima menit lagi aku sampai, ya.”

Aku menunggu di ruang tamu, mencoba menenangkan napas yang sejak tadi terasa berat. Ada perasaan tak nyaman yang berbisik pada firasat.

Bunyi engsel pagar yang berderit memotong lamunanku. Aku berdiri, melangkah keluar, yakin itu Roy. Akan tetapi, rupanya yang tiba adalah Andre.

Penampilannya lebih rapi dari yang kuingat; kemeja berwarna biru muda terlipat rapi di pergelangan, rambutnya dipangkas pendek dengan garis sisir yang tegas. Ada sesuatu yang matang di caranya berdiri, tenang dan dewasa. Matanya menawarkan reka ulang. Tangannya menggenggam erat sesuatu di saku—entah untukku, entah kebiasaan lama untuk menahan gugup.

Ia tersenyum. Seakan mengajakku berkenalan lagi dari awal.

“Hai!” sapanya. Merayu tekadku yang semalam sudah mantap tak akan mengenangnya lagi.

Aku mematung. Bisu.

“Aku datang memenuhi janjiku,” jelasnya, menebar rasa percaya diri.

Aku tidak mengundangnya masuk. “Janji?”

Andre menghirup napas panjang. “Aku ke sini membawa kabar bahagia.” Ia memendarkan nyala terang. “Maaf, aku telah membuatmu menunggu begitu lama. Aku tak membalas pesanmu, tak menjawab panggilan teleponmu. Dan sekarang, aku ingin menebus semuanya.”  

Kata-kata itu meluncur. Mendarat dan mengendap. Ada bunyi ombak yang jauh di lekuk pantai. Aku mengerti maksudnya, tetapi aku tak mau ia menjelaskan lebih eksplisit. Cukup. Jangan buat aku goyah!

Suara mesin mobil mendekat, memecah ketegangan. Roy berhenti di depan pagar. Ia turun setengah berlari menghampiriku. Matanya berpindah cepat dari wajahku ke Andre. Ia tak bertanya siapa pria di hadapanku. Entah dari cerita yang keluar dari mulutku, atau dari caraku berdiri, Roy tahu itu Andre.

“Siap?” tanya Roy singkat. Ia menggenggam tanganku.

Aku mengangguk pelan, lalu berjalan dalam tuntunan langkah Roy. Namun, Andre bergerak cepat, memotong jalan kami. Tubuhnya tegak, matanya menahan badai.

“Indah,” suaranya mengiris, “apa dia orang yang menggantikanku? Apa status hubunganmu dengan dia?”

Roy menghalangiku untuk menjawab. Ia memandang Andre dengan sorot yang tajam. “Apa tujuan Anda datang lagi ke sini?” Langkahnya maju setengah, mengikis jarak.

“Saya datang untuk melamar Indah,” ujar Andre, tegas. Pernyataannya membuat duniaku mendadak kacau balau.

Aku memalingkan wajah dari mereka. Angin laut menerobos celah pagar, menyapu rambutku, membawa getir ke sanubari. Tak pernah kusangka bahwa ada yang lebih rumit dari melupakan, yaitu ketika masa lalu dan masa kini berdiri di hadapan. Keduanya meminta jawaban yang sama-sama tak siap kuberi.

“Pergi. Tak memberi kabar. Sekarang ingin melamar. Apa Anda memang tidak tahu malu?” sindir Roy. Datar, tetapi menghunus.” Panas merambat, menekan udara pagi yang mendung. Aku melihat tangan mereka mengepal.

Andre menyeringai tipis. “Tidak tahu malu? Anda bisa mengatakan itu jika Anda adalah suami Indah.” Telunjuknya menuding ke wajah Roy, lalu meraih tanganku. “Katakan, siapa dia?”

Pertanyaannya menohok, membelah pikiranku. Suara-suara di kepala saling bertubrukan. Kenangan yang pernah menghangatkan, janji yang tak ditepati, dan kehadiran yang setia walau belum sepenuhnya kuterima.

“Indah!” Nada Andre meninggi, menghantam seperti ombak memukul karang.

Roy bergerak, berdiri di depanku. Tubuhnya kokoh, membentuk dinding yang memutus pandanganku kepada Andre. “Cukup,” tandasnya.

Aku menarik napas, menatap punggung Roy. Kemudian, aku menggeleng. Bukan untuk siapa pun, bukan kepada siapa pun, tetapi pada semua yang tak ingin kuulang.

Keheningan menyelimuti. Pekat dan tebal. Andre menatapku lama. Perlahan ia melepaskan genggaman.

Roy membalikkan badan, melangkah menuju mobil. Tangannya membuka pintu. Ia masuk tanpa menoleh. Mesin menyala dengan bunyi sendu nan muram.

Aku kalut. Tubuhku mematung, terpasung.

Saat mobil melaju pelan, aku bergerak. Berlari, menyusul Roy sebelum penyesalan mendahului kedatangannya.

Tanganku mengetuk jendela. Roy menoleh. Matanya sedikit membesar.

Andre masih berdiri di pagar. Aku tak membalikkan pandangan. Aku membiarkannya di sana. Menjadikannya pemandangan yang tak akan lagi kugambar.

Desau angin menghapus sisa masa lalu. Suara maya dari laut berdesir membuaiku. Di balik wajah Roy, cakrawala terbentang—setelah sekian lama aku tersesat dalam bayang-bayang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)