Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,122
Gaji Seharga Dignitas
Slice of Life

Aku kira, gaji adalah jawaban dari semua kekhawatiran hidup. Kupikir, selama uang masuk tiap bulan, tak ada yang perlu ditakutkan. Tapi ternyata… gaji cuma numpang lewat. Masuk jam sembilan pagi, habis di jam sepuluh.

Dan sisa hariku tinggal degup jantung yang tak pernah tenang.

Sudah satu tahun ini aku hidup dalam lingkaran yang sama: menghindari telepon, menunda buka WhatsApp, dan menelan ludah setiap kali melihat motor berhenti di depan kosanku. Jangan-jangan… penagih.

Namaku Nura. Usia tiga puluh tiga. Single. Tidak punya anak, tapi rasanya punya lima tanggungan: satu untuk utang A, satu untuk utang B, sisanya untuk bunga-bunga yang tak ada baunya.

Dulu, saat pinjaman pertama masuk ke rekeningku, aku tersenyum lebar. Aku ingat persis, aku langsung checkout sepatu boots dan facial mahal. Lalu makan siang di restoran Jepang yang cuma berani kulihat dari luar.

Kupikir aku pantas memanjakan diri setelah bertahun-tahun hidup hemat.

Kupikir, “Tenang aja, Nura. Lo kerja, lo bisa lunasin kok.”

Kukira aku hebat. Padahal aku bodoh.

Sangat bodoh.

***

Hari ini, saldo rekeningku tinggal empat ribu dua ratus. Aku mengingat-ingat, apakah aku masih punya mi instan atau tidak.

Aku lapar. Tapi rasa takutku jauh lebih besar dari rasa laparku.

Teleponku bergetar. Lagi. Nomor tak dikenal. Aku langsung matikan suara dan mengunci layar. Jantungku berdegup tak karuan.

“Jika tidak diselesaikan hari ini, kami akan menghubungi kantor dan keluarga Anda.”

Kalimat itu masih menempel di otakku, seperti bekas luka yang tak kunjung sembuh. Aku belum siap kalau Kak Reni tahu. Aku belum siap malu. Aku belum siap hancur.

Aku menarik napas panjang.

Satu-satunya cara adalah cari jalan keluar. Bekerja lebih keras. Aku sudah cari part-time di semua grup online, tapi tak satu pun cocok. Aku bahkan pernah apply jadi admin online shop, tapi gagal karena katanya aku terlalu “overqualified.”

Lucu. Dulu aku bangga dengan CV-ku. Sekarang aku berharap aku bisa menyamar jadi siapa pun, asal digaji.

Akhirnya aku iseng buka Twitter. Ada lowongan freelance penulis cerpen berbayar. Bayarannya tidak besar, tapi cukup untuk beli nasi dan telor.

“Menulis cerita dari luka sendiri,” katanya.

Aku senyum kecut. Kalau luka bisa dijual, mungkin aku sudah melunasi semua utang hari ini juga.

Setiap kali membuka mata di pagi hari, hal pertama yang kulakukan adalah mengecek saldo rekening. Bukan untuk menghitung berapa banyak uangku, tapi sekadar memastikan… apakah aku masih bisa hidup hari ini.

Empat ribu dua ratus rupiah.

Hari ini tidak ada saldo masuk. Besok juga tidak.

Dan lusa, harusnya ada gaji, tapi aku tahu betul: uang itu sudah punya pemilik masing-masing. Tagihan pinjol A, pinjol B, dan cicilan terakhir dari aplikasi yang bunganya lebih kejam daripada preman pasar.

Aku tak ingat kapan terakhir kali bangun tidur dengan hati tenang. Bahkan tidur pun seperti bukan tidur. Tubuhku rebah, tapi otakku terus berlari: bagaimana kalau mereka datang ke kantor? Bagaimana kalau mereka telepon ke rumah? Bagaimana kalau... kakakku tahu?

Kak Reni adalah satu-satunya keluarga yang masih dekat denganku. Ia yang membantu saat aku pindah ke kos ini, yang kirim makanan tiap Idul fitri, dan yang sering bilang, “Nura harus pinter atur uang. Jangan gaya doang diduluin.”

Dulu aku anggap itu omelan biasa. Tapi sekarang, kata-katanya seperti kutukan yang hidup di hatiku.

Teleponku bergetar lagi.

Nomor tidak dikenal. Aku bahkan tak berani melihatnya, langsung kubalikkan layar ke bawah.

Satu notifikasi WhatsApp masuk.

“Kami tahu di mana Anda bekerja. Harap segera lakukan pembayaran sebelum tindakan lanjutan.”

Pesan itu muncul seperti alarm kematian.

Aku terduduk lemas di ujung kasur. Kamar kos ini sempit, tak ada ventilasi, panas, pengap, dan sunyi. Tapi bukan itu yang membuat napasku sesak.

Yang sesungguhnya mencekik adalah rasa malu dan takut—campur aduk seperti mi instan yang dimasak tanpa selera.

Setiap hari aku merasa seperti maling yang bersembunyi di balik wajah normal.

Ke kantor dengan pakaian rapi, senyum tipis, ikut rapat pagi. Tapi dalam hati, aku ingin menjerit.

Aku tidak bisa fokus. Deadline kerja yang biasanya kulibas dengan cepat, sekarang menumpuk seperti gunung.

Bahkan untuk membuka email pun butuh keberanian. Aku selalu khawatir: jangan-jangan HRD tahu, jangan-jangan manajer tahu. Jangan-jangan aku kehilangan pekerjaan, lalu kehilangan segalanya.

Saking tertekannya, aku pernah berpikir:

Mati aja, Nura. Selesai semuanya.

Lalu bayangan kubur muncul. Lalu api. Lalu wajah almarhum mama muncul. Keinginan itu menciut. Aku bahkan tak punya keberanian untuk mati. Yang kutahu, aku hanya ingin semua ini berhenti.

Kadang saat sendirian di kamar, aku menatap cermin dan merasa tak mengenali wajah itu. Pucat. Kusam. Mata cekung. Rambut berminyak. Dan kurus.

Aku sadar: aku sedang rusak. Tapi tak ada yang tahu. Dan aku terlalu takut untuk memberi tahu siapa pun.

Aku punya sahabat, Ayu. Tapi aku belum siap. Belum kuat. Aku tahu Ayu akan mencoba menolong, tapi aku takut dia melihatku berbeda.

Selama ini aku terlihat “baik-baik saja.” Selalu bercerita soal nonton konser, ngopi, dan skincare. Padahal semua itu... sisa dari masa ketika utang belum menjebakku.

*** 

Malam itu aku menyalakan laptop tuaku, yang kipasnya sudah mengeluarkan suara seperti motor mogok. Bukan untuk bekerja. Bukan juga untuk nonton drama.

Aku hanya ingin membuka sesuatu… apa saja… yang bisa menenangkan pikiran.

Google. Tab baru.

Aku mengetik: “pekerjaan freelance dari rumah”

Enter.

Hasilnya muncul seperti biasa: situs-situs yang memintamu membuat akun, mengisi portofolio, menunggu klien. Semua terdengar jauh.

Sampai mataku berhenti pada satu judul:

“Dicari penulis cerpen untuk platform digital, honor per cerita 80–100 ribu.”

Aku tak percaya. Mataku membelalak kecil.

Cerpen? Itu… dulu hal yang kusukai. Dulu, ketika hidup masih bisa dinikmati dengan santai.

Aku pernah menulis cerita cinta SMA di blog waktu kuliah. Pernah juara lomba nulis puisi se-Jabodetabek. Tapi semua itu tinggal kenangan.

Kupandangi pengumuman itu lama sekali.

“Coba aja, Nura,” kataku lirih. “Apa lagi yang bisa kamu andalkan?”

Malam itu aku mulai menulis.

Tanganku kaku. Kata-kata seperti enggan keluar. Tapi aku paksa.

Cerpen pertama itu bukan cerita. Itu luka yang kucetak jadi kalimat. Tentang seorang wanita yang bangkrut secara diam-diam, yang tiap malam tidur ditemani rasa takut, dan tiap pagi bangun dengan nadi berdebar.

Itu ceritaku. Tapi kubungkus dengan nama tokoh lain: “Dara.”

Setelah dua hari, tulisanku selesai.

Kulampirkan di email, kutambahkan biodata singkat, lalu kuklik kirim.

Setelah itu aku menangis. Bukan karena takut ditolak, tapi karena ada sesuatu yang terasa longgar di dada.

Entah kenapa, menulis membuatku merasa sedikit… hidup. 

Beberapa hari kemudian, aku menerima balasan.

“Terima kasih, cerpennya menarik dan akan kami tayangkan minggu depan. Honor akan ditransfer sesuai jadwal.”

Tanganku gemetar membaca pesan itu.

Delapan puluh ribu rupiah.

Mungkin bagi orang lain itu tak seberapa. Tapi bagiku, itu seperti oksigen pertama setelah tenggelam terlalu lama.

Dengan uang itu, aku bisa beli nasi hangat dan telur. Bukan mi instan, bukan gorengan.

Tapi lebih dari itu: aku merasa… ada yang menghargai aku. Meskipun aku rusak. Meskipun aku penuh utang.

 ***

Malam-malam berikutnya aku menulis lagi.

Bukan karena ingin uang semata, tapi karena saat menulis, aku lupa sejenak kalau aku ini pecundang. Saat menulis, aku jadi perempuan yang kuat. Yang tahu jalan keluar. Yang bisa mengubah luka jadi kekuatan.

Aku belum sembuh. Aku masih takut. Telepon pinjol masih datang, dan aku masih bersembunyi. Tapi aku punya sesuatu sekarang: pena dan kata. Dan itu cukup… untuk bertahan satu malam lagi.

Suatu malam, ketika listrik di kamarku tiba-tiba mati sejenak karena token habis, aku tahu: aku tak bisa terus begini. Uang dari cerpen memang membantu, tapi tak cukup. Utang-utang itu seperti monster yang bertelur setiap hari. Satu lunas, dua muncul lagi. Bunga menumpuk. Denda berjalan. Aku sedang berjalan di atas tambang waktu, menunggu saat semuanya runtuh.

Dan yang paling kutakuti: mereka tahu tempat kerjaku. Mereka bisa menelpon HRD. Bahkan datang ke rumah kakakku. Bayangan itu membuatku tak bisa tidur. Aku menggigil, padahal tubuhku berkeringat.

Akhirnya, aku buka WhatsApp.

Kuketik nama yang sudah lama tak kuhubungi: Andi Bank Mandira.

Andi bukan teman dekat, hanya teman satu kepanitiaan zaman kuliah. Sekarang dia sudah bekerja di bagian kredit mikro di sebuah bank. Dulu pernah chat basa-basi soal reksadana, tapi aku cuekin. Sekarang, aku malah berniat... pinjam uang.

Jari-jariku sempat ragu.

“Maaf ganggu, Andi. Gimana kabarnya? Aku mau tanya-tanya soal pinjaman pribadi. Bisa bantu?”

Pesan terkirim.

Kulipat tangan di dada, napas naik turun. Antara lega dan malu. Aku bahkan belum berani bercerita ke Ayu—sahabatku sendiri.

Beberapa menit kemudian, dia balas:

“Hai, Nura. Baik, alhamdulillah. Kamu gimana? Pinjaman untuk apa ya? Personal use kah?”

Aku menatap layar lama.

Personal use? Lebih tepatnya: membayar sebuah kebodohan.

Kupikir sejenak, lalu balas:

“Iya, pribadi. Aku lagi ada keperluan mendesak. Bisa nggak bantu prosesnya? Aku kerja tetap kok.”

Andi tak banyak tanya. Mungkin dia sudah terbiasa menerima permintaan seperti ini. Atau mungkin dia tahu: orang yang datang ke bank biasanya memang sedang... terdesak.

“Oke. Kirim data KTP, slip gaji, dan info pekerjaan. Nanti aku bantu simulasinya. Tapi ingat ya, ini bukan uang gratis. Jangan sampai gali lubang tutup lubang.”

Kalimat terakhir itu menusuk.

Gali lubang tutup lubang.

Padahal itulah rencana utamaku: menutup semua pinjol agar aku hanya punya satu tagihan yang legal, yang bisa dicicil, yang tidak menerorku setiap hari.

Setidaknya, kalau aku hanya berutang pada satu tempat resmi, aku bisa bernapas. Bisa berhenti sembunyi. Bisa berhenti menghapus notifikasi dengan tangan gemetar.

Beberapa hari kemudian, Andi mengabari.

“Simulasi oke. Kalau kamu serius, minggu depan bisa cair. Tapi syaratnya harus disiplin. Kalau telat bayar, efeknya panjang. Paham kan?”

Aku mengangguk sendirian.

Paham. Tapi rasanya seperti menandatangani kontrak untuk tetap hidup—meski terseok.

Malam itu, setelah cukup lama, aku bisa memejamkan mata tanpa mimpi buruk.

Masih ada rasa takut. Tapi di sela-selanya… ada secercah lega.

 **

Uang pinjaman dari bank cair seminggu kemudian.

Jumlahnya tidak besar, tapi cukup untuk menutup semua pinjol yang selama ini mencengkeramku. Semua notifikasi di layar ponsel akhirnya berhenti. Tak ada lagi nomor tak dikenal menelpon pagi buta. Tak ada lagi SMS berisi ancaman menyebarkan data ke semua kontak.

Aku membayar semuanya. Sekali lunas.

Rasanya seperti melepaskan ikatan rantai yang membelit leherku selama setahun.

Tapi bukan berarti hidupku jadi mudah.

Sekarang aku punya satu tanggungan cicilan bank yang harus kubayar setiap bulan, tepat waktu, tanpa kompromi. Tidak ada ancaman kasar, memang. Tapi konsekuensinya jelas: nama baikku, masa depanku, reputasiku sebagai pegawai tetap sedang aku jaminkan.

Aku membuat daftar pengeluaran baru di buku catatan kecil.

Kutulis dengan pena hitam:

“Uang gaji: 4.300.000”

Cicilan bank langsung kutandai merah: 2.100.000

Sisanya: sewa kos, listrik, pulsa, makan, transport.

Tak ada ruang untuk jajan. Tak ada skincare. Tak ada kopi susu kekinian.

Aku mengganti semua sabunku jadi sabun batang seribuan. Pakaian dicuci manual karena tak sanggup bayar laundry. Makan? Nasi, telur, kerupuk. Sudah cukup. Kadang aku bawa bekal dari kosan meski hanya mi goreng dan teh tawar dingin.

Ayu sempat curiga.

“Nura, kenapa lo sekarang makan melulu di meja kantor? Biasanya suka ngopi-ngopi di seberang.”

Aku hanya tertawa kecil.

“Lagi diet. Lagi pengiritan juga. Lo tahu sendiri, harga-harga lagi naik.”

Dia mengangguk sambil menyesap kopinya.

Dan aku bersyukur… dia tak banyak tanya. 

Hari-hariku kini seperti misi bertahan hidup.

Setiap rupiah terasa berharga. Setiap keputusan harus diperhitungkan. Bahkan ketika ingin membeli minuman kemasan di minimarket, aku harus berhenti dan berpikir:

“Perlu, atau cuma ingin?”

Aku menolak semua ajakan nongkrong. Kutolak tawaran langganan aplikasi film. Bahkan ponselku kuturunkan paket datanya.

Aku hidup seperti tentara perang. Fokus. Tahan diri. Tidak boros.

Di sisi lain, aku terus menulis.

Cerpen kedua dimuat. Lalu ketiga.

Honor tetap kecil, tapi cukup untuk menambah uang makan. Dan entah kenapa, setiap kali tulisanku dibaca orang, aku merasa... ada gunanya.

Aku bukan lagi pecundang yang tersesat. 

Aku sedang belajar:

Bahwa hidup bukan tentang punya banyak. Tapi tentang cukup. Tentang sadar. Tentang tahu kapan harus berhenti.

Aku belajar berkata “tidak.”

Belajar memilih.

Belajar menghadapi sunyi, tanpa merasa ditinggalkan

Setiap malam sebelum tidur, aku membuka daftar target bulananku.

Kucoret yang sudah lunas. Kuhitung lagi sisa bulan sampai utang itu habis.

Lima belas bulan lagi.

Kalau aku tetap kuat, tetap disiplin, tetap waras… aku bisa bebas.

Dan mungkin—ya, mungkin—aku bisa mulai hidup lagi.

Dengan tenang. Dengan utuh. Dengan kepala tegak.

Aku kira aku cukup pandai menyembunyikan semuanya.

Kucukupkan semua ketakutan dan rasa malu di dalam kepalaku. Kupikir, selama aku masih bisa bekerja, masih bisa tersenyum saat rapat, semua akan baik-baik saja.

Sampai suatu hari, Ayu menatapku lama dari seberang meja saat makan siang.

“Lo ngapain tadi siang di ruang print?” tanyanya, datar.

Aku mengernyit, pura-pura bingung. “Ngeprint... Materi presentasi.”

Dia tetap menatapku. Lama.

“Gue liat lo print slip gaji dan fotokopi KTP. Nura… lo kenapa?”

Jantungku berhenti sepersekian detik.

Bodoh. Aku terlalu lengah. Kupikir tak ada yang memperhatikan.

“Ada urusan, Yu. Nggak penting.”

Tapi Ayu bukan tipe orang yang bisa ditipu dua kali.

“Ada apa? Lo bisa cerita, kan?”

Aku diam. Tanganku gemetar, berusaha merobek plastik sambal sachet, tapi gagal.

Lalu tiba-tiba, air mataku jatuh. Di depan Ayu. Di ruang makan kantor. Di tengah jam istirahat.

Aku menangis—bukan karena sedih, tapi karena lelah menahan semuanya sendirian.

Ayu terdiam.

Aku akhirnya bicara. Pelan. Terputus-putus.

“Gue punya utang, Yu… banyak. Di pinjol. Udah setahun. Awalnya cuma satu. Tapi makin lama makin parah. Gue gali lubang tutup lubang, dan hampir... hampir nyerah.”

Ayu membeku. Matanya melebar. Tapi tidak ada caci maki. Tidak ada bentakan.

Cuma tangan yang menggenggam tanganku erat.

“Nura... kenapa lo nggak bilang dari awal?” suaranya pecah.

“Karena gue malu, Yu. Karena lo selalu bilang gue cewek paling mandiri yang lo kenal. Karena gue takut lo ilfeel. Takut lo... ninggalin gue.”

Ayu memelukku. Saat itu juga Di antara remah nasi dan suara TV kantin yang ramai.

Dia memelukku seperti anak kecil yang baru mengaku salah.

Dan aku sadar:

Menyimpan luka sendirian memang menyiksa. Tapi membaginya pada orang yang tepat… bisa jadi penyembuh.

Sore itu, Ayu menemaniku pulang. Kami tidak banyak bicara. Tapi genggaman tangannya terasa cukup.

“Gue bangga lo mau bertanggung jawab, Ra. Banyak orang kabur. Tapi lo bertahan. Lo kuat. Bahkan lo nulis buat bayar utang—itu gila sih, tapi keren,” katanya pelan.

Aku tersenyum sambil menyeka sisa air mata.

Mungkin… aku tak sendiri.

Tiga bulan sejak aku melunasi utang pinjol-pinjol milikku.

Tiga bulan sejak aku mulai menyusun hidupku dari serpihan-serpihan rasa malu, cemas, dan rasa gagal. Tidak mudah. Tapi setidaknya sekarang aku tahu ke mana kakiku melangkah. Setiap tanggal 25, aku langsung transfer cicilan bank. Tanpa pikir panjang. Tanpa tunda. Aku belajar, bahwa menunda hanya akan membunuh pelan-pelan. Sisa gaji kuatur sebijak mungkin. Kadang tetap mepet, kadang masih harus puasa jajan, tapi setidaknya aku bisa tidur lebih tenang.

 ***

Aku menulis lebih rajin sekarang.

Cerpen keempatku lolos antologi lokal. Honornya kecil, tapi ada rasa percaya diri yang tumbuh dari sana. Rasa yang dulu hilang karena utang-utang itu:

harga diri.

Aku mulai punya rutinitas baru. Bangun pagi, menulis seribu kata sebelum mandi. Malam, baca ulang draf. Kirim ke redaksi. Lalu berdoa.

Kadang aku masih merasa hampa. Masih ada hari-hari ketika aku ingin menghilang saja. Tapi perasaan itu kini cepat padam, karena aku ingat: aku sudah melewati badai. Dan aku hidup.

Ayu tak pernah mengungkit masalah pinjolku. Tapi dia juga tak membiarkanku lengah.

“Lo mau beli lipstik baru?” katanya suatu hari sambil melirik keranjang belanjaanku.

Aku tertawa. “Diskon lima puluh persen. Lo tenang aja, budget-nya udah gue siapin.”

“Good. Jangan balik lagi ke lubang kemarin ya.”

“Insyaallah, enggak.”

Kami tertawa. Tapi dalam hatiku, aku tahu: aku berubah. Bukan karena dunia mendadak baik, tapi karena aku belajar bilang cukup.

***

Malam ini, aku menyalakan laptop dan membuka dokumen baru.

Judul: Gaji Tong Kosong.

Aku ingin menulis kisahku. Bukan karena aku ingin viral. Tapi karena aku tahu, di luar sana pasti banyak orang seperti aku:

Yang terjebak gaya hidup palsu. Yang tertipu keinginan. Yang malu untuk minta tolong. Yang pura-pura kuat padahal sudah lelah.

Dan kalau ceritaku bisa membuat satu orang saja merasa bahwa mereka tidak sendiri—maka semua ini tak sia-sia.

Aku belum bebas sepenuhnya.

Cicilan masih panjang. Tapi aku tahu ini jalan yang kupilih.

Jalan yang perlahan, diam-diam… menyembuhkanku.

Dan kali ini, aku melangkah dengan sadar.

Dulu aku kira hidup akan selalu datar setelah usia tiga puluh.

Bahwa semua orang akan menemukan tempatnya, pekerjaannya, atau cintanya dan semuanya akan berjalan lurus-lurus saja.

Ternyata hidup masih bisa jungkir balik. Masih bisa bikin napas sesak, air mata tumpah, dan kepala seperti mau pecah karena tagihan. Ternyata... kedewasaan tak datang dari usia, tapi dari patah yang kita rawat sendiri.

Aku belajar, bahwa hidup sederhana itu bukan soal gaya, tapi soal kesadaran:

apa yang sebenarnya kita butuh? dan apa yang sebenarnya kita kejar agar diakui?

Aku juga belajar, bahwa utang bukan cuma soal angka, tapi soal harga diri.

Bahwa hidup dengan uutang—apalagi utang yang tak sehat—adalah hidup dalam bayang-bayang. Dan bayang-bayang itu bisa menelan cahaya dalam diri kita. Kapanpun.

Tapi aku masih di sini. Masih bisa menulis. Masih bisa tertawa. Masih bisa bilang, “Maaf ya, kemarin aku bodoh.”

Dan itu cukup.

Kini aku tahu:

Bukan uang, bukan barang, bukan status yang membuatku merasa tenang—

tapi kejujuran pada diri sendiri.

** 

Siang itu, aku datang ke toko buku bersama Ayu.

Kumpulan cerpenku terbit. Bukan karya besar, tapi itu jejakku. Bukti bahwa luka bisa tumbuh jadi bunga, asal dirawat dengan sabar.

Ayu bilang dia traktir kopi.

Aku bilang, “Boleh, asal bukan pake PayLater.”

Kami tertawa keras, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… tawaku terasa utuh. Bukan basa-basi. Bukan pelarian. Tapi sungguh dari hati. 

Aku masih punya cicilan.

Aku masih hidup pas-pasan.

Tapi aku tak lagi sendirian.

Dan itu… cukup bagiku.

TAMAT


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)