Cerpen
Disukai
4
Dilihat
3,767
Kujang
Sejarah


Tatar Sunda, pertengahan abad 20

Di suatu desa bernama Pusaka Nagara, telah terjadi suatu insiden yang sangat menggemparkan seluruh warga: Kujang Pusaka yang terbuat dari emas murni dan memiliki sembilan mata permata telah dicuri, tepat sebelum upacara adat merlawu[1] sekaligus ulang tahun desa. Biasanya, Kujang itu akan diarak mengelilingi desa, lalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa dan dari tujuh sumber mata air berstatus cikahuripan[2]. Karena kesakralannya itulah, warga desa Pusaka Nagara panik bukan kepalang. Kini, mereka sibuk mencari si pencuri sambil mengucapkan sumpah serapah dan mendoakan celaka bagi orang yang telah lancang mencuri benda paling berharga di desa itu.

“Aduh, gimana ini, Pak Adang, saya mah kalau suruh ganti si Pusaka, saya ga akan sanggup. Saya merasa bersalah pisan. Bisa-bisanya, si pusaka hilang saat saya lagi jaga di balai. Saya takut, bisi aya gantar kakaitan[3].”

“Iya, pasti. Tapi, Mang, tenangkan dulu hatinya. Kita tidak menuduh Mang Ikin, kok. Dan, tidak akan memaksa Mang Ikin untuk ganti rugi. Seluruh warga juga tengah mencari Pusaka yang hilang itu bersama-sama. Semoga saja, bisa ketemu pencurinya dan Pusaka kita bisa kembali lagi. Sudah Mang Ikin tenang saja.”

“Tapi, Pak, meski saya ini orang bodoh, saya tahu betapa bernilainya Kujang Pusaka itu, yang terbuat dari emas murni dan memiliki sembilan permata. Wajar jika banyak orang yang ingin mencurinya. Bukan hanya itu, nilai sejarah warisan leluhur kita. Sekarang lenyap dari genggaman dengan cara yang paling tidak masuk akal! Pak Adang, andai saja saya tidak teledor. Pak Adang... Pak Adang kan bendahara desa. Jika harus menggantinya, saya rela tidak diberi upah seumur hidup. Saya rela mengabdi untuk desa selamanya.”

“Sudah, Mang Ikin, jangan meratapinya terus dan berpikir aneh-aneh, mari kita fokus mencari!”

Hening melanda. Dua orang itu terus menyusuri hutan belantara dengan membawa satu lampu patromak, berharap si pencuri belum jauh dari desa mereka dan kedua orang itu bisa menangkapnya. Lingkaran cahaya menembus jelaga. Menyingkap pohon beringin besar yang berada di depan mereka.. Lebar batang pohon itu lebih dari dua perut kerbau. Dengan akar-akar yang menjuntai dan kulit yang berwarna keabu-abuan. Mang Ikin dan Pak Adang merinding. Suasana terasa semakin mencekam setelah langit mencambukan beberapa lidah kilat di angkasa.

“Pak Adang!” seru Mang Ikin sambil gemetar.

“Balik arah?” jawab Pak Adang seakan mengerti apa yang dimaksud Mang Ikin saat memanggilnya dengan penuh ketakutan.

“Iya, pamali[4] datang ke keramat malam-malam begini. Sudah sampai sini saja, sampai pohon beringin yang merupakan tanda memasuki area keramat, si maling pun pasti berpikir dua kali untuk masuk ke sana,” kata Mang Ikin. Mereka pun langsung balik badan dan menuju ke perkampungan.

Saat Mang Ikin dan Pak Adang tiba, terlihat di balai kampung para warga sudah berkerumun. Mereka membawa serta pekakas dan penerang. Tidak ada satupun orang yang memperlihatkan wajah ceria. Mereka semua marah. Mata memerah. Balai kampung riuh. Mereka saling menanyakan apakah berhasil menangkap pencuri itu. Namun, serempak, mereka mengatakan hasilnya nihil.

“Saya sampai mencari ke kampung sebelah, tetapi, tidak ada yang melihat orang mencurigakan.”

“Ya, betul, lihat saja peti Pusaka kita, tidak ada bekas diruksak dan gemboknya pun masih utuh. Kalau dipikir-pikir, mustahil ada pencuri yang bisa membawa benda di dalamnya.”

“Tapi, ada yang melihat sosok hitam berlari membawa Kujang kita, loh, apa mungkin itu setan? Masa Karuhun[5] kita, sih, yang mencurinya? Tidak logis. Besok, kan, kita akan memberikan sesajian untuk para Karuhun. Jadi, mustahil, Kujang Pusaka itu dicuri oleh Karuhun, palingan sama dedemit.”

“Huys, jangan sembarangan nuduh, pamali!”

“Sudah-sudah! Bapak-bapak, ibu-ibu, wargaku sekalian, ini masalah serius, bahkan, saya pun tidak menyangkanya. Sampai-sampai seluruh bulu rona ini merinding, melihat peristiwa ganjil ini. Namun, bagaimana pun, kita harus menghadapi permasalahan ini dengan kepala dingin,” tengah seorang yang baru saja datang. Dia berdiri tegap. Sorot matanya tajam dan penuh wibawa. Dia mengenakan pakaian serba hitam dengan kain batik melingkar di kepalanya.

Seketika semua orang bergeming. Tertunduk. Pun, jika ada orang yang berdiri sambil mengacungkan perkakasnya, dia langsung duduk dan membenarkan sikap setelah mendengar suara dari seseorang yang kini ada di tengah-tengah mereka.

“Maaf jika saya lancang, Pak Kuwu Bintang, saya hanya ingin usul,” ucap seseorang itu memecah keheningan. Dia tidak langsung berbicara sebelum dipersilakan. Di luar perkumpulan itu, suara kodok sangat riuh rendah di kejauhan menyambut rintik yang mulai deras. Tirai hujan mengalir konstan dari ujung atap berbahan injuk. Menutup mereka dari dunia luar yang basah. Cipratan air membuat sebagian orang yang berada paling luar dari lingkaran warga kian merapat ke tengah.

“Ya, silakan,” jawab Pak Kuwu Bintang setelah sekian lama dia mencari sumber suara yang meminta diri itu berasal.

“Mohon maaf, Pak Kuwu, kalau saya lancang membuka sawala[6] darurat ini, bagaimana kalau kita datangi Ki Lengser, sesepuh sekaligus juru kunci Karamat Leuweung Kujang.

Pak Kuwu memegangi dagunya. Pikirannya melayang untuk mempertimbangkan, Ki Lengser adalah orang yang tidak mau ikut campur urusan duniawi. Dalam hal ini, dimintai tolong untuk melihat keberadaan si pencuri melalui perantara mata batinnya yang tajam. Terlebih, benda yang hilang adalah sebuah pusaka desa. Pak Kuwu membayangkan, Ki Lengser akan murka sejadi-jadinya.

“Tidak-tidak, saya tidak setuju, tadi saja saat saya dan Mang Ikin mendekati area keramat, kami merinding sejadi-jadinya! Bagaimana kita menuju rumah Ki Lengser yang berada di bagian paling ujung dan jauh dari keramat itu?” tutur Pak Adang lalu dibenarkan oleh Mang Ikin.

“Bukan hanya itu, para warga sudah pasti mengetahui tabiat Ki Lengser, bukan?” tanya Pa Kuwu kepada semuanya.

“Ya... Betul,” jawab warga serentak.

“Ah, maaf menyela, Pak Kuwu,” kata seseorang di tengah warga sambil mengacungkan tangan kanannya. Kemudian dia berdiri, sehingga terlihat oleh semua warga, seorang pria paruh baya berpakaian serba hitam. Semua orang memperhatikan orang itu, kumis baplangnya dan juga jari penuh batu akik klenik ala dukun menjadi sorotan.

Setelah dipersilakan, pria itu pun melanjutkan omongannya, “maaf bukannya saya mau pamer ilmu, tetapi, ini keadaan darurat bapak-ibu sekalian. Jika hanya menerawang, saya pun bisa, tetapi, tidak sesakti dan seakurat Ki Lengser, jika dipersilakan mohon beri saya ruang dan waktu untuk bermediasi sejenak. Ah, iya Mang Ikin, tolong bawakan beberapa tembikar di dapur balai, salah satunya isi dengan air dan kembang-kembangan. Kemudian pada tembikar satunya lagi, tolong diisi dengan arang dan juga kemenyan.”

“Ya, tidak ada salahnya juga kita berusaha terlebih dahulu. Silakan Abah Eman. Semoga saja membuahkan hasil. Mang Ikin, tolong siapkan apa yang Abah Eman pinta,” perintah Pak Kuwu Bintang ke Mang Ikin yang bekerja sebagai penjaga balai desa itu.

Mang Ikin segera bangkit. Dia berjalaan ke belakang dengan penuh sikap sopan santun. Kerjanya sangat cekatan, tidak perlu menunggu lama, semua sudah tersedia. Abah Eman duduk bersila di tengah semua. Melakukan sembah puja. Mencoba meraga sukma. Tangannya menegang. Bibirnya komat-kamit. Bau menyan menyeruak ke seluruh penjuru balai. Membuat semua orang merinding setelah mencuim harumnya. Abah Eman menggeram. Tangannya terangkat ke atas. Suara petir menggelegar. Ibu-ibu dan anak-anak meringkuk di tengah kerumunan.

“Hmmmmm...”

Abah Eman tiba-tiba membuka matanya. Dia melotot. Tatapannya begitu tajam ke depan. Sekonyong-konyong, dia menggenggam sejumput bunga yang terendam dalam tembikar, lalu memakannya. Warga yang melihat langsung bergidig.

“Kurang ajar! Saya gagal menembusnya, Pak Kuwu. Ilmu si maling lebih tinggi!” desau Abah Eman.

“Lalu bagaimana jalan keluarnya, Bah? Kita sedang terdesak. Belum terjadi dalam sejarah kita, melewatkan acara sakral ini setiap tahunnya. Baru tahun ini...,” rintih Pak Kuwu Bintang. Air matanya sedikit berlinang.

“Ah, tunggu Pak Kuwu...” pinta Abah Eman. Dia memincingkan telingannya. Seakan mencoba menangkap suara di kejauhan. Dia kembali dengan sikap sidakep sinuku tunggalnya[7]. Semua orang kembali hening. Ibu-ibu yang membawa anaknya, menggenggam erat anak itu, bahkan mencengkram mulut si anak ketika hendak menangis. “Hmmmm. Hatur nuhun Karuhun,” ucap Abah Eman setelah selesai. Pak Kuwu yang penasaran langsung bertanya, “bagaimana, Bah, ketemu pencurinya?”

“Tidak, Pak Kuwu. Tadi, ada pesan dari Karuhun kita, bahwa, di Karamat Leuweung Kujang masih ada satu pusaka yang harus ditarik keluar. Mereka berbaik hati pada kita agar tetap menjalankan tradisi di desa Pusaka Nagara ini. Mari, siapa yang mau menemani, kita sudah diberi wangsit!”

Sontak, Mang Ikin mengacungkan tangan sambil berkata, “saya saja, saya orang yang paling bertanggung jawab atas kehilangan Pusaka ini.” Dari nada bicaranya, dia seakan-akan memaksakan untuk memberanikan diri. Di satu sisi, dia tahu bahwa tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke Karamat Leuweung Kujang apalagi malam-malam begini. Di sisi yang lain, dia merasa ini satu-satunya kesempatan Mang Ikin untuk bertanggung jawab.

Singkat cerita ada beberapa orang dewasa yang mengantar Abah Eman ke Karamat Leuweung Kujang itu. Diantaranya ada Pak Kuwu Bintang, Mang Ikin dan Pak Adang. Mereka berjalan di kegelapan. Berpayung daun pisang menutup kepala. Hujan mulai reda. Tersisa rintik yang tidak seberapa. Patromak menyala dipegang oleh Mang Ikin, dia berjalan paling depan disusul oleh Pak Adang, kemudian Pak Kuwu dan terakhir Abah Eman. Lingkaran cahayanya menerangi jalan setapak yang becek. Pak Adang dan Mang Ikin menelan ludah saat mendekati pohon beringin besar yang beberapa saat lalu mereka singgahi.

“Ayo, Mang Ikin, Pak Adang,” seru Abah Eman dari belakang saat menyadari mereka berdua menghentikan langkah dan seperti ragu. Setelah merasa dikuatkan mereka berjalan kembali. Pak Kuwu menepuk pundak mereka dengan sebelah tangan. Satu persatu. Sebelah tangannya lagi tetap memegangi selembar daun pisang agar dirinya tidak kehujanan. Semakin memasuki hutan keramat itu, suasana kian mencekam. Jalanan licin oleh lumut dan tanah yang basah. Beberapa kali mereka kesulitan berjalan. Sulur-sulur merambat. Burung kedasih berkicau tiada henti. Kemudian disusul oleh kukuk burung hantu.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka pun akhirnya sampai di suatu tempat yang dipercaya merupakan sebuah patilasan Zaman Pajajaran. Mereka semua bersimpuh, meminta ampun karena telah lancang, melakukan gerak sembah dengan khidmat. Tidak perduli tanah basah membuat lutut mereka kotor. Kemudian mereka melingkar dengan sikap duduk sila. Abah Eman merapal rajah. Tangannya bergerak-gerak. Sebuah gerak yang seperti dituntun oleh roh leluhur. Matanya terpejam. Tubuhnya mulai menegang. Sekonyong-konyong, Abah Eman menarik nafas dalam-dalam. Dia beranjak sambil memasang kuda-kuda. Tangannya mengarah kepada batu dengan susunan punden berundak. Seluruh ototnya menegang. Urat-uratnya menonjol.

Kini, tangan Abah Eman seperti sedang menarik sesuatu yang tak kasat mata. Peluh bercampur rintik hujan. Nafasnya menderu. Dia mengerang. Dan, keluarlah sebuah benda terbungkus kain kafan. Setiap orang yang melihatnya langsung merinding dengan mata terbelalak. Seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Benda itu kini melayang-layang. Semerbak harum mawar menyebar ke seluruh hutan. Bahkan sampai ke balai desa nan jauh di sana. Anak kecil yang tertidur pun sampai terbangun dan menangis sejadi-jadinya.

“Bah, A... apa itu?” tanya Pak Kuwu tergagap.

“Pusaka baru kita, Pak,” jawab Abah Eman lega. Dia pun langsung menghampiri benda melayang di atas altar batu punden berundak itu. Bersimpuh. Berlutut. Merapal mantra. Lalu mengambilnya. Abah Eman, membawa benda Pusaka itu dengan kedua tangan. Seperti seorang ayah yang menggendong bayinya ketika baru lahir. Penuh haru. Mata semua orang berkaca-kaca. Abah Eman berjalan dengan perlahan ke arah Pak Kuwu. Kini mereka telah berhadap-hadapan. Abah Eman menyerahkan pusaka itu.

“Buka?” tanya Pak Kuwu ragu.

“Silakan,” jawab Abah Eman singkat.

Semua orang mendekat dengan penuh rasa penasaran. Semakin Pak Kuwu membuka bungkusan kain kafan itu, wanginya semakin kentara. Dan, terkejutlah mereka semua. Terutama Mang Ikin yang mengira pusaka ini akan lebih bagus dari Kujang yang hilang. Dia merasa, semakin bersalah, karena pengganti pusaka yang hilang itu tidak sebanding secara bahan dan juga rupanya. Tidak ada permata juga tidak terbuat dari emas.

 Bahkan Pak Kuwu Bintang dan Abah Eman sempat meragukan apakah ini adalah kujang atau bukan. Secara bentuk pun Kujang Pusaka yang baru ditarik dari keramat ini berbeda dari yang sebelumnya.

*

Kepulangan mereka disambut warga yang sangat penasaran. Semua orang melengok ke arah kegelapan, melihat keempat sosok yang masih samar tertelan gelap. Pak Kuwu berjalan paling depan. Hujan telah reda. Dia tidak memayungi lagi dirinya dengan selembar daun pisang. Kedua tangannya kini memangku pusaka itu yang masih dibalut kain kafan. Energinya itu sangat kuat dan mistis. Semua orang bisa merasakan perbedaannya dari pusaka desa yang hilang.

“Wah, benar-benar keramat! Itu pasti pusaka baru kita. Sampai-sampai dibalut kain kafan seperti itu,” decak kagum seorang warga diikuti oleh decakan seluruh warga sampai balai itu riuh dengan suara decakan.

“Kita harus menjaganya baik-baik! Semua orang harap bersiaga saja sampai besok di balai ini. Mari kita gotong royong. Ada yang berjaga. Ada yang memasak dan menyiapkan sesajen. Ada yang memasang umbul-umbul dan pekerjaan lainnya!” perintah Pak Kuwu Bintang setelah dia sampai di tengah para warga.

Tiba-tiba Kujang itu mengeluarkan bau harum yang menjalar ke setiap penjuru balai, seorang anak kecil menjerit histeris, diikuti oleh anak lainnya. Kini semua anak menjerit. Tanpa sebab. Ibu mereka mencoba menenangkan. Namun, sia-sia. Semakin mereka dilarang untuk berteriak semakin meronta. Semua orang gelagapan. Abah Eman dengan sigap membacakan mantra lalu mengusap wajah anak yang menangis satu per satu. Pikiran mereka menjadi kalut dan sangat ketakutan.

“Pak Kuwu, maaf, mungkin saja ini akibat dari kita mengambil pusaka dari keramat itu?” kata salah seorang warga yang anaknya tadi menangis.

Pak Kuwu pun bingung akan menjawab apa. Dia pun memiliki firasat yang sama. Semua kejadian ganjil ini, ditanyakan kepada Abah Eman. Sedikit kikuk dan mencoba menguatkan diri, Abah Eman berkata, “tidak akan terjadi apa-apa, semoga!” Segera, setelah semua bisa berpikir jernih kembali, Pak Kuwu beserta Abah Eman menyimpan Pusaka itu di tempat pusaka sebelumnya. Benda pusaka itu ditinggalkan. Semua orang sibuk bekerja sesuai arahan Pak Kuwu. Meski rasa kantuk dan lelah menjangkit semua orang, sebisa mungkin mereka tetap riang dalam bekerja. Berkelakar. Mencoba melupakan kejadian ganjil yang menimpa mereka.

*

Pagi pun menjelang. Ayam jantan berkokok. Beberapa warga silih bergantian untuk pulang dan berganti pakaian. Mengenakan pakaian adat berwarna hitam. Semua sudah siap. Terdengar suara gamelan pertanda acara sudah dimulai. Penari-penari ronggeng menghibur di balai perjamuan. Semua riang gembira. Sampai menjelang siang, saat Kirab Kujang Pusaka akan dilaksanakan, suasana menjadi khidmat. Mengingat peristiwa semalam, semakin khidmat dan tenggelam dalam rasa yang sama.

Selama acara berlangsung, tidak ada yang melihat Ki Lengser. Pak Kuwu bertanya-tanya, karena biasanya, Ki Lengserlah yang akan memandikan Pusaka itu. Semua orang berpraduga, bahwa, Ki Lengser sudah mengetahui kejadian yang menggemparkan ini.

“Sebentar lagi acara puncak, bagaimana ini, Bah?” bisik Pak Kuwu kepada Abah Eman.

“Ampun, Pak Kuwu, jangan bertanya kepada saya,” jawab Abah Eman tersentak.

“Begini saja, bagaimana kalau Abah Eman menggantikan peran Ki Lengser sebagai orang yang memandikan pusaka? Toh, pusaka ini juga ditarik oleh Abah Eman, kan?”

“Aduuuh... Ampun, saya tidak berani bersikap lancang, Pak.”

Akhirnya, Abah Eman pun mau. Pak Adang dan Mang Ikin menyiapkan alat untuk melakukan ritual ini. Kemenyan dan dupa dibakar di empat penjuru mata angin. Harum mewangi menyebar ke seluruh lapang balai desa. Hening. Kujang Pusaka itu dibawa oleh Abah Eman dengan sangat hormat menuju tempat pencucian. Kujang itu kembali dibuka bukusnya. Semerbak kembali menyeruak. Warga desa tercengan. Mereka merasa aneh dengan bentuk kujang yang tidak indah dan juga bukan terbuat dari emas dengan sembilan permata.

Pak Kuwu Bintang menyuruh untuk diam ketika warga mulai riuh membicarakan Sang Kujang Pusaka baru itu. Abah Eman tidak terpengaruh, dia tetap melanjutkan ritualnya. Air membasuh badan kujang. Beberapa kelopak bunga menempel. Harum semakin menyeruak. Semua orang sontak merinding.

Setelah selesai. Abah Eman menyerahkan kujang yang sedang telanjang itu kepada Pak Kuwu Bintang. Dia mengacungkan pusaka itu setinggi-tingginya. Sekonyong-konyong, langit menghitam. Angin menerpa kencang. Kilat beberapa kali menyambar. Semua warga Pusaka Nagara ketakutan. Menunduk. Terdengar suara nyaring yang entah dari mana. Dan entah mengapa, tangan Pak Kuwu Bintang tidak bisa diturunkan. Dia tetap mengacung. Pak Kuwu menjadi panik. Sekilas, dia melihat Kujang itu bercahaya. Berkalap-kelip. Kemudian sepenuhnya benderang. Tiba-tiba di tengah mereka, muncul Ki Lengser yang entah dari mana datangnya. Tubuhnya sudah renta. Sedikit membungkuk. Ia mengenakan baju sunda berwarna putih. Kancingnya terbuka. Dadanya terlihat. Keriput. Wajahnya terlihat bercahaya. Dia tersenyum dengan teduh.

Semenjak kedatangannya, semua warga terpaku tidak bisa bergerak. Seperti tertahan oleh kekuatan gaib. Ki Lengser menghampiri Pak Kuwu yang masih berdiri dengan tangan teracung sambil menggenggam Kujang yang bercahaya. Mengambilnya. Pak Kuwu pun tersungkur tak berdaya. Ki Lengser membungkus kembali kujang itu dan benda pusaka itu menghilang dengan sangat ajaib. Beberapa saat kemudaian, muncul Ki Lengser lain dari belekang warga yang tidak bisa bergerak. Terlihat di tangannya, Ki Lengser memegang sebilah Kujang emas yang hilang itu. Semua orang bingung. Termasuk Abah Eman yang sedikit pun tidak bisa berkutik. Pikiran mereka riuh dengan fenomena yang semakin ganjil ini.

“Ini benda yang kalian gaduhkan semalam, Cu?” tanya Ki Lengser ke semua orang.

“Padahal benda ini hanya cangkang, bukan kesejatian. Aki lah yang membuatnya hilang kemarin, agar kalian sadar, agar kalian tahu tentang yang sejati.”

“Hmmmm.... hmmmmm,” deham Ki Lengser sambil menimang-nimang Kujang berwarna emas itu dengan santai. Kemudian Ki Lengser mendesau, “sejak kapan kita berdaulat kembali? Sejak kapan kita berani mengacungkan kujang?”

“Coba perhatikan baik-baik siapa sosok di sana, Cu!” perintah Ki Lengser kepada semua orang. Dan, alangkah terkejutnya, semua warga bisa bergerak kembali. Mereka memandang orang yang ada di tengah-tengah. Yang disebut Ki Lengser. Yang tadi berwujud Ki Lengser seketika berubah menjadi orang yang sangat gagah. Mahkota maharaja terpasang di kepalanya. Sosok yang datang dari masa lampau. Sontak, semua orang menjadi sadar secara kolektif. Tanpa perlu berkata dan berbicara siapa sosok itu. Kompak mereka semua bersimpuh menghadap sosok itu. Termasuk Abah Eman. Termasuk Pak Kuwu Bintang yang sangat dihormati di desa itu.

Dari sini, beragam versi cerita dari tetangga desa bertebaran di mana-mana tentang hilangnya warga desa Pusaka Nagara secara misterius. Ada yang menyebut mereka lebur menjadi partikel cahaya. Ada yang bercerita mereka hilang bersama sosok agung itu dan menjadi penyembah setianya. Ada juga yang bilang mereka berubah menjadi harimau. Dan, ada yang mengaitkannya dengan cerita Moksa Maha Prabu Siliwangi di Leuweung Sancang.

 


[1] Merlawu diambil dari kata lalawu, artinya makan. Bisa diartikan, tujuan utama dari upacara ini adalah untuk makan bersama seluruh desa, sebagai bentuk syukur dan merawat budaya.

[2] Cikahuripan berarti air kehidupan. Muncul dari lubang dalam tanah (Cai Liang) sebagai mata air yang tidak pernah mengering. Ada yang dibiarkan mengalir saja. Ada yang dibuatkan sumur untuk menampung airnya.

[3] Sebuah pribahasa bahasa sunda yang artinya, takut ada unek-unek dibelakang.

[4] Pamali adalah lelaku dari kepercayaan berupa sebuah larangan. Harus dihindari. Karena masyarakat percaya jika kita melanggar aturan yang termasuk dalam pamali akan menimbulkan hal buruk.

[5] Karuhun berasal dari kata bahasa sunda karahaan. Artinya, bara api yang terbang dari pembakaran. Secara istilah, karuhun berarti leluhur.

[6] Sawala, musayawarah (Bhs. Sunda).

[7] Sikap sila sempurna.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)