Masukan nama pengguna
Aku terbangun jam tiga pagi. Keringat mengucur deras, di bagian mulut ada yang kosong. Mimpi itu seakan begitu nyata. Gigi geraham atasku copot.
Aku lekas bercermin untuk memastikan susunan gigiku. Aku juga memeriksa dengan jari bagian gigi yang hilang dalam mimpi. Benar. Itu hanya kejadian fiksi. Syukurlah!
Namun, mengapa perasaanku mendadak tidak tenang dan dada terasa sesak? Seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar bunga tidur. Ini aneh!
Tidak ada yang sedang kupikirkan. Tidak ada pula masalah yang menggerayangiku. Hari-hariku berjalan baik-baik saja. Lantas, dari mana sumber keresahan yang tiba-tiba mengganggu tidurku ini? Mengapa gundah merayap tanpa alasan?
Kubuang segala pikiran negatif yang membayang. Tidur dan mimpi merupakan satu kesatuan yang biasa. Aku tidak boleh terlampau memikirkannya.
Aku pun terjaga hingga waktu menunjulkan pukul 07:00. Lelah masih tersisa, pikiran belum sepenuhnya tenang.
Setiba di kantor, aku sedikit kehilangan mood. Rasanya seperti ada yang mengganjal dalam logika. Ibarat ada benda yang tertinggal, tetapi entah apa itu.
Jari-jariku menari di atas papan ketik. Kubuat melodi tiada henti dengan tempo yang tinggi. Fokus dan sibukkan diri supaya mimpi semalam mengendap ke dasar ingatan.
Sayangnya, upayaku bak memperkuat misteri mimpiku. Tak tahan memendam, aku lantas bercerita mengenai gelisah yang mengusik ritme kerjaku kepada dua temanku yang sama-sama staf administrasi di perusahaan ini. Aku bawa mereka duduk agak menepi di kantin.
“Pantes aja dari pagi gue liat lu kagak kayak biasanya. Kirain lagi datang bulan,” ujar Tia, terkekeh-kekeh.
“Fit….” lirih Rima. Nadanya yang melankolis membuat aku dan Tia hening. “Aku bukan nakut-nakutin. Kata nenekku, kalau kita mimpi gigi copot, itu artinya bakal ada yang meninggal di keluarga kita,” terangnya seraya meraih kedua tanganku.
Aku merinding. Tubuhku bergetar dan mengeluarkan hawa panas. Memoriku memutar kejadian dua hari yang lalu.
Adikku meminta uang untuk berobat Bapak. Dia mengatakan Bapak menderita batuk-batuk selama beberapa hari. Sudah berobat ke puskesmas, tetapi tdak ada perubahan.
Apakah yang disampaikan oleh Rima bisa berkaitan dengan kondisi ayahku? Tidak.
Aku mencengkeram bagian bawah kemejaku. Aku tidak mau larut dalam pernyataan Rima. Lagi pula, adikku kemarin mengabarkan keadaan Bapak sudah lebih baik.
“Alaaah! Itu mah cuma mitos. Mimpi itu kan aktivitas abstrak di alam bawah sadar kita. Ia hadir dari perasaan, emosi, keinginan, atau hal-hal yang belum kita capai di alam nyata. Gue pernah baca artikelnya di internet,” ungkap Tia, menyanggah kepercayaan nenek Rima, sembari menyeruput es teh manis. “Kecuali sih lu memimpikannya berulang-ulang, Fit,” sambungnya yang membuatku jadi linglung.
Dia menenangkan di awal, kemudian menghantam setelahnya. Oh, Tia!
Bel masuk setelah jam istirahat berbunyi. Perbincangan kami pun terpaksa terhenti. Kutarik napas dalam-dalam untuk menyerap dan mengalirkan afirmasi positif ke otak. Aku tidak boleh terprovokasi pada mimpi yang mengias sesaat.
Kucoba nikmati alunan jarum jam dengan damai. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Terang berganti gelap yang pekat.
Usai sembahyang Isya, aku rebahkan badan di kasur. Lelah yang bergelayutan seharian, fisik dan rohani, sudah memanggil untuk dipulihkan.
Bismikallaahuma ahyaa wa bismika amuutu. Dengan menyebut nama-Mu, Ya Allah, aku hidup dan dengan menyebut nama-Mu, aku mati.
Perlahan lelap mendekap. Aku menyambutnya dengan penuh harapan.
Namun, ia kembali lagi. Tidurku menayangkan hal yang sama seperti kemarin malam. Gigiku terlepas dari tempatnya. Kali ini, geraham bawah.
Tidak. Tidak mungkin. Ini bukan sebuah pertanda, kan – sebagaimana yang dikatakan oleh Rima?
Aku ambil ponselku. Kulihat waktu yang terpampang pukul 01:30 dini hari.
Aku berdiri – mengambil segelas air putih. Kureguk kesegaran untuk meredam suhu tubuh. Setelah itu, aku menghubungi adikku untuk bertanya kabar dia, Ambu, dan Bapak.
Butuh 5 kali menekan tombol memanggil di ponsel sampai aku merasa lega. Mereka semuanya dalam kondisi baik-baik saja dan sehat. Tampaknya aku memang rada berlebihan, khawatir terhadap mimpi.
Entahlah. Dibilang mimpi buruk, adegannya hanya berkutat pada aku makan bakso bersama teman-teman. Aku mengunyah bulatan daging tersebut, lalu gigiku lepas. Mungkinkah itu refleksi kejadian tadi siang saja?
Aku telusuri informasi di internet mengenai mimpiku. Semua artikel menjelaskan hal senada dengan yang diutarakan oleh Rima dan Tia pertanda kematian di keluarga dan rekaan alam bawah sadar belaka. Kuncinya, jangan sampai ketakutan membawa kenyataan.
Aku peluk gulingku. Perlahan kembali menutup mata sebab pagi yang dinanti masih menyisakan waktu yang panjang.
Ah! Tidak, tidak. Bagaimana jika mimpi itu masuk lagi? Aku takut.
Dari sepertiga malam hingga mentari memendarkan cahaya dan lalu tenggelam, aku bergulat bersama kepingan kewarasan. Sedianya, saat di kantor, aku akan bercerita mengenai mimpi serupa yang kedua ini kepada Tia dan Rima. Akan tetapi, aku gamang. Aku taku mau malah menambah pikulan beban di atas kepala.
Mengapakah sebuah mimpi, yang sederhana, menghantuiku sekeras ini? Sementara, aku sudah terlibat dalam ribuan tayangan dengan berbagai peristiwa seram nan mendebarkan, seperti dikejar setan, tertabrak mobil, dan jatuh dari pesawat.
Gelita di angkasa terasa begitu cepat membentang. Kupandangi langit-langit kamar. Rinai hujan terdengar mengetuk-ngetuk atap. Angin menerpa melalui celah terbuka, membagikan dingin tanpa salam.
Aku seolah terintimidasi oleh mimpi. Tersekap dalam pengandaian mencekam – mengalami kisah yang berulang. Aku pun memutuskan untuk menukar tidurku malam dengan siang yang bebas esok.
Aku habiskan waktu dengan membaca buku dan menonton film. Tak lupa kopi dengan sejumput garam jadi pengawas mata.
Hem! Semoga fajar cepat menyingsing.
Kumandang azan Subuh membangunkan. Aku bangkit dari kasur dengan penyesalan. Sejenak aku merenung, meraba asal mula aku bisa pulas di atas bantal.
Namun, permasalahan utamanya bukan itu. Ya, aku bermimpi gigiku tanggal lagi. Ini mustahil!
Seketika napasku menjadi berat. Sesak menyedak ke dada. Ada apa ini? Benarkah ia membawa pertanda atau firasat?
Aku rogoh ponselku di atas lemari lampu untuk mengetahui status orang-orang rumah. Ternyata, ada pesan dari adikku beberapa menit yang lalu. Isinya, menanyakan kepulanganku. Padahal, selama ini dia tidak pernah bertanya hal tersebut. Juga, dia mengirimkan pesan itu di waktu yang tidak lazim dilakukannya.
Aku coba lakukan sambungan suara jarak jauh, tetapi nomornya justru tidak aktif. Ada apa ini?
Panik menggelegar dalam benak. Aku lekas berkemas seperlunya. Kupesan ojek online menuju pintu tol Balaraja Barat, tempat biasa menunggu bus pulang ke Labuan, Pandeglang.
Bus yang kutunggu tiba dengan cepat. Aku duduk di tengah dengan perasaan kalut. Adikku tidak bisa dihubungi. Teman dan tetangga tak ada yang merespon teleponku.
Air mata mendesak keluar. Kutahan sekuat tenaga supaya tidak menimbulkan tanya untuk penumpang yang lain. Lagi pula, ini belum pasti tentang kehilangan. Aku tidak boleh melebarkan spekulasi.
Menempuh 3 jam perjalanan, akhirnya aku tiba di terminal tujuan. Aku sambung naik angkutan umum dengan waktu 5 menit saja, turun di jalan kecil – akses ke rumah dengan berjalan kaki.
Langkahku melemah. Energiku habis untuk berlari.
Selang berapa pijakan, aku dengar nyala speaker mesjid. Kecurigaaanku mencuat karena zuhur masih beberapa jam lagi.
Benar saja. Pengumuman kedukaan bergema. Seseorang dikabarkan telah berpulang. Namanya, agak samar mengudara, tetapi mengarah kepada ayahku, Sudrajat.
“Bapaaak!” jeritku merintih bersama kecewa yang menggelora. Mengapa adikku membiaskan kejujuran?
Aku tertatih pedih. Kulihat beberapa orang berdiri di depan rumahku. Air mata berderai membanjiri pipi.
Puk! Seseorang menepuk pundakku. “Teh Fitri, kenapa pulang? Tau gitu mah, Agus jemput di terminal,” ucapnya, mengejutkanku.
Agus, adikku, berdiri di belakangku dengan santai. Aku segera meminta klarifikasinya untuk menjawab kekhawatiran yang memayungiku.
Dia menertawakan tangisanku. Katanya, yang meninggal Pak Suwirat, tetangga baru yang tinggal di ujung kampung, dan mereka yang berdiri di depan rumah sedang menunggu Ambu untuk melayat bersama ke rumah duka. Lalu, mengenai pertanyaannya di WhatsApp, tidak ada indikasi apa pun, selain ingin menitip dibelikan LCD untuk ponselnya yang rusak.
“Teteh terlalu mendramatisir,” pungkasnya.
Kesal dan senang beradu. Kusapu semua jejak air mata yang menceplak di wajah supaya tidak menimbulkan segudang pertanyaan bagi Ambu dan Bapak. Anggap kepulangan ini sebagai penyegaran jiwa.
****
Nyanyian jangkrik dan lengkingan suara kodok menyemarakkan malam syahdu bertabur bintang. Suasana ini sangat mahal untuk ditemui di perantauan. Aku harus merekamnya lebih lama karena besok Subuh aku berangkat langsung menuju tempat kerja.
Puas menikmati ciptaan alam, aku masuk ke kamar untuk merenda tidur. Tidak ada lagi rasa takut terhadap mimpi.
“Ambu! Bapak!” jeritku sambil membuka mata. Dalam dimensi imitasi, aku melihat orang tuaku dikafani.
Kuatur detak jantung. Kupanjatkan doa, memohon agar mimpiku tidak merangsak ke dunia nyata.
Tak lama lambungan namaku dan Agus menggaung setengah histeris, memecah kesunyian. Aku berlari menghampiri sumber suara tersebut.
“Bapak, Neng. Tadi Bapak batuk-batuk dan muntah-muntah, terus sekarang pingsan. Kumaha ini, Neng?” jelas Ambu, panik.
Aku pun terbawa tumpahan emosi Ambu. Kuperiksa denyut nadi dan napas Bapak. Semuanya masih terasa.
Tak mau terlambat dan menyesal, kupinta Agus untuk meminta bantuan tetangga yang memilki mobil – membawa Bapak ke rumah sakit.
Aku larut ke dalam kesedihan. Terlebih, Ambu tersedu-sedu seraya menggengam tangan Bapak.
Benarkan tabir mimpi tentang gigi copot itu? Apakah ini firasat yang hendak ia sampaikan kepadaku? Tidak. Bapak tidak boleh pergi.
Memasuki ruang IGD, keharuan semakin menyeruak. Kami pun diminta menunggu di luar.
Beberapa jam kemudian Bapak dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dan Ibu berada di samping Bapak, sedangkan Agus pulang untuk mengambil selimut dan pakaian Bapak. Malam yang menegangkan!
Gelap berubah terang. Bapak terbangun dan mengelus rambutku. “Neng jangan balik dulu ke Tangerang, ya!” ujarnya dengan suara berat.
Aku anggukan kepala. Mungkin aku akan minta izin untuk tidak masuk kerja selama beberapa hari.
Kucari-cari ponselku, ternyata aku tidak membawanya. Untungnya, Agus datang dan membawa yang aku cari.
Kubuka ponsel, notifikasi pesan dari atasanku muncul di layar. Kalimatnya cukup panjang.
Pak Manager menanyakan laporan bulanan. Aku mengingat-ingat dengan cermat. Kuyakin sudah mengirimkan dari beberapa hari yang lalu.
Aku periksa pesan terkirim di Gmail. Oh, Tuhan! Aku memang belum mengirimkan laporan itu. Aku terlupa dan datanya ada di komputer kantor.
Kupandangi Bapak sesaat. Matanya begitu sayu. Wajahnya pucat, tak berwarna.
Selepas menatap kondisi Bapak, aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Riasan capekku menceplak begitu kentara di cermin.
Aku tersenyum menyemangati diri. Namun, ada yang janggal ketika kulihat pantulan mulutku. Gigiku menghilang sebagian. Aku gemetar – apakah ini masih dunia mimpi?