Masukan nama pengguna
Dulu, aku selalu lantang berkata kepada teman-temanku:
"Lepaskan saja pria yang telah menduakan cintamu. Dia tidak pantas untukmu. Mengapa harus mempertahankan rasa sakit di dalam badan?!"
Kalimat itu seperti mantra. Seolah aku tahu cara hidup yang paling benar. Seolah aku kebal dari luka yang sama.
Namun, hidup rupanya punya selera humor yang pahit. Hari ini, aku menjadi tokoh yang biasa kucerca. Aku menggenggam sesuatu yang menyakitiku hari ke hari. Sesuatu itu bernama Yudha, suamiku.
Aku menemukan obrolan mesra di akun media sosialnya tiga bulan lalu. Bukan karena mengendap-endap atau mencurigai. Aku hanya membuka laptopnya, ingin mencari foto lama untuk dibuat album ulang tahun anak kami. Ternyata Tuhan iseng, menyelipkan rahasia di antara tab yang terbuka.
Namanya Shella. Ia memanggil suamiku dengan sapaan yang kukira hanya milikku: “Sayang.”
Yudha membalas. Hangat. Penuh rindu. Bahkan ada kalimat yang tak pernah kudengar lagi sejak kami menikah: "Setiap bersamamu aku merasa nyaman. Kamu tempat terbaik yang aku miliki saat ini."
Aku membacanya berulang kali. Pilu. Perih. Ironi. Jijik. Menjilati ludah sendiri.
Ingin kutertawakan diri ini. Ingin kujambak perempuan yang pernah menyuruh temannya meninggalkan kekasih yang selingkuh. Akan tetapi, yang kulihat di cermin kini adalah perempuan yang diam, yang tidur bersebelahan dengan kebohongan setiap malam, yang masih membuatkan kopi untuk pengkhianat tiap pagi.
Mengapa aku diam?
Karena anakku. Karena rumah ini. Karena kenangan. Karena semua hal bodoh yang pernah kuolok-olok dari luar lingkaran. Karena cinta, atau mungkin karena ketakutan untuk sendiri. Aku belum siap menopang hidup tanpa memiliki sandaran untuk berbagi beban, walau ia merupakan bagian terbesar dari beban tersebut.
Tegar. Kuat. Mandiri. Sesekali bertahta di kepala. Aku mencoba merangkai kalimat perpisahan ribuan kali.
"Aku tahu tentang dia."
"Kita cukup sampai di sini."
"Aku berhak bahagia."
Lucunya, mulutku kelu setiap kali Yudha mencium keningku sebelum berangkat kerja. Tubuhku membeku. Untaian kata cintanya mengendap di batin, merantai keberanianku untuk mengungkap kepalsuannya.
Aku mencintainya. Aku membencinya.
Malam-malamku dipenuhi resah dan tanya yang tak berani kujawab. Kelam. Suram. Muram. Segalanya mencumbu dengan ujung tombak yang tajam.
Apakah dia akan memilihku jika aku menuntut pilihan?
Apakah dia menyesal?
Apakah dia masih mencintaiku, atau hanya menghargai peranku sebagai ibu dari anaknya?
Terkadang, saat ia tertidur, aku menatap wajahnya lekat-lekat, mengurai keraguan: apakah ini lelaki yang sama yang menangis saat aku demam, yang pernah mengusap perutku saat janin kami menendang untuk pertama kali?
Jawabannya selalu sama: ya. Namun, ia juga lelaki yang membagi hatinya dengan orang lain, dengan sadar. Ia bukan tersesat. Ia memilih tempat yang baru tanpa menjelaskan letak kesalahanku
Aku tidak mau menjadi wanita yang tinggal demi anak, tetapi aku juga belum siap menjadi wanita yang pergi demi harga diri.
***
Aku berdiri di dekat meja makan. Jari-jari mencengkeram tepian kayu yang sudah usang, seakan bisa menahan badai yang mengguncang dadaku.
Suamiku mendekat. Bau asap rokok dan malam menempel di bajunya. Ia menjatuhkan diri ke kursi. Gerakan biasa, tetapi terasa seperti ejekan. Aku tak bisa lagi menahan bara yang sudah membakar habis kesabaranku.
“Mas,” ujarku. Suaraku kuat, tetapi bergetar di ujung huruf. “Aku sudah tahu tentang Shella.”
Ia menoleh, matanya menyipit, mencari-cari celah di wajahku. “Shella?” ulangnya, dengan nada polos yang membuat darahku mendidih. “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentakku. Tak bisa lagi menahan retakan dalam bibir. “Aku baca semua di laptopmu. ‘Sayang’, ‘tempat terbaikku’—kata-kata yang dulu kamu bisikkan ke telingaku saat kita masih punya mimpi bersama. Tapi sekarang menjadi miliknya.”
“Sayang, aku nggak mengerti. Apa yang sebenarnya sedang kamu bahas.” Ia berlakon lugu.
Aku melangkah mendekat, menatap lurus matanya, mencari sisa-sisa lelaki yang pernah kucintai. “Kamu pikir aku buta? Atau kamu sengaja, biar aku yang mati perlahan menelan dustamu?”
Yudha menghela napas, tangannya menggosok tengkuk. Aku tahu ia tengah bingung menyusun pembelaan atau alasan.
“Bukan begitu,” ucapnya pelan. Menebar alunan mesra seperti ingin meredam badai yang sudah telanjur mengamuk. “She… Shella cuma… teman. Kami nggak ada hubungan apa-apa.”
“Teman? Sedungu itukah aku dalam menafsirkannya?” Aku menyambar kata-katanya. “Teman nggak akan saling memanggil ‘sayang’, Mas. Teman nggak akan buat kamu lupa bahwa kamu masih memiliki istri.” Aku menunjuk dadaku, tempat luka menganga. “Kamu jahat. Tega. Aku nggak nyangka lelaki yang selalu aku banggakan, di depan keluarga dan teman-temanku, melakukan hal sebrengsek ini.”
Aku begitu lantang menasihati teman-temanku. Aku mengaku-ngaku paling paham mengenai harga diri, yang dengan yakin mengucapkan cinta tidak layak dipertahankan jika hanya menorehkan luka. Sekarang, aku berdiri di sini, memukul kepalaku sendiri. Menyadari membangun benteng rumah tangga tak semudah menyusun puzzle.
Yudha bangkit. Ia mencoba meraih tanganku. Aku menepisnya. Tubuhku menggigil. Semua organ berbisik tentang keputusan.
“Jangan sentuhku aku!” ucapku, keras dan tegas. “Kamu nggak punya hak lagi. Kamu jadikan dia rumahmu yang kamu bilang teduh. Mungkin juga dia telah lama menjadi pelampiasan hasratmu. Atau mungkin kamu sedang menuju untuk memilihnya seutuhnya. Dan aku cuma jadi penutup lubang di hidupmu yang sekarang.”
“Kamulah hidupku,” katanya, memohon. Namun, matanya berkabut, penuh keraguan yang tak bisa disembunyikan. “Shella cuma sebuah kekhilafanku.” Akhirnya, ia mengaku. “Aku sangat mencintai kamu dan anak kita.”
“Kekhilafan?” Senyum pahit melengkung di bibirku. “Kamu nggak khilaf. Kamu sengaja. Jika aku tidak tahu, semuanya akan tetap kamu simpan sebagai rahasia dan pengkhianatan.”
“Aku janji akan ninggalin dia secepatnya.”
“Janji?” Aku menggeleng. “Untukku? Sementara kamu mengucapkan hal yang sama kepadanya.”
Ia membisu. Hening mengelilingi. Rasanya aku ingin menumpahkan semuanya hingga tak ada satu pun duri yang tertinggal.
Aku memejamkan mata. Ruang makan mendadak pengap, meski jendela terbuka lebar. Udara dingin malam merambati kulitku, tetapi panas amarah masih menggelegak di dada. Aku ingin menjerit, ingin memaki, ingin mengusirnya keluar dari rumah ini. Namun, suaraku tercekat di tenggorokan.
Yudha duduk kembali, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja, seakan sedang menunggu vonis. Aku melihatnya berbeda malam ini. Bukan lagi lelaki gagah yang dulu membuatku jatuh cinta, melainkan sosok rapuh yang tengah bergulat dengan dirinya sendiri. Ada rasa bersalah di wajahnya, tetapi juga ada banyak kesangsian yang kutangkap. Aku benar-benar kehilangan huruf untuk membacanya.
“Kamu pikir aku nggak sadar selama ini?” suaranya pecah. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku kejam. Tapi aku juga bingung. Ada bagian dari diriku yang hilang sejak lama. Shella datang, dan entah kenapa aku merasa diingatkan lagi bahwa aku masih hidup. Aku bukan cuma mesin pencetak uang, bukan cuma ayah atau suami yang harus kuat. Dan dia membuatku merasa dilihat.”
Aku tertegun. Ada sisi yang hendak merengkuh penjelasannya. Pun, ada sisi lain yang gemetar menahan dorongan untuk menamparnya.
“Dan aku?” tanyaku, terisak. “Aku yang menemanimu jatuh-bangun, yang melahirkan anakmu, yang menutup semua kelemahanmu dari mata orang lain—apa aku nggak pernah cukup untuk membuatmu merasa ‘hidup’ lagi?”
Ia menunduk, wajahnya menegang. “Kamu selalu cukup. Justru itu masalahnya. Kamu terlalu sempurna… sampai aku malu dengan diriku sendiri. Aku jatuh bukan karena aku nggak sayang. Aku jatuh karena aku lemah.”
Aku menggenggam meja lebih erat. Berpegangan supaya tak terjatuh dalam kubangan kesalahan yang menyudutku secara halus. Kata-katanya menembus hatiku. Bagaimana mungkin aku menjadi korban dan pelaku sekaligus?
“Kalau aku bertahan,” lirihku getir, “itu karena aku ingin rumah ini tetap utuh untuk anak kita. Tapi jangan salah. Aku bukan perempuan yang nggak punya pilihan. Aku bisa pergi kapan saja. Aku bisa melepaskan kamu, meski semua kenangan kita menjeratku.”
Yudha menatapku, matanya merah, berkaca-kaca. “Aku nggak mau kamu pergi. Aku janji akan berubah.”
Aku tersenyum miris. “Cukup. Jangan mengatakan soal janji terus!”
Aku berdiri, menarik kursi dengan suara gesekan yang menusuk telinga. “Besok, kita akan bicara lagi. Dengan kepala dingin. Aku butuh waktu. Aku butuh ruang. Dan jangan berani menutupi apa pun lagi dariku.”
Yudha ingin berkata sesuatu, tetapi urung. Ia hanya menunduk, wajahnya terkubur di telapak tangan.
Aku melangkah meninggalkan meja makan. Setiap langkah terasa berat, tetapi juga melegakan. Di kamar, aku bersandar di pintu yang terkunci, membiarkan air mata mengalir tenang.
Malam kian dalam. Dari balik jendela, kulihat bayangan pohon bergoyang diterpa angin. Ia menyerupai tubuhku yang ringkih menahan gemuruh luka.
Di antara tangis dan pedih yang meronta, aku menyadari satu hal: teori tidak selalu berbanding lurus dengan praktik kenyataan. Meskipun begitu, setidaknya, ada ucapan yang bisa kugenggam sebagai penguat dan pengingat.