Masukan nama pengguna
Ada kakak yang mengaku kalau dia berasal dari dunia lain. Aku bertemu dengan dia seminggu lalu saat keluarga kami pindah ke rumah baru di luar kota. Hari itu aku disuruh keluar oleh ibu karena menghalangi kerjaan bersih-bersih di rumah. Tentu saja aku tidak tahu jalan, jadi aku pergi ke sana kemari tanpa tujuan.
Wilayah rumah baruku berada agak jauh dari rumah-rumah yang lain, jadi aku hanya berjalan lurus sampai rumah-rumah orang yang menjadi tetangga kami tampak. Rumah mereka tersusun berdekatan, dan halamannya dipenuhi taman-taman kecil dengan bunga yang sedang mekar.
Aku melewati bunga-bunga tersebut dengan iri, karena di rumahku yang lama taman-taman seperti ini ada banyak. Aku tidak mengerti kenapa ayah dan ibu memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih jelek. Di sini tidak ada apa-apa. Ketika itulah, tiba-tiba dari balik pohon apel muncul seseorang.
Ia adalah kakak yang aku maksud. Tentu, saat pertama bertemu aku belum tahu kalau dia berasal dari dunia lain, karena dia tampak biasa saja. Kakak itu menggunakan baju terusan polos berwarna hijau gelap yang cantik, dan dia tersenyum lebar kepadaku.
“Kamu baru pindah ya?” Dia bertanya begitu.
Aku menjawab “Iya.”
Lalu dia memegang kedua tanganku erat. “Salam kenal, Dhira!” katanya riang.
Aku tidak sempat bertanya dari mana dia tahu namaku. Karena mendadak ibu datang sambil berteriak di belakang, menyuruhku pulang.
Besoknya, aku sengaja keluar untuk mencarinya, dan kakak itu kutemukan sedang bermain ayunan di lapangan perumahan yang agak jauh. Dia masih memakai baju berwarna hijau, namun modelnya berbeda. Sebenarnya aku penasaran kenapa dia yang sudah besar masih bermain di lapangan anak-anak, tapi rasanya bertanya seperti itu tidak sopan. Jadi aku duduk di ayunan sebelahnya saja tanpa bicara.
“Dhira, kamu suka tinggal di sini?” tanya kakak itu setelah beberapa lama.
“Nggak suka. Tapi kata ibu, aku belum kebiasa saja,” jawabku asal sambil menendang pasir dengan ujung sendal.
“Kenapa tidak suka?”
“Di sini nggak ada teman, rumahnya juga lebih jelek. Dulu ibu punya taman bunga bagus tapi sekarang jadi nggak ada lagi.” Aku memandang anak-anak lain di lapangan yang sedang bermain riang, “Pokoknya nggak suka!”
“Kamu sudah cerita ke ibumu kalau kamu tidak suka?”
Aku memandang wajah kakak itu sekilas, lalu mengorek-ngorek pasir dengan ujung sendalku sambil menjawab ragu, “Sudah. Ibu bilang bukan masalah. Bunga-bunga bisa tanam lagi, teman bisa cari lagi, rumahnya bisa dibagusi lagi … ”
“Tetapi kamu tetap tidak suka?”
Rasanya aku malas menjawab. Jadi, aku melempar pertanyaan balik. “Kakak sendiri? Suka tinggal di sini?”
“Hm, gimana ya … Kakak tidak tinggal di sini, jadi tidak tahu.”
“Loh?” Aku menoleh terkejut. “Lalu kakak tinggal di mana kalau bukan di sini?”
“Hmm...” Kakak itu bangkit dari ayunan, “Kamu sudah izin ibumu untuk pergi main?”
“Sudah, tapi—” Pasti waktu makan siang nanti ibu mencari lagi. Tapi aku tidak ingin bilang itu.
“Oh, sebentar lagi waktu makan siang, ya? Oke. Kakak mau mengajak kamu pergi ke suatu tempat. Dekat saja, kok.”
Aku tahu bukan cuma ibuku yang sering bilang jangan sembarang mengikuti orang yang tidak dikenal. Mendadak aku agak takut kakak ini mau melakukan sesuatu yang jahat. Tapi aku tetap mengikuti seperti anak bodoh dan kami sampai di sebuah lapangan rumput yang membentang jauh sampai ke tepi hutan. Aku tidak mengira rumahku yang sekarang sedekat itu dengan hutan, bukankah agak mengerikan? Kenapa ayah dan ibu pindah ke tempat seperti ini, sih?
“Kakak sebenarnya berasal dari dunia lain.” Ia tiba-tiba mengaku.
Pikiran apa pun yang tadi terlintas segera lenyap dari kepalaku saat mendengarnya. Aku menatap kakak itu dari samping dan melihat kalau dia serius. Ekspresinya sama sekali tidak bercanda. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Lebih-lebih, aku tidak mengerti kenapa kakak itu mendadak mengatakan hal aneh.
“Wah, keren.” Kataku, kurang percaya. Karena selalu ada orang yang seperti itu, kan? Suka berimajinasi yang aneh-aneh. Teman sekelasku dulu ada yang mengaku bisa melihat hantu. Aku memang sedih kalau rupanya kakak ini sama seperti mereka yang suka mengarang-ngarang cerita, namun mau bagaimana lagi.
“Loh, kamu tidak percaya?”
“Temanku juga banyak yang suka mengarang begitu.”
“Tapi kakak jujur loh!”
Aku memandangnya yang mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan membentuk huruf V. Aku tahu itu bermaksud untuk menunjukkan kalau si kakak serius, tapi rasanya tetap susah percaya. Hantu, kurcaci, dunia lain, dan semacamnya itu tidak nyata. Ayah bilang kita cukup percaya hal-hal yang benar terbukti. Seperti bahwa bumi itu bulat, matahari bersinar di siang hari, dan digantikan bulan saat malam.
“Memangnya kamu tidak penasaran bagaimana kakak tahu namamu?”
Aku terkaget, teringat waktu itu. “Benar juga, dari mana kakak tahu namaku?”
“Hehehe.” Kakak itu tertawa. “Jelas dari dunia lain, kan! Kakak sudah mencari tahu, ‘oh nanti kakak akan ketemu Dhira di depan pohon apel.’ Seperti itu, hebat kan?”
“Hebat.” Aku mengakui.
“Sekarang kamu percaya?”
Aku berpikir lama, “Nggak tahu, lihat nanti.”
Kemudian, aku ingat bahwa kakak itu belum pernah memberitahuku namanya. Tapi aku malu bertanya. Jadi aku diam saja sambil mendengarkan dia bicara tentang pengalamannya di dunia-dunia lain yang katanya pernah dia kunjungi.
“Jadi, kakak punya bos yang pemalu. Dia selalu memberi pekerjaan lewat tulisan dan tidak pernah menunjukkan mukanya sekalipun. Aneh kan? Untungnya beliau orang baik.”
Aku tidak tahu kenapa kakak tiba-tiba pindah haluan dari cerita bos ke cerita beliau. Meski tidak terlalu mengerti, aku tetap mengangguk-angguk.
“Kerjaan kakak juga menarik sekali. Terkadang kakak pergi ke sebuah dunia yang mirip seperti ini hanya untuk membantu anak yang diganggu teman-temannya. Terkadang kakak pergi ke dunia makhluk bukan manusia. Kakak bahkan sudah bertemu banyak jenis peri, peri sungguhan lho, kamu percaya?”
Aku hanya pernah melihat peri di buku dongeng bergambar, tapi aku mengiyakannya saja.
“Mereka sangat cantik, tampan, dan punya kekuatan-kekuatan hebat. Beberapa jenis bahkan berotot—susah dipercaya kalau tidak lihat langsung. Tentu saja, semua itu masih tidak sebanding dengan bos kakak, tapi tetap saja menakjubkan, kan?” Kakak tidak menunggu jawaban atau reaksiku, lalu menambahkan, “Belum lama ini kakak juga kembali dari dunia yang aneh sekali, kamu mau tahu kenapa?”
“Kenapa?” tanyaku.
“Mereka yang tinggal di sana semuanya abadi, tidak bisa mati. Gimana menurutmu?”
“Apa nggak bisa mati itu bagus?” tanggapku setengah takjub.
Kakak itu juga berpikir sejenak, “Yah, tergantung bagaimana caramu melihatnya. Menurutku sepertinya cukup seru kalau kita bisa hidup lama sekali. Tergantung … “
Aku memikirkan itu juga. Pikirku, akan menyenangkan kalau aku bisa hidup selamanya dalam keadaan bahagia, di rumah yang bagus, buku-buku bacaan tak terhingga, dan seorang teman baik. Seperti kakak, misalnya.
Saat mendongak untuk bertanya pendapatnya, rupanya kakak itu masih berpikir juga. Kemudian dia membuang napas seperti capek dan berkata, “Terlalu banyak yang harus dipikirkan kalau kita hidup selamanya, jadi mending tidak, kan?”
Seperti biasa, aku langsung setuju tanpa pikir panjang.
Selanjutnya hari-hariku berlalu seperti ini. Sekolah belum dimulai, jadi setiap hari aku bertemu kakak yang namanya masih misteri itu (dia juga masih terus memakai baju warna hijau), dan mendengarkan cerita-ceritanya di tempat yang sama. Terkadang ibu membawakan bekal yang bisa kami makan bersama, terkadang kakak itu yang membawa. Yang mengherankan adalah, meski kakak itu berasal dari dunia lain, rasa makanan yang ia bawa biasa-biasa saja. Enak, tapi tidak seperti makanan dari dunia lain yang aku harapkan.
Saat aku membahas tentang makanan ini, dia tertawa, “Memangnya makanan dari dunia lain gimana? Apa besok kakak perlu membawa roti dengan selai buah misterius dari dunia lain?”
Aku langsung menolak mentah-mentah. Apa perlunya mencoba makanan-makanan aneh kalau roti isi di tanganku saja sudah sangat lezat?
Hari ini pun kakak kembali datang dengan sekeranjang makanan. Aku lega isinya hanya berupa kue-kue yang biasa. Namun ternyata yang biasa hanya makanannya. Karena sikap kakak hari ini sangat tidak seperti biasa.
“Dhira, kamu tahu tujuan kakak datang ke sini?” tanyanya.
Sepertinya dugaanku benar, karena kakak menanyakan itu dengan ekspresi serius. Padahal biasanya kakak jarang pernah serius.
“Nggak tahu.”
Kakak mengangguk, lalu bertanya lagi, “Dhira tahu nama kakak?”
Aku menggeleng. Meski seminggu berlalu, aku masih belum sempat bertanya namanya. Aku tidak merasa perlu dan ibu juga tidak pernah bertanya aku bermain dengan siapa.
“Bagus.” Kakak menjadi ceria lagi. “Kamu mudah diajak bekerja sama ya,”
“Kerja sama?” tanyaku tidak paham.
“Iya, kamu mau bekerja dengan kakak?”
“Maksudnya?”
“Ya bekerja. Kita bisa keliling dunia, ke mana saja.”
Aku teringat lagi soal orang asing yang berniat jahat. Kakak ini sudah bermain denganku selama seminggu, tapi bisa saja dia benar-benar jahat. Ibu selalu mengingatkanku untuk waspada, hanya saja akhir-akhir ini aku lupa.
Pelan-pelan aku menggeser badanku menjauh. Siap-siap lari kalau ada apa-apa. Kakak itu menyadari apa yang mau kulakukan dan malah tertawa. “Aku tidak akan menculikmu, ya ampun.”
“Benarkah?”
“Penculik beneran tidak akan mengaku walau kamu tanya begitu lho.”
Benar juga.
Lalu, kakak memandang langit biru. Aku menirunya.
“Kakak masih harus bekerja dan sepertinya tidak bisa datang ke sini lagi,” katanya.
“Terus?”
“Makanya kuajak kamu bekerja bersama kakak. Sekarang, besok, atau mungkin nanti saat kamu sudah besar? Yang mana pun boleh.”
Aku menatap kakak itu. Mengingat kembali cerita-ceritanya. Waktu kami bermain hanya sebentar, tapi aku merasa tidak akan lupa sampai waktu yang lama. Kemudian, aku mengingat ibu dan ayah, bunga-bunga yang akan kami tanam, teman-teman baru yang mungkin akan aku temui di sekolah, dan kucing yang sering mengunjungi rumah. Dibanding cerita kakak yang penuh keajaiban dan terasa jauh, aku lebih penasaran dengan hari besok dan besoknya yang akan kualami di sini.
“Mungkin aku lebih suka di sini saja. Kalau sempat, lain kali kakak bisa datang dan ajak aku lagi,” jawabku segera, tanpa memikirkannya terlalu dalam.
Bisa saja aku berubah pikiran, sama seperti ayah dan ibu yang tiba-tiba memutuskan untuk pindah rumah. Bisa jadi aku akan mengiyakan ajakan kakak beberapa jam dari sekarang. Apalagi besok, minggu depan, atau bertahun-tahun mendatang. Aku memang masih tidak terlalu percaya pada kakak yang mengakunya dari dunia lain beserta seluruh cerita-ceritanya, tapi barangkali di masa depan nanti cerita-ceritanya jadi masuk akal dan aku tidak ragu untuk menyetujui ajakannya.
Kakak tidak bereaksi banyak, dia hanya tersenyum seperti biasa dan memandang ke pohon-pohon dan hamparan rumput yang diterpa angin semilir. Dengan alasan yang tidak kupahami, aku tidak bisa berhenti menatap kakak. Rambutnya yang beterbangan menampar sisi pipinya, kedua tangannya yang memeluk lutut, dan samar-samar bau buah apel. Dan mungkin aku terlalu serius memperhatikannya, karena aku melihat warna bola mata kakak ternyata kemerah-merahan. Seperti kulit apel matang. Bukan apel yang merah cerah, tetapi lebih kecoklatan.
“Siap! Ayo, hari ini kakak mengantarmu pulang,” kata kakak sambil menatapku. Alisnya terangkat heran begitu menyadari aku juga sedang melihatnya.
Aku tahu kalau manusia biasa di Bumi ini tidak ada yang punya mata warna merah, jadi tanpa sadar aku terlalu penasaran. Bisa saja dia benar-benar berasal dari dunia lain dan aku akan merasa bersalah karena tidak percaya kata-katanya dari awal.
Dalam perjalanan pulang, kakak itu menggandeng tanganku dan mengayun-ayunkannya. Ke depan, ke belakang. Hatiku juga melambung setiap kalinya. Sambil melangkah, ia bercerita tentang planet yang ada banyak vampirnya. “Tapi mereka tidak minum darah manusia,” kata kakak. Di planet itu ada sungai darah yang tak kering-kering, dan itulah yang jadi makanan para vampir.
Aku bertanya, “Lalu darah yang ada di sungai itu berasal dari mana?”
Kakak hanya tersenyum usil seperti biasa, ”Kamu harus cari tahu sendiri!”
Selanjutnya ia kembali bercerita tentang banyak hal lain yang belum pernah kudengar. Tentang bosnya yang tidak bisa dihubungi karena hilang sinyal dan kakak jadi sangat kerepotan sampai kerjaannya terganggu. Kata kakak, ‘Dia pasti berbohong, kalau memang niat, beliau tidak bakal beralasan yang aneh begitu.’
Dia terus bercerita sampai kami tiba di depan rumahku, dan kakak melepaskan gandengannya. Sesuatu yang melambung-lambung di hatiku langsung pecah.
“Rumahmu bagus.” Ia memuji kagum. Ini pertama kalinya kakak mengantarku sampai tepat di depan rumah dan melihat koleksi tanaman ibu secara langsung. Aku akui setelah seminggu, tanaman itu beradaptasi dengan baik.
Aku bilang pada kakak, “Sebentar lagi bunga-bunga yang baru ditanam akan mekar dan jadi lebih bagus lagi.”
Kakak mengangguk-angguk, “Sayang sekali kakak tidak pandai mengurus tanaman. Kalau bisa, kakak juga ingin tinggal di rumah yang penuh bunga.”
“Sayang sekali.”
“Oh, tapi kakak punya satu kaktus yang lumayan bagus,” sahut kakak sumringah. Sepertinya dia sangat senang.
“Wow.” Aku belum pernah punya kaktus. “Apa merawatnya susah?”
“Susah, tapi baru-baru ini ada yang membantuku.”
“Siapa?” Aku tidak tahu kakak punya teman dekat, dia belum pernah cerita. Setelah berpikir lagi selama beberapa saat, kubilang, “Aku juga akan belajar soal kaktus.”
Kakak tersenyum simpul dan menepuk-nepuk kepalaku, “Bagus, lain kali, kakak akan minta bantuan Dhira.”
“Oke,” kataku.
Setelah sunyi yang tidak lama, aku tiba-tiba sadar kalau ini perpisahan. “Siapa nama kakak?” Akhirnya aku menanyakanya.
Tetapi seolah tak mendengar pertanyaanku barusan, kakak justru menunduk menyejajarkan tingginya denganku, lalu memelukku lama sekali. Entah bagaimana aku rasa kakak tidak akan menjawab pertanyaanku dan itu membuatku sedih. Namun aku tidak berkata apa-apa lagi dan hanya merasakan tangan kakak yang mengusap kepalaku dan rambutnya yang bersentuhan dengan pipiku. Aku tidak mau dia pergi, tapi kalau ada satu hal yang sudah aku pelajari dari kepindahanku yang tiba-tiba adalah bahwa perpisahan itu pasti terjadi.
Seperti bangun dari mimpi indah dan ilusi, kakak melepas pelukannya dan berdiri berkacak pinggang. “Aku akan datang lagi untuk menagih janji.”
“Janji?” tanyaku, mendadak lupa apa yang dimaksud.
“Kerja sama, berkeliling dunia!” jawab kakak tak sabar, telunjuknya menunjuk langit dan berputar-putar.
“Ah!” seruku, baru teringat. “Aku akan menunggu.”
“Nah, begitu dong,” dia tersenyum lebar dan mengacak rambutku, “Sampai jumpa lagi, Dhira.”
“Aku akan menunggu,” ulangku.
Hari ini kakak mengenakan baju terusan hijau yang sama seperti saat pertama ia muncul di balik pohon apel. Namun anehnya, sekarang kakak menjadi semakin mirip buah apel. Aku terus memikirkannya sambil mengamati sosok berbaju hijau itu hilang di belokan. Tapi alasannya tak kunjung ketemu.
Setelah sendirian, yang kurasakan hanya kesepian. Ibu sering bilang bahwa aku anak yang mentalnya kuat, makanya jarang menangis. Aku kurang mengerti arti kalimat ibu. Yang kutahu, saat ini aku sangat-sangat ingin menangis.
Anehnya, seperti mendengar keinginanku, tiba-tiba ibu keluar dari rumah dengan sepot bunga apel di satu tangan dan tampang heran. Tanpa menunggu ibu bertanya, aku menghambur kepadanya dan menangis sesenggukan.
Keesokan paginya, saat akan sarapan, ibu membawa sekeranjang apel merah kecoklatan yang familiar dari luar. Raut wajahnya penuh heran.
“Ini dari temanmu,” ujarnya, meletakkan keranjang apel tersebut di atas meja. “Sepertinya dia pergi subuh tadi. Kenapa kamu tidak pernah cerita?”
Aku tidak sempat menjawab ibu. Perhatianku teralihkan oleh sebuah kertas yang terselip di pinggir keranjang apel. Kubuka lipatan kertas tersebut untuk kubaca dan isinya hanya satu baris sederhana.
“Ini makanan dunia lain yang kamu mau, kan?”