Masukan nama pengguna
Sekitar jam 8 pagi. 10 pemuda itu pulang dari sembalun, menuju masbagik, menggunakan mobil bak terbuka. Saat itu cuacanya cerah sekali. Menyusuri jalanan sembalun yang dikelilingi oleh bukit yang hijau, kebun strowberry dengan buahnya yang berwarna merah, persawahan yang ditanami bawang merah bawang putih serta sayuran lainnya, juga pepohonan menjulang tinggi, yang melindungi ketika derasnya hujan serta teriknya matahari, air sungai yang tenang dan jernih membuat batu - batu kecil didalamnya terlihat sangat jelas. Sehingga mata pun tidak berhenti berucap kagum melihat keindahan kaki rinjani itu.
Dari Raut wajah kusam, kemerah - merahan itu, menandakan bahwa mereka berjuang melawan ganasnya alam rinjani. Gunung tercantik sekaligus tertinggi ke 3 di indonesia, membuat gunung ini menjadi impian para pendaki.
Tak terkecuali 'Lalu' (gelar yang digunakan sebagai petanda keturunan bangsawan suku sasak) Majdi yang kelihatannya sangat pucat sekali dari raut wajahnya. 'Lalu' Majdi dengan rasa semangatnya yang tak pernah goyah bagaikan batu karang di tengah lautan. Tapi dia lupa bahwa ada bekas luka di kakinya yang cukup parah. juga karena ia ingin membuktikan kepada teman kelasnya yang sering meremehkan dia, bukannya pujian yang ia dapat, tetapi malah cacian, yang berujung pertengkaran terjadi diantara mereka semua.
"Pasti gaada yang percaya bahwa kamu yang pertama sampai puncak," Ilham. Ucap Arpan pada anak yang bertubuh kurus itu.
Ilham tersenyum malu, "jangankan sampai puncak ar," gumam Ilham, "ke gunung rinjani aja banyak yang ragu atas kemampuanku ini."
"Tapi kamu hebat Ilham," puji Noval sambil menepuk pundak sepupunya itu. "Aku aja yang sudah 2 kali ke rinjani, belum sempat sampai puncak.
"Sekarang kamu udah buktikan kepada orang - orang yang meremehkanmu itu, bahwa kamu juga bisa."
Ilham menundukan kepalanya sambil merenung terharu mendengar pujian Noval tadi. Tiba - tiba pandangannya mengarah ke pria hitam manis berambut keriting itu.
"kenapa ketawa Wak? apakah ada yang lucu," tanya Ilham kebingungan.
"nggak ada Ilham." Tertawa sambil menutup mulutnya. "Di dalam benakku selalu teringat saat kamu dikeroyok monyet, ketika di pelawangan puncak itu.
"Kalau mengingat kejadian waktu itu," Ucap Waken. "Aku selalu ingin tertawa Ilham."
"Tetapi ini lebih lucu lagi Wak," Tutur Ekas.
"Di pos 1 ... Aku, Made, sama Ilham bertanya pada orang yang berkulit hitam itu.
"Dari mana asalnya kak?" tanya kita dengan serius.
"Dengan pede dia menjawab," 'dari atas kaka ....'
Sambil meniru 'logat' (cara berbicara) orang tersebut.
Mendengar itu, mereka semua tertawa bebarengan seperti paduan suara.
"Pa - padahal 'kan kita tanya alamatnya, malah lain yang dia jawab." Tawa Ekas sambil memegang perutnya.
"Ini juga waktu dihutan, sambut Asan. "udah dibilang jangan sebut nama, eh ... Malah dibuat main - main, ada - ada saja Rama sama Waken ini."
"Kenapa ya saat kita pulang melewati hutan itu, rasanya lama ... Sekali?" tanya waken.
"Padahal waktu kita naik di pagi hari itu, nggak jauh sama sekali." Aneh bukan.
"Perasaan kamu aja itu," sahut Ando. "Tadi malam 'kan Kita jalannya lambat, sambil memegang tali, agar tidak tersesat nantinya, sebab itu rasanya jauh sekali."
"Aku juga sempat kepikiran begitu," celetuk Ilham, "kenapa pas kita naik cepat banget keluar dari hutan itu, sedangkan ketika pulang, lama banget rasanya."
"Ndo," panggil Arpan. "Kirain kalian bertiga tadi malam ngga selamat." menatap Ando dalam.
"Ia benar banget," sambung Asan. "Soalnya tadi malam, Rama sama Waken berlari kencang ... sekali dari arah hutan, menuju kita, seakan - akan memberikan kode, bahwa ... kalian itu udah ga ada.
"Lalu ia pergi sama Made, kakak kelas sekaligus teman sekampunya Arpan , tanpa berbicara dulu sama kita."
"Liat kondisi Majdi waktu itu," ungkap Ando, "rasanya aku mau menangis, karena mukanya pucat sekali, bagaikan malaikat maut yang siap menjemputnya.
"Bayangkan saja ... aku dan Ilham menunggu jemputan 1 jam setengah, didekat hutan yang gelap dan sunyi itu.
"Sedangkan jam udah menunjukkan pukul 11 malam, kita masih ada diatas, menjaga majdi yang sedang sakit.
"Itulah pentingnya kita saling membantu... bukannya malam ninggalin!" sindir Ando, pelan tapi tajam.
Noval yang merasa tersindir, langsung membantah ucapan Ando tadi. "Bukannya kamu yang bilang, 'duluan aja ... nanti kami nyusul,' ucapmu pada kami."
"Ya ... bukan berarti kalian meninggalkan kita gitu aja dong!" sergah Ando dengan mata mendelik.
Noval terus mengelak, dia membela dirinya yang terus disalahkan ando tadi. "Salah siapa? kamu yang ngga mau dibantu, padahal kita mau nunggu kamu waktu itu."
"Masa kamu tega ninggalin kita gitu aja, padahal ini teman kelas kam ...."
"Udah - udah!" seru Arpan yang mencoba melerai mereka berdua, "yang penting sekarang kita semua sehat, selamat. "Nggak usah bahas itu lagi, yang berlalu biarkan saja pergi dengan sendirinya. "
Mereka berdua terdiam, lalu menudukkan kedua bola matanya ke bawah sambil menghela napas. Semua saling pandang satu sama lain.
"Lagian Majdi juga terlalu memaksakan diri, seolah - olah tak mau kalah sama omongan teman kelasnya itu," cela Ekas.
"Iya benar banget tuh," cibir Ando dengan mulutnya yang manyun, Aku aja sebenarnya bisa sih, tapi aku tidak mau kalah sama ego aku sendiri."
"Mana bisa kamu sampai puncak Ndo, manjat tembok aja gabisa." Ejek Asan pada pria besar itu.
Ando terlihat tidak merespon apapun, dan memilih melihat pemandangan di sekitarnya, agar emosinya cepat redup.
"Tapi aku bangga sama kamu Ndo," batin Ekas sambil memandang pria yang bertubuh besar itu. "Walaupun dengan kekurangan mu itu, tak lantas kamu berhenti berjuang. Juga kamu tidak memaksakan egomu sendiri."
Ia mengingat ketika membantu ando naik di tebing punggungan puncak sebelum Letter - E itu. Ando memilih untuk turun, sedangkan Ekas melanjutkan sampai puncak, padahal ia tak tega melihat Ando turun sendirian. Tapi disisi lain, ia juga pengen banget sampai puncak.
Sementara itu rama dan made yang mengendarai sepeda motor, terlihat sangat canggung. "Rama aku minta maaf ya," sesal Made, karena membentak Rama depan teman - temannya juga dekat Pak Kades.
"Iya gapapa Made," kata rama dengan nada lirih. "Aku juga yang salah, cara melerai mereka berdua, sedangkan jelas - jelas disitu ada Pak Kades yang membantu kita."
"Sebenarnya tadi malam ... aku mau pulang sama Ando, tapi aku tahan ... karena bukannya malah nyelesaikan masalah ... tapi malah nambah masalah nantinya."
"Yang terpenting kita semua sehat, selamat, ga kenapa - kenapa." Ucap Made dengan rasa syukurnya.
"Untung saja Roji tidak di izinkan ikut muncak ke rinjani sama orang tuanya," kilah rama, "jadi kamu yang menggantikannya, kalau kamu tidak ikut, aku udah nggak tau bagaimana kondisi kita waktu itu."
"Ada hikmahnya Rama," cakap Made sambil tersenyum. "Padahal aku juga ngga ada persiapan apapun sebelum muncak ke rinjani, tapi arpan yang mengajak aku untuk ikut serta dalam perjalanan kali ini."
Sedangkan dibagian depan mobil bak terbuka itu, Majdi sama 'Amaq' (bapak) Sandi sedang berbicara.
"Paman liat dari tadi kok mukamu pucat sekali Jdi?" sapa 'Amaq' Sandi, Supir mobil bak terbuka itu.
"Ga kenapa - napa kok paman," dalih 'Lalu' Majdi, Dengan senyum terpaksa. Ia nggak mau 'Amaq' Sandi tau tentang kondisinya semalam, karena bisa saja nanti memberi tahu Ibunya.
Sedangkan situasinya baru saja ditinggal oleh Ayahnya 3 bulan yang lalu, Sebab itu ia menyembunyikan kondisinya, agar ibunya tidak sedih.
'Amaq' Sandi terus memperhatikan 'Lalu' Majdi dengan serius, terus ia mengalihkan pembicaraannya.
"Sekarang kelas berapa Jdi?" tanya 'Amaq' Sandi.
"Baru saja lulus SMA, paman, Ini janji kita dari kelas 10, kalau lulus nantinya muncak gunung rinjani," jelas 'Lalu' Majdi.
"Wah sama persis, dulu juga paman muncak rinjani pas lulus SMA," waktu itu paman membawa seorang kekasih, gadis cantik dengan rambutnya yang keriting terurai panjang, siapapun yang melihatnya pasti terpikat oleh pesonanya," kilah 'Amaq' Sandi, bercerita sambil tersenyum rindu.
'Lalu' Majdi tidak terlalu banyak bicara, karena kondisinya belum pulih, dia terus memperhatikan cerita 'Amaq' Sandi.
Tak lama diapun berbicara setelah 'Amaq' Sandi berhenti bercerita.
"Makasih ya paman, ujar 'Lalu' Majdi, "atas tumpangannya tadi malam, kalau saja tidak ada paman, mungkin kita tidur di pinggir jalan semalam."
"Iya jdi, udah gapapa," jawab 'Amaq' Sandi, "ini juga udah tugas paman, membantu para pendaki yang kesusahan."
SELESAI....