Masukan nama pengguna
Cerpen ini menggali tentang keberanian, pengorbanan, dan kenyataan pahit yang harus dihadapi seseorang yang merasa terpinggirkan. Ending yang mengharukan, tapi memberikan harapan untuk masa depan.
____
> Cerpen ini merupakan versi alternatif dengan ending alternatif dari karakter Fani yang muncul dalam novel saya yang sama, "Di Ujung Langit yang Sama: A Story of Us".
***
Fani selalu merasa asing di dunia yang berputar cepat ini. Ada sesuatu tentang dunia kampus yang membuatnya merasa terjebak, seperti sebuah ruang tertutup yang tak ada pintu keluarnya.
Ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini, dengan tubuh yang tak bisa melangkah tanpa bantuan kursi roda, dengan mata yang selalu merasa lelah di balik kacamata tebal yang menutupi pandangannya.
Tapi begitulah adanya. Dunia tidak memberinya banyak pilihan, dan ia hanya belajar untuk bertahan.
Di pagi itu, di tengah keramaian koridor kampus, Fani menggerakkan kursi rodanya perlahan.
Suara roda yang bergesekan dengan lantai memberi kesan kehampaan di tengah riuhnya mahasiswa yang berlalu-lalang.
Mungkin mereka tidak melihatnya, atau berpura-pura tidak melihatnya.
Dan mungkin mereka tidak ingin melihatnya. Fani tak pernah tahu pasti.
Tapi kemudian ada seseorang yang menghampirinya. Bukan seseorang yang biasa, bukan seseorang yang seperti mahasiswa lain yang menganggapnya hanya sebagai bagian dari lanskap kampus.
Andini datang dengan langkah yang tenang. Seperti ada sesuatu yang berbeda tentang gadis ini, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi Fani merasakannya.
Saat itu, buku yang dipegang Fani terjatuh, dan sebelum ia sempat mengangkatnya, Andini sudah ada di sana, membantu mengumpulkannya tanpa sepatah kata pun.
Hanya ada keheningan di antara mereka, keheningan yang terasa begitu berat, namun entah kenapa memberi sedikit ketenangan.
Andini tidak melihat Fani sebagai seseorang yang berbeda. Andini melihat Fani hanya sebagai Fani, dan itu sudah cukup. Cukup untuk membuat hati fani bahagia.
"Kadang-kadang," Andini berkata setelah beberapa detik hening, menatap ke arah sekelompok mahasiswa di ujung lorong yang baru saja menabrak Fani,
"nggak semua orang paham caranya jadi manusia."
Itu adalah kata-kata pertama Andini untuk Fani. Sebuah kalimat yang tidak terlalu panjang, namun terasa dalam, seperti sesuatu yang tak terucapkan namun harus didengar.
Fani hanya menatapnya, merasa bingung, tapi juga merasa ada sesuatu yang hangat di dalam dirinya, meskipun hanya sesaat.
Setelah itu, Andini kembali ke kelas dan duduk di bangkunya, dan dunia kembali berjalan seperti biasa. Tapi tidak untuk Fani.
Ia mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang bisa melihatnya selain dirinya sendiri.
***
Hari-hari berlalu, dan meskipun Fani merasa tak banyak berubah, ada sesuatu yang terjadi.
Andini mulai mendekatinya. Entah dengan cara apa, gadis itu selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk duduk di sampingnya, kapan waktu yang tepat untuk bicara tanpa paksaan, tanpa embel-embel.
Semua terasa begitu alami, seperti air yang mengalir, tidak tergesa-gesa, tetapi tetap menuju tempat yang sama.
Andini bercerita tentang mimpinya, tentang apa yang ia harap bisa capai di kampus ini.
"Aku ingin melihat kampus ini berubah," katanya suatu hari saat mereka duduk di taman yang sepi.
"Aku ingin tahu kalau orang-orang di sini peduli tentang sesama, bukan cuma tentang nilai atau reputasi, tapi juga soal empati."
Fani tidak menjawab. Dia hanya menatap langit yang mendung di atas mereka.
Entah mengapa, langit itu terasa begitu jauh. Seperti segala sesuatu yang ia inginkan, namun tak pernah bisa ia capai.
"Tapi," lanjut Andini,
"terkadang aku merasa kita nggak cukup. Aku nggak bisa sendirian."
Dan saat itu, Fani merasakan ada sesuatu yang tak terucapkan dalam kata-kata Andini.
Sesuatu yang menghubungkan mereka berdua, sesuatu yang tidak akan pernah bisa dipahami orang lain. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan biasa.
Kemudian, Andini mengajukan sebuah ide, mungkin lebih tepatnya, sebuah harapan: membuat forum anti-bullying di kampus.
Fani tidak tahu apa yang harus dia katakan. Sebuah harapan yang terdengar indah, namun terasa sangat jauh dari kenyataan.
Tapi Andini begitu bersemangat, begitu yakin bahwa mereka bisa membuat perubahan, dan Fani tidak tahu bagaimana cara menolaknya. Meski kadang, dunia sering kali membuatnya luka.
Fani ikut serta. Mereka membuat proposal, berbicara dengan pihak kampus, mencoba mendapatkan perhatian, meski kadang mereka hanya mendapat tatapan kosong yang tanpa arah.
Meskipun begitu, Andini tidak menyerah. Ia terus berjuang. Untuk Fani, untuk mereka yang terluka, untuk mereka yang tak bisa bersuara.
Tapi semakin lama, Fani merasa semakin letih.
Letih dengan dunia yang tak pernah berubah, letih dengan kampus yang hanya peduli dengan nama besar dan angka-angka.
Letih dengan dirinya sendiri yang tak pernah bisa melangkah lebih jauh.
Suatu malam, setelah hampir sebulan penuh berjuang, Fani duduk di kamarnya, menatap keluar jendela.
Hujan turun deras, dan suara gemericik air yang jatuh di atap terasa menenangkan.
Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, tetapi di dalam hatinya, Fani merasa seperti ada yang hilang.
Sesuatu yang tidak bisa ia temukan lagi.
"Kenapa aku harus peduli?" pikirnya.
"Kenapa harus bertahan kalau semuanya tetap sama?"
Dan malam itu, Fani membuat keputusan. Ia tak akan melawan lagi. Ia sudah lelah.
Jika dunia tidak bisa berubah, jika kampus ini tidak bisa melihat, maka lebih baik ia menyerah.
***
Fani tidak pernah memberi tahu Andini tentang keputusannya.
Ia pergi tanpa kata-kata, meninggalkan kampus, meninggalkan dunia yang tidak pernah bisa ia pahami.
Namun, seperti hujan yang selalu berhenti, perubahan itu datang. Perlahan, kampus itu mulai peduli.
Forum anti-bullying yang mereka dirikan, meskipun tidak sempurna, akhirnya mendapat perhatian. Meskipun tidak banyak, namun itu sudah cukup.
Perlahan, ada perubahan dalam cara orang-orang memperlakukan satu sama lain. Ada sedikit lebih banyak empati, sedikit lebih banyak perhatian.
Tapi Fani tidak pernah tahu. Ia tidak pernah melihatnya....disini.
Dunia yang ia perjuangkan, dunia yang ia tinggalkan, mulai berubah setelah kepergiannya.
Seperti angin yang datang setelah musim berlalu, terlambat, tapi tetap datang.
Andini tetap di sana, melanjutkan perjuangannya, dengan atau tanpa Fani.
Setiap kali ia berdiri di depan forum, ia tahu ada sesuatu yang hilang.
Namun, ia juga tahu bahwa meskipun Fani tidak ada, suara mereka tetap hidup dalam setiap perubahan kecil yang terjadi, dalam setiap mata yang kini mulai terbuka.
Dan mungkin, di suatu tempat, di ujung langit yang sama, Fani tahu.
Meskipun ia tidak pernah bisa melihatnya, perubahan itu tetap terjadi.
Meskipun ia tidak pernah bisa mendengarnya, dunia itu tetap bergerak. Dan kadang, itu sudah cukup.
Cukup untuk menambal semua sisa luka.