Flash
Disukai
0
Dilihat
1,278
Pengecut yang disukai Tuhan
Self Improvement

Hujan turun dengan derasnya, membasahi jalanan kota yang sepi. Di sebuah kamar kecil dengan lampu temaram, seorang pria bernama Arman duduk termenung. Matanya kosong menatap pil-pil yang berserakan di meja. Hidupnya terasa begitu berat. Hutang menumpuk, pekerjaannya tidak kunjung membaik, dan orang-orang di sekitarnya seakan hanya datang untuk menambah luka.

Sudah berkali-kali ia berpikir untuk mengakhiri segalanya. Dalam benaknya, dunia ini tidak adil. Setiap usahanya terasa sia-sia, setiap harapannya hanya berakhir dengan kekecewaan.

Malam itu, ia menggenggam segenggam pil tidur. “Mungkin ini jalannya,” pikirnya. Namun, saat pil hampir menyentuh bibirnya, dadanya terasa sesak. Ia membayangkan tubuhnya tergeletak tak bernyawa, membayangkan bagaimana rasanya perlahan kehilangan kesadaran hingga tidak pernah bangun lagi. Ketakutan menyergapnya. Ia melemparkan pil-pil itu ke lantai.

Keesokan harinya, ia berdiri di balkon apartemennya di lantai sepuluh. Angin malam menerpa wajahnya. “Sekali lompat, semuanya selesai,” gumamnya. Kakinya maju satu langkah, tapi tangannya gemetar. Bagaimana kalau lompatannya gagal? Bagaimana kalau ia hanya patah tulang dan tetap hidup dalam penderitaan yang lebih besar? Ia mundur perlahan, lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustrasi.

Hari demi hari berlalu, dan Arman terus dihantui pikiran yang sama. Ia mencoba mengambil pisau, tapi tangannya gemetar sebelum sempat menggoreskan bilahnya ke kulit. Ia bahkan sempat berdiri di bawah tali gantung, tapi bayangan sesak napas dan tubuhnya tergantung di sana membuatnya mundur lagi.

“Aku ini pengecut…” desahnya setiap kali gagal mengakhiri hidupnya.

Namun, karena ketakutannya, ia terus hidup. Mau tidak mau, ia bangun setiap pagi, bekerja, bertahan, dan terus menjalani hari-harinya yang penuh luka. Ia mulai terbiasa dengan rasa sakit, dengan kekecewaan, dan dengan semua beban yang ia pikul.

Suatu hari, saat duduk di taman kota, ia melihat seorang anak kecil berlari mengejar kupu-kupu. Anak itu tertawa lepas, meskipun berkali-kali gagal menangkap serangga yang beterbangan itu. Arman tersenyum kecil tanpa sadar. Ia tidak ingat kapan terakhir kali tertawa seperti itu.

Dari hari itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil. Langit yang biru, aroma kopi di pagi hari, suara burung yang berkicau. Perlahan, rasa putus asanya tidak lagi sebesar dulu. Hidupnya tetap sulit, tapi ia sudah terbiasa menghadapinya.

Lalu ia tersadar—jika dulu ia cukup berani untuk mengakhiri hidupnya, ia tidak akan pernah sampai di titik ini. Ia tidak akan pernah tahu bahwa seiring waktu, luka bisa sembuh, dan rasa sakit bisa berubah menjadi kenangan.

Mungkin, pikirnya, Tuhan memang menyukai pengecut sepertinya. Pengecut yang tidak berani menyerah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)