Masukan nama pengguna
Enam orang duduk melingkar untuk sebuah focus group discussion. Ini sesi terakhir dari serangkaian tes untuk satu posisi manager di sebuah pabrik dan perkebunan di utara Jawa. Pukul sembilan tepat tim penilai masuk ruangan. Tim terdiri dari seorang manager sumber daya manusia dan dua orang dari lembaga psikologi mitra perusahaan. Perwakilan perusahaan membuka dengan basa-basi seadanya, sedang tim psikologi memberi instruksi dan menyerahkan selembar kertas di tengah meja.
Perempuan berkacamata yang sudah lama berkarir di perusahaan itu mengambil kertas yang disodorkan, membaca sekilas dan tanpa diminta membacanya keras-keras. Tim penilai mundur mencari tempat duduk, membuka laptop dan selama hampir empat puluh lima menit mereka ambil alih tugas malaikat Rakib dan Atib di pundak keenam peserta.
***
Berikut isi lembar soal yang disodorkan tim penilai dalam focus group discussion itu.
Pulau Kidul adalah pulau kecil di selatan Jawa yang jumlah penduduknya hanya sekitar seratus jiwa. Untuk menuju ke Pulau Kidul kita harus menyeberang menggunakan perahu boat kecil dengan durasi sekitar enam jam. Suatu hari perahu boat membawa enam penumpang menuju Pulau Kidul, antara lain:
1. Nahkoda yang setelah selesai dengan tugasnya akan segera menemui istrinya yang sedang bersiap melahirkan anak ketiganya.
2. Perempuan hamil delapan bulan yang kembali ke Pulau Kidul untuk mempersiapkan persalinan di rumah orang tuanya.
3. Anak berkebutuhan khusus dengan satu tangan dan satu kaki yang pulang ke Pulau Kidul karena libur dari pesantrennya.
4. Perempuan lanjut usia yang akan berziarah ke makam suaminya di Pulau Kidul sebelum memutuskan kepada siapa hartanya akan diwariskan.
5. Petugas PMI yang bertugas membawa sejumlah kantong darah bagi pasien kritis di Pulau Kidul.
6. Guru SD satu-satunya yang masih mau mengabdi di Pulau Kidul.
Setelah empat jam perjalanan, hujan deras dan tingginya ombak membuat perahu boat itu karam. Perahu boat memiliki sebuah perahu karet yang hanya muat diisi dua orang. Sebagai nahkoda, pilih dua orang yang menjadi prioritas Anda untuk diselamatkan dengan naik perahu karet menuju pulau Kidul dan beri alasannya.
***
Laki-laki berperut buncit langsung mengambil alih dan menganalogikan perahu boat sebagai perusahaan. Sebagai karyawan yang sangat loyal pada perusahaan, lelaki ini meyakinkan bahwa pulau Kidul adalah goals perusahaan. Soal siapa yang akan diselamatkan dia berkata sok bijak, “Monggo, siapa yang diselamatkan kita sepakati yang mendukung kinerja.”
Perempuan berhijab dengan sigap angkat bicara. Pengalamannya bekerja di perusahaan multi nasional membuatnya fasih bicara tentang korelasi antara sumber daya manusia dengan kinerja perusahaan. Lelaki berbadan tegap disebelahnya yang konon sukses kembangkan bisnis startup digital menyahut, “Ya, I’am agree with you.”
“Agree mananya, bang? Sekarang konkrit aja tentukan siapa yang kira-kira masuk kriteria dari mbak tadi.” Lelaki berkacamata yang sedari tadi dingin mengamati sekonyong-konyong ambil alih diskusi. Lelaki berkacamata, perempuan berhijab dan perempuan berkacamata pun asyik berdiskusi, sedang lelaki berperut buncit dan pemuda berbadan tegap hanya sibuk pura-pura ikut berpikir. Hingga lelaki berbadan kurus menyela, “Tapi, bukannya semua manusia punya hak hidup yang sama, ya?”
Semua terdiam dan memandang si lelaki kurus yang selama dua puluh lima menit sebelumnya belum sempat berbicara. Ia pun berkata, “Daripada kita terjebak memikirkan siapa dua orang yang layak diselamatkan, sebaiknya kita berpikir bagaimana caranya semua bisa selamat.”
“Gimana itu, bang?”
“Bisa dengan mengutamakan dua orang terlemah, seperti anak difabel dan ibu hamil untuk naik ke perahu karet, sedang yang lain mendorong dari air.” belum selesai si lelaki kurus mantan supervisor di LSM yang fokus pada gerakan hak asasi manusia itu menjelaskan, perempuan berkacamata yang paling senior diantara mereka memotong, “Halah, gak realistis!”
Diskusi pun kembali memanas hingga dua puluh menit kemudian. Pembaca, inilah dua orang yang akhirnya mereka selamatkan:
1. Nahkoda kapal. Alasannya mudah saja, jika mereka diminta menjadi nahkoda dalam persolan itu, mereka tentu saja tidak ingin mati lebih dulu. Istri dan anak-anak menunggu di rumah, lho.
2. Perempuan lanjut usia. Alasannya sungguh kapitalistik sekali: dia orang kaya. Tertulis di kesimpulan bahwa ketika dia tetap hidup dan berhasil ke makam suaminya, dia akan diminta untuk mewariskan sebagian hartanya bagi empat penumpang lain yang ditinggalkan.
Tapi apa yang terjadi setelah mereka berdua diselamatkan para pelamar?
***
Nahkoda dan perempuan lanjut usia bersandar di pulau Kidul dengan susah payah. Perempuan lanjut usia pingsan seketika sampai di bibir pantai, sedang nahkoda bergegas ke kantor kepada dusun untuk meminta pertolongan dan meminjam telepon. Sayanganya telepon di kantor dusun sudah rusak sejak belasan tahun yang lalu. Kejadian ini tentu saja membuat warga pulau berkerumun di depan kantor kepala dusun.
“Kamu harus kembali! Selamatkan yang lain!”
“Mana tanggung jawabmu sebagai nahkoda?!”
“Eh, tapi kan istrinya mau melahirkan. Kasian.”
“Lha anak saya juga lagi hamil malah ditinggal di laut!” kata perempuan tua yang baru datang sambil menangis.
Si nahkoda yang makin tersudutkan warga membela diri lirih, “Tapi para pelamar yang memilih saya.”
Ayah dari anak berkebutuhan khusus yang tubuhnya penuh tato lantas berteriak, “Kamu dipilih agar bisa kembali ke laut selamatkan yang lain! Bedebah!”
Langit nyatanya masih hitam pekat. Si nahkoda berpikir dan menghitung sisa nyawanya sendiri yang masih mungkin bisa diselamatkan.
“Di sini ada yang punya kapal? Tidak mungkin ke tengah laut dengan perahu karet lagi.” tanya si nahkoda. Namun warga malah ribut sendiri.
“Bener, sih. Biar langsung keangkut semua.”
“Lah, yang punya kapal aja lagi di laut semua.”
“Oiya, mereka kena badai juga gak ya?”
“Eh, kan ada satu yang tidak ke laut. Sutrisno itu lho.”
“Loh. Sutrisno bukannya habis kecelakaan dan butuh darah?”
“Eh. Petugas PMI ikut ditinggal di laut, dong!”
“Kantong darahnya gak dititipin ke si nahkoda? Goblok bener dah!”
“Kebangetan kalau dia tidak mau balik ke laut!”
Terdesak, nahkoda terpaksa berlayar menerjang badai setelah susah payah menyeret kapal milik Sutrisno yang sudah lama tidak dipakai ke bibir pantai. Ia hanya ingin kembali ke Jawa bertemu anak istrinya daripada tetap di Pulau Kidul dan jadi pesakitan. Dua hari kemudian, sang nahkoda ada di daftar penumpang hilang ketika karamnya perahu boat ini menjadi berita hangat di media massa.
***
“Aku diselamatkan para pelamar, agar sebagian hartaku bisa diwariskan bagi keluarga penumpang yang mati.” ujar perempuan lanjut usia yang baru siuman.
“Wah, baik juga ya dia.”
“Pelamar tuh yang pinter milihinnya.”
“Iya, mending nenek ini nih daripada si nahkoda tadi.”
Warga kembali berkerumun di kantor kepala dusun setelah perempuan lanjut usia itu tidak jadi mati seperti yang digunjingkan warga.
“Tolong antarkan aku ke makam suamiku.” kata si perempuan lanjut usia.
“Nenek yakin suaminya dimakamkan di sini?” tanya Kepala Dusun.
“Iya, Pak.”
“Tapi kami kok tidak pernah melihatmu berziarah ke sini, Nek?”
“Ini pertama kali aku ke sini, Pak.”
“Lalu waktu dia meninggal?”
“Aku baru tau dua tahun setelahnya. Kerabat sembunyikan kabar itu karena aku di sana sakit-sakitan.”
“Siapa nama suamimu, Nek?”
“Suhendro.”
Warga kaget mendengar nama yang disebutkan perempuan lanjut usia itu.
“Hah? Ki Suhendro?”
“Serius nih?”
“Ki Suhendro berarti masih punya keluarga di Jawa.”
Si perempuan lanjut usia memecah gunjingan warga, “Bagus kalau kalian kenal. Tapi kenapa dipanggil pake ‘Ki’?”
“Dia orang yang mendirikan pabrik semen di barat pulau ini. Sejak saat itu dia memberi segalanya kepada kami, hingga kami tak perlu lagi melaut. Dia sudah dianggap seperti orang sakti.” kata Kepala Dusun.
“Lalu pabriknya sekarang?”
“Sudah pailit sebelum beliau meninggal dan kami pun terlanjur lupa cara melaut.”
Si perempuan lanjut usia terdiam, tapi warga masih bergunjing di depannya.
“Lha gimana pabriknya mau jalan, wong istrinya aja gak tau.”
“Lha anak-anaknya mana, ya?”
“Anak muda kota apa mau ke pulau kecil gini.”
“Kalaupun mereka mau, jadi resort kali desa kita.”
“Lah, wong pantai aja udah jelek gitu.”
“Ya, setidaknya kan pemasukan kita lumayan.”
“Iya, sih, daripada cuma berkebun seadanya gini buat hidup.”
“Mana tanah sini udah jelek banget.”
“Air juga mulai susah, lho. Harus gali sumur lagi.”
“Betul, hasil panen mana laku dijual di Jawa.”
“Mungkin pabriknya ngerusak tanah ya.”
“Hush. Ini tuh mungkin kutukan.”
“Kutukan opo? Karena Ki Suhendro bunuh diri?”
“Hah? Suamiku bunuh diri?” dan perempuan lanjut usia pun pingsan lagi. Sejumlah warga sibuk membopongnya, sedang warga lain masih meneruskan pergunjingan mereka.
“Kamu bilang yang enggak-enggak, sih.”
“Lah, kan emang gitu.”
“Iya, tapi nenek ini kan juga baru nerjang badai. Kalo malah mati gimana?”
“Sial, dia belum nulis warisannya.”
“Kita buatin ajalah. Kelamaan.”
“Iya, mumpung sidik jarinya masih ada buat cap tiga jari.”
“Lha emang dia udah mati?”
“Halah bisa diatur.”
***
Giliran tim penilai focus group discussion yang kini mendiskusikan hasil tes para peserta.
“Untung anak titipannya komisaris tidak jelek-jelek amat hasilnya.”
“Kita bungkus deh ya kalo gitu.”
Seorang anggota tim memasukkan curriculum vitae lelaki berperut buncit dan lelaki berbadan tegap ke dalam amplop bertuliskan rekomendasi.
“Eh, tapi yang ini bagus banget inteligensi, kepribadian dan potensinya. Excellent!”
“Cowok kurus mantan LSM itu?”
“Malesin ah, sok idealis.”
“Dia kita taruh di laut aja gimana?”
“Nah. Cocok! Katanya kan semua orang punya hak hidup.”
***
Laut antara pulau Kidul dan Jawa sudah kembali tenang. Pelamar berbadan kurus tiba-tiba muncul di lokasi karamnya perahu boat. Ia pun berinisiatif menyusun puing-puing perahu dan membantu anak berkebutuhan khusus serta perempuan hamil naik ke atasnya. Petugas PMI dan Pak Guru yang masih cukup bugar dimintanya mendorong kapal jadi-jadian itu.
Lima tahun kemudian mereka berlima muncul di sebuah acara talkshow televisi. Mereka diminta bercerita tentang bagaimana selamat dari badai dan membangun kembali kehidupannya di pulau terpencil. Kini mereka adalah pemilik saham mayoritas perusahaan semen di Pulau Kidul.
“Lalu apa rencana Bapak ke depan?” tanya presenter kepada si lelaki kurus yang kini tampil klimis dan elegan di televisi..
“Kami baru saja akuisisi sebuah pabrik dan perkebunan yang mangkrak sejak tiga tahun lalu di utara Jawa. Sekarang kami sedang mencari manager yang tepat, barangkali Anda tertarik?”
Semarang, 1 Juli 2020