Masukan nama pengguna
"Kamu mau kembali ke rumah orang tuamu?"
Lia suka menggambar.
Kalau kusebut namanya Lia, semua orang pasti berpikir nama itu lengkapnya Amelia, atau Dahlia, atau Camelia, atau Kalia, atau sebagainya. Lia tidak lain adalah nama kakak pertamanya yang batal lahir, begitu kata Lia yang asli. Namanya sendiri adalah Jima Montague. Sama sekali tidak terdapat sepenggal kata Lia di sana, maka aku percaya dia jujur. Memang ada yang seperti itu. Teman sekelas kami, namanya Rafael, bilang dia bisa saja bernama Katrina kalau dia lahir sebagai perempuan. Ternyata ibunya keguguran anak pertama, Katrina meninggal di umur dua bulan dalam kandungan ibunya. Menyusullah Rafael satu tahun setelahnya, lahir sebagai Rafael dan nyaris bernama Katrina.
Jadi Jima adalah Lia dan Lia adalah Jima, walau kalau mau menilik lebih jauh ke dalam buku sejarah Jima Montague, mereka adalah dua orang yang berbeda.
Ibu Lia mengalami baby blues sejak kelahiran Lia, sehingga Lia diserahkan (atau ditelantarkan? Begitu dia sering menyindir) kepada keluarga adik ibunya. Ayahnya tidak pandai merawat bayi, katanya, lebih pandai merawat ayam. Dan karena Lia mengoceh ba-bi-bu-bla-bla, bukannya berkokok, ayahnya setuju saja akan penyerahterimaan tugas itu.
Selama tinggal dengan Tante Karulina, Lia dianggap adik kandung oleh sepupunya, Gana. Gana senang menonton kartun, sebagaimana anak lima tahun lainnya. Tapi bedanya, Gana langsung ingin menuangkan bentuk alternatif tokoh-tokoh Nickelodeon atau Disney di atas kertas (dinding sebelumnya). Gana dan Lia tak pernah pisah sampai Gana disunat. Mereka pun dibuatkan kamar sendiri-sendiri dan mandi juga tak bersama lagi. Tapi mereka masih sering menghabiskan waktu bersama. Lia kelas tiga sekarang, sementara Gana sudah duduk di bangku kelas 2 SMP.
Keakraban dan keakuran Gana dan Lia inilah yang memulai kejadian ini.
Lia meniru hampir semua hal yang dilakukan Gana. Gana berteriak supaya diizinkan main di halaman, Lia yang berumur tiga tahun juga ikut berteriak—bahkan dia berlari duluan ke pintu depan. Gana mau makan dengan piring enamel, Lia juga minta piring enamel sendiri. Gana beli buku tulis bersampul atlet sepak bola Brazil, Lia minta yang sampulnya atlet sepak bola dari Argentina. Gana main tembak-tembakan dengan pistol air, Lia merebut selang air. Jadi, Gana kencing berdiri, Lia hampir saja mengikutinya. Tante Karulina menyelamatkannya, katanya. Dia menangis karena disuruh berjongkok setiap kali mau kencing, tapi lambat laun dia merasa posisi jongkok menguntungkannya.
Gana sudah habis 24 buku gambar tebal selama delapan tahun. Lia punya 30 buku gambar kecil dalam kurun waktu yang sama. Dia membawa satu setiap hari, pindah ke mana pun dengan buku gambar bersampul moleskin itu. Kalau sampai ketinggalan, dia lebih memilih kembali untuk mengambil buku itu dan kehilangan sisa waktu istirahat untuk makan di kantin. Lia dan buku gambarnya tak terpisahkan. Tanpa pensil, dia bisa meminjam pulpen, spidol, ataupun stabilo milik siapa saja. Lia hampir selalu menggambar. Habis makan, dia menggambar soto yang dia makan. Habis menjawab soal dari guru, dia menggambar grafiti angka pecahan. Dibuat jengkel teman, dia menggambar komik. Dibuat sedih, dia juga menggambar komik. Menginjak kotoran ayam, dia menggambar ayam dan kandangnya, lengkap juga dengan kotorannya yang berceceran. Ketumpahan es krim teman, dia menggambar es krim dan lelehan krimnya, serta lapisan cokelat yang patah berkeping-keping di atas lantai.
Lia menggambar makanan, barang, orang, hewan, pemandangan, ornamen, momen, grafiti, semua yang bisa dia pikirkan. Lia marah kalau ada yang mengambil buku gambarnya. Dia akan membalas dengan mengambil barang orang satu per satu sampai orang yang menyembunyikan bukunya menyerah dan mengembalikan buku gambarnya. Lia juga mendongkol kalau ditegur guru karena lebih fokus menghias halaman buku daripada mencatat materi.
Kalau ada yang bertanya padanya saat dia menggambar, dia akan terdiam sampai gambarannya selesai sebelum menjawab. Seperti yang kulakukan barusan.
Lia menutup buku gambar kecilnya, meletakkannya dengan rapi di atas paha bersaput rok merah, menyimpan pensil dan spidol di kantung, lalu menoleh padaku. "Ibuku memohon agar aku mau kembali ke rumahnya, tapi aku bilang tidak. Tante Karulina telah membiayai kehidupanku selama sembilan tahun dan seharusnya aku disahkan sekalian jadi anaknya, kan? Kalau aku pergi, bagaimana perasaannya? Dan juga Om Paoh? Apalagi Kak Gana?"
"Kalau begitu, kenapa kamu masih memanggil mereka Tante dan Om? Kenapa tidak sekalian kamu jadikan mereka orang tuamu?"
"Mereka tetap ingin aku ingat bahwa aku punya orang tua asli. Tante Karulina sangat menyayangi Mama, meski dia tahu Mama melakukan hal keliru dengan membiarkanku tinggal selama sembilan tahun dengannya. Lagi pula, Mama cuma pernah menengokku beberapa kali saja. Tapi tiba-tiba dia datang sambil memohon dan menangis agar aku mau kembali hidup bersamanya."
Sesaat, tatapan Lia seperti boneka yang tak bernyawa. Boneka berambut hitam kecokelatan karena terbakar matahari, mata kecil yang tenggelam di antara pipi dan alis tipis berbentuk garis lengkung. Tante Karulina mendandani Lia dengan gaya yang sama setiap hari: kepang dua, karet berhias kepala kelinci empuk warna biru atau pink atau ungu, dan mengancing kemeja putih sampai ke leher.
"Aku tidak mau kembali pada ibuku."
Aku malah tidak bisa kalau tidak dicium Mama sebelum tidur. Apa yang dia ceritakan tentang ibu dan ayah kandungnya selama ini selalu terasa seperti dongeng bagiku, kisah yang hanyalah imajinasi para pengarang karya saja. Atau disebarkan dari mulut ke mulut. Tidak mungkin ada orang tua yang mau menelantarkan anaknya, begitu pikirku. Semua ibu punya pelukan paling nyaman dan semua ayah punya pelukan paling aman.
"Lia, Binta, kalian dipanggil Buk Mandra." Popi mendatangi kami entah dari mana.
Aku dan Lia segera bergegas ke kantor guru. Di sana, kami diberi tahu bahwa pengumuman Indira's Elementary Painting Awards tahun ini akan diumumkan di aula hotel Second Darwins, tempat lomba diadakan dua minggu lalu, pada hari Sabtu mendatang. Indira's Award ini adalah kompetisi melukis bergengsi yang dibagi menjadi tiga kategori: elementary, junior, dan senior. Dari sekolah kami, hanya aku dan Indira yang mendaftar. Gana pernah mencoba saat dia kelas lima dan enam, tapi dia belum beruntung, kata Lia.
"Dan kalau aku tidak menang, tidak mungkin kamu bisa menang," katanya padaku setelah kompetisi selesai.
Aku diam saja.
Hari Sabtu, aku datang ke Second Darwins digandeng Mama. Lia sudah datang duluan. Selain Tante Karulina yang berambut ikal dan diwarna pirang, Om Paoh yang seimut Winnie the Pooh, dan Gana yang pendiam, ada seorang wanita dan laki-laki lain. Rambut si wanita lurus seperti Lia, dan mencuat di banyak tempat seperti Lia juga. Yang laki-laki punya bentuk hidung, mulut, dan dagu yang percis dengan Lia.
Melihatku datang, Lia melonjak-lonjak girang. Dia mengulurkan tangan padaku dan meringis-ringis sampai kepalanya bergetar. "Aku akan menang, Kak Gana juga bilang begitu."
Tiga papan kanvas telah dibariskan di panggung. Setelah sambutan singkat dari beberapa orang, pembawa acara pun memulai pengumuman pemenang dari kategori elementary. Aku memejamkan mata, mengingat anoa, komodo, badak jawa, bunga bangkai, anggrek hitam, cendana, kera belanda, hutan-hutan Kalimantan dan Papua yang kulukis dengan cat air, gouache, dan brush pen.
"Kita sebutkan pemenang ketiga pertama-tama ...." Nomor tiga bukan aku. Tapi Lialah yang maju. Dia menyeringai pada semua orang dan Gana menepuk-nepuk bahu Lia untuk memperlihatkan kebanggaannya. Satu kain yang menutupi kanvas di ujung kanan panggung dibuka oleh pembawa acara. Lia meringkas karnaval dan festival besar yang ada di Indonesia seperti perayaan 17 Agustus, festival payung, karnaval ogoh-ogoh, karnaval batik solo. Dia memenuhi kanvas dengan warna dari pastelnya dan juga keceriaan.
Nomor dua juga bukan aku. Tapi aku tak putus harapan. Seorang bocah laki-laki berkemeja kotak-kotak maju ke depan, dia hampir tersandung jeans longgarnya sendiri. Kanvas tengah dibuka. Tampaklah bangunan-bangunan kumuh di atasnya, orang-orang yang beraktivitas di sekitarnya, menyangga air bersih di atas kepala, bayi menangis di gendongan jarik ibunya, kucing menggigit tulang ikan dari atas piring putih kotor yang kosong, dan balita berkulit terbakar sinar matahari sedang mencoreti tanah di atasnya dengan ranting pohon. Kanvas itu menyuarakan sisi kehidupan masyarakat kelas bawah. Isi kanvas itu jauh lebih teratur dari milik Lia, komposisinya telah dipertimbangkan dengan baik seolah dia tahu tentang lukisan sebanyak Mama.
"Dan juara satu Indira's Elementary Painting Awards jatuh kepada ... Syanika Binta Asmundi!"
Di panggung, Lia melongo. Dia segera menoleh ke arah kanvas paling kiri dan matanya pun membulat. Tidak seperti kanvasnya yang penuh tapi kurang teratur dan kanvas pemenang kedua yang penuh cerita tapi interseksi segmennya kurang halus, kanvasku jauh lebih penuh, tapi semua cerita terhubung oleh suatu bentuk, transfigurasi terhadap bentuk lainnya, ekosistem yang berbeda dalam cuaca yang berbeda pula. Gouache dan cat airku membaur seperti satu alat warna yang sama, tetapi tekstur yang dihasilkannya mengingatkan para audiens bahwa material yang kugunakan berbeda.
Mama dan Papa mengajarkanku semua itu. Mama adalah lulusan Royal College of Art yang sedang mengusahakan S3 dengan beasiswa dari pemerintah. Papaku, di lain sisi, adalah seorang profesor di kampus itu dan kami sering berhubungan lewat Skype. Suatu hari nanti, aku juga akan belajar di sana dan seperti Mama, menerapkan semua ilmu yang kudapat untuk lebih memperkenalkan Indonesia kepada dunia.
Tiba di atas panggung, aku berusaha membaca suasana hati Lia. Dan dia mengungkapkannya dengan sangat jelas. Lia mengerucutkan bibir tipisnya dan menolak untuk menoleh sekali saja padaku. Saat kami dipersilakan turun karena pemenang kategori junior akan dibacakan, Lia segera berlari menuju keluarganya. Ternyata dia terus melangkah sampai ke pintu aula. Tante Karulina terhuyung-huyung mengejarnya sementara wanita yang kuduga adalah ibu kandung Lia telah lebih dulu mengikutinya.
"Binta, selamat ya!" teriak Tante Karulina sambil menyusul Lia dan kakaknya. Gana juga memberiku selamat, walau singkat saja. Om Paoh sampai perlu mencubiti pipiku karena gemas sebelum berlalu dengan ayah Lia.
Keesokan harinya, Lia membawa tasnya ke bangku Ode dan sejak hari itulah aku duduk dengan Rafael sampai lulus SD. Lia tak pernah lagi membawa-bawa buku gambarnya dan dia juga tak mau bicara padaku. Dengar-dengar karena malu pada Gana, Lia memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya, tapi aku tak pernah tahu cerita sesungguhnya karena di setiap hari penerimaan rapor, selain orang tuanya, Tante Karulina dan Om Paoh juga selalu hadir.
Saat itu aku belum tahu kalau 16 tahun kemudian, saat pulang dari Royal College dengan gelar Master of Arts, aku akan bekerja dalam satu tim yang sama dengannya untuk membangun pameran amal. Saat itu kupikir Lia tak akan pernah lagi mengangkat pensilnya dan sudah membuang seluruh buku gambarnya. Saat itu aku tidak pernah membayangkan bahwa dia mencoba menggambar ulang karyaku, karyanya, dan karya si bocah laki-laki berkemeja kotak-kotak di Indira's Awards melalui ingatannya dan meminta dengan sangat tulus agar kami memberinya izin untuk memajang karya itu di aula utama pameran amal. Saat itu aku tak mengerti bahwa romantisme tengah terjadi di antara dia dan bocah laki-laki berkemeja yang telah tumbuh dewasa, yang kemudian kuketahui bernama Miles Arjunto. Saat itu aku juga tidak menebak bahwa suatu hari nanti, Lia tidak mau menjadi Lia lagi, karena akhirnya dia memilih namanya sendiri, Jima Montague.
Aku hanya berpikir betapa sayangnya persahabatan ini dihancurkan oleh ego kami masing-masing. Dengan aku tidak pernah memberitahunya secuil pun tentang keluargaku padahal dia memberitahuku segalanya tentang keluarganya. Dan dengan dia yang tidak mau berlapang dada menerima kekalahannya.