Masukan nama pengguna
“Kita ini beda generasi Aina. Dari generasinya saja sudah beda. Banyaklah perubahan yang nenek alami."
Oh Tuhan apalagi ini? Apalagi yang ada di dalam kepala cucuku? Kenapa dia tiba-tiba datang bertanya tentang perubahan? Tidakkah orang tua ini sudah cukup tua untuk diajak tanya-tanya?
“Bukan soal generasi nek. Bukan soal zaman. Aina tanya ada ngga yang berubah dari nenek?” katanya dengan mata serius. Aku takut sendiri melihat matanya.
Namanya Aina, cucu pertama perempuan di keluarga besar kami. Benar, dia cucu pertamaku. Sungguh sangat cantik dan pintar. Setiap hari orang tuanya selalu berkata Aina anak yang cantik dan pintar.
Sekalipun ia melakukan kesalahan Ibunya menegur tanpa mengucapkan kata-kata buruk. Sepertinya berkat doa yang diulang-ulang terus oleh ibunya lah, Aina benar-benar menjadi anak yang cantik dan pintar.
Tapi, aku paling sulit menghadapi anak ini. Dia berbeda dengan anakku dan cucu-cucuku yang lain. Anakku pintar, cucu-cucuku yang lain juga pintar. Tapi mereka tidak banyak tanya. Bapaknya Aina juga tidak banyak tanya. Entah pada siapa Aina belajar menjadi anak yang banyak tanya, selalu penasaran dan tidak gampang puas.
Aina seperti anugerah. Aku juga merasa begitu. Tapi terkadang pertanyaannya membuatku pusing.
“Coba jelaskan pertanyaan Aina pakai bahasa yang nenek pahami.” Aina mengernyitkan kedua alis matanya mendengar permintaanku.
“Nenek kan paham maksud pertanyaan Aina. Buat apa Aina jelaskan lagi?” apakah semua cucu pertama perempuan memang seperti ini? Entah kebaikan apa yang sudah dilakukan orang tuanya sampai punya anak setajam Aina.
Sebenarnya cucuku tidak salah. Hanya saja, aku sudah tua. Rasanya malas kalau disuruh memikirkan hal serius. Aina ini anak yang serius apalagi kalau dia bertanya. Agak sedikit tidak bisa dihentikan.
Aina punya kebiasaan memperhatikan hal kecil secara mendetail. Aku pernah terjebak di pertanyaan kecil yang membingungkan dan malas memikirkannya.
Kenapa angin bertiup? Kenapa namanya bertiup? Memang dari mana sumbernya? Kalo ada ada tiupan artinya ada yang meniup?
Kuluruskan, bukan bertiup tapi berhembus. Ternyata pertanyaannya sama saja.
Siapa yang menghembuskannya? Pasti ada asalnya. Tidak mungkin tiba-tiba namanya berhembus. Kenapa hembusan angin tidak bisa dilihat tapi daun-daun bisa bergoyang? Apa itu energi? Angin punya energi tapi tak punya bentuk? Apa angin itu makhluk halus? Jadi yang sebenarnya kita rasakan itu angin atau hembusan?
Ibunya saja kewalahan.
Cucuku Aina tidak bisa diajak bersantai. Aku senang dia berkunjung. Tapi pertanyaannya selalu membuatku pusing. Nenek-nenek sepertiku tidak sempat memikirkan asal muasal angin.
Lalu sekarang, dia memintaku memikirkan perubahan. Oh Tuhan, terima kasih sudah mengirimkan cucu cerdas di tengah keluarga kami yang jarang sekali berpikir ini.
“Sepertinya kulit nenek berubah. Dulu kulit nenek sehat dan mulus. Sekarang sudah keriput kering dan bisa ditarik.” Kutarik kulit-kulit di bagian punggung tangan sambil tertawa. Berharap cucuku Aina bisa segera pindah ke ruangan lain.
“Cuman kulit aja?” Aina menimpali tanpa berpikir. Membuatku pusing.
Jawaban seperti apa yang dia inginkan? Padahal pertanyaannya apakah ada yang berubah dariku atau tidak? Oh, cucuku Aina. Untung hanya dia seorang yang seperti ini.
“Bolehkah nenek berpikir sebentar maksud pertanyaanmu?”
“Tentu saja!” ucapnya mantap. Tanpa keraguan. Dan tanpa rasa kasihan. Semangat muda yang mengerikan.
“Baiklah, kalau begitu. Temui nenek pukul 5.” Aina mengangguk lalu pergi bermain dengan cucuku-cucuku yang lain.
Apa yang Aina inginkan dari pertanyaannya?
Dia pasti sudah punya acuan tertentu dan tinggal mencari validasi saja. Dia tidak tiba-tiba bertanya, karena itu pertanyaannya banyak.
Jika dia bertanya tentangku maka minimal dia sudah mengetahui informasi tentang aku? Harusnya begitu. Tapi informasi apa yang sampai membuatnya bertanya, ‘adakah yang berubah dari nenek?’
Apa yang dibicarakan anak ini bersama ibunya, sampai membuat dia tidak tahan ingin mendapatkan jawaban langsung.
Oh, ya ampun kepalaku sakit memikirkannya.
Apakah aku masih harus berpikir sekeras ini, padahal usia cucuku sudah 12?
Aku jadi teringat Aina kecilku yang lucu dan selalu ditunggu-tunggu.
Aina kecil juga selalu mempertanyakan sesuatu tapi dulu sekali, itu lucu. Kedatangannya menjadi yang paling ditunggu setiap kumpul keluarga. Aina bisa menimpali ucapan apapun dari siapapun. Bisa memahami perkataan orang dewasa tanpa berpikir rumit dan bisa menjadi pendengar paling dipercaya.
Aina tidak peduli soal penampilan, makanan atau hal-hal lucu seperti mainan. Dia hanya senang melamun, menghabiskan waktu sendirian dan tidak suka bersosial.
Aku pernah menasehati ibunya agar Aina tidak dibiarkan sendirian terus setiap hari, diajarkan bersosial, berteman dan mencari hiburan. Melihat dia senang melamun membuatku takut kalau-kalau Aina kesurupan atau malah berteman dengan setan.
Tapi Ibunya bilang Aina punya teman. Dia punya jam main dan punya jam melamun. Dia sendiri yang mengatur waktunya, karena itu dia boleh melakukan apa saja asal bertanggung jawab.
Ibunya terlalu santai. Beda sekali dengan karakter Aina yang selalu bertanya-tanya itu.
Seandainya Aina berhadapan dengan dirinya sendiri mungkin dia akan bertanya, kenapa kau melamun? Apa hidupmu tidak ada gunanya? Siapa yang mengajarkanmu melamun? Apa yang kau dapat dari melamun? Tidak bisakah kau keluar, mencari kegiatan dan tidak melamun?
Aku yakin dirinya yang suka melamun juga akan terkejut oleh rentetan pertanyaan tak berujung dari Aina.
Oh cucuku Aina yang lucu. Seandainya kau tidak segera beranjak remaja kau pasti akan selalu lucu. Akan selalu jadi yang paling ditunggu-tunggu setiap pertemuan keluarga.
Aku tidak mengatakan kalau sekarang kau tidak ditunggu. Kau juga tetap selalu ditunggu. Tapi, Oh cucuku Aina. Sesekali aku berharap kau bisa masuk ke kepala nenek dan melihatnya langsung agar nenek tidak perlu menjelaskan apapun. Tapi di sisi lain aku bersyukur karena kau tidak bisa melihatnya.
Oh, cucuku Aina.
Aku selalu menyayangimu dan tak pernah membeda-bedakan mu dengan yang lain. Kau pun tau itu. Hanya saja terkadang pikiranku tentang mu berubah-ubah.
Sekarang aku mengerti kenapa banyak teman yang berharap cucunya tidak segera besar. Sayang sekali melihat kelucuan itu menghilang seiring pertumbuhannya dan berganti menjadi sesuatu yang mengerikan.
Tidak-tidak itu tidak mengerikan. Cucuku Aina tidaklah mengerikan. Hanya terlalu banyak bertanya saja. Dan ibunya mengizinkan itu.
Suatu saat akan kuajarkan pada ibunya cara mendiamkan anak dan menjadikannya tidak banyak bertanya. Rasanya aku tidak pernah gagal kalau soal mendiamkan anak. Anak - mantuku semuanya nurut dan patuh, tidak banyak tanya dan sopan.
Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh berpikir begini.
Aku tidak boleh mengambil peran ibu dari anakku. Dia pasti tau yang terbaik untuk anaknya. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara mengendalikannya.
Kenapa pula aku ingin mengatur hidup cucuku? Oh cucuku yang lucu. Maafkan nenek yang sudah berpikir kemana-mana. Bukannya mencari jawaban dari pertanyaanmu, nenek malah berharap kau tetap lucu dan tidak bertumbuh
Nenek yang malas berpikir ini hampir saja mengusik kehidupan ibumu. Untung saja kau memberikan waktu untuk nenek berpikir.
Sepertinya kau tetap lucu dan sedikit bijaksana, hanya nenek saja yang salah menilai perubahanmu.
“Ibu?” anakku datang.
“Anakmu tadi tanya, apa yang berubah dari ibu? Ibu jawab kulit ibu berubah. Dia bilang lagi, cuman kulit aja? Ibu bingung harus jawab apa. Jadi ibu bilang temui nenek pukul 5 tapi sampai saat ini ibu belum ketemu jawabannya. Dari mana dia belajar banyak tanya seperti ini? Takut sekali ibu kalau Aina sudah mulai bertanya.” Aku tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak menceritakan keadaan ini. Padahal dia baru datang.
Anakku tertawa seperti orang dewasa.
Entah aku yang sudah lama tidak memperhatikan dia tertawa atau memang cara tertawa anakku berubah? Tawanya berbeda. Dia terlihat seperti seorang ibu.
Sudah berapa lama waktu berlalu.
Aku tidak sadar apa saja yang terlewat. Selama ini pikiranku terperangkap di kenangan lalu. Dan sepertinya hanya berputar-putar pada hal yang tidak aku pahami.
Padahal di sini, di hadapanku ada anakku yang sudah menjadi Ibu. Oh, Tuhan. Terima kasih sudah mengijinkan aku untuk menyaksikan semua ini.
“Dia belajar dari Ibu. Sepertinya sebelum dia lahir, dia sudah sering kontak batin dengan Ibu. Ibu juga dulu selalu mempertanyakan segala sesuatu. Dan aku harus menjawab semuanya satu-satu. Persis seperti Aina sekarang. Jadi anggap saja saat ini dia hanya sedang melanjutkan perjalanannya.”
Oh, ya ampun? Apalagi ini? Benarkah? Aku seperti itu?
“Nenek? Eh ada ibu? Ibu lagi ngobrol sama nenek? Aina mau ngobrol sama nenek juga. Tapi cuman berdua sama nenek” kata Aina cepat.
Kejadiannya sangat cepat. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Pikiranku berubah. Aina yang selalu bertanya-tanya dan mengisi pikiranku, tiba-tiba hilang dan digantikan pertanyaan baru, benarkah aku seperti itu?
Kenapa aku tidak sadar? Apakah aku yang mewariskannya pada Aina? Tapi, kenapa?
“Nenek, jadi apa jawaban nenek?” Aina mengelus-elus tanganku pelan.
Apa jawabanku? Apakah di saat ini aku bisa berpikir? Aina ku yang lucu yang dulu selalu ditunggu-tunggu dan diperebutkan keluarga.
Cucuku Aina yang kusebut-sebut terlalu banyak tanya dan harus didiamkan? Itu warisan dariku? Oh, Tuhan apakah ini karma?
“Sepertinya pikiran nenek yang berubah!” kalimat itu meluncur begitu saja.
Kekosongan menyergap pikiranku yang penuh.
Apakah ini karena pernyataan anakku? Bukankah harusnya aku senang? Tapi kenapa rasanya berbeda?
Di sampingku, Aina terus bercerita tentang sesuatu yang tidak aku pahami. Kalimatnya semuanya mengawang di langit-langit rumah. Tidak ada yang mendarat masuk telinga.
Aku hanya bisa mengelus kepalanya sambil terus tersenyum setiap kali Aina tertawa.
Ternyata itu hal yang tadinya hanya diketahui cucuku?
Oh, cucuku Aina.