Cerpen
Disukai
1
Dilihat
12,463
Ketika Langit Bertemu Jingga
Romantis

Di depan sebuah hotel tampak sebuah mobil jeep terbuka sedang parkir di halamannya. Hotel yang disebut motel karena selain menerima tamu untuk menginap, ia juga menyewakan mobil untuk tamu yang ingin jalan-jalan ke suatu tempat. Tak lama kemudian, seorang pemuda dewasa kira-kira berusia 35 tahun, wajahnya bersih, rambut agak panjang sebahu dan lurus dibelah tengah, hidung bangir dan mata cemerlang, berjanggut tipis, muncul dari balik pintu motel yang agak sepi itu. Ia mengenakan jaket lumayan tebal, topi musim dingin yang dilengkapi shapka, penutup telinga yang bisa diturunkan, dan kaos tangan yang membungkus kedua telapak tangannya agar bisa bertahan di tengah gempuran musim angin gending yang mulai menyapa Probolinggo sekitaran gunung Bromo. Debu terbang melintas tanpa permisi di depannya, pemuda itu segera menggerakkan mukanya sambil menutup mata dengan tangan kanannya.

"Hati-hati, Ngit!" kata seorang perempuan yang muncul dari balik pintu depan motel memberitahu pemuda itu. "Angin Gending mulai datang dari Samudra Australia dan kutub selatan. Salju mulai membungkus pucuk Bromo. Biasa musim mangga. Hehe."

"Wah, kebun mangga Bu Broto mau berbuah kalau gitu?" celetuk pemuda itu seraya tersenyum hingga pipit lesungnya terbit di kedua pipinya yang agak temban. "Bagi-bagi dong, Buk. Sudah dua musim buah mangga Bu Broto nggak pernah ngasih saya mangga. Sebuah kek?"

Bu Broto memasang ritsleting jaket impornya agar angin kencang tidak menyusup masuk ke dalam dadanya.

"Mau kamu? Bagi-bagi dosa! Hehe." Bu Broto yang jago komedi meski usianya sudah tak muda lagi. Tengoklah kerutan-kerutan menua tidak mampir di kulit wajahnya. Bulan depan ia sudah masuk umur 65 tahun. Berbeda sekali dengan rata-rata manusia pada umumnya. Jangankan umur 65, umur 35 saja tampak lebih tua dari umurnya, mulai berkerut. Mungkin manusia macam itu biasanya mudah tersinggung, emosian, dan kardiman, karepe dewe nyaman. Tapi tidak dengan Bu Broto, ia suka jok-jokan ketika lagi ngomong dengan siapa pun. Bahkan dengan turis asal luar negeri yang sama sekali tidak tahu bahasa Jawa. Termasuk pemuda yang dipanggilnya Langit itu.

"Le, Le!" Bu Broto memanggil pemuda itu.

"Opo, Bu?" pemuda itu menyahut saat mau naik ke pintu kemudi mobi jeep itu.

"Awakmu sido rabi kan?" tanyanya.

"Opo'o, Bu? Sampeyan kate ngado aku mobil tah?"

"Sopo jenenge calonmu iku wis?"

"Afifatuz Zakiyyah!"

Bu Broto mencondongkan kepalanya ke samping agar bisa mendengar dengan jelas dari kejauhan. Angin kencang yang meraung-raung di goa membuat kuping sedikit bolot alias budeg alias kopok.

"Jamilah? Junilah? Jamiah? Safiyah? Aminah? Komariah? Badriah? Marfuah? Madinah? Sakiyah? Jamuna? Karuna? Mulan Jameela? Maia Estianty? Ariel Tatum? Prily Latuconsonan? Jesica Millah? Fatimah? Ashanty? Ahhh, mbuh tah wis." Bu Broto menepuk-nepuk mulutnya yang suka latah.

Pemuda itu menggeleng-geleng sambil tersenyum di dalam mobil.

"Bukan Ashanty, Bu. Ashanty nyonyae Mas Anang Hermansyah. Iso dinyangi sampean mengko karo Mas Anang."

"Mas Anang iku biyen mantanku, Le. Lha kan dek'e wong Jember? Tonggoe bulikku. Ora sido kawin karo aku langsung rabi karo Mbak KD. Mbak KD kan wong Batu? Batu karo Jember rodok cedha' kan? Cuman nyeberang Semeru."

"Opo'o kok gak sido, Bu?"

"Suaraku gak cocok karo Mas Anang."

"Opo'o suarae sampeyan?"

"Ajooor! Hahaha." Perempuan yang telah menjanda itu berhahihi dengan riang. "Beda sama suaranya Mbak KD atau Mbak Ashanty, empuk!"

"Kasur tah, Bu, kok empuk?" Pemuda itu menggeleng-geleng sambil menyalakan mesin mobil. Jeep itu harus dipanasi terlebih dulu sebelum pergi untuk menjemput tamu di Terminal Bayuangga.

"Suaranya Mbak KD itu macam kasur angsa kan?"

"Mbuh, Bu. Aku tidak pernah memutar lagunya Mbak KD."

"Awakmu sing diputer Shahrukh Khan terus polae mirip karo Shahrukh Khan. Kalau kamu jadi nikah, aku mau ngado obat Helbeh asli Arab. Hehehe."

"Helbeh, Bu?"

"Iya. Biar nggak letoy."

"Berubah jadi Iron Man, Bu? Iya tah wis, Bu, aku mau jemput tamu dulu di terminal."

"Eh, tamune sing jare teko Moskow itu tah?"

"Rusia, Bu."

"Eh, Rusia kan ibu kotae Moskow, Le?"

"Nggaklah, Bu. Rusia itu sangat luas. Ada Peter'sburgh, Smolenk's, mbuh tah wis aku gak hapal nama-nama kelurahan dan kecamatannya."

"Siapa wis namanya camat Smolenk's? Timbul Prihandoko?"

"Hus iku namanya Plt. Bupati, Bu. Iku yang menggantikan Bu Puput istrinya Cak Amin-udan."

"Yang bupati kena bredel KPK itu ya?"

"KPK itu temannya FPB, Bu."

"Lha' itu rumus matematika, Le. Yo wis lah, budhalo kono wis selak telat." Bu Broto menyuruh pemuda itu segera berangkat.

"Iya wis, Bu. Tak budhal disik. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Broto membalikkan badan menuju ke dalam motel. Mobil jeep itu pergi, dan anak-anak angin bermain-main di pasir yang berbisik.

Sementara di atas sana, pucuk Bromo menggigil dalam jubah dingin salju putih. Langit kelam diterangi bebatuan alam yang berkerlipan di atas sana. Dari atas, lampu-lampu rumah yang bertengger di punggung Bromo itu seperti ribuan permata yang bertaburan di atas selembar sajadah hitam.

Dalam perjalanan, pemuda itu mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati jalanan yang meliuk macam sungai-sungai di Eropa, hutan cemara yang berdiri seperti satu kompi pasukan tentara yang menjaga kedaulatan negara di perbatasan, hutan pinus yang semakin digunduli, hutan mahoni yang ditelanjangi, dan taman nasional Tengger. Di jalan, ia berpapasan dengan warga Tengger yang mayoritas memeluk agama nenek moyang mereka, Joger dan Roteng yang apabila disingkat macam pasangan Cabup Probolinggo itu menjadi Tengger. Ia menyapa orang-orang itu dengan ramah tanpa memandang apa agama yang mereka yakini. Toh mereka sama-sama manusia. Sama-sama makhluk Tuhan yang sama-sama makan nasi.

Untuk mengusir sepi yang membalut lereng gunung, pemuda itu memutar lagu India. Ia bahkan ikut bersenandung pelan.

"Baas itna sa khwab hai... baas itna sa khwab hai...."

Setengah jam kemudian ia sudah sampai di terminal yang jorok tak terawat itu. Dilihatnya di depan pintu masuk terminal seorang gadis berambut blonde berwajah campuran Eropa Indonesia yang menggendong tas backpaker. Ia pun menghentikan mobil jeepnya dan turun.

"Miss Anastasia Pa... "

"Saya Jingga." Gadis Eropa itu ternyata berbahasa Indonesia, sembari mengulurkan tangan putihya, membuat pemuda itu salting. "Jingga Dilangit Biru."

Sebuah nama yang unik. Tidak macam novel barbar beraroma Korea yang tak mengenal adat itu. Sebuah nama yang sangat indah, klop dengan pemiliknya yang berwajah seperti langit di kala sore hari: Jingga!

"Mbak Jingga Dilangit Biru?"

Gadis bermata biru itu mengangguk.

"Perkenalkan nama saya...."

"Mas Langit Lazuardi, bukan?"

"Haaa i-iya, beb-bettul! Langit Lazuardi."

Gadis itu kenal nama pemuda yang akan menjadi guide-nya selama melanglang buana Bromo dan sekitar Probolinggo itu. Mungkin dari Broto.

"Kalau begitu mari kita langsung ke motel." Kata Langit mempersilakan tamunya dalam bahasa Inggris.

"Gak usah ngomong bahasa Inggris, Mas. Aku iso Jowo pisan. Mbahku wong Lumajang kok."

Langit kembali salting.

Ia menelan ludah. Kecewa. Padahal selama seminggu ia susah payah belajar bahasa negerinya Presiden Putin itu.

Jeep pun meninggalkan terminal yang bau pesing dan marak pemalak itu.

Sepanjang perjalanan kembali ke motel yang berada di lereng Gunung Bromo, kesunyian membungkus mobil sehingga kedua orang itu duduk dalam diam. Namun, untuk mengusir sepi, Langit kembali memutar lagu dari negeri Taj Mahal: Shahrukh Khan. Ia menyalakan pemutar mp3 dari flashdisk.

"Tera naam le neki chahat hui hai, humein tumse sayad rahat hui hai...." Langit bersenandung lirih, dan gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening.

"Suka lagu India ya, Mas?"

"Lumayan. Koleksi saya di flashdisik saja ada ratusan lagu." Langit menyengir kuda.

"Apakah mas ngefans sama Shahrukh Khan?"

"Yoi. Dari filmnya yang diliris tahun 1992 sampai yang terbaru tahun 2022. Tapi saya juga punya lagu filmnya Aamir Khan, Salman Khan, Hrithik Roshan, Rani Mukerji, Kajol Devgan, dan Aishwarya Rai Bachchan. Hehehe."

"Tahu lagunya Shahrukh Khan yang jadi guide itu nggak?" rupanya gadis itu hapal filmnya Shahrukh Khan juga!

Klop! Amboi, sip! Sip, amboi! Sip!

"Jab Harry met Sejal?"

"Ya iyalah."

Langit memindah track lagu. Lalu, mengalun lagu dari pelem yang dibintangi oleh Mr. Khan dan Anushka Sharma. Keduanya mengikuti lirik lagu.

***

Tour pertama yang mereka kunjungi adalah Pasir Berbisik. Dengan sangat detail Langit menjelaskan kepada gadis itu bahwa Pasir berbisik merupakan hamparan pasir yang sangat luas

yang membentang di area Bromo.

Pasir Berbisik ini berada di sebelah timur kawah Bromo, yakni di ketinggian 2000m dari permukaan laut. Pasir berbisik juga sering kali dijadikan bagian dari paket wisata Bromo. Biasanya kunjungan ke tempat ini dilakukan pada akhir dari sebuah trip setelah mengunjungi ke tiga obyek wisata lainya. Seperti, puncak penanjakan 1 melihat sunrise, kemudian melihat aktifitas kawah Bromo, menyaksikan panorama padang savana. Tapi, Langit membawa Jingga ke tempat itu terlebih dulu.

"Anda tahu, tempat ini pernah dijadikan sebagai set salah satu film?" kata Langit yang siap sedia dengan kamera yang terjuntai di lehernya.

"Oh, ya?" Jingga manggut-manggut. Lalu, gadis itu minta difoto dengan kamera smartphone miliknya. Usai cekrak-cekrek, mereka melanjutkan ke padang savana.

Di sana Jingga melihat padang savana yang ditumbuhi bunga Edelweiss yang akan tumbuh ketika memasuki musim kemarau. Sejauh mata memandang hamparan permadani hijau memanjakan mata. Jingga merentangkan kedua tangannya dan membiarkan semilir angin membelai-belai wajahnya. Saat itu, tanpa sengaja Langit memandang wajah gadis blasteran itu. Tapi, ia langsung membuang pikiran jelek yang hadir di dalam benaknya.

"Dan ini adalah Bukit Teletubbies."

Di depan mereka terhampar sebuah bukit hijau mirip bukit dalam acara Teletubbies.

"Kenapa dinamakan Bukit Teletubbies, Mas?" tanya Jingga.

"Anda pasti tahu acara anak-anak di tahun 2000 an yaitu Teletubies. Ada Tinky Winky, Dipsy, Lala dan Poh."

"Ya, ya, ya, saya ingat. Dulu saya waktu kecil suka menonton acaranya Teletubbies."

Mereka kembali cekrak-cekrek. Langit mengagumi gadis cantik itu di kamera smartphone. Ada sebuah bisikan yang keluar dari hatinya. Dan ia hanya bisa meresponsnya.

"Tidak mungkin gadis secantik Jingga jika belum memiliki pasangan."

Selesai berselfok ria, mereka mengunjungi Bukit Widodaren, Bukit Cemoro Lawang, Jurang Perahu, dan terakhir kawah puncak Bromo.

"Di sinilah, dulu kala, nenek moyang Suku Tengger melakukan semedi. Memohon kepada Sang Hyang Widi agar dikaruniai anak."

Di depan sana kawah neraka mengeluarkan asap tebalnya yang membumbung ke angkasa raya.

"Lalu, apakah doa mereka dikabulkan?"

"Ya. Hanya orang yang berhati putih doanya cepat terkabul. Dan keduanya adalah hamba yang senantiasa menjaga hatinya agar tetap bersih."

"Siapa nama yang laki-laki?"

"Joko Seger dan Roro Anteng. Seger itu waras, sehat. Dan anteng itu pendiam, tidak ganjen macam cewek-cewek sekarang suka tiktokan gak jelas."

"Terus, apakah keduanya kini telah moksa?"

"Ya. Mereka bereinkarnasi sampai kelak hari kiamat dan ruhnya diterima oleh Sang Maha Urip."

Jingga manggut-manggut.

Di langit sana, matahari berada di atas ubun-ubun. Teriknya tidak terasa saking dinginnya kawasan Bromo. Hanya terasa hangat-hangat kuku. Sudah saatnya kembali ke motel untuk rehat dan makan siang.

Sesampai di motel, Bu Broto tampak ngobrol dengan seseorang. Langit tidak bisa melihat dengan jelas orang itu karena posisinya memunggungi dirinya.

"Eh, itu si Langit!" seru Bu Broto menyanbut Jingga dan Langit membuat orang itu ikutan menoleh. Ternyata....

"Fifah!" seru Langit yang berjalan ke arah mereka. Gadis manis yang namanya disebut oleh Langit melihat ke arah Jingga.

"Siapa dia, Mas? Gebetan barumu?" tanyanya dengan nada sinis.

Bu Broto yang mendengar kalimat pertanyaan sarkasme itu tutup mulut.

"Eh, turis dari Rusia," jawab Langit kalem sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan gadis itu.

"Turis apa pacarmu?"

"Turis." Langit melonggarkan ritsleting jaketnya.

"Siapa namanya?" Fifah menyilangkan kedua tangannya di dada. Menatap Langit dengan sinis.

"Jingga."

"Oooh. Aku nggak peduli ya, Mas. Mau namanya Jingga, Kuning, Ungu, Hijau, Merah muda dan Biru meletus balon hijau, kamu harus jujur. Siapa dia?!" Tunjuk tangannya ke arah Jingga yang sama sekali tidak tahu duduk perkaranya.

"Hei, Mbak. Kenapa nunjuk-nunjuk saya?! Ada apa dengan saya?!" Jingga menghampiri Afifah, lalu balik balas menunjuknya.

"Kamu diam, Jalang!" Sengit Afifah.

"Apa kamu bilang barusan? Jalang?! Hei, Mbak. Kita belum pernah saling kenal dan hanya hari ini ketemu. Hati-hati bacotmu itu! Bisa saya tuntut kamu dengan tuduhan memfitnah saya yang bukan-bukan."

"Oh, iya, memangnya berani?! Memangnya kamu siapa?!" Afifah mencibir. "Putrinya jenderal? Menteri Pariwisata? Menteri Pendidikan? Menteri Budaya? Konglomerat? Boss?"

"Saya keponanakannya Jaksa Agung!"

Seketika gadis itu menciut. Begitu juga dengan Bu Broto.

"Tindakan mbak yang telah membuat saya tidak nyaman di sini dan menuduh saya yang bukan-bukan akan saya laporkan ke polisi. Saya akan menuntut mbak di pengadilan!" jawab Jingga dengan tegas dan serius.

Lalu, tanpa permisi gadis berwajah Eropa Jawa itu balik kanan dan berjalan ke arah motel. Bu Broto yang kalang kabut dan cemas dengan ancaman serius gadis itu langsung mengejarnya.

"Mbak, mbak. Mbak Jingga, aduh. Kok jadi gini sih? Mbak Jingga yang baik dan cantik, jangan dilaporkan ke polisi ya? Mungkin mbak itu salah paham karena melihat Mas Langit jalan bareng sampean. Saya mohon kejadian ini jangan sampai dibawa ke ranah hukum ya, Mbak?"

"Saya tidak diterima dituduh dan dikatakan yang tidak-tidak, Bu. Dan semua sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Lagian di sini saya hanyalah turis. Bukan untuk mencari pasangan apalagi mau merebut milik orang. Saya sudah punya tunangan!" ucap Jingga tegas. Tapi, kalimat terakhir itu sungguh mengena di hati Langit.

"Saya sudah punya tunangan!" berulang-ulang kalimat ini memantul-mantul di telinga Langit, dan entah kenapa ia merasa ada sesuatu di dalam hatinya.

"Ya kan, dia sudah bertunangan? Apa kubilang?" sepotong hatinya berbisik di telinganya.

"Ah, kamu lagi. Ngapain kamu masih menemuiku?! Bukankah kamu mau menikah dengan Rafi? Tapi, ngapain masih ke sini?" Langit gregetan pada Afifah.

"Rafi telah menipuku."

"Itu urusanmu! Mau ditipu kek, dipalak, ditinggal, dinikahi, terserah! Bukan urusanku!" Langit meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam motel. Afifah menginjak-injakkan kedua kakinya ke tanah.

Bu Broto diam. Jingga juga diam. Keduanya sama sekali tidak menghiraukannya. Lalu, Broto mengajak Jingga masuk ke dalam motel.

Jingga tampak cemas dan bingung. Ia mengeluarkan isi tasnya ke atas kasur. Kadang ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dibongkarnya lagi tumpukan pakaian yang kusut karena habis diacak-acak itu.

"Aduh, di mana ya kusimpan? Perasaan kemarin pas mau berangkat kusimpan di dalam kotaknya. Tapi napa kok nggak ada ya?" Gadis itu menggaruk kepalanya. Terbayang saat itu tunangannya akan memarahi dirinya karena telah menghilangkan cincin tunangannya.

"Kamu itu bagaimana? Ceroboh amat jadi perempuan! Cincin kok disimpan-simpan! Bukannya dipakai di jari! Kalau hilang begini, bagaimana? Siapa yang mau disalahkan? Dasar otak kerbau! Nggak mikir! Memangnya itu cincin murahan?! Kamu tahu nggak berapa harga cincin itu heh? Tiga puluh juta dolar Amerika!"

Ia masih ingat waktu pesta pernikahan sepupunya beberapa bulan yang lalu. Ia mengenakan gaun pesta pemberian tunangannya. Saat itu, ia menjadi pusat perhatian para tamu. Ayahnya tidak berkutik ketika ia dimarahi habis-habisan oleh lelaki borju itu cuma karena tidak sengaja mengotori gaunnya dengan tumpahan es krim.

"Kamu itu nggak bisa hilang cerobohnya! Percuma kuliah tinggi-tinggi sampai ke Oxford, tapi otak yang dipakai otak ayam! Semestinya rektor Oxford tidak menerima calon mahasiswi bodoh macam kamu. Coba tengok apa yang kamu lakukan! Gaun mahal kau kotori dengan es krim! Kamu tahu nggak berapa harga gaun yang kubeli itu? 800 US Dolar! Dan itu gaun limited! Payah kamu, Jingga!"

Saat ia minta dibela ayahnya, justru ayahnya menggeleng-geleng.

"Dasar anak ceroboh!"

Ia tidak ingin hal itu tidak terulang lagi. Lalu, ia mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah membongkar tasnya.

"Di mana ya? Aduh... "

Seketika ia seperti memperoleh ilham dari langit.

"Ah iya, di rumah Bibi Rahma! Aku harus segera ke sana! Tapi, aku liburanku di sini belum selesai. Ah, gampang. Eits. Tapi, masa aku ke sana naik pesawat lagi? Mana saldo tabunganku menipis lagi. Dan ayah tidak ngasih sedolar pun aku uang jajan. Bagaimana ya?" Gadis itu duduk di tepi tempat tidur. Berpikir. Mencoba memecahkan masalahnya seorang diri. "Ah iya!"

Jingga turun ke lantai satu. Bu Broto baru saja mau mengantarkan makan siang buat Jingga.

"Mbak Jingga kok buru-buru? Mau ke mana?"

"Bu, Mas Langit ada?"

"Tuuuh!" Kepalanya menunjuk ke arah Langit yang sedang duduk di kursi yang berada di luar motel. Jingga nyengir. Ia menghampiri Langit.

"Mas, bisa aku minta tolong?"

"Minta tolong apa, Mbak?"

"Saya mau mencari cincin saya yang hilang, Mas."

"Hilang? Hilang di mana, Mbak?"

"Di rumah budhe saya."

"Di mana budhenya tinggal?"

"Surabaya. Bisa ya, Mas? Cincin itu harus segera ditemukan. Sebab jika sampai saya pulang dan tidak pakai cincin itu, tunangan saya bisa memaki-maki saya."

"Kok bisa sampai hilang gitu sih, Mbak?"

"Saya malas pakai cincin itu, Mas."

"Malas? Kenapa?"

"Sudahlah, Mas. Jangan banyak tanya. Cepetan kita cari. Untuk ongkos biar nanti saya bayar lebih deh."

Berangkatlah mereka untuk mencari cincin tunangan milik Jingga, ke Surabaya.

"Tadi itu siapa sih, Mas?"

"Oh, itu mantan tunangan saya, Mbak. Dia sebenarnya telah meninggalkan saya. Termasuk membatalkan rencana pernikahan."

"Kenapa?"

"Karena mantan pacarnya jauh lebih mapan pekerjaannya ketimbang saya. Mantan pacarnya juga teman sekelas saya dulu. Kini diangkat menjadi kepala desa. Kepala desa keparat!"

Jingga manggut-manggut. Lalu, kedua matanya melihat sebuah keramaian di sebuah tanah lapang. Ada banyak orang berkerumun di sana. Juga sayup-sayup bunyi alat musik gamelan bertalu-talu mengundang decak kagum para wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Jingga tertarik untuk menonton.

"Ayo, Mas, kita ke sana!"

Langit mengarahkan jeepnya ke sana. Ternyata di sana sedang ada pertunjukan kesenian. Keduanya saling berdesakan dengan para penonton yang tidak hanya wisatawan luar negeri, tapi juga wisatawan lokal. Mereka tampak asyik menikmati tarian kuda yang dimainkan oleh sepuluh orang.

"Ini adalah tari Jathilan. Tarian yang menggunakan kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu. Itu lagi ada tari Reog asli Ponorogo. Ada tari Barongan. Ada tari Ngeremo. Ada tari kuda kencak. Ada tari Jaran Bodag." Langit menjelaskan sibuk membidik para penari dengan kamera smartphone miliknya. Begitu juga dengan Jingga.

Puas menonton tari-tarian khas warga Tengger, Jingga meminta Langit untuk menonton kesenian lain yang ada di Probolinggo. Malam itu, Jingga menonton kesenian Kelabang Songo, tari-tarian di sekolah Tari Sekar Tanjung, pertunjukan teater oleh kelompok pemuda teater kota Probolinggo dan pembacaan puisi di gedung kesenian.

Lalu, perjalanan di lanjut cari makan malam. Langit membawa Jingga menikmati rujak cingur khas kota, tahu campur, rawon, dan seafood, serta minum degan hijau. Terakhir, Jingga membeli buah mangga arum manis buat oleh-oleh keluarganya di Rusia. Sebelum pulang, mereka menghabiskan waktu dengan naik komidi putar di pasar malam. Jingga benar-benar merasakan sebuah kebahagiaan yang belum pernah diberikan oleh tunangannya. Hingga...

"Apaan ini?" Sesuatu yang berkilau keemasan terjatuh ke tanah dari dalam dompetnya. Ia memungutnya. "Cincin?"

Lalu ia berpikir sambil memandangi cincin itu. Sekelebat ingatan betapa riyanya tunangannya. Apa pun yang diberikan kepadanya disebutnya nominal harganya. Jika ia menodai atau merusaknya, lalu lelaki itu akan menyebut betapa mahalnya harga barang tersebut, dan ia menyesali keputusannya karena telah memberikannya pada Jingga. Di mata pria materialis itu cinta dan kebagagiaan itu sama sekali tidak ada harganya.

Tanpa Jingga rasa-rasakan, Langit muncul dan memanggilnya agar segera naik ke mobil.

"Rafi bisa memberikan harta dan uang yang ia punya, tapi ia tidak bisa memberiku cinta dan kebahagiaan. Jadi, buat apa aku harus memakai cincin ini lagi?" kata Jingga membatin.

"Jadi kita nyari cincin itu?" Langit yang duduk di belakang stir bertanya.

Jingga hanya menggeleng.

"Tidak usah, Mas. Kita kembali ke motel saja."

"Kenapa tidak usah?"

"Tidak penting."

"Baiklah. Kita kembali ke motel."

Dalam perjalanan gadis itu memandang ke arah Langit yang fokus menyetir. Lalu, dalam benaknya muncul sebuah harapan dan impian.

"Kenapa yang datang padaku Rafi  bukan Langit?"

Yaa Tuhan, apakah aku telah jatuh cinta pada pria sederhana ini?

***

Keesokan harinya, Jingga mendapat telepon dari si Borju. Tapi, Jingga sama sekali tidak mau mengangkat teleponnya. Ia sudah muak mendengarkan suara berbisanya. Jadi, meski berkali-kali smartphone miliknya berdering tidak ia hiraukan. Biarkan saja. Ketika itu ia fokus menikmati sunrise di depan motel sembari menikmati secangkir kopi khas Tengger. Bahkan ia mengabadikannya dengan kameranya.

Lalu, Broto muncul. Perempuan itu menghampiri Jingga.

"Mbak Jingga jadi pulang hari ini?"

Jingga menggeleng. Tersenyum.

"Kenapa, Mbak? Apakah mbak mau menginap di motel saya ini selamanya? Hahaha. Bercanda, Mbak."

"Saya akan menetap di sini, Bu. Saya akan tinggal di Bromo. Selamanya. Karena saya telah jatuh cinta." Ia memandang ke pucuk gunung.

"Jatuh cinta sama siapa, Mbak? Sama Langit ya? Yeee." 

"Jatuh cinta sama gunungnya, hutannya, air terjunnya, pasir berbisiknya, dan .... pada Langit. Di sinilah Jingga menemukan pasangannya, cintanya, yang akan menemaninya sampai akhir hayatnya."

"Kisah cinta mbak sama seperti yang saya rasakan dulu. Di sinilah saya menemukan jodoh dan cinta. Jodoh pada Bromo dan cinta pada suami saya, Pak Broto. Meski Pak Broto telah moksa bersama Dewa Bromo, tapi jiwanya masih hidup di hati saya." Bu Broto menitikkan air mata. "Saya akan tetap di sini dan akan dikubur di sini."

Kedua perempuan itu sama-sama saling menatap langit jingga keemasan. Matahari telah tumbang, menciptakan bayangan siluet para penunggang kuda dan pemandangan sunset di balik punggung Bromo. []


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)