Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,815
Hanya Untukmu
Slice of Life


Sepuluh tahun berlalu begitu cepat. Masa demi masa terlampaui dengan takjub. Detik demi detik sudah tak terasa. Fase demi fase sudah terlalui dengan sempurna. Fase tersulit itu sudah aku lalui, bangkit lalu jatuh sudah menjadi daur hidupku. Walaupun terkadang aku ingin menyerah tapi tujuan hidup terus menguatkanku.

Hari ini tepat tiga tahun setengah aku menimba ilmu di perguruan tinggi ternama. Perjuanganku telah usai di sini, tapi sebenarnya perjalanan hidupku baru dimulai, kakiku harus kuat untuk melangkah ke depan dan menopang tubuhku yang mungkin akan rapuh, bahuku harus kuat memikul beban hidup sendiri, mataku harus siap basah demi masa depan. Orion Nebula Semerdanta seorang mahasiswa kedokteran gigi yang lulus hari ini dengan gelar S.K.G atau lebih tepatnya Orion Nebula Semerdanta S.K.G.

Hari bahagia yang selalu aku rasakan tak pernah sekalipun mereka hadir disisiku. Pertanyaan “Gimana hari ini?” sudah lama tak terdengar di telingaku. Yang sekarang aku pikirkan apakah mereka sekarang bahagia sama sepertiku? entahlah aku tak mengerti jawaban pasti tentang itu. Namun aku hanya berharap mereka bahagia melihat anak laki - lakinya tumbuh sesuai keinginannya.

Hari wisuda menjadi hari yang sangat dinanti oleh para mahasiswa. Setelah perjuangannya menaklukan skripsi yang tak mudah diselesaikan. Hari itu aku melihat ratusan keluarga menyambut kelulusan anaknya dengan bahagia raut muka bahagia namun menyimpan rasa tangis di hatinya. Aku tersenyum ketika melihat mereka berfoto bersama dengan ketawa yang menghiasi wajah mereka. Aku ingin merasakannya, sungguh ingin merasakannya.

Keesokan harinya tepat pukul lima dini hari Danta memulai perjalanan menuju ke desa tanah kelahirannya. Lampu - lampu rumah masih menyala, jalanan kota lengang dari serbuan kendaraan. Semburat merah mulai t

ampak di kaki langit, melukis angkasa dengan warna warni indah saat matahari menetas. Sunrise terlihat sangat indah. Aku menatap takjub sunrise dengan mata terbuka lebar, rasa kantukku hilang sesaat.

Perjalanan ini mungkin tak pernah aku bayangkan. Terlalu sibuk di kota besar sampai aku lupa tentang desa kelahiranku. Aku hanya menceritakannya ketika orang bertanya dimana asalku. Namun pertanyaan itu sudah beberapa taun tak pernah terucap dari mulut orang lain. Mereka yang mengenalku pasti sudah tahu dimana dan bagaimana desaku. Desa yang memiliki udara sejuk tanpa polusi, hamparan sawah luas dan pemandangan sunset yang sangat indah disertai kicauan burung yang ingin pulang ke sangkarnya.

Orang mungkin menganggap menjadi anak tunggal itu sebuah angan karena penuh dengan kasih sayang. Namun berbeda dengan Danta menjadi anak tunggal itu sebuah takdir yang tak ingin ia rasakan. Hidup sebatang kara, menahan rasa sakit sendiri. Merantau ke tanah orang demi mimpi kedua orang tersayangnya. Tapi kenapa mereka pergi sebelum melihatnya berhasil mewujudkan mimpinya? Mengapa mereka tak pernah merasakan hari bahagiaku?

Dua jam berkutat di tengah hingar bingar jalanan kota. Akhirnya motor yang ku kendarai dengan lihai sudah mendarat tepat di halaman rumah kayu. Dengan keyakinan hati aku membuka pintu tua itu melihat semua sudut dengan saksama. Setiap sudut yang penuh memori masa kecil. Pandanganku berpindah dari sudut satu ke sudut lainnya, dari memori satu ke memori lainnya. Danta melangkahkan kakinya di lantai pualam, sensasi dingin menusuk lapisan kulit. Anyaman bambu menjadi pelindung dari terpaan angin malam.

Aku melangkah mendekati lemari buku di sudut ruang tamu. Mengambil satu buku penuh memori. Kedua telapak tanganku mengusap hamparan debu yang menyelimuti buku album masa kecil. Membuka satu lembar demi satu lembar. Kenangan memori yang tersimpan rapi di ingatan kembali menebah dada. Danta menarik senyum lebar ketika melihat foto ibu yang menggendong tubuh mungilnya dengan senyum khas dan ayah berdiri di sampingnya memasang muka bijaksana penuh karismatik.

"Ternyata waktu begitu cepat berlalu sepertinya baru kemarin aku berfoto bersama mereka, sekarang mereka telah pergi selamanya, tapi kenangan itu masih ada di ingatanku, ingin mengulang waktu dan menghabiskan waktu bersama mereka tapi terlambat waktu tak bisa di ulang dan kenangan itu hanya bisa dikenang tanpa diulang." air mata menetes tanpa aba - aba tanganku reflek mengusapnya lembut.

Lengang sejenak Danta membuka satu demi satu foto masa kecilnya. Sampai di halaman kedua puluh delapan dari tiga puluh halaman terselip satu lembar kertas kusam. Tangannya mengambil kertas kusam itu. Raut wajahnya melukiskan ribuan pertanyaan di benaknya. Danta membuka satu lembar kertas kusam itu.

Anakku Semerdanta

Jika kau akhirnya membaca surat ini mungkin kau sudah menjadi seorang dokter gigi seperti keinginan ibumu dulu. Ayah dan ibu tak ingin meninggalkanmu sendiri, tak ingin melihatmu menangis sendirian tanpa pelukan hangat dari ibu.

Semerdanta saat menulis surat ini linang air mata ibu tak bisa tertahankan. Gemetar tangan ini menggambarkan kegelisahan hati. Maafkan ibu yang selalu memarahimu ketika kamu bermain terlalu lama. Memarahimu ketika Danta hanya asyik menonton televisi tapi tidak kunjung belajar. Maafkan ibu selalu menyuruhmu belajar dan terus belajar, ibu tau kamu tak ingin seperti itu tapi ingatlah waktu tak bisa terulang dan korbankan waktu emasmu itu untuk masa depan.

Kali ini dengan tangan gemetar ibu menuliskan surat perpisahan. Selamat tinggal, Nak. Hati hatilah di tanah rantau.


Ibumu

Nebulea


Aku menangis sesenggukan di antara keheningan. Melemparkan surat ke lantai pualam. Duduk bersimpuh dengan tangan menutup muka nyaris tak terlihat, aku menangis tanpa suara. Menyisakan penyesalan yang tak terhingga.

Dengan lirih aku berkata “Maafkan kenakalan anakmu ini dulu yang tak pernah mengerti apakah itu baik atau buruk, maafkan aku yang selalu menuntutmu menjadi orang tua yang sempurna, maafkan aku yang tak pernah mendengar nasihatmu, kini aku hanya ingin memelukmu dan kembali mengulangi masa itu.” Lima menit kemudian aku memutuskan untuk bangkit. Mengunjungi pusara Ayah dan Ibu itu tujuanku. Aku mengambil rangkaian bunga daisy di atas meja bundar.

Derap langkah kakiku tak terhenti melangkah menyusuri jalan setapak. Aku bersimpuh di pusara Ayah dan Ibu. Sambil menatap gundukan tanah tanpa nisan. Rerumputan liar mengitari gundukan tanpa nisan, aku berkata lirih.

Ayah ibu kini anakmu kembali pulang setelah sepuluh tahun kepergianmu. Aku sudah berhasil menjadi seorang dokter gigi seperti anganmu. Namaku sudah tercantum gelar impianmu. Aku sudah berhasil mendapatkan beasiswa seperti asamu. Aku ingin mencium tangan Ayah dan Ibu dengan takzim. Meminta doa lalu memeluk hangat dalam dekapanku, aku rindu itu. Maafkan aku yang tidak pernah menjengukmu, sungguh maafkan.

Lima belas menit kemudian aku sudah mengenakan kacamata hitam. Melangkah mantap menuju motor untuk pergi ke tanah rantau. Memori tentangmu tak akan hilang walau sejengkal sekalipun.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)