Masukan nama pengguna
Enchanted
She fell first, he fell harder
*
“Huah…”
Aku berjalan lunglai. Capek sekali hari ini. Ku kuatkan diriku untuk tidak roboh di jalan dengan harapan pintu rumah segera terlihat. Bagus. Tinggal satu belokan lagi.
“Aduh!”
Nyaris saja aku bertabrakan. Aku tidak sadar ada orang dari arah lain.
“Maaf,” ucapku singkat dan langsung pergi. Aku sudah terlalu capek untuk berbasa-basi.
“Asa?” panggil orang itu.
“Hah?” Aku berbalik. Oh, ternyata cowok. Ups, aku harus mendongak untuk memandangnya. Matanya sipit, alis yang hitam dengan kulit putih pucat. Sebentar, kok mukanya familiar?
“Siapa ya?” tanyaku akhirnya.
“Kamu Asa kan?” tanya cowok itu.
“Iya, Anda?”
Rahar.
“Siapa hayo,” alih-alih menjawab, orang itu malah mengangkat bahu.
“Ih, siapa sih?”
“Tebak aja coba,” katanya dan berlalu.
Aku memandang cowok aneh itu sejenak dan berbalik.
“Huwah…” aku merebahkan diri di kasurku yang sejuk dan nyaman.
Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi. Dia Rahar Ananta Sekala.
Dia adalah kakak kelasku di masa Sekolah Dasar. Aku sempat mengagumi dirinya yang pintar dan bertalenta. Sejujurnya, aku tidak tahu mengapa dia mengingatku karena kita bahkan tidak pernah berbicara sebelumnya.
Aku memutar lagi adegan tadi di pikiranku sambil menjejakkan kaki di tembok. Kenapa tadi aku pura-pura nggak kenal ya?
Sejujurnya, aku juga nggak tahu. Hehe.
“Acan, ayo makan!” Mama membuka pintu kamar.
“Oke, Ma!” Aku membantu Mama menyiapkan peralatan dan duduk bersama Mama.
*Acan : anak cantik. Hehe.
“Mmm, akhirnya rica-rica! Aku harus tapa dulu empat taun baru dikabulin,” komentarku senang.
“Gayamu tapa empat taun. Tiap hari makannya macem Rahwana gitu,” balas Mama. Aku tergelak.
“Mama, ada yang pindahan kah?” tanyaku.
“Oh, iya. Ada yang beli rumahnya Pak Mehmet, tuh. Kenapa?”
Aku menggeleng. “Nggak. Penasaran aja.”
“Oh ya, besok ke pasar ya, bantu Mama rekapan.”
“Mengokey.”
(✿)
Hari ini, seperti yang sudah direncanakan aku menyusul Mama ke pasar. Oh ya, Mamaku adalah seorang pedagang di Pasar Kriya. Beliau berjualan busana muslim seperti jilbab, gamis, dan sajadah.
Aku menggunakan kemeja putih, bawahan berwarna cream, jilbab senada dan cardigan snow blue. Tote bag coklat muda kubawa di tangan kiri.
“Eh, Asa,” aku bertemu dengan Rahar.
“Halo,” aku menunduk sedikit.
“Udah inget namaku?” kekehnya.
Idih, batinku.
“Iya, Rahar kan?”
“Hm,” dia hanya bergumam dan pergi.
Aku tersenyum kesal (batinku ingin menerkam orang). Anak ini benar-benar!
Perjalanan dari rumah ke Pasar Kriya sekitar 30 menit berjalan kaki. Tapi aku memilih naik bus pada hari yang cerah ini (sebetulnya malas aja sih).
Sampai di toko Mamaku, kulihat beliau lagi kebanjiran pembeli. Mama punya dua karyawan, Mbak Nida dan Mbak Ela. Terkadang aku juga bantu Mama saat punya waktu.
“Mama!” panggilku dari luar toko. Mama bergegas datang. “Masuk dulu Sa, bantu di kasir, ya. Mama mau ambil barang.” Aku mengangguk.
Setelah membantu di toko, aku mendatangi tempat andalanku. Yak, mushala.
Tiap kali ikut Mama tapi toko lagi ramai, aku pergi dari toko agar tidak mengganggu. Lalu, tempat yang menerimaku yang terusir dari toko sendiri adalah Mushala. Pas sepi, AC nyala, mojok. Uh, nikmatnya.
“Hadirin yang saya hormati …” aku bermonolog lirih. Sesekali mataku terpejam, menghafal naskah.
Aku sedang menghafal naskah pidato untuk lomba yang akan datang. Kurang dari satu minggu lagi aku akan mengikuti lomba pidato. Tempatnya ada di SMA Pramana.
Sedikit cerita, aku adalah seorang pemidato. Aku sudah berkali-kali mengikuti lomba pidato dan beberapa kali memenangkan piala. Tapi akhir-akhir ini, kemampuanku seolah menghilang. Sekarang aku tidak bisa menghafal dengan baik, beretorika dengan benar, dan bahkan kesulitan menstabilkan pernapasanku. Ini membuatku sangat frustasi. Tapi aku terus berlatih dan berlatih, walau terkadang aku menangis kebingungan. Mama pernah sekali memanggilkan mentor untukku, tapi kurang dari dua minggu dia dipecat. Masalahnya sepele, sifatnya arogan sekali. Wanita yang menjadi mentorku itu terus-terusan membanggakan dirinya dan, alih-alih mengajariku, dia hanya mencari-cari kesalahanku. Menyebalkan!
Sejak saat itu, aku enggan mencari mentor lagi. Aku belajar otodidak dan mencari referensi di media sosial. Hasilnya, ya seperti sekarang ini.
Pukul lima sore kami pulang. Di perjalanan aku bertanya pada Mama,
“Ma, besok nonton aku pidato ya?”
“Aduh, kayaknya nggak bisa kalau hari itu. Mama udah ada janji sama supplier.” Mama terlihat bersalah. Aku mengangguk mengerti.
Terbesit rasa sedih di hatiku, tapi aku mengingatkan diriku kalau Mama mencari uang untukku.
(✿)
Hari ini pun tiba. Aku akan menunjukkan diriku lagi di sini. Perutku serasa dililit saking gugupnya. Mama tidak mengirim pesan apa-apa. Mungkin dia sibuk, pikirku.
Tibalah saatnya aku maju ke depan. Walau gugup, aku menguatkan diriku. Setiap kalimat yang keluar dari lisanku kupilih hati-hati.
Ketika pengumpulan kejuaraan, aku benar-benar gelisah. Aku sunggh berharap bisa meraih juara, peringkat tiga pun tak apa. Aku ingin membuktikan aku bisa. Tapi…
Aku kalah lagi. Kalah lagi dan lagi. Apa yang salah? Apa pengucapanku kurang? Retorikaku kurang bagus? Aku tidak lancar?
“Huhu,”
Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Aku sudah berusaha banyak. Aku mengorbankan waktu bermainku, jarang memegang HP, berkutat dengan naskah. Semua kulakukan! Tapi kenapa…
“Uh, hiks,” aku terisak pelan.
“Asa?”
Ah, orang itu lagi. Buru-buru kuhapus air mataku.
“Kenapa?” raut wajahnya berubah begitu melihatku menangis. Aku hanya menggeleng pelan.
Rahar melihat sekeliling. “Itu ada bangku. Duduk dulu, ya?”
Aku mengikuti langkahnya dan duduk dalam diam. Rahar pergi dan kembali lagi dengan botol minuman di tangannya. “Nih,” dia menyodorkan botol itu padaku.
Aku melempar pandangan tanya.
“Buat kamu,” jelasnya. “Gih diminum.”
Aku menurut. Kuteguk sedikit isinya.
Mataku melebar. Wah, enak. Teh apelnya manis, aku suka.
“Enak?” kata Rahar.
Aku mengangguk. Sedikit lebih bersemangat.
“Cerita aja, aku dengerin. Kenapa nangis?”
Ditanya kenapa dengan nada lembut gitu, aku nangis lagi.
“Huu, uh, ng-nggak, uh, menang lomba.”
“Nggak apa-apa. Kan nggak ada yang instan,” katanya simpatik.
“T-tapi, udah berkali-kali… se-sebelumnya juga pernah…” aku sesegukan.
Rahar mengulurkan tisu. Aku meraihnya dan menghapus air mataku. Aku meneguk lagi minuman pemberiannya. Aku sedih, tapi sekarang bercampur malu.
“Ikut lomba apa?” tanya Rahar.
“Pidato,” jawabku pelan.
Rahar diam. Aku meliriknya. Dia makin dewasa dibanding saat aku melihatnya empat tahun lalu.
“Hm, ada rencana lomba berikutnya?” Rahar buka mulut.
Aku mengangguk. “Tanggal sembilan bulan depan.”
“Aku ajarin. Kita berlatih bareng.”
Aku terbelalak. “Apa?”
Rahar memandangku. “Aku ajarin, Asa. Aku bantu kamu latihan.”
Mataku berbinar. Namun sedetik kemudian aku tersadar. “Eh, beneran? Emang nggak apa-apa?”
Rahar terkekeh. “Ya gak apa-apa, lah. Emang bakal kenapa?”
Aku berpikir sejenak. “Kita kan, err, nggak akrab, gitu. Nanti merepotkan,” kataku sungkan.
Rahar mengambil botol teh dan memukulku.
“Aw! Kenapaa?!” protesku.
“Sejak kapan ada peraturan manusia cuma boleh bantu orang yang akrab aja,” katanya lugas.
“I-iya, sih. Tapi… bener nggak apa-apa?” aku masih ragu.
“Iyaaa, nggak apa-apa, astaga Asa ngeyelan. Mau dibantu nggak?!” Rahar tidak sabar.
“Ehehehehe. Mau.”
Dan begitulah, aku tiba-tiba kejatuhan apel emas, diajarin sama role model yang bikin aku belajar pidato!
(✿)
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” suara Rahar menggema di halaman sekolah.
Saat itu siang hari, semua siswa menyaksikan pertunjukan pidato dari Rahar, yang akan maju lomba mewakili sekolah.
“...sangat penting dibaca, dipelajari, dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, sekaligus diwariskan kepada generasi…”
Asa kecil terkesima dengan cara Rahar berpidato. Suaranya, nadanya, kalimatnya, bahkan bagaimana Rahar berpidato sangat berkesan untuk Asa. Rahar yang saat itu kelas enam memang berbakat. Pidatonya membius semua hadirin.
Sejak itu, Asa belajar berpidato. Ia melatih suaranya, retorika, pelafalan, gestur dan ekspresi. Asa terus berlatih di depan kaca untuk meningkatkan rasa percaya diri. Asa ingin menjadi seperti “kak pemidato” yang menjadi tokoh utama di antara banyak orang, di mana semua tokoh akan melihat ke arahnya.
(✿)
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Aku berdiri di dinding. Menampilkan gestur seperti orang berpidato.
Rahar memerhatikan gestur Asa. “Gerakanmu terlalu kaku. Lemesin aja. Senyum dikit, biar nggak sepaneng.”
“Baik, kak!” kataku bersemangat. Hari ini hari pertamaku belajar dengan “Kakak Mentor”.
“Para hadirin yang dimuliakan…”
“Stop! Bukan gitu nadanya. Para hadirin, yang dimuliakan…” Rahar mengajar dengan serius.
Kami rehat setelah dua jam belajar.
“Nih,” Rahar memberiku lagi teh apel yang kemarin.
“Wah, teh apel! Ini enak banget! Di mana belinya?” sorakku senang.
“Di warung, lah. Emang lo gak pernah beli, apa?” Rahar mengangkat bahu.
Aku menggeleng.
“Serius gak pernah?” Rahar bertanya lagi.
Aku meneguk teh. “Nggak, Mama ketat banget soal makanan. Aku cuma boleh makan junkfood satu minggu sekali.”
Rahar heran. “Teh apel kan bukan junkfood?”
“Menurut Mama nggak sehat. Nggak boleh sering-sering. Paling aku cuma beli jus buah aja.”
“Terus, ini gak apa-apa nih, gue kasih begini?”
Aku berpikir sejenak. “Agak papapa sih, tapi ini enak. Hehe.” Aku meringis.
Rahar diam saja. Tapi kemudian dia mengambil buku dan menepuk–tidak, dia memukul punggungku dengan itu.
“Kamu kenapa sihh?!” Aku menggelinding menghindar.
“Gue lagi menghibur lo, kok. Without physical touch.” jawabnya sekedarnya.
“Stop doing like that! Itu namanya kekerasan!” tukasku.
“Kekerasan apanya? Bukunya lembut gini.” Rahar meliukkan buku itu.
“Bukan bukunya, tapi kamu! Kamu pakai tenaga 700 Newton!” kataku galak.
“Hahahaha!” Rahar tertawa terbahak-bahak.
Ih, batinku, Curang banget ketawa pakai muka spek Gabriel Prince.
“Ayo ah, latihan lagi.” Aku mengalihkan pandangan.
“Gimana ya, males nih.” sekarang Rahar duduk dan meluruskan kakinya. Aku udah ngerasa dari awal, tapi anak ini hidup dengan makan emosi orang, kayaknya.
Aku tersenyum jahat. “Pak Guru, mari kita latihan sebelum rumah ini saya bakar.”
Rahar langsung berdiri. “Baik,” dia membereskan buku-bukunya. “Takut sekali saya pada murid spek preman.”
“IIH!”
(✿)
Sudah hampir dua minggu aku les privat pidato. Sekitar dua sampai tiga kali seminggu, aku berlatih pidato dengan Rahar.
“Fee per jam nya berapa?” tanyaku.
“Fee apanya. Kamu pikir aku kapitalis, hah,” kata Rahar.
“Kalau gitu, sebagai gantinya apa?” tanyaku.
Walau aku senang mendapat mentor gratis, tetap harus bersikap tahu diri.
Rahar mempertimbangkan sejenak. “Bahasa Inggris-mu bagus, kan? Ajari aku,” kata Rahar waktu itu.
Kembali ke saat ini.
“Oke, berarti yang bener ‘Ando dan Anto makes plastic bottle from handicraft’, iya kan?” Rahar mengetuk-ngetuk soalnya.
Aku menahan tawa. “Kak, kamu kebalik. Ando and Anto makes handicraft from plastic bottle, gitu. Handicraft artinya hasta karya, plastic bottle ya botol plastik. Masa' kita bikin botol plastik dari kerajinan tangan, sih.” Aku tertawa.
Rahar mengacak rambutnya. “Susah banget, sih!”
Aku menggeleng. “Karena vocabulary-mu masih kurang. Kamu harusnya banyak baca!” tandasku.
“Yayaya,” kata Rahar sekenanya.
Dia meneliti soal. “Oh, ini gue bisa, nih. Dia menunjukkan soal dengan teks “Fantastic food, fun, and Fab location”.
“From the review we know that Elea felt ‘titik-titik’ with the restaurant.” Rahar menjentikkan jari. “Jawabannya D. Incredible.”
Aku terpana. Cowok satu ini kalau ngomong oke, tapi logikanya nol.
“Kok iso?” mode Jawaku keluar.
“Exactly, cause Incredible means menakjubkan.”
“Pfft!” tawaku pecah. “Huahahahaha!”
Rahar terlihat jengkel ditertawakan. Dia menarik soalnya dan berpaling.
“Aduh…” aku menyudahi tawaku. “Maaf, maaf. Sini, aku jelasin.”
“Ogah.” katanya dingin.
“Aduh, it's so cold. I am kind of sick right now,” candaku.
“Gini kak, di sini kan yang ditanya ‘what Elea's feel’, alias perasaan Elea dengan restoran tadi. Exclusive jelas salah karena itu bukan feeling. Incredible, kurang pas karena incredible sendiri artinya menakjubkan. Menakjubkan bukan feeling, kan? Caring jelas salah karena dia tuh bukan peduli sama restorannya. Jawabannya satisfied, alias puas. Dari teks itu kita tahu kalau dia suka, konteksnya dia puas dengan pelayanan di restoran,” jelasku.
Rahar mengangguk-angguk mengerti. “Oke, aku paham.”
“Terus, yang ini …”
(✿)
Hari perlombaan pun tiba. Aku sudah bersiap dengan outfit putih-hijau yang cantik dan rapi. Hari ini lombanya diadakan oleh SMA Angkasa Tiga, sekolah elit di kota ini. Ini lomba pertamaku setelah aku nangis waktu itu (malu woi) dan diajar langsung oleh sepuh pidato. Kemarin, kak Rahar berbicara padaku.
“Kamu mau menang lomba biar apa?” Pertanyaan ini tiba-tiba sekali.
Aku berpikir sejenak. “Biar Mama bangga, dan orang-orang tau aku bisa.”
Rahar mengangguk. “Mulai sekarang, niatnya diubah. Jangan bertanding cuma untuk nyari pengakuan orang lain. Bertandinglah untuk dirimu sendiri. Kemenangan itu bisa jadi milikmu, tapi tidak ketika kamu masih memikirkan pandangan orang lain. Fokus saja dengan dirimu sendiri.” nasihatnya membiusku.
Dan aku tersadar. Alasan mengapa kemampuanku hilang, kekalahanku, alasan mengapa aku kecewa…
Adalah karena aku tidak bisa mengikhlaskan niatku. Aku berpikir aku harus mendapat pengakuan orang lain. Aku ingin memberi tahu seisi dunia aku hebat. Inilah kesalahanku.
Dengan mata basah, aku mengangguk. “Baik!”
Dan hari ini akan menjadi hari penentuan. Aku akan bertanding untuk diriku sendiri. Aku akan menikmati lomba hari ini.
“Halo! Boleh kenalan? Namaku Asa,” kataku pada gadis berkerudung biru di sebelahku.
Ia menyambut baik sapaanku. “Halo, Asa! Salam kenal ya, aku Naya dari SMP Sanjaya.”
Naya dan aku langsung akrab dengan cepat. Satu hal lagi yang aku dapatkan, ternyata bersenang-senang alih-alih menghafal di detik-detik terakhir sangat menyenangkan!
Perlombaan berlangsung dalam beberapa tahap. Ketika akhirnya namaku dipanggil, aku maju dengan percaya diri.
“...sekian dan demikian yang dapat saya sampaikan, terimakasih atas perhatian, mohon maaf atas kekurangan. Akhirnya saya ucapkan, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Aku mengakhiri pidatoku dengan percaya diri.
Setelah menunggu selama beberapa jam, tibalah saat pengumuman kejuaraan. Aku sebetulnya mau langsung pulang, toh nggak berharap menang, tapi masih mau foto-foto sama Naya dan teman-teman, hehe.
“Juara tiga lomba Da'iyah diraih oleh Sienna Azzahra dari SMP Alkalam!” MC membacakan nama-nama juara di panggung.
“Juara dua lomba Da'iyah diraih oleh Naraya Putri Anindya dari SMP Wirawardhana!” MC memanggil nama Naya. Aku bersorak kesenangan dan mendorong Naya cepat-cepat maju.
“Dan juara satu Da'iyah diraih oleh…” MC menggantung kata-katanya. Aku mengambil satu keripik kentang.
“Asaka Naziha dari SMP Hadiningrat!”
Eh. Apa?
“Kepada Asaka Naziha untuk naik ke panggung untuk penyerahan piala.” MC memanggil namaku. Namaku!
Aku bergegas merapikan diri dan naik ke panggung dengan pikiran setengah kosong. Kok bisa?
Kok bisa aku menang?
Setelah itu trofi kami diserahkan dan didokumentasikan. Sebelum turun, MC bertanya pada juara kedua dan ketiga, apa ada yang ingin disampaikan. Aku mengamati hadirin. Mataku terkunci pada orang yang…
Kak Rahar?
Orang itu melambai padaku.
Betul-betul kak Rahar! Dia datang!
“Apakah ada yang ingin Anda sampaikan setelah meraih juara pertama lomba Da'iyah ini?” tanya MC padaku. Aku mengangguk.
“Terimakasih atas kesempatan berbicara yang diberikan kepada saya,” aku mengambil microphone.
“Pertama-tama, saya berterimakasih kepada panitia lomba yang telah menyelenggarakan lomba ini dengan sebaik-baiknya,” aku membungkuk ke arah para panitia di sisi selatan. “Juga kepada semua juri dan juga para peserta lomba yang sudah berusaha sebaik-baiknya di kegiatan ini.”
“Saya sangat bersyukur terpilih sebagai juara pertama lomba da'iyah hari ini.” Aku memulai ceritaku. “Saya pikir saya tidak punya kesempatan menang. Saya telah kalah berkali-kali, bangkit dan gagal kembali. Lalu hari ini, saya terpilih sebagai juara pertama. Butuh waktu lama bagi saya menyadari kesalahan saya dan memperbaikinya. Untuk itu, saya sangat berterimakasih kepada mentor saya yang telah membimbing saya.” aku memandang kak Rahar.
“Saya pikir mungkin di sini juga ada teman-teman yang bernasib seperti saya. Karena itu saya ingin berbagi cerita. Menurut saya, menang itu bukan ketika kita bisa mengalahkan semua peserta, tapi ketika kita bisa mengalahkan semua perasaan negatif dalam diri kita dan tetap ikhlas menerima hasil yang kita dapatkan.”
“Setiap kali saya kalah, saya sangat frustasi dan kecewa. Kemudian saya sadar itu bukan karena fakta bahwa saya kalah. Itu karena saya merasa tidak cukup mampu untuk mengalahkan orang lain.”
“Mentor saya berkata kalau ingin menang, jangan menang untuk orang lain. Jangan mengharap kemenangan dengan niat mendapat pengakuan orang lain. Bertandinglah untuk dirimu sendiri. Kemenangan itu adalah milikmu. Nikmatilah perlombaanmu, karena itu adalah panggungmu. Begitu yang diajarkan pada saya.”
“Terakhir, saya mengucapkan selamat kepada semua pemenang, kerja keras kita telah terbayar sekarang. Dan, untuk teman-teman semua, terimakasih sudah berusaha, jangan berkecil hati karena kita semua hebat, dan kita pasti akan membuktikannya.” aku mengakhiri pidatoku.
Tanpa disangka, para juri berdiri dan bertepuk tangan. Sontak, semua hadirin turut bangkit dan bersorak. Aku mendapatkan standing ovation. Aku tidak bisa menahan sumringah. Hari ini adalah salah satu hari terbaik untukku.
Setelah menyelesaikan beberapa urusan lagi, aku bisa pulang. Aku pergi ke gerbang untuk memesan ojol.
“Selamat,” kata suara di belakang.
Aku berbinar. “Kak Rahar!”
Ia datang dengan masih dengan seragam sekolahnya, korsa berwarna biru digantung di lengan.
“Aku gak sangka kak Rahar bakal datang,” kataku.
“Jangan salah paham, emang sekolahku di sini, kok.” Kak Rahar menyeringai.
“Hah, iya kah? Kok nggak bilang?” tanyaku kaget.
“Kamu nggak nanya.” Rahar mengendikkan bahu.
“Loh, iya juga. Ehehehehe.”
Rahar mengambil buku dari tasnya. Dia menepuk-nepuk kepalaku dengan buku itu.
“Bagus,” katanya.
Sabar, sabar, batinku. Hari yang baik jangan marah-marah.
“Kak, aku tadi gugup, tapi nggak ngeblank, hehe.” ceritaku.
Rahar mengangguk. “Hebat. I know you can.”
Aku tertawa. “Makasih! Kemampuan bahasa Inggris kamu meningkat, nih?”
“Hahahaha!” kami tertawa berbarengan.
“Rahar! Wooi!” seseorang meneriakkan nama Rahar dari jauh membuat kami menoleh.
“Apaan?” tanya Rahar pada seorang lelaki.
“Dipanggil Bu Isna–oh! Lo anak yang tadi kasih pidato kan? Keren banget lo!” teman Rahar mengalihkan wajah padaku.
Aku membungkuk sopan. “Halo, iya kak.”
“Gak usah kaku-kaku gitu, panggil aja Toni–aw! Har, Lo ngapain sih?!” protes Toni karena Rahar mencubit lengannya.
“Bawel. Cepet bilang ada apa,” kata Rahar acuh.
Toni mengusap-usap lengannya. “Lo dipanggil Bu Isna. Lagi siapa suruh sih acara belum selesai udah cabut?”
“Acara apa kak?” tanyaku penasaran.
“Lomba ini, lah. Rahar tuh ketuanya,” jawab Toni.
Aku melempar pandangan tanya ke Rahar. Cowok itu mengalihkan wajahnya.
Alisku berkerut. “Oh gitu. Oke kak, aku juga mau pulang ini.”
Tiba-tiba saja Rahar menarik ujung lengan bajuku dan menarikku kembali masuk. Ia menoleh pada Toni yang melongo, “Nunggu apa, Lo? Ayo cepet!”
Rahar mengajakku ke ruang rapat. Banner “ROHIS SMA ANGKASA TIGA” terpampang di depan pintu. Ada puluhan anak ROHIS di dalam sana. Begitu melihat kami, seorang gadis cantik berhijab langsung melambai.
“Har, Ton, buru sini!”
Kami mendekat.
Kakak itu sedang fokus pada lembaran dokumen di meja. “Gue butuh tanda tangan Lo buat–wah, siapa ini?” ekspresinya melembut begitu melihatku.
“Halo, kak. Namaku Asa. Peserta lomba di sini,” kataku.
“Halo, Asa. Nama gue Layla. Lo sopan ya, udah lama gue gak liat siswa sopan di sini.” Kulihat pandangan kak Layla mengarah ke teman tengil di sebelahnya.
“Kok lo bisa ke sini?” tanya Layla lagi.
“Diseret Rahar, bejir. Parah banget ni orang.” Toni menjawabnya.
“Ngapain, Har? Ini pacar lo?” seorang gadis bergabung di antara kami.
“Pacar dengkulmu. Dia gak kenal daerah ini. Nanti dia kesasar, jadi gue bawa dulu. Dia adek gue,” kata Rahar.
Aku agak bingung. “Eh, aku mau pulang tapi–”
Rahar langsung menoleh padaku. “Nanti pulang sama aku.”
Aku membeku. “O–oke, kak.”
“Aku?” ulang Layla. “Seorang Rahar bilang aku?”
“Wah dek, kamu menjinakkan naga hitam.” kata kak Qoni yang baru bergabung. Aku tertawa canggung.
Rahar menoleh padaku. “Taruh barang-barang kamu di sana. Tunggu di sini bentar ya. Oh, Bu Isna pengen ketemu kamu, tuh.” Rahar menunjuk guru yang sibuk berbicara dengan sebagian ROHIS.
“Emm, oke.”
Tadinya aku mau diam, tapi kak Layla menarikku ke pusaran anak ROHIS dan memperkenalkanku.
“Aduh, manis banget. Namamu siapa, Dek?”
“Anak yang tadi menang? Ampuh, cuy!”
“Halo Asa, nama gue–”
Aku terus merasa tergelitik hingga tidak berhenti tersenyum. Ini pertama kalinya setelah sekian lama aku dikelilingi orang-orang yang menyambut diriku. Aku merasa hidup; asaku mekar kembali.
Dan akhirnya aku mengerti mengapa aku kehilangan motivasi. Itu karena aku terlalu tergantung pada pendapat orang lain. Aku mengikuti berbagai lomba, ambisius mengejar predikat namun bukan untuk diriku. Aku sudah bertekad, mulai sekarang aku akan semakin giat meraih prestasi. Tapi bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk meningkatkan kemampuanku. Untuk diriku sendiri.
“Asa, ya?”
Aku berbalik. Oh, rupanya wanita yang tadi disebut Bu Isna.
“Halo. Selamat siang, Bu.”
Bu Isna menepuk bahuku. “Saya sudah lihat kemampuanmu. Kamu luar biasa, nak. Selamat ya,” puji Bu Isna.
Aku tersenyum cerah. “Terimakasih banyak, Bu Isna. Em, kalau saya boleh tahu, bagian apa yang paling baik dari saya?”
Bu Isna tersenyum. “Kamu punya energi yang membuat semua orang fokus padamu.” Dan setelah mengatakan itu, Bu Isna pergi.
Aku terdiam di tempat. Ingatan tentang perjuangan yang kulakukan selama ini datang kembali.
“Kamu nangis lagi?” tiba-tiba Rahar sudah di depanku.
“Diam ah,” tukasku. “Mataku kering karena AC-nya.”
Rahar tersenyum. Senyum termanis yang kulihat selama ini.
“Nih,” dia mengulurkan tisu.
“How's your feeling?” tanya Rahar lagi.
“Never better.” Aku tersenyum. “I got so much love.”
“You deserve it. Im proud of you.” Bisik Rahar.
Aku mengangguk lagi.
Sore itu, aku diantar pulang dengan mobil Rahar.
“Udah sampai. Kamu bisa turun.” Rahar menghentikan mobil di depan gang.
“Kamu gak turun?” tanyaku bego.
“Parkir dulu, lah. Masa' mobilnya aku bawa sampai bawah?” Rahar terkekeh.
“Oh, iya. Ehehehehehe.”
“Pulang lomba begomu muncul lagi, hadeh,” ejek Rahar.
“IIIH!”
Aku berjalan dengan langkah ringan. Di rumah, Mama menyambutku dengan suka cita, terlebih setelah aku menunjukkan trofi yang aku bawa. Mama menciumiku dan berkata,
“Mama tahu kamu selalu bisa, Asa.”
“Iya Mama, tapi aku baru tahu hari ini, hehe.”
“Ganti baju dulu, Mama beli makan enak,” Mama mengajakku ke dalam.
Aku mengangguk.
Kak Rahar, i know one more thing.
It is, that i'm always enchanted to two things.
I'm enchanted to pidato, and you.
(✿)
Yogyakarta, 2024.
Lady Queen.