Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,473
Istirahatlah
Slice of Life

Begitu banyak waktu yang sudah terlewati. Ketika aku memasuki usia sembilan belas tahun dan mulai mengenal pria, aku berpikir, ‘oh, apakah ini sudah waktunya untukku memasuki fase pernikahan?’. Tapi ternyata hubungan itu hanya sesaat, dan Tuhan telah menunjukkan sesuatu yang lebih baik dibanding bersanding bersama pria yang salah.

Memasuki usia dua puluh, aku kembali dipertemukan dengan seorang pria yang kembali meyakinkanku bahwa cinta itu indah dan tak akan menyakiti. Siapa yang sangka jika hubungan itu juga kandas, lagi-lagi Tuhan menunjukkan jika dia bukanlah pria yang tepat.

Lalu di masa-masa labilku, aku memutuskan jika hal ini terus berlanjut—pacaran—sepertinya hidupku akan sia-sia. Aku memutuskan untuk memperbaiki diri dan mulai menjalani hidup yang lebih terarah dibandingkan terus terpuruk dalam lingkaran yang tiada akhirnya. Hingga aku berhasil dan mulai berpikir bahwa berpacaran adalah sebuah hal yang sia-sia.

Aku berpikir, diusia dua puluh lima mungkin aku akan menikah dan membina keluarga, dengan atau tanpa pacaran. Siapa yang tahu, mungkin saja ada pangeran yang tiba-tiba hadir dan melamar seperti kejadian di negeri dongeng. Tapi, hingga usiaku lewat dua puluh lima dan hampir memasuki awal tiga puluhan, aku belum memiliki niat untuk menikah.

Bukan aku tak ingin, hanya saja, menurutku, menikah adalah sebuah hal yang mewah untukku. Memimpikan sebuah pernikahan, sama saja memimpikan pangeran berkuda putih yang datang dengan menunggang kereta kuda.

Bukan, bukan karena aku tak memiliki pasangan. Kalian bahkan mungkin akan sangat iri jika pada akhirnya aku menemukan pangeran yang sesungguhnya. Ia memang tidak hadir dengan menunggang kereta kuda atau bahkan setampan boneka Ken, tapi dialah pria yang kubutuhkan. Dengannya aku percaya, semua masalah, semua badai akan terlewati dengan baik bersamanya.

Berlebihan, kan?

Tapi, percayalah, sebelum aku bertemu dengannya, aku harus melewati badai terberat dalam hidupku. Masalah terberat yang pernah kualami dalam hidup, bahkan saat itu semua rencana hidupku benar-benar berantakan. Ibuku yang semula sehat dan tak pernah sakit tiba-tiba tak sadarkan diri dan koma. Bahkan dokter memvonis jika harapan hidupnya tak banyak dan harus bersiap untuk kemungkinan terburuk

Aku yang saat itu berada diluar pulau sangat syok, tak henti-hentinya melafazkan do’a untuk kesembuhan ibuku. Aku harus cuti selama satu bulan untuk menunggu ibuku hingga bangun dari komanya. Dua minggu, atau bahkan lebih dari itu hingga akhirnya ibu sadar dari koma dan keadaannya mulai stabil. Kami sekeluarga sangat bersyukur, walau ada kenyataan lain yang harus diterima.

Ibu memang sudah sadar, dan harus dijaga dengan ekstra hati-hati, makannya harus dijaga, suntik yang tepat waktu, juga obat-obatan yang tak pernah lepas. Tapi, ibu berbeda. Komplikasi penyakit yang ia derita sudah parah dan memberi efek pada seluruh organ juga syarafnya. Ibu linglung/pikun, ia bahkan bisa mengulangi beberapa kalimat yang sudah ia katakan berkali-kali. Kata dokter, hal itu memang lazim terjadi karena komplikasi tadi juga usia yang sudah lanjut.

Ayah lelah, aku lelah, kakak-kakakku lelah, apalagi ditambah kakakku yang baru saja melahirkan bayinya lagi. Aku bahkan memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannku yang sudah tetap demi merawat ibu. Do’aku ketika ibu koma adalah, aku akan melakukan apapun agar ibuku sembuh. Aku selalu memohon dengan penuh putus asa pada Tuhan. Setelah ibu sembuh, aku sepertinya harus mengalah pada hidupku, demi ibuku, karena tak ada yang lebih berharga dari kesembuhan ibu sendiri.

Disaat-saat terpurukku itu, ia datang, pria itu datang dengan semua kesederhanaannya. Kami memang rekan kerja selama beberapa tahun, tapi hubungan kami memang sebatas rekan kerja. Tapi, masalah tadi membuatku kesepian dan lelah, kehadirannya justru mampu mengobati luka hatiku. Dia penguatku saat itu, bahkan kukatakan padanya jika aku tak memiliki waktu untuk sekedar pacaran karena bebanku yang begitu berat.

Ia dengan lapang dada membantuku dalam semua hal. Siapa yang tak akan jatuh cinta pada pria yang menawarkan kenyamanan setelah banyaknya badai yang kulalui. Dikatakan bahwa Tuhan jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan dibanding apa yang kita inginkan, dan memang benar. Disaat itu, yang aku butuhkan semangat dari orang lain.

**

Bagaimana? Apa menurut kalian kisah itu indah? Tapi genre kisah ini bukanlah romansa, melainkan melodrama. Ini bukan lagi tentang kisah romantis yang kulalui, tapi, kisah perjuangan hidupku melawan stres tahap awal. Mendiagnosa kesehatan mental diri sendiri hanya berdasarkan kemungkinan memang bukan hal yang tepat. Saat itu fisik dan mentalku benar-benar teruji oleh kehidupan.

Aku bahkan berulang kali bertanya pada diriku sendiri, apa keputusanku merawat orangtuaku sudah benar? Apa meninggalkan pekerjaanku yang tetap sudah tepat. Semua hal itu terus saja berputar-putar diotakku untuk mencari kebenarannya.

Mungkin kisahnya akan jauh berbeda jika aku terlahir di keluarga berada, tapi itu bukan aku, aku hanya berasal dari keluarga sederhana. Bahkan, tanpa bantuanku yang merantau hingga luar pulau, mungkin kondiri ekonomi orangtuaku tak akan baik. Jadi aku harus bekerja dengan gaji yang cukup rendah sembari merawat orangtuaku.

Lelah? Sangat. Kakakku sudah dengan keluarganya masing-masing, tentu saja walaupun mereka membantu, tak akan banyak. Bukan, bukan aku tidak bersyukur. Hanya saja, memang tidak cukup antara pendapatan dan pengeluaran. Aku bahkan beberapa kali harus berurusan dengan pinjol, ditambah kondisi pandemi yang menyulitkan semua orang.

Aku selalu berandai-andai, bagaimana jadinya jika aku tidak berhenti dari pekerjaanku sebelumnya, akankah semuanya akan baik-baik saja?

Dua tahun berlalu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk merantau lagi keluar pulau. Aku harus mendapatkan pendapatan yang lebih besar agar bisa merawat orangtuaku, juga karena masalah yang kubuat sendiri.

Hingga kini, masalah itu masih bercokol erat di kepalaku, perlahan-lahan mulai menggerogoti jiwaku. Aku bahkan harus bekerja lebih keras dibanding sebelumnya, hidupku menjadi sulit setelah memutuskan untuk merantau lagi. Mungkin orangtuaku belum meridhoi kepergianku, tapi aku juga terlalu malu untuk pulang ke rumah orangtuaku lagi.

Setelah semua masalah yang kutimbulkan, aku tak memiliki muka untuk bertemu mereka lagi. Hidupku benar-benar terjun bebas hingga jurang, membuatku stres berat, juga membuat perasaanku lebih sensitif.

Ada suatu waktu ketika aku menangis begitu hebat disuatu malam. Semuanya sudah kulakukan, aku sholat, mendengarkan zikir, mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-qur’an, tapi, hatiku tetap terasa sesak hingga rasanya mau mati. Katanya depresi terjadi karena kita kurang dekat dengan Sang Pencipta, tapi bagaimana dengan semua hal yang sudah dilakukan dan aku tetap merasa hampa. Aku tetap mencoba menerima dan merasakan emosi yang tak stabil itu.

Inilah perasaan hancur yang baru kurasakan pertama kali, dan rasa bersalah yang semakin bercokol erat di kepalaku. Aku dengan tulus ingin meminta maaf untuk semua hal Dzolim yang pernah kulakukan, walaupun aku ingin memberi alasan, aku tetap bersalah. Tapi, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan alasannya disini.

Aku bersalah, semua kesalahan yang terjadi kulakukan dalam kondisi sadar, tapi itu semua bukan karena keinginanku, semuanya karena terpaksa, juga bukan karena keserakahanku. Aku ketakutan kala itu, benar-benar takut hingga hanya mampu kupendam sendiri. Teman-temanku menjauh dan aku hanya mampu menghadapinya sendirian agar tidak banyak yang terlibat masalah karena ulahku. Memang terdengar sangat klasik, tapi itu benar adanya.

Kini, aku ingin menebus semua kesalahanku dan tak akan mengulangi lagi. Beri aku kesempatan agar bisa jadi lebih baik lagi. Tapi, disaat stresku muncul, ketika aku menangis sendirian di malam hari, berikan aku kesempatan untuk istirahat, karena disaat itu aku benar-benar lelah dan tak tahu arah tujuanku.

Sekali lagi, dengan tulus aku meminta maaf.

**


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)