Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,044
Cowok cafe sebelah
Slice of Life

Jam empat sore adalah waktu favoritku. Bukan karena matahari mulai jinak atau karena tugas kuliahku sudah selesai, tapi karena pada jam segitu, aku bisa duduk di sudut jendela kafe ini—tempat di mana dunia terasa sedikit lebih pelan.


Hari ini, seperti dua minggu terakhir, aku memesan cappuccino hangat dan duduk menghadap jendela. Dan ya, seperti biasa... dia ada di sana.


Di kafe seberang jalan, duduk seorang cowok dengan hoodie abu-abu yang terlalu besar untuk tubuhnya, rambutnya berantakan seperti habis bangun tidur, dan tangan yang selalu sibuk dengan pensil dan buku sketsanya. Yang membuatku bingung, dia selalu melihat ke arahku sebelum mulai menggambar. Bukan hanya sesekali, tapi setiap hari.


Aneh? Iya. Menyeramkan? Mungkin. Tapi yang lebih aneh lagi, aku... menunggunya.


Namaku Alya. Mahasiswa semester akhir yang sedang melarikan diri dari skripsi dan kenyataan. Cowok itu—entah siapa namanya—selalu duduk di tempat yang sama, seperti sudah menjadi kebiasaan yang diam-diam kami sepakati. Tapi kami belum pernah berbicara. Bahkan melambai pun tidak.


Sampai hari ini.


Saat aku sedang menunggu kopiku datang, pelayan datang membawa nampan kecil. Tapi kali ini, bukan hanya cappuccino di atasnya. Ada sebuah amplop putih kecil.


Aku menatap pelayan itu, bingung.

“Dari kafe sebelah, Mbak,” katanya singkat.


Aku membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, selembar kertas tebal. Bukan surat, tapi gambar sketsa wajahku. Detail. Lembut. Seolah aku sedang memandang diriku dari mata seseorang yang mengenalku sangat dalam.


Di sudut gambar, ada tulisan kecil dengan tinta hitam:

"Untuk wajah yang selalu tenang, bahkan saat dunia ribut di luar sana."


Tanganku gemetar sedikit. Kupalingkan pandanganku ke kafe seberang. Tapi kursi itu... kosong.



---


Besoknya, aku datang lebih cepat. Kursi itu masih kosong. Hari berikutnya juga. Dan hari setelahnya.


Tiga hari berturut-turut, dia tidak muncul. Perasaan aneh mengendap di dadaku. Kecewa? Gelisah? Entahlah.


Hari keempat, aku memberanikan diri ke kafe seberang. Tempat itu tak seramai kafe tempatku biasa duduk. Aku berjalan pelan ke meja tempat dia biasa duduk. Di atasnya... ada map besar berwarna hitam. Dan di atasnya, catatan kecil:


"Untuk yang selalu aku gambar diam-diam. Ini mungkin terakhir kalinya aku bisa melihatmu."


Tanganku bergetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada belasan sketsa wajahku. Dari berbagai sudut. Saat aku tersenyum, saat aku sedang melamun, bahkan saat aku tampak kesal dengan laptopku.


Aku menahan napas membaca surat pendek di balik sketsa terakhir:


"Namaku Arga. Aku mahasiswa seni, dan dalam waktu dekat, aku akan menjalani operasi mata. Penyakit retina ini sudah membuat dunia samar—tapi kamu, wajahmu, selalu jelas. Aku menggambarmu bukan karena aku kenal kamu. Tapi karena setiap kali aku melihatmu, dunia seolah berhenti, dan aku tahu… aku tidak sendirian menghadapi gelap ini."



---


Sejak hari itu, aku tak pernah melihat Arga lagi. Tapi aku tetap duduk di tempat biasa, setiap jam empat sore.


Tiga minggu kemudian, pelayan datang membawakan minuman seperti biasa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain.


Sebuah amplop coklat.


Isinya adalah satu lembar sketsa baru, dan secarik kertas:


"Jika suatu hari aku bisa melihatmu lagi dengan jelas, aku harap kamu masih duduk di sana. Di kursi yang sama. Di waktu yang sama.

– Arga."


Aku tersenyum. Sore itu, kopi terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.


Dan untuk pertama kalinya, aku menunggu bukan karena kebiasaan. Tapi karena harapan.

Hari-hari berlalu.


Aku tetap duduk di tempat yang sama. Kadang sambil membawa bukuku, kadang hanya memandangi jalan. Orang-orang lalu lalang. Mobil lewat, motor melintas. Tapi yang aku tunggu, tak kunjung muncul.


Sampai suatu sore yang berbeda dari biasanya.


Langit mendung, dan gerimis mulai turun perlahan. Aku membuka laptopku hanya untuk sekadar terlihat sibuk. Tapi jantungku berdegup lebih cepat saat kudengar suara langkah pelan mendekat ke mejaku.


"Alya?"


Suara itu lembut. Familiar, entah dari mana. Aku menoleh, dan di hadapanku... dia berdiri.


Arga.


Ia masih dengan hoodie abu-abu kebesarannya, tapi kali ini tanpa buku sketsa di tangan. Matanya menatapku, tidak tajam, tapi seolah berusaha mengingat. Ia tersenyum—ragu, tapi hangat.


“Aku… belum bisa melihatmu dengan jelas,” katanya. “Tapi cukup untuk tahu, kamu duduk di tempat yang sama.”


Aku terdiam. Lalu tersenyum kecil.


“Kamu terlambat,” jawabku pelan.


“Maaf. Aku perlu waktu untuk yakin mataku benar-benar bisa melihatmu,” katanya. “Kamu tahu… kamu masih kelihatan seperti sketsa. Tapi kali ini, hidup.”


Kami tertawa kecil. Aneh. Dua orang asing yang belum pernah benar-benar bicara, kini duduk bersama seperti dua teman lama.


Arga menarik napas. “Operasinya berhasil, sebagian. Aku bisa melihat, tapi belum sepenuhnya. Dokter bilang butuh waktu. Tapi saat penglihatanku mulai kembali, aku hanya ingin memastikan satu hal dulu.”


“Apa?”


“Bahwa kamu… nyata.”


Aku mengangguk pelan. “Dan kamu juga.”



---


Kami mengobrol cukup lama sore itu. Tentang sketsa-sketsa yang ia buat, tentang alasan ia memilih duduk di kafe seberang, tentang kenapa dia memilih menggambarku dari jauh.


“Karena kamu terlihat seperti seseorang yang sedang berjuang, tapi tetap tenang,” katanya. “Dan itu... menenangkan aku.”


Aku tidak tahu harus berkata apa. Mungkin karena dia benar. Mungkin karena selama ini aku terlalu sibuk menutupi rasa lelahku dengan senyum.


Saat hari mulai gelap, dan hujan turun makin deras, Arga berdiri.


“Aku boleh kembali besok?” tanyanya.


Aku tersenyum. “Kalau kamu bisa menemukan kursimu di sana,” ujarku sambil menunjuk meja di seberang, “aku janji akan tetap di sini.”


Dia tertawa, lalu berjalan pergi perlahan, sesekali menoleh—seperti memastikan bahwa aku masih di sana.


Dan aku tahu, besok, kursi itu tidak akan kosong lagi.

Sejak hari itu, Arga datang hampir setiap sore. Tidak selalu tepat waktu, tidak selalu membawa sketsa, tapi dia selalu membawa cerita. Tentang warna-warna yang mulai ia lihat lagi. Tentang cahaya yang perlahan kembali ke matanya. Tentang ketakutan kehilangan... dan keajaiban bisa menemukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.


Kami mulai saling mengenal. Ternyata dia suka membaca buku yang sama denganku. Ternyata dia pernah ingin berhenti kuliah karena merasa kehilangan arah. Dan ternyata... dia menyukaiku sejak pertama kali melihatku duduk di balik jendela itu, tanpa tahu siapa aku.


“Alya,” katanya suatu sore, “kadang aku pikir mungkin kamu cuma imajinasi. Tapi kamu tetap di sana. Bahkan saat aku nggak ada.”


Aku tertawa pelan. “Mungkin kamu memang nyata, tapi datang di waktu yang tidak biasa.”


Kami sama-sama diam sejenak. Hujan turun di luar jendela, pelan dan rapi. Di meja, dua cangkir kopi sudah hampir kosong. Tapi tak satu pun dari kami ingin pulang lebih dulu.


“Aku nggak tahu ini apa,” katanya akhirnya. “Tapi aku tahu aku ingin melihatmu… dengan cara yang lebih dari sekadar menggambarmu.”


Aku menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya aku melihat sorot mata itu—samar tapi hangat. Seperti seseorang yang baru belajar melihat lagi, bukan hanya dengan mata… tapi dengan hati.


“Aku juga,” jawabku pelan. “Mungkin kamu bisa mulai… dengan tidak lagi duduk di kafe seberang.”


Ia tertawa kecil, lalu mengangguk.



---


Sejak itu, dia duduk di sini. Di depanku. Bukan hanya sebagai cowok yang suka menggambar diam-diam dari kejauhan, tapi sebagai seseorang yang berani mendekat. Mungkin kami masih asing. Mungkin kami belum tahu ke mana arah cerita ini. Tapi kami sudah memilih untuk menulisnya—bersama.


Dan aku tahu, aku tak lagi menunggu.


Karena akhirnya, yang kutunggu… sudah duduk di depanku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)