Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,066
Project Berdua
Romantis

Hari itu aku datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Bukan karena semangat, tapi karena panik. Guru seni kami mengumumkan pembagian kelompok proyek akhir—dan seperti yang sudah kuduga, namaku ditulis satu kelompok dengan Raka.


Iya, Raka Damar, siswa paling malas sedunia yang lebih sering tidur di kantin daripada duduk di kelas. Cowok yang katanya jago gambar, tapi tak pernah sekalipun mengumpulkan tugas.


Dan sekarang, nasib nilai seni ku… ada di tangannya.


“Aku nggak percaya,” gumamku sambil menatap daftar kelompok di papan tulis. “Kenapa harus aku sih?”


Lalu seperti dipanggil doa buruk, seseorang menyapaku dari belakang.


“Tenang aja, aku juga nggak senang kok.”


Aku menoleh. Raka berdiri di sana, tangan di saku, senyum seenaknya. Tapi entah kenapa, saat mataku bertemu matanya… aku merasa ini bakal jadi proyek paling kacau—atau paling tidak terlupakan.



---


Kami duduk berdua di pojok kelas siang itu. Aku buka buku catatan, dia buka botol minuman soda. Seimbang.


“Jadi, kita mau bikin apa?” tanyaku, mencoba profesional.


“Bebas aja,” jawabnya sambil nyender. “Yang penting aku nggak disuruh bikin PPT.”


Aku menghela napas. “Ini proyek seni, Raka. Kita harus bikin karya, bukan presentasi.”


“Oh,” katanya sambil garuk kepala. “Berarti aku bisa gambar aja?”


“Ya… bisa.”


“Berarti kamu yang mikir, aku yang gambar?”


Aku menatapnya tajam. “Kita kerjain bareng.”


Dia tertawa pelan. “Oke deh, Bu Ketua.”



---


Tiga hari pertama, aku frustrasi. Raka terlambat terus, kadang bahkan nggak datang. Tapi anehnya, setiap kali aku hampir menyerah, dia muncul dengan alasan aneh yang entah kenapa… aku percaya.


“Aku nggak bangun,” katanya.


“Motorku mogok.”


“Aku bantu Ibu jualan pagi tadi.”


Yang terakhir itu… membuatku diam. Aku jadi penasaran, sebenarnya siapa Raka Damar ini?



---


Hari kelima, kami akhirnya duduk berdua di perpustakaan. Aku bawa kertas konsep, dia bawa pensil warna yang sudah agak tumpul.


“Aku pengen bikin mural mini,” kataku. “Tentang perjuangan siswa yang kayak gunung es—yang kelihatan cuma atasnya aja.”


Raka menatapku. Lama.


“Kenapa?” tanyaku.


“Bagus banget sih,” katanya. “Nggak nyangka kamu punya ide kayak gitu.”


Aku tersipu. “Ya… aku suka mikir.”


“Kelihatan kok,” ujarnya santai. “Makanya kamu sering keliatan sendirian.”


Aku menoleh. “Maksud kamu?”


“Bukan yang jelek. Justru bagus. Kamu tahu kamu mau apa.”


Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasa Raka bukan sekadar cowok tukang bolos. Dia memperhatikan. Dan mungkin… dia juga sendirian.



---


Proyek kami mulai jalan.


Raka ternyata memang jago gambar. Tangannya lincah, detil, ekspresif. Ia menggambar anak sekolah mendaki es raksasa, dengan bayangan masalah keluarga, tekanan sosial, dan rasa cemas di bawah permukaan. Gambar itu… menyentuh.


“Gambar ini, kamu banget,” kataku.


Dia diam. Lalu berkata, “Sebenernya ini… aku.”


Aku menoleh. “Apa?”


“Ayahku ninggalin kami waktu aku SMP. Ibu yang ngurus aku dan adikku. Aku kerja bantu jualan sebelum sekolah. Makanya aku sering bolos.”


Aku menatapnya, kali ini bukan karena kesal… tapi karena mengerti.


“Maaf ya, selama ini aku nge-judge kamu,” kataku pelan.


Dia tersenyum. “Nggak papa. Aku juga nyebelin.”


Kami tertawa. Suasana jadi lebih ringan. Lebih nyaman. Sejak saat itu, kerja kelompok kami bukan lagi tentang nilai. Tapi tentang saling mengenal. Tentang dua orang yang sebelumnya nggak saling paham, kini belajar memahami.



---


Seminggu sebelum presentasi, Raka mengajakku kerja di rumahnya. Aku ragu, tapi akhirnya datang.


Rumahnya sederhana. Ibunya ramah. Adiknya yang masih SD memeluk Raka begitu dia masuk.


Aku melihat sisi lain dari Raka. Seseorang yang bertanggung jawab, hangat, dan sangat sayang keluarganya.


Di malam itu, kami menyelesaikan mural mini kami. Dan ketika aku melihatnya menambahkan tulisan kecil di sudut gambar, aku tersenyum.


Tulisan itu berbunyi:


"Semua orang punya gunung es-nya sendiri. Tapi kadang… kita cuma butuh satu orang yang mau melihat ke dalam."


Aku tahu itu untukku. Dan aku merasa… aku ingin jadi orang itu untuknya.



---


Hari presentasi tiba.


Kami berdiri di depan kelas, memperlihatkan karya kami. Semua diam. Beberapa tampak terharu.


Dan untuk pertama kalinya, guru seni kami berkata, “Ini bukan cuma karya… ini kejujuran. Kalian berhasil menyampaikan rasa.”


Kami duduk kembali ke bangku. Raka menatapku, lalu berkata, “Kamu tahu, aku nggak pernah ngerasa sepede ini sebelumnya.”


Aku tersenyum. “Karena kamu nggak sendirian.”


Ia menatapku lama. Lalu berkata pelan, “Kalau proyek ini selesai, kita… masih bisa bareng, nggak?”


Aku terdiam. Jantungku berdetak lebih cepat. Lalu aku menjawab.

“Kalau kamu mau… kita bisa mulai proyek lain. Proyek berdua, tapi… bukan tugas sekolah.”

Setelah hari presentasi itu, kami kembali ke rutinitas biasa. Tapi ada yang berubah.


Sekarang Raka selalu datang ke kelas lebih pagi. Kadang dia duduk di kursinya sambil menggambar iseng, kadang nyelonong ke mejaku cuma buat bilang, “Hai.” Yang lain pun mulai melihat kami dengan tatapan penasaran.


“Lu pacaran sama Raka, ya?” tanya Manda, sahabatku, di jam istirahat.


Aku hampir tersedak jus jeruk. “Apa sih!”


“Tapi serius, kalian sekarang kayak... klik banget.”


Aku hanya mengangkat bahu, padahal dalam hati… aku juga bingung. Kami memang sering bersama akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti aku tahu apa yang sedang kami jalani.



---


Suatu hari, aku duduk sendirian di taman sekolah sambil membaca novel. Raka datang tanpa suara dan duduk di sebelahku, bawa dua es krim.


“Satu buat kamu,” katanya sambil menyerahkan stik rasa vanila.


“Kenapa?”


“Karena kamu suka manis yang nggak terlalu manis.”


Aku terdiam. “Kamu ingat itu?”


Dia tersenyum. “Aku ingat semuanya.”


Aku menatapnya lama. “Raka…”


“Ya?”


“Apa kita… temenan?”


Dia tertawa. “Temenan sih pasti. Tapi kalau aku bilang aku pengin lebih… kamu bakal marah?”


Jantungku berdegup lebih cepat. Tapi aku berusaha tenang.


“Nggak,” jawabku akhirnya. “Cuma… kita baru kenal satu bulan.”


“Makanya,” katanya sambil menatapku. “Kita mulai aja dulu. Pelan-pelan. Kayak bikin sketsa. Kita gambar garis dulu, warna nanti.”


Dan entah kenapa, kalimat itu membuatku tenang.



---


Hari demi hari, hubungan kami tumbuh. Kami tidak pernah menyebut ‘pacaran’, tapi kami tahu kami saling menjaga.


Saat ulangan seni, aku bantu dia belajar. Saat ibuku sakit, dia yang diam-diam mengantar obat lewat Manda. Saat aku sedih karena nilainya belum bagus, dia kasih aku gambar lucu—anak kucing pegang papan bertuliskan “You did your best”.



---


Hingga satu hari, Raka tak masuk.


Dua hari… tiga hari… seminggu.


Aku cemas. Aku hubungi dia, tapi tidak aktif. Aku tanya teman sekelasnya, tak ada yang tahu.


Akhirnya aku nekat ke rumahnya. Disambut adiknya yang bilang Raka sedang di rumah sakit, kelelahan karena terlalu banyak kerja dan begadang.


Hatiku seketika mencelos.


Saat aku datang ke ruang rawat, dia tampak pucat tapi tetap senyum melihatku.


“Kenapa nggak bilang?” tanyaku lirih.


“Aku nggak mau kamu khawatir,” jawabnya.


“Kamu bodoh.”


Dia tertawa. “Tapi kamu datang…”


Aku menggenggam tangannya. “Karena kamu bukan cuma partner project, Ka. Kamu udah jadi bagian dari hidupku.”


Ia menatapku. Matanya berkaca-kaca. “Aku janji, habis ini aku bakal lebih jaga diri. Karena aku pengin terus ada buat kamu.”



---


Beberapa minggu kemudian, Raka kembali ke sekolah. Dan hari itu juga, dia memberiku sesuatu—sketsa baru.


Sebuah gambar dua orang duduk berdua di depan kertas kosong. Di bawahnya tertulis:


> “Project berdua: bab pertama sudah selesai.

Siapkah kita mulai bab selanjutnya?”


Aku menatapnya. Lalu mengangguk.


“Iya, kita mulai.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)