Masukan nama pengguna
Namaku Risa, murid kelas 11 IPA 2. Aku bukan siapa-siapa di sekolah—bukan ketua OSIS, bukan anak ekskul terkenal, bahkan bukan top 10 ranking. Tapi hari itu, hidupku berubah gara-gara satu kalimat tolol.
“Berani nggak lo pacaran pura-pura sama Risa seminggu?” tantang Gilang, sahabatnya Angga, si anak basket yang terkenal seantero sekolah. “Kalo sampe dia baper duluan, lo traktir gue sebulan!”
Dan Angga—cowok ganteng sok cuek itu—cuma nyengir dan jawab, “Deal.”
Dan boom. Aku resmi jadi target taruhan.
---
Aku tahu soal taruhan itu... belakangan. Tapi hari itu, Angga datang ke mejaku di taman belakang sekolah dan tiba-tiba duduk seenaknya.
“Risa,” katanya santai, “kamu mau nggak jadi pacarku?”
Aku berhenti ngunyah roti sobek dan menatap dia kayak dia alien. “Apa lo bilang?”
“Pura-pura, seminggu aja. Biar mantan gue berhenti ganggu.”
Aku nyaris ngeludahin roti.
“Kenapa gue?” tanyaku bingung.
“Karena kamu cukup... nyebelin buat kelihatan nyata.” Dia nyengir seenaknya.
Sumpah, kalau nggak ada orang lain di situ, aku lempar sendal.
Tapi entah kenapa, setelah beberapa detik mikir, aku malah bilang, “Oke.”
---
Hari pertama "pacaran bohongan", sekolah kayak berubah jadi panggung sinetron. Anak-anak heboh. Cewek-cewek pada bisik-bisik. Teman-teman sekelas melongo.
Dan Angga? Totalitas. Dia nganter aku ke kelas, beliin aku teh botol, bahkan ngasih aku permen warna-warni pas istirahat.
“Lo gak perlu segitunya, tau,” kataku waktu dia ngasih aku helm pulang sekolah.
Dia cengar-cengir. “Kita kan pacaran.”
“Pura-pura.”
“Ya tapi harus meyakinkan.”
Dan gila, dia benar-benar meyakinkan. Bahkan terlalu meyakinkan.
---
Hari-hari selanjutnya makin parah.
Dia ngirimin aku chat pagi-pagi:
> “Jangan lupa sarapan, Ris. Lo gampang masuk angin.”
Siangnya:
> “Gue titipin makanan di loker ya. Gue tahu lo males ke kantin.”
Dan malamnya:
> “Lo pasti udah ketiduran. Good night, pacar palsu.”
Aku ngakak... tapi juga ngerasa... hangat.
Masalahnya, rasa itu mulai tumbuh.
Aku mulai nungguin chat dia. Mulai ngerasa senang kalau dia nyariin. Dan... mulai lupa kalau semua ini cuma akting.
---
Hari kelima, Angga ngajak aku ke taman sepulang sekolah.
Dia duduk di sebelahku dan ngelepas napas panjang.
“Lo tahu nggak,” katanya pelan, “aneh ya... pura-pura kayak gini, tapi rasanya nyata.”
Aku hanya diam.
“Kadang gue mikir... andai ini bukan pura-pura.”
Deg. Jantungku kayak berhenti sebentar.
Tapi aku nggak jawab. Karena... aku takut itu cuma bagian dari skenario dia.
---
Hari ketujuh, aku tahu semuanya.
Aku denger sendiri Gilang ngomong ke Angga di kantin.
> “Gila, lo berhasil banget sih bikin Risa baper. Siap-siap traktir gue tuh!”
Aku berdiri di balik tembok, pegang kotak bekal yang tadi mau aku kasih ke Angga.
Dan kotak itu... jatuh.
Hari itu juga aku mutusin buat mengakhiri semuanya.
---
“Ga, kita udahan aja,” kataku pelan di depan kelasnya.
Dia terlihat kaget. “Kenapa?”
“Karena... ini semua cuma taruhan, kan?”
Wajahnya langsung pucat.
“Gue denger, Angga. Lo menang taruhan. Gue kalah.”
Aku putar badan dan pergi, ninggalin dia diam berdiri.
---
Dua hari aku menghindar.
Nggak balas chat dia. Nggak datang ke taman belakang. Bahkan pulang bareng sahabatku biar nggak ketemu dia di gerbang.
Sampai pagi itu, dia berdiri di depan kelasku. Bawa surat lipat kecil warna biru muda.
“Risa,” katanya pelan. “Tolong baca ini.”
---
Isinya tulisan tangan dia. Coretan khas cowok. Tapi isinya... bikin aku nggak bisa napas.
> Risa,
Awalnya gue cuma ikut iseng. Tapi sekarang... gue nggak tahu harus gimana selain jujur.
Gue suka lo. Beneran.
Gue suka lo marah, suka lo kesel, suka lo ketawa sendiri.
Gue tahu gue bodoh, dan gue tahu lo kecewa.
Tapi...
Kalau lo kasih gue satu kesempatan lagi, gue janji semua ini nggak akan pura-pura.
– Angga
---
Aku turun ke taman belakang. Dan di sana dia nunggu. Sendirian.
“Kenapa harus gue?” tanyaku lirih.
Dia menatapku. “Karena... cuma lo yang bisa bikin gue gugup di depan cewek.”
Aku ketawa pelan. “Lo nggak takut kalah taruhan?”
Dia senyum. “Gue udah kalah. Sama lo.”
---
Dan akhirnya... hubungan pura-pura itu berakhir.
Tapi... bukan karena selesai.
Tapi karena berubah.
Jadi beneran.
Sudah tiga minggu sejak aku dan Angga resmi pacaran. Beneran. Tanpa taruhan. Tanpa pura-pura.
Awalnya sih manis. Tiap pagi dia nyapa aku duluan. Tiap siang, kami tukar bekal. Malam, dia kirim pesan lucu-lucu sebelum tidur.
Pokoknya, hidupku seperti novel Wattpad.
Tapi semua itu berubah sejak Nadine pindah ke sekolah kami.
---
Nadine itu... tipe cewek yang sering muncul di drama Korea. Rambut lurus, kulit putih, bibir merah kayak stroberi. Pintar. Ramah. Suara lembut. Dan—yang paling penting—cepet banget akrab sama Angga.
Aku inget pertama kali lihat mereka ketawa bareng di lapangan basket. Nadine duduk di bangku penonton, dan Angga nyamperin dia sambil kasih handuk kecil. Mereka ketawa. DEKET BANGET.
Aku langsung merinding. Bukan karena cuaca. Tapi karena rasa gak enak yang tiba-tiba muncul.
---
Hari itu, aku nggak nyapa Angga duluan. Biasanya aku yang semangat WA:
> "Pagi pacarku yang suka megang botol tapi nggak diminum."
Tapi pagi itu aku diam. Menunggu dia nyapa duluan. Tapi... nggak ada chat masuk.
Siangnya di kantin, aku lihat dia duduk di pojok, bareng Gilang dan—tentu saja—Nadine. Mereka lagi main tebak-tebakan. Nadine ketawa ngakak, sampai mukanya merah.
Dan Angga... ikut ketawa juga.
Aku? Duduk sama Ulan sambil makan tahu bulat yang tiba-tiba rasanya pahit kayak kisah cinta sepihak.
---
Malamnya, Angga akhirnya chat:
> “Kamu kok diem aja hari ini?”
Aku ngetik panjang. Terus hapus. Ngetik lagi. Hapus lagi. Akhirnya aku cuma kirim:
> “Capek aja.”
Padahal aku pengin nulis:
> Capek lihat kamu ketawa sama cewek lain.
Capek ngerasa kayak cuma cadangan.
Tapi ya... gengsi.
---
Besoknya, aku makin keki. Di parkiran sekolah, Nadine teriak manggil Angga dari jauh.
> “Anggaaa, nanti bantuin aku ya ngerjain tugas sejarah!”
Dan dia senyum. “Oke!”
OKEE?
Oke apa? Oke udah lupa punya pacar? Oke pengin mati?
Aku pengin ngilang ke planet lain.
---
Hari-hari berikutnya, aku jadi cewek nyebelin paling diam di dunia.
Chat dikit-dikit. Senyum males-malesan. Jawab singkat.
Angga keliatan bingung. Tapi nggak nanya banyak.
Dia juga diam. Kayaknya dia pikir aku cuma lagi PMS atau semacamnya.
Sampai akhirnya... aku denger desas-desus yang bikin darahku mendidih.
> "Eh katanya Angga deketan sama Nadine ya sekarang? Padahal pacarnya Risa lho..."
> "Nadine cocok banget sih sama Angga. Mereka tuh kayak couple drama banget."
Huh. Couple dramamu semoga dicoret sutradara.
---
Jumat sore, saat aku pulang sendiri karena Angga gak nongol di gerbang, aku cuma bisa nunduk sambil nahan tangis.
Tapi sesampainya di rumah, aku lihat ada bungkusan coklat tergantung di pagar. Ada catatan kecil tertempel di atasnya:
> “Buat cewek paling ngeselin yang aku suka.
Maaf aku bikin kamu bete seminggu ini.
Tapi boleh nggak... aku tebus semuanya malam ini?”
Hatiku mencelos.
Di dalam bungkus itu, ada kotak kecil berisi scrapbook buatan tangan. Isinya foto-foto candid aku dan Angga, ditempel lucu dengan tulisan tangan dia:
> “Risa si pemarah yang bikin aku tenang.”
“Risa si cuek tapi manis.”
“Risa si pacar pura-pura yang bikin semuanya nyata.”
Dan di halaman terakhir:
> “Aku memang bantuin Nadine karena dia anak baru.
Tapi hatiku tetap sama kamu.
Karena cuma kamu yang bisa bikin aku gugup pas nulis surat cinta kayak gini.
– Angga”
Aku terdiam.
---
Malam itu, kami duduk di taman belakang sekolah. Tempat pertama kali semuanya dimulai.
“Kenapa kamu gak marah balik sih?” tanyaku.
Dia senyum. “Karena aku tahu kamu cemburu. Dan aku suka.”
Aku menatapnya. “Nyebelin.”
“Tapi kamu suka, kan?”
Aku mendesah. “Suka banget.”
Dan dia menggenggam tanganku.
“Next time, kamu ngomong ya. Jangan cemburu diam-diam gitu. Ntar aku beneran diambil orang.”
Aku tertawa pelan. “Gak ada yang bisa ngambil kamu. Kecuali... aku yang lepasin.”
Dia menatapku dalam-dalam. “Tolong jangan pernah.”
---
Hubungan remaja itu lucu. Banyak salah paham. Banyak drama. Tapi kalau dua orang mau jujur... mereka bisa saling tumbuh.
Cinta kami bukan lagi bohong-bohongan. Tapi juga bukan yang sempurna.
Tapi... cukup buat bikin aku jatuh cinta berkali-kali ke orang yang sama.