Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,810
MITOLOGI HUJAN
Romantis

“Aku selalu bahagia saat hujan turun.” kataku yang hanya bisa tersenyum menatap senyum manis Eos, sang dewi pagi, yang tengah duduk persis di sampingku.

“Senyummu masih sama seperti dulu,” kataku lagi sambil terbata. Kini Eos kembali tersenyum menatap wajahku dan berkata, “Mungkin karena hujan ini, Hermes. Tetes-tetes air itu sungguh seperti sedang menari-nari.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ia mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang persis pernah kuucapkan padanya dulu. Dulu sekali, ketika ia tengah menangisi paginya yang basah. Sekarang aku seolah telah kehilangan kata-kata untuknya saat itu. Aku pun hanya bisa tersenyum, karena ternyata tak hanya kata-kataku yang telah ia ambil alih. Hatiku masih tercekat dicuri paras lembutnya.

“Benar kan, Hermes?” Ternyata ia masih menunggu tanggapan dariku. Aku masih saja terdiam dalam senyum. Tapi sepertinya itu tak cukup untuk menjawabnya. Senyum indahnya mulai meredup.

“Kau pasti juga merasakannya. Itu tadi kata-katamu, kan?” kata Eos.

“Bagaimana bisa aku lupa kata-kata itu. Bahkan setiap ucapan makhluk di bumi pun aku masih mengingatnya.” Ia pun kembali tersenyum menatapku. “Aku masih ingat  jelas, waktu kita tengah duduk berdua, dan kau, Eos, tiba-tiba ada di sampingku seperti ini. Menatap hujan bersama, menunggu ia reda, yang entah kapan. Kemudian kau berkata,...”

“Entah kenapa aku selalu takut hujan.” Ia memotong pembicaraanku. Dan untuk kesekian kali aku melihatnya tersenyum di mataku. Ternyata ia masih mengingatnya.

“Ah, ternyata kau juga masih ingat saat itu.”

“Itu waktu yang sudah lama sekali. Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu kau berkata, justru saat hujan adalah saat yang paling indah untukmu. Bagimu, hujan adalah pesan paling romantis bagi kehidupan.”

“Dan setelah itu Eos sang dewi pagi ini hanya bisa terseyum, sama seperti saat kulihat senyummu saat ini.”

“Kau tahu wahai sang pembawa pesan langit? Saat itu adalah saat pertama kali aku merasa bahagia saat hujan turun,” katanya dengan lembut, yang membuat hatiku berdegup riang. Lalu aku pun hanya bisa diam. Begitupun dengan Eos. Hanya titik-titik hujan yang bersuara menenggelamkan senyum kami.

Hujan telah membawaku bertemu dengannya di sebuah kastil yang tak bernama. Sayang, senja terlalu cepat datang menjemputnya sebelum sempat aku menyebutkan kata rindu padanya. Tiap pertemuan dengannya sungguh melenakkan. Tapi aku hanya bisa terdiam ketika ia begitu saja berlalu bersama buih-buih sisa hujan yang percikkan pelangi.

Aku tak pernah bisa mengucapkan rasa rinduku padanya. Rasa rindu yang masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu. Rindu menggebu yang masih sama hanya untuk sang pagi yang jelita. Semuanya masih sama, seperti juga diamku yang sembunyikan perasaanku padanya. Berpuluh tahun yang lalu, mungkin akan terasa sangat indah, bila aku mampu mengucapkan gejolak hatiku yang masih meretas hingga kini.

***

Malam pun tiba. Helios tidak lagi menyemburkan kehangatan mataharinya. Tinggallah Selene yang pucat itu bertahta di atas purnamanya. Sang dewi rembulan ternyata masih murung menantikan Endymion terbangun dari tidur abadinya. Aku mengerti kemurungan sang Selene malam ini, karena gejolak yang mungkin serupa juga tengah mendera relung-relung hatiku. Hanya saja tak pernah ada yang tahu bahasa cinta apa yang ada di hatiku ini. Tak juga Zeus dan para penghuni Olympus maupun para dewa pesakitan di penjara Tartarus.

Kelopak bunga terindah yang selalu membalut tubuh Eos masih menggelantung di anganku. Aku rindu pada keindahan jari-jari peraknya yang selalu membawa guratan lukisan fajar. Tak sabar ku menunggu tetesan embun yang dibagikannya pada bunga-bunga tak bertuan. Aku hanya ingin melihat sang pagi datang bersama kepakan sayap emasnya dan menyapaku dengan senyum sejuknya.

Ku lepaskan topi bersayapku dan pikiranku pun terbang bersama angan yang mungkin akan disebut Eros sebagai cinta. Ah, Eros, dia yang telah membuatku begini. Ia yang telah memberikan anak panah cintanya padaku ketika kereta-kereta Selene melintasi pagi menuju ke Barat untuk menghalangi bintang-bintang mengaliri Sungai Ocean.

Waktu itu aku hanya ingin menyampaikan pesan Zeus, bahwa hujan akan datang pagi itu, sehingga Eos tak perlu lagi menaburkan embun indah dari dalam kendinya. Eos seketika menangis. Sang pagi dilanda kesedihan menatap hujan yang baginya telah merusak lukisan fajar di cakrawalanya. Tetapi panah Eros telah membuatku jatuh cinta. Aku pun tetap di sampingnya menatap hujan turun membasahi kereta-keretanya. Padahal anak panah Eros itu pun ialah pesan dari sang Zeus. Itu adalah pesan cinta dari sang penguasa Olympus pada kesejukan dewi pagi yang indah.

Hujan dan cinta, sebuah pilihan pesan romantis dari sang putra Cronos yang telah memenjarakan ayahnya sendiri yang memang kejam. Aku pun menjadi mengerti mengapa Zeus sang penguasa petir itu mampu memikat banyak wanita dan menikahinya. Tapi aku merasa sangat beruntung ketika ujung anak panah Eros itu ternyata telah terlebih dulu melukaiku.

Ah, ini bukan semata karena Eros, Angin Timur lah penyebab sesunguhnya. Waktu itu ia sedang dititahkan Aprodhite untuk menjemput Psyche menuju Olympus dengan segera. Dan aku akan menuju cakrawala menemui Eos untuk menyampaikan dua pesan Zeus itu. Aku masih ingat bagaimana aku terbang begitu cepat hingga tak melihat Angin Timur yang berlalu di depanku. Sayap-sayap kecil di kaki dan topiku bergerak tak karuan. Badanku oleng, tangan dan kaki ku mencoba bergerak meraih keseimbangan. Anak panah untuk Eos yang ku genggam di tangan kiri tanpa sengaja melukai tangan kananku.

Seketika Eos datang dengan keretanya untuk menolongku. Tanpa Eos aku hampir saja terhempas di bebatuan pantai kota Athena. Ku tatap Eos yang begitu cantik pagi itu. Kelopak matanya lebih indah dari kelopak-kelopak bunga yang tersulam di pakaiannya. Parasnya begitu berkilau lembut mengalahkan jari-jari peraknya maupun sayap emasnya yang anggun. Panah itu tak lagi menjadi pesan cinta ketika sampai di tangan Eos, butir-butir cintanya telah meresap ke dalam nadi-nadiku. Ketika hujan itu, aku telah jatuh cinta pada Eos.

***

Berpuluh tahun telah berlalu. Tak hanya Zeus yang telah menyampaikan perasaan cinta yang lembut itu padanya. Tetapi juga Aeolus, sang dewa angin, serta Orion, sang manusia pemburu yang perkasa. Dan juga Thatamus, putra Laomedon dari Troy, yang selalu senang menjalankan tugasnya, yaitu mengumumkan akan datangnya pagi sebelum kereta-kereta Eos dan Helios datang melintasi langit dan memberikan keindahan pagi serta cahaya matahari.

Bagaimana dengan aku, sang pembawa pesan langit? Ternyata menyampaikan pesan cinta dari dalam hatiku sendiri lebih sulit daripada menyampaikan pesan dewa yang paling sulit sekalipun. Aku seolah membisu ketika berhadapan dengan Eos yang jelita. Tak ada sepatah kata pun yang pantas untuk ku sampaikan daripada pesan cinta dan rindu yang mendera dalam nuraniku. Aku hanya terdiam dalam kegundahan jiwa, dan menyembunyikan dalam-dalam pesan cinta itu.

“Wahai sang Hermes, malam ini kau tampak begitu gundah. Secarik pesan dari dewa-dewi manakah yang membuatmu begitu murung?” Rupanya Selene memperhatikan lamunanku dari tadi. Aku hanya termenung mendengarkan pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Malam ini terasa jingga, mungkin Selene juga tengah merasakan kegundahan yang sama. Aku merasa tak perlu menjawabnya, karena mungkin ia memang telah mengetahui kegundahan cintaku ini.

“Apakah Ares kembali mengirimkan pesan bahwa akan terjadi perang besar kepada makhluk di bumi?” Selene ternyata masih penasaran pada diamku yang gundah.

“Bukan. Ares tak lagi mengirimkan pesan perang. Ia baru saja terluka pada perang besar yang lalu. Bukankah kau dengar sendiri tangisannya yang menguasai pegunungan Olympus waktu itu? Tapi kini manusia sendirilah yang terlalu tamak menginginkan peperangan diantara mereka. Bahkan kini Ares yang mendapat pesan tentang perang dari makhluk bernama manusia itu.”

“Lalu apa yang membuatmu begitu gundah?” Aku hanya terdiam. Selene yang direnggut rasa penasaran pun kembali berkata, “Ataukah Eros telah mengirim pesan pada manusia, bahwa panahnya tak lagi menghunuskan cinta, karena Psyche telah melihat wujudnya?”

“Tentu saja bukan. Eros memang mencintai Psyche, tapi baginya, putri paling cantik di dunia itu belum siap menerima cinta yang agung dari sang dewa cinta. Eros masih tetap akan membagikan cinta dengan panahnya, sambil menunggu sang Psyche menemukannya. Sayang, manusia masih terlalu angkuh menerima cinta. Mereka mulai mengubur cinta dalam peti-peti kesenangan duniawi. Cinta manusia tak lagi seagung nyanyian khayangan.”

“Aku semakin tak mengerti kini tentang apa yang kau gundahkan. Tapi sesungguhnya aku merasa kau tengah mengalami kegundahan yang sama seperti diriku.”

“Ya, kau benar dewi rembulan. Kegundahanku ini tentang pesan agung dewa yang mungkin takkan pernah tersampaikan,” kataku lirih.

“Siapa dewa malang itu, Hermes?”

“Aku. Aku lah dewa yang malang itu. Sang pembawa pesan itu sendiri.”

“Bagaimana bisa?”

“Ini tentang cinta. Dan aku bukan dewa yang mengerti apa itu cinta. Adalah hal yang mudah jika aku hanya menyampaikan pesan cinta diantara para penghuni Olympus. Aku tak perlu merangkai kata untuk hal itu, semua pesan cinta itu hanya tinggal ku sampaikan. Tapi perasaan cinta ini dari dalam hatiku sendiri. Aku tak mengerti bagaimana cara merangkai luapan cinta dalam jiwa ini menjadi sebuah pesan yang bermakna bagi wanita jelita yang kucintai.”

Selene terdiam murung mendengar jawaban atas kegundahanku itu. Ia bergumam, “Mungkin Endymion juga begitu.” Di malam yang sepi itu, kita termenung bersama. Selene mulai menitikkan kembali air matanya, dan kembali bergumam, “Tapi kenapa ia justru memilih tidur abadi?” Ia menatapku yang semakin murung setelah melihatnya menangis.

“Siapa wanita itu, Hermes? Mungkin aku bisa membantumu.”

“Terima kasih, Selene. Kau akan tahu andai saja kau, sang cahaya malam,  dapat melihatku bercahaya ketika pagi datang. Tapi, biarlah hanya hatiku yang gundah ini yang tahu. Toh, aku tak mungkin membiarkan ia tahu perasaan cintaku ini. Ia mungkin sudah sangat bahagia dengan suami dan anak-anaknya yang lucu.”

“Kenapa tak kau sampaikan saja? Bukankah cintamu tulus dan tak mengharap apapun?”

“Tidak, Selene. Bukan begitu caraku. Aku tak mau melihat kegundahan yang sama melanda Olympus dan penjuru bumi. Biarlah pesan ini tetap ku simpan. Aku tak ingin melihatnya gundah dan kehilangan kebahagiaannya.”

“Tapi jika ia juga mencintaimu bukankah ia akan lebih bahagia?”

“Entahlah. Mungkin ini memang sudah pesan langit agar aku hanya menjadi sang pembawa pesan, dan bukan sang pengirim pesan.”

“Tapi bukankah sahabatmu, Eros, mengganggap bahwa cinta itu hanyalah sebuah pesan yang harus dibagikan?”

“Ya, biarlah aku membagikannya pada manusia. Ini adalah pesan cintaku yang sunyi, biarlah manusia yang sejahtera bersama cinta dan pagiku.”

Selene hanya tersenyum, sebelum ayam-ayam bersiap untuk berkokok menyambut sang dewi pagi yang kurindukan. “Selamat tinggal, Selene,” kataku. Selene pun bersiap pergi dengan keretanya yang dihela dua sapi jantan yang perkasa. Senyumnya masih menggantung, tapi matanya masih menyimpan peluh atas penantiannya pada Endymion. Aku pun hanya bisa berucap, “Endymion memilih tidur abadi bukan karena ia tak bisa menyampaikan pesan cintanya padamu. Ia tak hanya seorang penggembala dari gunung Latmos, ia juga adalah penyair cinta yang indah. Tentu kau tahu itu. Tapi mungkin ia ingin selalu bertemu denganmu di dalam mimpi-mimpinya yang nyata, karena selama ini kau hanya hadir di malam yang hanya sisakan lelahnya. Cobalah menjadi gerhana, dan datangi ia di setiap mimpi-mimpinya.” Dan Selene pun berlalu bersama sang Bintang Senja menyusuri sungai Ocean dengan senyumnya yang paling indah.

***

Akhirnya sang dewi pagi yang kurindukan datang dari istana emasnya di ujung Timur. Pagi ini tidak ada hujan, sehingga ia bisa menari di angkasanya yang luas. Jari-jari peraknya yang lembut kembali semburkan lukisan indah di sudut cakrawala. Sayap-sayap emasnya semakin memerahkan langit yang tadinya redup dan mengusapnya dengan rona cahaya. Percikan embunnya yang menyejukkan menyentuh rerumputan, dedaunan, dan juga sayap-sayapku yang terpesona akan kelembutannya. Setiap pagi, aku menikmati perasaan cintaku pada sang Eos, meskipun ia tak pernah tahu ada pesan cinta untuknya di hatiku.

Mungkin Eos tak pernah tahu, bahwa setiap ku melihatnya hatiku ini terus mendendangkan nyanyian terindah yang pernah ada di bumi, meskipun kecapi emasku telah lama kuserahkan pada Apollo, sang dewa kebenaran dan nyanyian. Atau mungkin Eos ternyata dapat mendengarnya, hingga ia bisa menari riang bersama kereta-kereta emasnya hingga ujung cakrawala. Entahlah. Aku hanya dapat merasakan nyanyian jelita dari sang Eos ketika hujan menerpa sayap-sayap emasnya. Yaitu ketika kita duduk berdua dan berbicara tentang hujan di sebuah kastil yang tak bernama. Mungkin di saat itulah ia mendengar nyanyian lembut di dalam hatiku, hingga ia akhirnya dapat merasakan keindahan hujan yang memekarkan pelangi diantara hatiku dengan hatinya. Ini sebuah tragedi cintaku yang sunyi, di mana tak ada seorang penyair cinta pun yang tahu, bahkan Homerus dan Hesiodus pun tak pernah mampu menuliskannya dalam mitologi.

 

Ditulis pada sebuah pagi yang hujan di Kota Semarang, 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)