Masukan nama pengguna
Namaku Bila.
Aku kehilangan Ayah dan Ibu saat baru duduk di bangku kelas satu SD. Sejak itu, hidupku tak lagi sama. Rumah demi rumah kutinggali tante, om, berganti-ganti, tapi tak satu pun yang benar-benar bisa kusebut sebagai rumahku sendiri.
Usiaku baru tujuh tahun kala itu, namun hari-hariku dipenuhi tugas-tugas rumah yang terlalu besar untuk tubuh kecilku. Bangun paling pagi, membersihkan setiap sudut, mencuci, menyapu halaman semuanya kulakukan tanpa banyak bertanya. Karena hidup menumpang berarti tak boleh banyak menuntut.
Aku ingin seperti teman-temanku. Belajar dan bermain tanpa beban. Tapi aku harus membiasakan diri dengan bentakan jika salah, atau bahkan hanya karena lupa menyiram tanaman. Tapi aku tak pernah menunjukkan kesedihan. Aku belajar tersenyum, meski di dalam hati aku tahu: sepi itu selalu mengintai saat aku sendiri. Dan rindu itu, rindu pada Ayah dan Ibu, tak pernah benar-benar hilang.
Pagi ini hari libur. Tapi pagi itu juga aku kembali dibangunkan oleh suara tinggi tante Sarah.
“Bila, kamu itu harus tahu diri! Udah numpang, jangan manja!”
Aku hanya bisa menunduk.
“Maaf, tante…” suaraku nyaris tak terdengar.
Om Herman keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak tak tega.
“Sudahlah, jangan terlalu keras ke Bila. Nanti tetangga dengar,” katanya pelan.
“Iya, iya, bela aja terus keponakanmu yang pemalas itu!” gerutu tante Susan sambil berjalan pergi, membiarkan kami berdua di ruang tamu yang kembali sunyi.
Om hanya menoleh padaku.
“Bila, lain kali bangun lebih awal ya. Jangan bikin tante marah lagi.”
“Iya, Om…”
Tak lama kemudian aku mulai membersihkan rumah seperti biasa. Menyapu, mengepel, menyiram tanaman. Padahal perutku kosong sejak tadi malam. Tapi aku terlalu takut untuk makan sebelum diizinkan. Di rumah ini, keterlambatan dianggap kesalahan yang harus dibayar dengan kehilangan hak.
Selesai pekerjaan, aku mencuci seragam sekolahku lalu mandi. Jam sembilan pagi, semua tugas selesai. Aku ke dapur, menahan rasa lapar yang mendera sejak subuh.
“Tante… Bila lapar...” ucapku pelan.
Tante Sarah memutar tubuh dan memandangku tanpa ekspresi.
“Lapar? Tadi kamu telat bangun, jadi makan siangmu nggak ada. Ini makan sekalian buat sarapan dan makan siang.”
Ia menyerahkan sepiring nasi dan sepotong telur dadar. Tanpa kata, aku menerimanya. Aku tahu tak ada gunanya membantah. Setelah makan, aku mencuci piring lalu kembali ke kamar. Rumah mulai sepi tante dan om pergi bersama sepupuku ke luar. Aku ditinggal lagi, seperti biasa.
Kadang aku ingin sekali merasakan hari seperti sepupuku dibelikan mainan, jalan-jalan, tertawa di kursi belakang mobil sambil makan camilan. Tapi sejak Ayah dan Ibu tiada, semua itu hilang. Kini diberi tempat tidur dan kebutuhan sekolah saja aku sudah diajarkan untuk bersyukur.
Di sekolah, aku hanya punya satu teman Mala. Dia baik padaku. Kami suka berbagi bekal, bermain di sela jam istirahat. Tapi ketika lonceng pulang berbunyi, dunia kami berpisah. Aku kembali ke sunyi, dan Mala ke pelukan ibunya yang hangat.
Sepi kembali datang, menyelimuti hari yang tak pernah benar-benar terang. Dan rindu pada Ayah dan Ibu selalu hadir seperti bayangan yang menunggu malam tiba.
Hari-hari berlalu, membawa rutinitas yang tak pernah benar-benar berubah. Setiap pagi, omelan dari tante Sarah seolah menjadi alarm yang membangunkan Bila dari tidurnya. Kadang karena handuk tak tergantung rapi, kadang hanya karena sepatu yang sedikit bergeser dari tempatnya.
Namun Bila tak pernah membalas. Ia hanya diam, menunduk, menelan semua kata yang menyakitkan itu bulat-bulat. Bukan karena tak ingin melawan, tapi karena ia tahu... membantah hanya akan memperpanjang amarah.
Di matanya, diam adalah cara paling aman untuk bertahan. Dalam diamnya, ia menyimpan rindu, letih, dan doa yang tak pernah berhenti ia bisikkan semoga suatu hari nanti, hidupnya tak lagi diwarnai dengan bentakan.
Di tengah rutinitas rumah yang tak pernah usai, Bila tetap menjaga semangatnya untuk belajar. Ia tahu, hanya itu yang bisa menjadi jalannya keluar dari kehidupan yang sekarang. Setiap malam, meski tubuhnya lelah karena pekerjaan rumah yang menumpuk, ia masih menyempatkan diri membuka buku—meski hanya satu dua halaman sebelum matanya terasa berat.
Dan ketika malam benar-benar sunyi, saat lampu kamar telah dipadamkan dan tak ada satu suara pun terdengar, Bila sering kali menangis dalam diam. Tangis yang ia sembunyikan di balik selimut tipis, bukan karena takut, tapi karena tak ingin dianggap lemah. Rindu pada Ayah dan Ibu datang menyusup, begitu sunyi, begitu dalam… hingga akhirnya ia tertidur dalam genangan air mata yang tak sempat mengering.
Namun keesokan paginya, Bila kembali bangun dengan wajah ceria. Ia tak pernah membawa kesedihannya keluar kamar. Meski omelan tante Sarah kembali menyambutnya di pagi buta, senyum itu tetap ia kenakan seperti perisai yang ia ciptakan sendiri, agar dunia tak tahu betapa rapuh hatinya.
Waktu terus berlalu, dan hari kenaikan kelas pun tiba. Namun bukan rasa bahagia yang menyambut Bila melainkan kenyataan baru yang membuat hatinya kembali teriris. Ia harus pindah lagi. Kali ini, ia akan tinggal bersama tante Tyas, adik mendiang ayahnya, di kota yang berbeda. Itu berarti, ia harus berpisah dengan Mala sahabat satu-satunya yang selama ini menjadi tempatnya berbagi tawa dan rahasia kecil di tengah hari-hari yang sunyi.
Sedih itu pasti. Tapi Bila hanya diam seperti biasa, menyembunyikan tangisnya dalam senyuman kecil. Ia mengemas barang-barangnya dalam diam, menyelipkan foto kecil ayah dan ibu ke dalam buku tulis, lalu mengucapkan perpisahan pelan kepada rumah yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Awalnya, ia sempat berpikir… mungkin kali ini akan berbeda. Mungkin tante Tyas akan lebih hangat, mungkin ia bisa merasa sedikit lebih utuh di sana. Tapi kenyataan tak selalu seindah harapan.
Rumah tante Tyas jauh lebih besar dua lantai, penuh perabot kaca dan lantai mengilap. Tapi Bila tetap menjadi gadis kecil yang harus bangun paling awal dan membersihkan semuanya sendirian. Meskipun masih libur sekolah, pagi-pagi ia sudah memegang sapu dan lap, membersihkan tangga, meja, hingga halaman.
Tante Tyas memang jarang marah. Namun suaminya, Om Sugeng, adalah sosok yang mudah naik nada suara. Ia sangat teliti dan mudah tersinggung, terutama jika rumah tak bersih sempurna.
Pagi itu, Om Sugeng berdiri di ruang tamu sambil menunjuk pada rak kaca.
“Bila! Kamu ini bisa bersih-bersih nggak sih? Ini lihat, masih ada debu! Kamu lapnya cuma pura-pura, ya?” suaranya tajam, membuat jantung Bila berdegup kencang.
“Maaf, Om… tadi Bila sudah lap semuanya…” jawabnya lirih, menahan gemetar, menunduk dalam-dalam.
Ia ingin menjelaskan bahwa ia sudah menyeka semua sudut, bahkan sudut-sudut kecil yang jarang terlihat. Tapi ia tahu, membela diri hanya akan membuat omelannya makin panjang. Jadi ia diam, menerima, dan kembali mengelap rak itu dengan mata berkaca-kaca.
Dalam hatinya, Bila hanya bisa berharap semoga suatu hari nanti, ia bisa punya ruang yang tak perlu dibayar dengan rasa takut. Ruang di mana ia bisa tertawa tanpa menunggu izin. Ruang di mana sepi tak lagi menjadi teman yang abadi.
Sekarang Bila sudah duduk di bangku kelas enam. Usianya bertambah, tapi perjuangannya belum benar-benar usai. Kini ia tinggal di kota bersama tante Desi kakak dari mendiang ibunya. Sudah hampir lima tahun mereka tinggal bersama, dan meski hidup masih serba kekurangan, tempat itu terasa jauh lebih hangat dari rumah-rumah sebelumnya.
Tante Desi bukan orang yang berpunya. Kehidupan mereka sederhana, bahkan sering kali kekurangan. Tapi ia adalah satu-satunya yang mau mengasuh Bila dengan penuh kasih, tanpa banyak syarat, tanpa nada tinggi. Bila merasa sedikit lebih tenang di rumah itu. Tak lagi takut jika salah menaruh handuk atau lupa menyapu pagi-pagi sekali.
Setiap hari, sebelum berangkat sekolah, Bila membantu tante Desi menyiapkan dagangan. Ia membawa aneka kue basah dalam kotak kecil lemper, risoles, kue lapis yang dijualnya di sekolah. Teman-teman dan guru-gurunya menyukai kue buatan tante Desi. Tak jarang dagangannya habis sebelum jam pulang.
Meski begitu, di balik senyuman yang ia berikan setiap hari saat menjajakan kue, Bila menyimpan satu kegundahan kelulusan semakin dekat, namun ia tak berani berharap bisa melanjutkan ke SMP.
Bukan karena tak ingin. Tapi ia tahu, biaya sekolah bukan hal kecil. Ia melihat sendiri bagaimana tante Desi mengatur uang demi kebutuhan harian. Maka dalam diam, Bila mulai menata hati. Jika memang tak bisa melanjutkan sekolah, ia akan membantu berjualan sepenuh waktu. Mungkin begitu cara ia membalas kebaikan tante Desi dengan membantu, dengan tidak membebani.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tetap menyimpan seutas harapan kecil. Harapan yang tak pernah ia ucapkan dengan suara, namun ia bisikkan dalam doa semoga suatu hari nanti, ia bisa terus belajar. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua cinta yang sudah ia terima meski hidup tak selalu ramah.
Suatu hari, seusai pelajaran terakhir, Bu Rina wali kelasnya memanggil Bila ke ruang guru. Wajah guru itu tersenyum hangat, berbeda dari biasanya. Ia menatap Bila dengan sorot bangga, lalu berkata pelan,
“Bila, kamu anak yang rajin, sopan, dan nilaimu selalu bagus. Ibu sudah pikirkan… kamu layak dapat beasiswa untuk lanjut ke SMP. Ibu akan bantu urus, ya.”
Bila terdiam. Antara terharu dan takut berharap terlalu tinggi. Ia menggigit bibir, menahan getar dalam dada yang nyaris meledak jadi tangis. Ia tak menyangka ada yang benar-benar memperhatikan usahanya.
“Terima kasih, Bu…” ucapnya pelan.
Namun, di dalam hatinya, keraguan tetap berbisik pelan Apakah mungkin? Apa aku pantas? Bagaimana jika nanti tetap tak cukup? Bila tak berani terlalu jauh berangan-angan. Ia sudah terlalu sering belajar menerima kecewa dalam diam.
Malam itu, ia bercerita pada tante Desi. Sang tante memeluknya, matanya berkaca-kaca.
“Kalau memang ada kesempatan, ambil, Nak. Tante akan terus bantu semampunya. Kamu harus sekolah, Bila... kamu pantas dapat lebih dari sekadar cukup.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bila menangis bukan karena lelah… tapi karena ada harapan kecil yang mulai tumbuh meskipun ia masih takut menyambutnya sepenuhnya.
Keesokan paginya, seperti biasa, Bila bangun lebih awal dari matahari. Ia membantu tante Desi menata kue-kue basah ke dalam kotak lemper yang masih hangat, kue lapis yang lembut berlapis warna, dan risoles yang digoreng dengan penuh hati-hati. Tangannya lincah, tapi wajahnya sedikit berbeda pagi itu ada sinar kecil di matanya, sesuatu yang sejak lama tak tampak.
Setibanya di sekolah, Bila mulai menjajakan dagangan seperti biasa. Ia menyapa guru-guru dan teman-temannya dengan senyum. Tapi di dalam dadanya, degup jantung masih belum tenang. Hari ini, ia akan bicara lagi pada Bu Rina menyampaikan bahwa ia setuju untuk dibantu mengurus beasiswa.
Saat istirahat pertama, ia mengetuk pelan pintu ruang guru dan masuk setelah dipersilakan.
“Bu, Bila sudah bilang ke tante… dan tante setuju, Bu. Bila mau coba daftar beasiswanya…”
Bu Rina menatapnya penuh haru, lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Bagus, Bila. Ibu sudah siapkan berkasnya. Kamu anak pintar, kamu pantas dapat kesempatan ini. Nanti Ibu bantu urus semuanya, ya.”
Ucapan itu sederhana, tapi bagi Bila, itu seperti pintu kecil yang terbuka menuju dunia yang selama ini hanya berani ia impikan diam-diam. Dunia di mana ia bisa terus belajar, tumbuh, dan punya harapan.
Hari itu, Bila kembali ke kelas dengan semangat baru. Beban di pundaknya memang belum pergi, tapi langkahnya sedikit lebih ringan. Di tangannya ada kotak dagangan seperti biasa, tapi di dalam hatinya... ada sepotong cahaya yang mulai menyala.
Dan untuk pertama kalinya, Bila mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, masa depannya tak akan selalu diliputi sepi.
Sepi seakan menjadi teman sejati bagi Bila. Ia tak lagi mengusirnya, karena sunyi telah terlalu akrab menemani hari-harinya. Terutama saat ia duduk sendirian, menatap jendela atau menunggu lonceng pulang di pojok kelas di saat itulah, bayangan Ayah dan Ibu selalu datang perlahan.
Dalam diam, Bila membayangkan tangan lembut Ibu yang dulu sering membelai rambutnya, atau suara tawa Ayah saat menggendongnya tinggi-tinggi. Kenangan itu tak pernah pudar, justru semakin tajam ketika ia merasa sendiri.
Kadang, saat malam menjelang dan suasana rumah hening, Bila akan membuka buku diary-nya. Sebuah buku kecil bersampul kain yang ia simpan rapat di bawah bantal. Di sanalah ia menumpahkan isi hati tentang lelahnya hidup, tentang rindunya yang tak pernah terucap, dan tentang harapan-harapan kecil yang tumbuh diam-diam.
Tulisan tangannya sederhana, tapi penuh perasaan.
"Hari ini aku lelah. Tapi Bu Rina bilang aku anak hebat. Apa Ayah dan Ibu juga bangga padaku di sana?"
Mungkin, menulis adalah caranya bicara dengan dunia tanpa perlu bersuara. Mungkin, itu satu-satunya tempat ia bisa benar-benar jujur, tanpa takut dimarahi atau diabaikan.
Dua bulan setelah itu, kabar baik akhirnya datang membuat hati Bila nyaris melompat. Ia diterima sebagai penerima beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Matanya berbinar, dadanya terasa hangat. Akhirnya… mimpi kecil yang selama ini hanya ia simpan dalam diam, kini benar-benar menjadi nyata.
Namun di balik kebahagiaan itu, rasa sedih perlahan menyusup. Ia tahu, sekolah barunya terletak cukup jauh dan ia harus tinggal di asrama selama tiga tahun ke depan. Artinya… ia harus meninggalkan rumah kecil yang selama ini memberinya kehangatan. Harus berjauhan dari tante Desi sosok yang selama ini menjadi pelindung dan pengganti ibu dalam senyap.
Malam sebelum keberangkatan, Bila duduk di tepi ranjang, memandang tante Desi yang sibuk melipat baju-bajunya ke dalam koper.
“Tante… Bila nggak mau ninggalin tante sendirian...” bisiknya pelan.
Tante Desi menghentikan tangannya sejenak, lalu tersenyum dan mengusap kepala Bila.
“Bila harus pergi. Ini kesempatan yang selama ini kita tunggu. Jangan takut. Tante baik-baik saja. Yang penting… Bila harus bahagia, harus terus sekolah. Jangan menyerah, ya.”
Bila mengangguk pelan, meski air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Dan malam itu, ia kembali menulis di buku diary-nya.
"Aku senang karena aku bisa sekolah. Tapi aku juga sedih karena harus jauh dari rumah. Tante Desi… akan aku rindukan setiap hari. Semoga ini jalan yang membuat Ayah dan Ibu bangga padaku dari langit sana."
Besok pagi, langkah Bila akan menapaki awal baru. Meninggalkan kenyamanan kecil yang telah ia miliki, demi masa depan yang lebih cerah. Rasa takut dan rindu akan selalu ada, tapi kini ia telah belajar meski sepi masih melanda, harapan tak pernah benar-benar hilang.
Hari itu akhirnya tiba.
Pagi masih basah oleh embun ketika Bila berdiri di depan rumah kecil tante Desi, memeluk koper mungil yang berisi seluruh miliknya. Jantungnya berdetak tak karuan antara gugup, sedih, dan sedikit bahagia. Hari ini, ia akan diantar ke asrama oleh seseorang yang sangat berjasa dalam hidupnya Bu Rina, mantan wali kelas yang telah memperjuangkan beasiswa untuknya.
Dalam perjalanan menuju sekolah barunya, mobil melaju perlahan menembus jalanan kota yang asing bagi Bila. Sesekali ia menatap ke luar jendela, tapi pikirannya melayang jauh kepada tante Desi, kepada rumah kecil itu, kepada semua hari yang akan ia rindukan nanti.
Tak tahan, Bila akhirnya membuka suara.
“Ibu… terima kasih banyak, ya. Sudah bantu Bila sampai sejauh ini…”
Suaranya lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kalau nggak ada Ibu, mungkin Bila udah berhenti sekolah dari dulu…”
Bu Rina menoleh sejenak, lalu menggenggam tangan Bila dengan hangat.
“Ibu hanya bantu sedikit, Nak. Selebihnya, itu usaha dan keteguhan hati kamu sendiri. Ibu bangga sama kamu, Bila. Yang penting sekarang… kamu harus semangat belajar, jangan menyerah. Perjalananmu masih panjang.”
Bila mengangguk, menahan air mata agar tak jatuh. Ada haru yang menyesak di dadanyabkarena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar didukung, benar-benar dilihat.
Dalam diam, ia kembali berjanji pada dirinya sendiri ia akan belajar sungguh-sungguh. Bukan hanya demi dirinya, tapi demi semua orang yang pernah mengulurkan tangan ketika dunia terasa terlalu berat.
Dan saat mobil itu berbelok menuju gerbang sekolah barunya, Bila tahu ini adalah awal dari kisah baru. Ia masih akan sering bertemu sepi, mungkin juga rindu. Tapi kali ini, ia tak takut lagi. Karena kini ia tahu, harapan bisa tumbuh… bahkan dari hati yang paling sunyi sekalipun.
Sesampainya di sekolah barunya, mobil berhenti di halaman yang luas dan rapi. Bangunan asrama berdiri kokoh di sisi kiri, sementara gedung kelas berjajar tenang di sisi kanan. Semua tampak asing, namun ada keteduhan yang perlahan meredakan kegugupan Bila.
Bu Rina menggandeng tangan Bila, menuntunnya masuk ke ruang administrasi. Di sana, mereka disambut hangat oleh seorang pria berkemeja rapi Wakil Yayasan bersama seorang staf perempuan yang tampak ramah dan bersahaja.
“Selamat datang, Bila,” ucap Wakil Yayasan sambil tersenyum. “Kami senang kamu bergabung di sini. Semoga kamu betah dan bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih hebat.”
Bila mengangguk pelan, masih sedikit canggung, namun matanya berbinar oleh semangat yang mulai tumbuh.
Staf perempuan lalu mengajak mereka berjalan melewati lorong-lorong bersih menuju ruang kelas dan asrama, sambil menjelaskan aturan-aturan yang harus dipatuhi.
“Jam keluar masuk asrama sudah diatur, ya. Setiap siswa wajib mengikuti kegiatan pagi, belajar, dan ibadah sesuai jadwal. Kalau kamu butuh sesuatu, bisa langsung hubungi pembina asrama.”
Mereka berhenti di depan sebuah pintu bertanda Asrama Putri 1.
“Nah, ini kamarmu, Bila. Di dalam ada delapan tempat tidur. Kamu akan berbagi ruangan dengan tujuh siswi lainnya. Semuanya seumuran, jadi jangan khawatir. Mereka anak-anak baik.”
Bila menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tujuh teman baru yang belum ia kenal. Suasana baru. Aturan baru. Tapi ia mengangguk dengan penuh hormat.
“Terima kasih, Bu…”
Tak lama kemudian, staf itu juga memberi tahu bahwa Bila akan masuk ke kelas VI A. Mendengar itu, Bu Rina tersenyum bangga.
“Wah, kelas VI A, kamu pasti bisa cepat beradaptasi.”
Bila memandangi lorong panjang yang membentang di depan matanya. Hari-harinya ke depan mungkin tak akan mudah. Tapi di tempat baru ini, ia ingin tumbuh, ingin melangkah tanpa dibayang-bayangi rasa takut.
Dan di dalam hatinya, ia berbisik:
"Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh. Untuk masa depan yang lebih baik, untuk Ayah dan Ibu di surga, dan untuk semua orang yang sudah percaya padaku."
Setelah hampir dua minggu masa libur berlalu, hari ini menjadi hari pertama masuk sekolah. Sekaligus awal kegiatan MPLS Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah yang membuat suasana pagi di asrama begitu ramai. Suara langkah kaki tergesa, bisik-bisik penuh semangat, dan tawa kecil terdengar dari sudut-sudut kamar dan lorong asrama.
Bila sudah lebih dulu siap. Seragam rapi melekat di tubuh mungilnya, rambut dikepang sederhana, dan wajahnya memancarkan semangat meski masih menyimpan gugup. Ini adalah lembar baru dalam hidupnya, dan ia berjanji pada diri sendiri untuk menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Selama dua minggu tinggal di asrama, Bila perlahan mulai merasa diterima. Ia sudah mengenal teman-teman sekamarnya: Disa yang cerewet tapi setia kawan, Ayu yang lembut dan pendiam, Kisa si penghibur yang selalu punya lelucon, Emi dan Ema si kembar yang tak pernah terpisah, Leta yang pandai menggambar, dan Wina yang dewasa dan senang mendengarkan.
Mereka sering berbagi cerita sebelum tidur, saling meminjam alat tulis atau membantu menyiapkan perlengkapan sekolah. Kebersamaan kecil itu membuat Bila merasa hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, ia tidak merasa sendirian saat membuka mata di pagi hari.
Di lapangan sekolah, barisan siswa baru mulai terbentuk. Bila berdiri di antara mereka, sesekali melirik ke kanan dan kiri, menenangkan hatinya. Ketika kegiatan MPLS dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Waktu terus berjalan, dan meskipun bayangan akan orang tuanya masih sering hadir di benaknya, kini Bila punya tempat baru untuk tumbuh.
"Mungkin takdirku tak mudah, tapi aku tahu di tempat ini, aku bisa memulai harapan yang baru."
Kegiatan MPLS berjalan lancar. Meski cukup melelahkan, Bila menikmatinya. Ia mengenal guru-guru, menjelajahi ruang-ruang sekolah, dan mulai memahami ritme kehidupan barunya di asrama. Ada rasa canggung yang perlahan sirna digantikan oleh semangat.
Kini kegiatan MPLS telah usai, dan mulai esok hari mereka akan memasuki pelajaran seperti biasa. Hari-hari sekolah akan berlangsung dari Senin hingga Jumat, sementara Sabtu dan Minggu menjadi waktu bebas. Siswa boleh memilih untuk pulang atau tetap tinggal di asrama. Beberapa teman sekamarnya sudah mulai merencanakan akhir pekan pertama, tapi Bila belum tahu akan bagaimana.
Malam itu, ia berbaring di ranjang asramanya yang bersih dan rapi, sambil menatap langit-langit. Dalam hati, ia merasa ada harapan yang perlahan tumbuh. Hari esok menanti—hari pertama ia benar-benar duduk di kelas VI A, bukan lagi sebagai tamu yang diperkenalkan, tapi sebagai murid tetap. Ada rasa gugup, tapi lebih besar dari itu adalah rasa bahagia.
"Aku akan belajar sungguh-sungguh, bukan hanya demi diriku… tapi juga demi Ayah dan Ibu yang selalu kurindukan, dan Tante Desi yang percaya padaku."
Matanya terpejam dengan senyum kecil di bibirnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Bila tertidur dengan hati yang penuh harapan.
Pukul lima pagi, Bila sudah terbangun. Hawa dingin pagi tidak menghalanginya untuk segera beranjak mandi, lalu menunaikan salat Subuh dengan khusyuk. Usai berdoa, ia kembali ke meja belajarnya, memeriksa buku-buku dan perlengkapan sekolah yang telah rapi tersusun. Sekali lagi, hatinya diliputi rasa syukur. Semua kebutuhan sekolahnya disediakan pihak yayasan. Ia mengelus sampul buku catatannya perlahan.
"Makanya aku harus sungguh-sungguh belajar," lirihnya dalam hati, senyum tipis terlukis di wajahnya.
Tak lama, suara riang Leta memecah keheningan pagi itu. Ia baru keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih agak basah dan seragam rapi.
“Eh, asik banget kita satu kelas sama Ayu!” serunya sembari mengambil tempat duduk di sisi ranjangnya.
Bila mengangguk kecil, ikut tersenyum.
“Iya, Leta. Senang, ya. Jadi tambah semangat,” balasnya.
Ruangan asrama perlahan mulai terasa hidup. Satu per satu penghuni kamar terbangun, suara obrolan ringan mulai terdengar, menandai pagi pertama mereka sebagai siswa kelas VI A.
Bagi Bila, ini bukan sekadar awal tahun ajaran baru. Ini adalah awal dari sebuah harapan, sebuah kehidupan baru yang penuh kemungkinan dan ia siap menjalaninya.
Tak terasa, hari ini sudah hari Jumat. Suasana asrama mulai riuh sejak pagi teman-teman Bila membereskan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Tawa dan celoteh ceria mengisi ruangan, membuat hati Bila hangat… sekaligus sesak.
Sore harinya, satu per satu dijemput oleh keluarga masing-masing. Pelukan, ucapan hati-hati, dan senyum bahagia menghiasi halaman depan asrama. Bila berdiri di ambang pintu, mengantar mereka dengan senyum kecil. Namun setelah gerbang menutup kembali, keheningan mulai menyelimuti. Kini tinggal ia sendiri.
Ruangan yang biasanya ramai terasa begitu lengang. Ia melangkah pelan ke ranjangnya, lalu duduk sambil memeluk lutut. Rindu mulai merayap pelan. Rindu pada rumah kecil yang dulu ditempati bersama Tante Desi. Rindu pada aroma kue basah buatan tangan hangat itu. Tapi lebih dari segalanya, rindu pada pelukan yang tak lagi bisa ia raih pelukan ibu dan ayahnya.
Bila membuka laci kecil, mengeluarkan foto usang yang selalu ia simpan. Foto ayah dan ibunya, tersenyum cerah di antara bunga-bunga taman. Ditatapnya dalam-dalam.
"Bu… Yah… Bila kangen sekali…" bisiknya lirih.
Air mata jatuh tanpa suara. Tak ada pelukan. Tak ada suara yang menjawab. Hanya malam yang mulai turun pelan, membungkus kesepian dalam hening yang tak berubah. Tapi di balik itu semua, Bila tetap menggenggam harapan bahwa suatu hari nanti, semua perjuangan dan rindu ini akan berbuah indah.
Akhir pekan datang dengan sunyi yang panjang. Tak ada tawa di lorong asrama, tak ada antrean kamar mandi, tak ada rebutan sabun atau tisu di pagi hari. Hanya suara angin dan detak jarum jam yang terdengar jelas.
Namun Bila tak ingin larut dalam sepi terlalu lama. Ia tahu, jika hanya duduk termenung, rindu akan menelannya bulat-bulat. Maka siang itu, ia memberanikan diri keluar asrama. Ia berjalan menuju warung kecil di dekat gerbang sekolah, membeli nasi bungkus dan sebotol air mineral.
Ia membayar dengan hati-hati, memperhitungkan setiap rupiah. Uang sakunya tidak banyak, namun cukup. Sedikit dari hasil menjual kue di sekolah, ditambah tabungan kecil yang ia simpan sejak dulu seringkali ia sisihkan tanpa orang tahu. Dan tentu saja, ada sedikit pemberian dari Tante Desi dan Bu Rina sebelum ia berangkat ke sekolah berasrama ini.
"Bila harus pandai-pandai mengatur, uang ini nggak boleh habis sembarangan," tekadnya dalam hati.
Ia duduk di bangku taman kecil dekat gerbang sekolah, makan perlahan sambil menikmati angin yang menyapu wajahnya. Meski sendiri, Bila belajar untuk merasa cukup. Belajar untuk bersyukur. Belajar bahwa bahkan dalam kesunyian, ada kekuatan yang tumbuh diam-diam di dalam dirinya.
Hari-hari berlalu, dan Bila semakin terbiasa dengan ritme barunya. Pagi-pagi ia bangun, menyiapkan diri, lalu bergegas ke kelas. Ia menjadi salah satu siswa yang paling rajin selalu duduk di barisan depan, mencatat dengan rapi, dan tak pernah absen mengerjakan tugas.
Tak hanya di pelajaran, Bila juga mulai membuka diri di kegiatan ekstrakurikuler. Ia bergabung dengan klub seni dan pelatihan bahasa. Awalnya ia canggung, tapi lama-kelamaan ia mulai menikmati kegiatan itu. Ada sesuatu dalam menggambar dan merangkai kata yang membuatnya merasa bebas. Setidaknya, di situ ia bisa mengekspresikan apa yang tak mampu ia ucapkan.
Suatu sore, kepala asrama memanggilnya dengan senyum hangat.
"Bila, ada telepon untukmu dari Tante Desi."
Jantung Bila berdebar. Sudah hampir dua minggu sejak terakhir ia mendengar suara yang membuat hatinya tenang itu. Ia menerima gagang telepon dengan kedua tangan, lalu mendekatkannya ke telinga.
"Halo, Tante…"
"Nak Bila, apa kabar? Tante rindu kamu…" suara lembut itu langsung membuat matanya basah.
"Aku baik, Tante. Sudah mulai terbiasa. Di sini enak… temannya baik, gurunya juga."
"Tante bangga sama kamu ya… Tetap semangat. Jangan lupa makan yang cukup."
"Iya, Tante… makasih banyak…"
Percakapan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk menghangatkan hatinya semalaman. Setelah menutup telepon, Bila berdiri sejenak menatap langit dari jendela lorong. Senja merambat pelan, seperti harapannya yang juga tumbuh perlahan diam-diam tapi pasti.
Hari-hari Bila semakin padat. Jadwal pelajaran semakin menumpuk, tugas demi tugas datang silih berganti. Ada laporan harian, latihan soal, hingga proyek kelompok. Tapi Bila tak pernah mengeluh. Ia justru terlihat semakin tekun—bangun lebih pagi dari biasanya, belajar lebih lama saat teman-temannya sudah tertidur.
Sudah hampir satu semester sejak ia mulai tinggal di asrama. Sejak hari pertama hingga sekarang, Bila belum sekali pun pulang. Bukan karena tak ingin, tapi karena ia tahu, jarak dan biaya bukanlah hal sepele. Ia tak mau merepotkan Tante Desi, yang sudah banyak berkorban untuknya.
Namun semangatnya tak pernah surut.
Terkadang, Ayu, teman sekamarnya, juga memilih tidak pulang. Mereka jadi sering berbagi waktu di akhir pekan—makan bersama, belajar bareng, atau sekadar duduk di taman asrama sambil bercerita.
"Kamu nggak kangen rumah, Yu?" tanya Bila suatu malam, saat mereka duduk berdua di tangga belakang asrama.
"Kangen. Tapi aku mau tahan dulu, nabung buat beli hadiah kecil buat ibu." Ayu tersenyum.
Bila mengangguk pelan. Mereka berbeda, tapi rasanya saling mengerti. Keduanya belajar menahan rindu, menyimpan tangis dalam diam, dan tetap berjalan dengan kepala tegak.
Saat malam datang dan semua teman-teman lain sudah terlelap, Bila sesekali menatap foto orang tuanya di bawah cahaya lampu belajar. Hatinya sesak, tapi juga penuh harap.
“Aku nggak boleh menyerah. Orang tuaku pasti bangga kalau aku terus kuat,” bisiknya dalam hati.
Hidup memang tak pernah mudah bagi Bila. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kehilangan, rindu, dan tanggung jawab yang lebih besar dari usianya. Tapi ia tak pernah menyerah. Ia memilih bertahan, memilih melangkah walau pelan, memilih percaya bahwa Tuhan tak pernah tidur.
Seminggu lagi ujian semester. Tekanan mulai terasa di wajah teman-temannya. Tapi Bila justru semakin tenang. Bukan karena ia tidak takut, tapi karena ia telah menyiapkan diri sebaik mungkin.
Setiap pagi ia bangun lebih awal, menyalakan lampu belajarnya diam-diam agar tak mengganggu teman sekamar. Ia membuka catatan demi catatan, membaca ulang pelajaran yang sudah diajarkan, mencatat poin penting, dan mengulang soal-soal latihan.
“Aku harus bisa,” bisiknya sambil memegang pensil erat.
Ia tahu, tak seperti kebanyakan teman-temannya, kelulusannya bukan hanya soal nilai bagus. Tapi juga soal masa depan. Soal harapan. Soal bisa terus bersekolah atau harus berhenti dan bekerja.
Itulah yang membuatnya bertahan. Rasa takut kadang datang, tapi semangatnya selalu lebih kuat.
Sore itu, ketika matahari mulai tenggelam dan suara azan magrib terdengar dari kejauhan, Bila menutup bukunya perlahan. Ia menarik napas panjang, menatap jendela yang mulai gelap.
“Ayah, Ibu… doakan Bila dari surga ya. Aku akan belajar sungguh-sungguh. Aku janji.”
Setelah satu minggu penuh ujian, suasana sekolah kembali sedikit lebih ringan. Tapi pagi ini, rasa tegang tak bisa disembunyikan dari wajah Bila. Hari ini pembagian rapor. Ia duduk diam di bangkunya, menggenggam ujung baju seragamnya erat-erat, berharap semuanya berjalan baik.
“Tenang aja, Bil. Kamu rajin belajar, pasti hasilnya bagus,” bisik Ayu dari sebelah, menyemangatinya.
Bila hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia berdoa tanpa henti. Tak ada yang lebih ia harapkan selain bisa mempertahankan nilai-nilainya agar tetap bisa bersekolah.
Saat namanya dipanggil, langkahnya terasa berat menuju meja wali kelas. Tapi ketika rapor dibuka, matanya membulat. Nilainya tetap tinggi, bahkan ada peningkatan di beberapa mata pelajaran. Ia menahan napas, nyaris tak percaya.
“Alhamdulillah…” lirihnya pelan.
Sore harinya, saat Bila kembali ke asrama, ia mendapati kamarnya dalam keadaan gelap. Ia sempat panik.
“Lho, kok sepi banget?” gumamnya.
Begitu ia membuka pintu dan menyalakan lampu—
“SURPRISE, BILA!”
Teman-teman sekamarnya serempak berseru, membawa potongan kertas warna-warni yang ditempel di dinding bertuliskan: “Selamat Bila! Kamu Hebat!”
Ada kue kecil di tengah meja belajar. Ada susu kotak. Ada pelukan hangat dari Disa, Ayu, Kisa, Emi, dan yang lain. Semua tersenyum bangga.
“Ini buat kamu, Bil. Karena kamu pantas dapat lebih dari sekadar rapor bagus. Kamu inspirasinya kita,” ucap Leta.
Bila terdiam. Matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti punya keluarga kecil di tempat ini.
“Terima kasih… aku benar-benar nggak nyangka…” suaranya parau oleh haru.
Malam itu, Bila tidur dengan senyum di wajahnya. Bukan hanya karena nilainya bagus, tapi karena ia merasa dicintai—meski jauh dari rumah, jauh dari tante Desi, dan jauh dari masa kecilnya yang penuh luka.
Liburan semester sudah di depan mata. Semua teman-teman Bila sibuk membicarakan rencana pulang ke rumah, bertemu keluarga, bahkan beberapa sudah mulai membereskan koper kecil mereka.
Bila hanya diam, tersenyum kecil saat ditanya,
“Kamu pulang nggak, Bil?”
“Kayaknya nggak dulu. Mau bantu-bantu di asrama aja,” jawabnya ringan.
Padahal di dalam hatinya, rindu itu sudah menggumpal begitu tebal. Ia sangat ingin bertemu tante Desi—orang yang sudah seperti ibu sendiri baginya. Tapi ia tahu diri. Uang sakunya hanya cukup untuk kebutuhan dasar. Ia tak mau membebani siapa pun. Dan seperti biasa, Bila memilih diam, menyimpan semua dalam doanya.
Malam sebelum liburan, ia duduk sendiri di halaman asrama, menatap langit.
“Belum saatnya pulang,” bisiknya, menenangkan diri sendiri.
Keesokan paginya, suara langkah cepat terdengar di lorong asrama. Seorang staf memanggil namanya,
“Bila! Ada tamu mencarimu di ruang depan!”
Bila tertegun. Siapa? Ia tak sedang menunggu siapa-siapa.
Dengan hati penasaran, ia berjalan menuju ruang tamu. Dan di sana, ia melihat sosok yang tak asing—senyum hangat itu, tas jinjing kecil di tangan, dan mata yang berkaca-kaca penuh rindu.
“Tante… Desi?” Bila mematung.
“Bila sayang…” Tante Desi langsung memeluknya erat, seakan ingin menyalurkan semua rindu yang tertahan berbulan-bulan.
Bila tak kuat menahan air matanya. Ia memeluk balik erat-erat.
“Aku kangen… banget…”
“Maaf ya, tante baru bisa datang sekarang. Tante tahu kamu nggak bilang, tapi tante bisa rasakan… kamu pasti ingin pulang,” ucap Tante Desi lembut sambil mengusap punggung Bila.
Hari itu menjadi hari paling membahagiakan bagi Bila. Mereka makan bersama di taman kecil dekat asrama, bercerita panjang lebar, dan Bila kembali merasa utuh. Tak ada pelukan yang bisa menggantikan hangatnya keluarga—meskipun bukan orang tua kandung, tapi cinta tante Desi nyata adanya.
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa pulang sekarang,” kata tante Desi sebelum berpamitan.
“Yang penting hati kamu tetap kuat, dan kamu nggak pernah merasa sendiri.”
Bila mengangguk, dengan senyum dan air mata yang bersamaan turun di pipinya.
Liburan yang bagi banyak anak lain diisi dengan jalan-jalan atau bersantai di rumah, bagi Bila justru menjadi masa yang penuh kesyukuran dan perjuangan.
Tante Desi tidak hanya datang membawakan rindu, tapi juga memberinya sedikit uang tambahan dan beberapa masakan rumahan kesukaannya.
“Ini buat kamu jaga-jaga selama liburan, ya. Tante tahu kamu anak yang hemat,” ucap Tante Desi sambil menyelipkan amplop kecil di tas Bila.
Tapi Bila bukan anak yang hanya duduk diam. Di sela-sela waktu libur dan tugas asrama, ia mencari cara untuk menambah tabungannya sendiri. Ia mendatangi sebuah warung makan sederhana tak jauh dari kompleks asrama, menawarkan diri untuk bekerja apa saja selama liburan. Pemilik warung, seorang ibu paruh baya yang ramah, menerimanya untuk membantu mencuci piring dan membersihkan meja.
Jam kerjanya fleksibel, dari pagi hingga sekitar pukul 8 malam—sesuai batas jam keluar-masuk asrama. Upahnya tiga puluh ribu per hari, dan ia mendapat satu kali makan. Tidak banyak, tapi bagi Bila, itu lebih dari cukup.
Selama hampir dua minggu, ia menjalani rutinitas itu dengan sabar dan tekun. Tangannya mulai terbiasa dengan air sabun dan bunyi piring yang beradu. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat—karena ia merasa berguna, mandiri, dan berdaya.
Hari ini adalah hari terakhir ia bekerja di warung itu. Ibu pemilik warung memberikan satu bungkus makanan tambahan dan berkata,
“Bila, kamu anak baik. Nanti kalau ada waktu liburan lagi, datang saja ke sini, ya. Ibu senang dibantu kamu.”
“Terima kasih banyak, Bu. Maaf kalau selama ini ada salah,” ucap Bila tulus, menunduk sopan.
Dalam perjalanan pulang ke asrama, Bila menatap uang hasil kerjanya yang disimpan rapi di dompet kecil. Tidak banyak, tapi cukup untuk menambah simpanan buku tabungannya.
Ia tersenyum, menatap langit sore.
“Aku bisa, aku harus terus kuat… demi masa depan.”
Liburan telah usai. Satu per satu teman sekamarnya kembali ke asrama dengan wajah ceria dan penuh cerita. Beberapa dari mereka membawa oleh-oleh dari rumah dan dengan antusias membagikannya.
“Bila, ini mama aku yang minta khusus buat kamu,” ucap Emi sambil menyerahkan bungkusan kecil.
“Kamu nggak pulang, ya? Nih, aku bawa bika ambon kesukaan kamu,” tambah Wina ceria.
“Ini buat kamu, Bila… Mama nitipin kue ini khusus,” kata Disa sambil menyerahkan sebuah kotak kecil.
“Aku juga bawa keripik, kamu pasti suka,” tambah Ayu sambil tersenyum.
Bila tersenyum tulus meski dalam hatinya ada rasa rindu yang diam-diam menggelayut. Ia tidak pulang, namun perhatian teman-temannya menghangatkan hatinya.
Bila hanya bisa tersenyum hangat. Meskipun hatinya sedikit perih karena tidak bisa pulang, perhatian dari teman-temannya membuat hatinya sedikit lebih ringan. Ia tidak pernah mengeluh. Ia belajar menikmati hidup dengan segala kesederhanaannya.
Namun senyum itu hanya bertahan sebentar.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Menjelang malam, kepala asrama memanggilnya dengan suara lembut namun serius. Di ruang tamu kecil, Bu Rina sudah menunggu dengan wajah yang sulit ditebak. Bila langsung berdiri kaku, merasa ada yang tidak beres.
“Bila…” suara Bu Rina lirih,
“Tante Desi… sudah nggak ada, Nak. Beliau sakit dan tadi pagi dimakamkan.”
Seolah dunia runtuh di hadapannya. Nafasnya tercekat. Kata-kata itu menggetarkan seluruh tubuhnya.
“Tidak… tidak mungkin…” bisik Bila lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
“Tadi pagi? Kenapa nggak ada yang bilang?”
“Kami tahu kamu ujian dan libur kemarin masih bekerja… Tante Desi juga tidak ingin kamu khawatir.”
Bila terduduk di lantai, tubuhnya lemas. Tangisnya tak keluar, hanya gemetar hebat dan wajah kosong. Bu Rina meraih pundaknya, memeluknya.
“Kamu kuat, Bila. Tante Desi sangat bangga padamu…”
Bila tidak menjawab. Air matanya mulai mengalir, jatuh satu per satu. Dunia yang selama ini ia genggam—yang sudah hampir stabil—kembali hancur. Ia merasa kehilangan rumahnya, lagi.
“Aku… sendirian lagi, Bu…” bisiknya.
“Tidak, Nak… kamu nggak sendiri. Masih ada kami… dan impian yang harus kamu wujudkan, untuk Tante Desi juga…”
Hari itu, langit seolah ikut muram. Bila duduk di sudut mobil dalam perjalanan menuju rumah Tante Desi untuk terakhir kalinya. Di tangannya, ia genggam buku tabungan kecilnya. Ia berjanji dalam hati:
“Aku akan terus melangkah, Tante. Meski tanpa siapa-siapa lagi… aku akan tetap kuat.”
Dunia seakan membeku.
Bila diam. Tak ada suara. Hanya matanya yang membelalak kosong. Kata-kata itu mengalir perlahan namun menancap dalam, seperti pisau dingin yang menggores pelan.
“Tidak… tidak mungkin…”
“Kenapa baru sekarang…?” suaranya gemetar.
“Kami tidak ingin membuatmu panik… Tante Desi sempat dirawat dan kondisinya memburuk dengan cepat. Beliau sempat titip pesan agar kamu tetap sekolah dan jangan cemas.”
Bila terjatuh duduk. Matanya memerah, napasnya memburu, tapi tangisnya tertahan. Seolah jiwanya tercekat di antara kenyataan dan penolakan.
“Aku… nggak punya siapa-siapa lagi…” bisiknya lemah.
“Tante Desi satu-satunya tempat aku pulang…”
Bu Rina mendekat, memeluknya erat.
Esoknya, Bila ikut pulang bersama Bu Rina menuju rumah yang pernah menjadi pelabuhannya. Rumah kecil itu kini terasa kosong, sunyi, kehilangan hangatnya suara tawa Tante Desi. Di sudut meja, masih ada toples kosong tempat kue yang dulu ia jual. Di atas lemari, tergeletak kerudung yang biasa dipakai Tante Desi saat mengantar Bila.
Tangis itu akhirnya jatuh. Deras. Tak tertahankan.
Di depan pusara sederhana, Bila bersimpuh. Jemarinya menyentuh tanah yang masih basah.
“Tante… aku janji. Aku nggak akan berhenti. Aku akan terus sekolah, terus hidup, demi semua kebaikan yang Tante kasih ke aku…”
Ia menangis, untuk pertama kalinya sepuas-puasnya sejak kepergian orangtuanya. Tangis itu bukan hanya kesedihan, tapi juga janji. Bahwa meskipun dunianya runtuh, ia akan terus membangunnya kembali… sendiri, tapi tak menyerah.
Sejak kepergian Tante Desi, Bila menjadi lebih pendiam. Senyumnya tak secerah dulu. Ia banyak melamun, menatap jauh ke luar jendela kamar asrama. Namun teman-teman sekamarnya tidak pernah menjauh. Mereka tahu betapa dalam luka yang sedang disimpan Bila.
Ayu sering duduk diam di sampingnya, membaca buku bersama tanpa bicara. Disa sesekali menyelipkan cokelat kecil di laci Bila. Emi dan Kisa suka menyemangatinya dengan gurauan kecil saat malam hari menjelang tidur.
Waktu berjalan, dan kini genap tiga tahun sudah Bila menempuh pendidikan di sekolah itu. Tanpa terasa, ia kini duduk di kelas terakhir. Ujian telah usai, dan hari kelulusan pun tiba.
Di panggung sederhana di aula sekolah, nama Bila disebut paling akhir—namun dengan suara paling lantang.
“Bila Lestari—LULUS dengan nilai terbaik angkatan tahun ini.”
Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa guru berdiri. Bu Rina yang ikut hadir bahkan tak bisa menyembunyikan air matanya. Bila tersenyum kecil, menunduk penuh rasa syukur. Namun dalam hatinya, ia tahu, ini bukan akhir perjuangan—justru baru dimulai.
Hari itu, Bila resmi meninggalkan asrama. Kamar yang dulu riuh tawa kini tampak sepi saat ia menatapnya untuk terakhir kali. Ia memeluk satu per satu sahabatnya.
“Jaga diri ya, Bila. Nanti kabari terus, ya?”
“Jangan lupa kalau kita pernah serumah.”
“Sukses buat SMA-mu, Bila...”
Untungnya, selama tiga tahun ia menabung. Setiap liburan, Bila bekerja serabutan—jadi cuci piring, bantu warung, jaga toko—apa saja yang halal. Kini uang itu cukup untuk menyewa kontrakan kecil di dekat sekolah SMA pilihan yang murah dan menerima program keringanan biaya.
Ia juga mulai merintis usaha kecil: menjual kue basah. Resepnya dulu diajarkan Tante Desi. Ia bangun jam tiga pagi, membuat kue, lalu menitipkannya ke warung-warung. Setelah itu, barulah ia berangkat sekolah.
Hidupnya sekarang memang sedikit lebih baik. Ia bisa makan dari hasil kerja sendiri. Ia bisa sekolah dan tetap bermimpi. Tapi kesepian masih sering menyelinap—di malam-malam sunyi, saat lelah menghantam, dan ia rindu pelukan seseorang yang bisa ia sebut keluarga.
Namun Bila tahu, hidup tidak menunggu kesiapan. Hidup harus terus dilangkahi meski tertatih.
“Tante… aku belum berhenti. Aku masih berjalan,” bisiknya suatu malam sambil menatap foto Tante Desi yang ia bingkai kecil di meja kontrakannya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bila tidur dengan senyum kecil di wajahnya. Esok, ia akan membuat kue talam Bila akan menjualnya kue yang sering Tante Desi buat. Esok, ia akan belajar seperti biasa. Esok, ia akan melangkah lagi.