Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,050
Kerja / Dikerjain?
Slice of Life

“Sebentar tanggal 20 dan saya tidak mau kalau sampai banyak revisi lagi seperti bulan lalu ya!” Suara Pak Sahlan lantang, setengah marah. Bagaimana tidak, dia baru saja dapat telepon dari HO (Head Office) kalau ada beberapa data yang dikirim kesana yang masih salah.

“Paham kau, Latifah?” Tanya Pak Sahlan dengan logat Bataknya yang kental.

“I-iya, Pak, paham.” Latifah menjawab terbata.

“Anggun?” Ia beralih kepada Anggun.

Anggun menunduk, dari raut wajahnya ia berusaha keras menahan rasa kesalnya, bertahun-tahun mengenal dia, itu salah satu wataknya yang tentu saja sudah aku hafal betul. “Iya Pak, paham.” jawabnya singkat. Kemudian Pak Sahlan beralih padaku, tatapannya tajam.

“Kau juga, Rolly, saya tahu kau juga baru saja bergabung di perusahaan ini, hanya lebih dulu saya sehari join disini. Tapi kau juga harus mampu menunjukkan kinerja kau, kuasai semua alur pekerjaan secepatnya. Paham kau?”

“Paham, Pak.”

“Sudahlah, kalian kerjakan semua yang disuruh HO untuk revisi, saya mau pulang dulu. Kalian juga kalau sudah capek betul pulang saja, tapi ingat itu semua harus selesai dan bisa dikirim paling lambat besok siang.” Ia berlalu mengambil tas, mematikan lampu, mengunci pintu ruangannya, dan beranjak pergi ke luar.

Anggun mengancam tampar, mengomel menggunakan bahasa daerahnya yang tak kupahami. Sementara Latifah buru-buru menutup dan mengunci ruangan HRD dengan mimik wajah manyun.

“Kalian kalau sudah capek, pulang saja,” Latifah meniru gaya bicara Pak Sahlan, “kalau sudah capek? Kita boleh pulang kalau nih badan udah capek doang, lah gimana mau pulang kalau kerjaan aja revisi terus!” lanjutnya mengomel sambil kembali duduk.

“Terserah, terserah, aku mau makan mie dulu, lapar tau! Itu air panas nyalakan, Rolly! Aku mau ke toilet dulu.” Ujar Anggun bergegas keluar, di depan itu ia menyapa seseorang. “Eh, ada ayang Yogi!!! Mmhh, kesayangan aku, kamu nungguin aku ya?!” Pintu ditutup.

“Yah, malah ngegombal dia!” Aku yang sebenarnya sudah lelah sekali, sambil kembali memilah Surat Perintah Lembur yang berhamburan di atas mejaku bergumam.

“Punya atasan kok nggak guna ya, Roll. Masa bisanya cuma nyuruh doang, gue juga bisa kali kalau begitu.” Latifah mengomel, sambil bekerja di komputernya.

“Tau tuh, kerjaan dia kok malah admin-admin kayak kita gini ya yang ngerjain, ya pasti banyak salah lah, kerjaan kita aja nggak kelar.”

Pintu terbuka kembali, Anggun masuk sambil bernyanyi lagu dangdut. Ia mengambil HP dan Speaker, lalu menyalakan musik. “Rolly!!! Ifeh!!! Ayo joget jangan kusut gitu ah muka kalian!!” Anggun seperti dirasuk biduan, ia berjoget dan bernyanyi di depan kami. Sementara aku dan Latifah mau tak mau akhirnya tertawa melihat tingkah konyol teman kami itu. Pukul 19.12 WIB, kami semua tertawa di tengah penderitaan pekerjaan. Itu semua adalah salah satu cara untuk menolak stres.

Di mana kami? Di tengah hutan. Hah? Iya, mungkin sebagian kalian tidak percaya. Tapi begitulah adanya. Di sebuah perusahaan yang bergerak di instansi pertambangan, sebut saja PT. TSL, yang menambang batu bara untuk diserahkan kepada Perusahaan ownernya yakni PT. TIS untuk kemudian diproses lebih lanjut. Perusahaan tempat kami bekerja saat ini merupakan sebuah perusahaan kontraktor, dimana dia bekerja mengejar target hasil produksi. PT. TSL mempunyai beberapa cabang Site atau tempat dan lokasi untuk melakukan penambangan batu bara. Salah satunya Site TIS ini. Di sebuah desa yang ada di salah satu kabupaten, Kalimantan Tengah, kalian harus menggunakan Klotok (perahu kayu yang memiliki mesin, mirip seperti speed boat) untuk sampai ke pelabuhan atau Jetty Site TIS tersebut. Dan kalian harus naik lagi menggunakan Bus Perusahaan untuk perjalanan menuju Kantor Site dan Mes tempat tinggal para karyawannya sejauh 14 KM di dalam hutan. Jalan tersebut tanpa aspal, jika hujan perjalanan sedikit terkendala apalagi untuk transportasi yang tak memiliki kemampuan khusus untuk menerjang jalanan berlumpur.

Sebelumnya aku juga sudah pernah bekerja di tambang, selama kurang lebih tiga tahun, namun tempat kerjaku dulu tidak sejauh yang sekarang. Sejujurnya aku tidak ingin kembali lagi ke dunia pertambangan, sebab aku tahu jika tidak kuat mental maka kita tidak akan mampu bertahan lama di sana. Dan aku sepertinya sudah lelah di samping itu bahwa hal tersebut juga bukan passion ku yang sebenarnya. Aku resign dari tempat kerja sebelumnya, karena sering sakit, kerja berlebihan di luar jam kerja membuatku kekurangan waktu istirahat. Seusai mengundurkan diri, aku istirahat di rumah beberapa bulan lalu ingin pindah ke Yogyakarta, namun niat tersebut terpaksa harus ditunda sebab Covid-19 melanda dimana-mana. 

Aku berdiam diri di rumah. Selama 22 bulan. Selain karena keuangan yang terpaksa harus terpakai karena permasalahan keluarga yang sayangnya belum bisa kuceritakan saat ini, aku akhirnya menerima tawaran temanku untuk kembali bergabung di tempatnya bekerja saat ini. Anggun adalah temanku di perusahaan yang dulu, setahun setelah aku mengundurkan diri, ia juga ternyata mundur, namun karena memang passion di pertambangan maka ia pun masih lanjut menjelajahi hutan belantara. Dan aku, kini terlibat di dalamnya. Oh tidak!! Ini kan bukan passion, dan bukankah aku sudah bertekad untuk tidak kembali lagi ke dunia itu? Uang. Oke, kini kalian tahu bahwa uanglah yang membuatku akhirnya mau.

*** 

“Udah yuk, guys, ayo kita pulang! Lihat tuh udah jam berapa.”

Aku dan Latifah menatap gamang jam dinding, pukul 22. 09 WIB. Kami saling tatap dengan muka lelah.

Kami bertiga pulang jalan kaki, untung malam cerah kali ini, itu artinya kami tidak harus kesusahan berjalan di tanah becek.

“Oh Tuhan… dimanakah jodohku, aku mau nikah biar nggak usah kerja lagi!!” Anggun berceloteh.

Latifah yang terpingkal melihat tingkah teman kami itu pun menjawab, “nggak ada Anggun, jodohmu masih pacaran sama orang lain, lima tahun lagi mereka baru putus!”

Kami semua tertawa sepanjang jalan pulang. Bulan tertutup awan, malam kian menua. Besok subuh kami harus segera kembali bekerja.

*** 

Kalian mungkin bertanya-tanya, bagaimana rasanya bekerja di dalam hutan? Yah, rasanya ngeri-ngeri sedap. Alias ngeri bagi mereka yang tidak berjiwa suka tantangan, dan terasa sedap bagi mereka yang sebaliknya. Karyawan yang bekerja di Site atau area pertambangan ini, waktu kerjanya telah diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 13. Iya, Undang-Undang yang menjadi kitab suci umat HRD. Kami bertiga berada di bawah departemen HRD, yang dikenal dengan departemen paling sibuk di dunia pertambangan. Dan menurutku, bukannya hanya pertambangan ya, tetapi juga di instansi lain.

Di sini, kami bekerja selama 70 hari, jika sudah sampai angka itu, maka kami berhak untuk cuti atau Istirahat Periodik selama 14 hari. Siklus tersebut terjadi selama 70 hari berikutnya ketika masuk bekerja kembali setelah masa istirahat periodik berakhir. Dan selama 70 hari tersebut, kami diwajibkan untuk Off Day yaitu istirahat satu hari setiap 13 hari bekerja, maka di hari ke 14, kami harus Off Day. Itu semua merupakan tantangan yang besar tentunya, apalagi jika memiliki atasan yang oh my god sekali kelakuannya.

“Bagaimana, Latifah, kerjaan semalam sudah kau kerjakan?”

“Sedikit lagi, Pak, mungkin 2 jam lagi.”

“Jangan pakai kata mungkin ya, itu tidak pasti. Kau harus bisa memperkirakan kapan pekerjaan itu selesai. Paham kau?”

“Iya Pak, paham. Makanya saya bilang 2 jam lagi.”

“Baik, saya tunggu ya. Anggun, kau nanti periksa pekerjaan Latifah kalau sudah selesai, ya. Jangan sampai ada revisi lagi.”

“Kau, bagaimana progress pekerjaan kau?”

“Saya masih menginput absensi lembur karyawan, Pak.”

“Oke, baik selesaikan segera. Anggun, kau cek juga lah itu kerjaannya Rolly nanti ya.”

Kami saling tatap diam-diam, mengumpat dalam hati masing-masing.


*** 

“Saya ingin resign hari ini juga.” Pak Yusuf yang jabatannya sebagai Mekanik, menegaskan kepada Anggun. Mereka berdua ada di ruang meeting.

“Seperti yang saya jelaskan tadi, Pak, kalau mengundurkan diri harus one month notice dulu, maksudnya bapak mengajukan surat resign nya sebulan sebelum tanggal pengunduran. Jika tidak one month notice, gaji bapak tidak akan dibayar.”

“Tidak bisa begitu dong, saya sudah bekerja sepuluh hari disini, hak saya harus dibayarkan.”

“Pak Yusuf, makanya saran saya Bapak resignnya one month notice saja.” Anggun menghela nafas berat, sudah tiga puluh menit mereka membicarakan hal ini, menjelaskan pelan-pelan kepada Pak Yusuf. Anggun meraih kalender di atas meja. “Nah, hari ini kan tanggal 25 Oktober 2021, jadi Pak Yusuf resign nya per tanggal 25 November 2021. Agar semua gajinya dibayarkan sesuai hari kerja Bapak.”

“Mana bisa saya tanggal segitu, Bu Anggun. Masalahnya saya ini lusa akan bergabung di perusahaan sebelah, saya diterima disana. Kita ambil mudahnya saja, saya keluar hari ini, nanti ketika tanggal terima gaji, upah saya yang sepuluh hari bekerja itu dibayarkan ke rekening saya. Mudah, kan?” jawab Pak Yusuf masih kokoh dengan pendiriannya.

“Pak, saya sudah jelaskan, kalau kami disini hanya mengirimkan pelaporan data saja, yang memproses atau menentukan keputusannya adalah HO di Jakarta, Pak. Lagian Bapak ini sudah menyepakati PKWT kan, disana tertera jelas pasal mengenai pengunduran diri. Itu kesalahan pertama Pak Yusuf, ingin melanggar kesepakatan bersama. Kesalahan kedua, Bapak melamar kerja di tempat lain sementara bapak masih terikat PKWT disini.”

“Saya tidak tahu, Bu, kalau mengundurkan diri harus begini. Ya sah-sah saja kalau saya melamar di tempat lain yang fasilitasnya jauh lebih memadai daripada disini, Bu. Hak saya dong, perusahaan memangnya mau melarang saya? Haha, tidak bisa begitu.”

“Perusahaan memang tidak berhak melarang Bapak jika ingin resign kapanpun, tetapi perusahaan tidak akan melakukan kewajibannya kepada karyawan yang melanggar kesepakatan. Seperti yang saya jelaskan di awal, gaji bapak selama sepuluh hari tersebut tidak akan dibayar. Saya sudah memberikan saran sama Bapak, agar melakukan resign secara one month notice saja.”

“Ah, ribet sekali! Ya ini yang membuat saya semakin tidak betah kerja disini, hak karyawan saja kalian makan.”

“Pak, kami hanya menyampaikan dan memberikan solusi terbaik agar perusahaan dan karyawan tidak saling dirugikan.”

“Tidak saling dirugikan bagaimana, jelas disini saya yang dirugikan. Bu Anggun dan tim itu HRD kan, sudah tugas kalian memastikan hak-hak karyawan terpenuhi.”

“Kami akan pastikan itu, Pak, selagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Bagaimana saya bisa memastikan jika Pak Yusuf saja melanggar begini.”

“Pokoknya saya tetap resign hari ini, semua sepatu, seragam dan perlengkapan lainnya akan saya kembalikan saat jam pulang nanti. Dan tanggal sepuluh bulan depan, saya tunggu gaji saya masuk ke rekening. Permisi, Bu Anggun.” Pak Yusuf beranjak dengan wajah kesal. Sementara Anggun memiliki raut yang berkali lipat lebih kesal saat keluar dari meeting room.

“Iih… kesel banget aku tuh, kenapa sih susah banget buat ngerti.” Keluh Anggun sambil membuka tutup botol minumnya.

Latifah yang melihat tingkat temannya itu langsung mengerti apa yang baru saja terjadi. “Pasti ngeyel kan tuh orang? Emang dia tuh sempet nanya kemarin ke aku, udah dijelasin juga panjang lebar. Dasar kolot, nggak ngerti-ngerti.”

Mataku tak berhenti melihat layar laptop karena pekerjaan yang begitu banyak sambil mendengar ocehan kedua temanku ini. Seperti biasa, itulah yang terjadi. Setiap hari akan selalu ada keluh kesan karyawan. Entah mengenai fasilitas tempat tinggal yang kurang bagi mereka, keluhan signal internet yang masih belum kelihatan progress pembangunannya, dan sebagainya.

***

Semakin lama, pekerjaan semakin tidak menunjukkan perubahan. Yang terjadi justru terasa semakin berat. Bagaimana tidak, jika semua pekerjaan Pak Sahlan ia serahkan ke kami bertiga. Tak ada dari kami yang berani protes. Semuanya selalu menjawab iya ketika diberikan tugas, meski pada akhirnya pasti tidak sempat kami kerjakan.

“Kita kerjain aja semampu kita.” Ujar Anggun.

“Iya, tuh, benar. Tapi kalau dia marah nggak dikerjain gimana? Kerjaan kita aja tiap hari banyak, apalagi pas tutup buku untuk pelaporan data gaji. Aku nggak bisa diganggu, biar nggak banyak revisi.” Aku prihatin.

“Aku mau resign, aku capek tapi cicilan rumahku gimana, tabungan belum banyak.” Latifah menangis.

Anggun turut bersedih, “Aku harus bantu adikku kuliah sampai selesai.” 

Mendengar itu semua aku memikirkan hal yang serupa, aku pun masih butuh uang untuk modalku nanti membuka usaha kecil-kecilan. Apalagi ini baru memasuki bulan kedua aku bekerja disini setelah lama sekali menganggur karena Covid-19. Mendadak semua jadi terasa begitu kalut. 

Setiap hari kami coba melakukan yang terbaik. Bekerja keras menyelesaikan semua meski selalu pulang jam 22.00 WIB dan terkadang lebih. Demi mimpi dan tujuan masing-masing. Waktu tidur terasa kurang. Bahkan kami bergiliran diserang flu dan demam. Jika salah satu ada yang sakit, maka pekerjaan semakin berat.

“Bukannya bulan ini seharusnya uang kompensasi saya sudah masuk?” Tanya seorang karyawan tidak terima.

“Iya, Pak, seharusnya memang bulan ini. Tapi kami terlewat mengajukannya.” Jawab Latifah berusaha sabar.

“Berarti salah kalian. Bagaimana ini, mana istri saya lagi butuh uangnya. Kalian kerja santai dalam ruangan ber-AC begini saja masih sering salah bekerja.” Omel karyawan tersebut.

“Bapak itu kerjanya di lapangan, jadi nggak tahu kan pekerjaan kami di kantor ini seperti apa? Nggak ada pekerjaan yang enak, Pak, semua punya resikonya masing-masing.” Latifah emosi. Melihat kejadian tersebut Anggun mendekati.

“Begini saja, Pak. Kami mohon maaf sebelumnya karena kelalaian kami, kompensasi Bapak tidak masuk. Namun itu bukan berarti tidak dibayar Pak ya. Kami ajukan hari ini agar dibayarkan pada penggajian bulan berikutnya ya, Pak.” Anggun berusaha meyakinkan.

“Terserahlah, saya tidak mau tahu, bulan depan kompensasi saya harus masuk.” Karyawan itu beranjak pergi.

“Baik, Pak. Sekali lagi kami mohon maaf ya.”

Kini kami bertiga saling tatap. 

***

“Kenapa masih terulang?” Suara Pak Sahlan memenuhi ruang meeting. Kami bertiga menunduk. “Anggun, bukannya saya sudah bilang kau harus cek pekerjaan Rolly dan Latifah sebelum dikirim ke HO. Kenapa masih banyak yang salah? HO protes ke saya, saya dianggap tidak bisa membimbing kalian. Padahal setiap hari saya tekankan. Bagaimana saya ingin cepat mempromosikan kamu naik jabatan kalau kesalahan-kesalahan begini masih saja terulang, Anggun? Saya suruh kau, karena saya percaya kepada kau.”

“Maaf, Pak. Banyak karyawan yang keluar masuk ke HRD dan itu mengganggu konsentrasi kami.” Anggun menjawab. “Teman-teman sudah berusaha maksimal, mereka sudah terlalu over dengan jam kerja kita yang selalu berlebihan, tingkat kefokusan makin berkurang.”

“Kalian harus bisa mengaturnya, mau sampai kapan kalian akan terus menjadi admin begini? Kalian itu harus bisa menjadi leader suatu hari nanti. Saya nggak mau nanti di masa yang akan datang mendengar kalian masih saja bekerja sebagai admin. Saya mau kalian jadi bos.”

“Tapi Pak, pekerjaan kami over. Kami nggak mampu ngerjain semua pekerjaan Bapak.” Latifah angkat suara.

“Maksud kau apa?”

“Pak Sahlan memang sudah tiap hari menekan kami agar kami bisa menyelesaikan semuanya dengan tepat akurat. Tapi Bapak menekan, Pak, bukan membantu. Kami kerjanya keteteran begini, bapak hanya diam, nggak ngapa-ngapain.” Latifah masih protes, tangannya bergetar. Aku dan Anggun saling tatap antara senang atau justru sebaliknya.

“Ada yang salah dengan mindset kau, Latifah.” Pak Sahlan memainkan jarinya di meja. “Kau tahu, dulu saya bekerja dengan orang Australia. Posisi saya masih sama seperti kalian, apa yang terjadi? Setiap hari saya dikasih kesempatan oleh bos saya itu untuk mengerjakan pekerjaannya. Itu kesempatan bagi saya belajar menguasai semuanya. Karena saya ingin menjadi bos. Kau tahu betapa bangganya dia sama aku? Saban hari dia duduk manis. Karena saya pun punya prinsip, jangan sampai bos saya bekerja, biar saya saja yang bekerja sampai babak belur. Tak apa, ini kesempatan emas. Lihat sekarang saya bisa berada di posisi sekarang.” lanjutnya.

“Pak Sahlan,” kini giliranku yang bersuara. “Kalau Bapak melakukan itu agar bisa mendapat jabatan yang Bapak impikan, bukan berarti kami juga harus sama seperti Bapak. Kami tidak merasa ini sebagai sebuah kesempatan untuk belajar. Justru menurut saya ini pembodohan, Pak. Semua pekerjaan yang tidak pernah kami kuasai diserahkan begitu saja kepada kami dan kami selalu melakukan kesalahan karena terlalu banyak pekerjaan. HO justru menilai kinerja kami buruk, Pak, karena mereka tahunya kami mengerjakan pekerjaan administrasi sedang Pak Sahlan mereka tahunya Bapak bekerja.” Aku sudah tak peduli, dipecat hari ini pun siap.

“Benar, Pak. Kami bukan Bapak, prinsip kita jelas berbeda. Bapak nggak bisa bilang mindset saya salah, justru mindset saya benar. Saya hanya ingin mengerjakan pekerjaan sesuai jabatan saya, sesuai dengan PKWT yang saya sepakati. Untuk apa saya kerja babak belur, mengerjakan pekerjaan Head HRD tetapi gaji saya setara Admin?” Mata Latifah memerah, menahan tangis.

“Kami nggak mau mengerjakan hal yang belum kami kuasai, Pak. Cukuplah kami belajar dari melayani keluh kesah karyawan saja dulu. Sekarang keputusan terbaik adalah Bapak bantu kami untuk cek beberapa pekerjaan yang belum kelar, agar HO tidak menagih-nagih kita terus.” Anggun mencoba memberi jalan tengah.

“Pandai sekali kalian melawan atasan ya, bari ini saya punya bawahan macam kalian.” Pak Sahlan geleng-geleng.

*** 

“Pak Sahlan resign.” Anggun berbisik.

“Serius?” Aku dan Latifah serempak.

“Iya, aku tahu dari Bu Dian HO.”

“Berarti sebulan lagi dia udah nggak ada disini?” Tanyaku. Anggun mengangguk tersenyum senang.

“Alhamdulillah… berarti surat resign ini aku buang saja.” Latifah mengambil surat yang sudah disiapkannya kemarin dari laci.

“Kenapa dia resign, ya?” Aku penasaran.

“Ya yang namanya atasan cuma bisa nyuruh-nyuruh doang begitu nggak akan sanggup kerja disini. Sistem kita aja masih berantakan gini, kekurangan orang.” Jawab Anggun.

“Kita itu butuh orang yang bisa kerja, bisa bantuin pekerjaan kita, bukan malah yang menambah beban.” Latifah menimpal.

“Lalu yang gantiin dia nanti siapa?” tanyaku lagi.

“Aku nggak tahu, semoga aja yang bisa kerja.” Anggun tertawa kecil. Mendadak semangat kami pulih kembali.

***

Tadinya dengar kabar pengunduran diri yang telah diajukan ke Head Office itu akan membuat kami lebih kuat menjalani satu bulan terakhir bersama Pak Sahlan. Ternyata tidak. Malah semakin parah. Dia seperti sengaja memperbanyak pekerjaan kami. Ditambah pula dengan keluhan-keluhan karyawan yang beragam karakter. Kami disuruh maju menyelesaikannya.

Kejadian yang sama masih sering terjadi. Pulang larut malam sudah menjadi hal biasa, menangis di tengah-tengah kerjaan yang menumpuk menjadi makanan sehari-hari. Hingga sampai di hari terakhir dia bekerja.

Kami berkumpul di ruang meeting.

“Karena ini hari terakhir saya bekerja disini, maka kalian harus tahu satu hal.” Pak Sahlan memulai percakapan.

Kami bertiga saling tatap bergantian.

“Saya sebenarnya ditugaskan oleh pemilik perusahaan, Mr Varlen untuk menguji kalian semua disini.”

Kami sedikit terkejut. Matilah sudah, bukan Pak Sahlan yang terakhir bekerja hari ini, pastilah kami bertiga yang akan mengakhiri ini semua.

“Selama dua bulan disini saya melihat karakter kalian. Kalian memang sangat tangguh dan memiliki loyalitas tinggi. Namun sayang sekali,” Pak Sahlan menghentikan ucapannya, kami menunggu tidak sabaran. “Namun sayang sekali ternyata kalian lebih dari itu.” Dia tersenyum menatap kami bergantian.

“Karyawan seperti kalian inilah yang mesti diapresiasi.” Kami semua kebingungan tetapi tidak ada yang berani bertanya. “Kalian berani mengemukakan pendapat dan prinsip kalian.” Pak Sahlan tertawa seraya bertepuk tangan. “Banyak orang di luar sana yang tidak memiliki nyali sebesar kalian bertiga ini. Saya bangga sekali.”

Kami bertiga kembali saling tatap, tersenyum. Jangan-jangan kami semua akan naik jabatan karena telah teruji. Kami menebak-nebak kejutan apa selanjutnya.

“Ini karena keberanian kalian, terimalah. Tapi dibaca saat saya sudah tidak ada disini. Paham kau semua?”

“Paham, Pak.” Kami serempak.

“Ya sudah, saya pamit dulu, besok pagi saya langsung diantar ke jetty untuk pulang.” Kami berjabat tangan.

“Menurut kalian isi amplop ini apa?” Aku bertanya.

Latifah menebak, “uang mungkin.”

Kami bertiga mendadak bahagia dan tak sabar menunggu hari esok.

***

Keesokan harinya. Di ruangan HRD sudah ada empat orang yang tak kami kenal. Mereka tersenyum, memakai seragam seperti yang kami kenakan. Kalian ditunggu di ruang meeting. Ujar salah seorang.

Kami masuk, seraya duduk di kursi masing-masing. Di atas meja sudah tersedia amplop pemberian Pak Sahlan kemarin. Kami dipersilahkan untuk membukanya. Amplop tersebut berisi surat pemberitahuan bahwa saat kontrak kerja kami berakhir kami tidak akan diperpanjang lagi. Kini kembali kami saling tatap, dan barangkali saling mengutuk dalam hati. Ternyata orang-orang baru ini adalah pengganti kami bertiga, kami diminta menyerahkan semua data kepada mereka.

Mungkin Pak Sahlan benar, kami bertiga seharusnya diapresiasi karena keberanian kami terhadap prinsip dan hak kami. Namun bukan pada perusahaan ini.

Gila. Ini kerja atau perusak mental?

Kami bertiga mengejutkan semua orang dengan teriakan lantah.

“Aaarrrggghhhh!!!!!!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)