Masukan nama pengguna
Langkah-langkah mungil menyelinap memasuki rumah lantai dua bercat krem yang sudah memudar warnanya. Bau asap rokok langsung menyeruak, meresap sampai menusuk lubang hidung mungil seorang gadis yang membuat napas tercekat meskipun sudah terbiasa menghirup aroma tak mengenakkan ini. Mata mungil Rora—gadis yang berusia 10 tahun langsung tertuju ke arah meja makan.
Selama seharian berada di bangku sekolah membuat perut Rora terasa keroncongan dan kakinya lemas. Dibukalah tutup saji yang tak layak digunakan lagi karena sudah bolong-bolong dan sering kemasukan cicak. Seulas senyum terbit di bibirnya. Ada sepiring nasi dan tahu bacem. Makanan yang menurut orang hanya menu biasa tapi menurutnya, itu sangat menggugah selera. Karena sering kali sepulang sekolah hanya tersisa nasi, kerupuk dan bubuk cabai meski setiap pagi ibunya masak makanan layak.
Sengaja belum melepaskan baju sekolah dan melepaskan tas karena rasa lapar mengalahkan semuanya. Rora bergegas mengambil piring plastik di rak yang sudah menguning tak hanya termakan usia, namun juga karena jarang dibersihkan. Mengambil centong nasi, menyendokkan nasi tersebut lalu mengambil satu dari tiga tahu yang tersisa. Duduk kembali, tanpa mencuci tangan langsung mencampurkan potongan tahu dan nasi.
“Ngapain kamu?!” Tapi tiba-tiba, ketika nasi dan tahu akan masuk ke dalam mulut, suara seorang lelaki yang tidak lain ayahnya membuat Rora terlonjak.
Rora langsung meletakkan kembali campuran tahu dan nasi tersebut.
“Ngapain kamu di sini?!” Pak Darmadi menyesap putung rokok, menghembuskan tepat di hadapan putri sulungnya.
“Uhuk-uhuk!” Rora batuk.
“Kamu itu kerjaannya cuman minta duit. Kamu nggak boleh makan tahu ini!” Pak Darmadi mengambil piring tersebut, menjauhkan dari Rora. “Ini buat Amar yang lagi kerja!” ketusnya. “Kamu makan bubuk cabe sama kerupuk aja tuh!” tunjuknya ke arah pojok dapur yang terdapat toples berisi kerupuk.
Rora menundukkan kepala. Khayalannya yang menginginkan makan sepiring nasi dengan lauk tahu bacem pupus seketika.
“Ada apa ini Yah?” Bu Laras, Ibu Rora datang sambil menenteng kresek.
“Itu sih Rora mau makan tahu yang buat Amar!”
Rora mengangkat kepalanya, menatap ibunya penuh harap.
Bu Laras menggeleng. “Benar kata Ayah, nurut. Itu buat Amar. Kamu makan seadanya aaja!” sahutnya sambil menuju ke almari. Mengeluarkan gula, garam, dan kopi bubuk dari kresek untuk dimasukkan ke dalam.
Rora menelan salivanya dalam-dalam. Mengambil piring lagi dan secentong nasi.
“Jangan kebanyakan.” Bu Laras mengingatkan.
Rora diam dan patuh. Dia pun mengurangi nasi dalam centong, mengambil satu kerupuk lalu menaburi di atasnya bubuk cabe.
“Bu, pijetin Ayah ya!” tutur Pak Darmadi sambil membuang sisa putung rokok ke sembarang arah.
Bu Laras tersenyum lalu mengangguk. “Iya Yah.”
“Rokok udah ada?” Pak Darmadi mengernyitkan kening.
“Udah Yah. Dikasih Mama tiga bungkus,” sahut Bu Laras sambil menunjukkan dua rokok bungkus hitam.
“Kalau tiga ya cuman buat tiga hari! Gimana sih, Mama ngasih anak kandungnya kok cuman tiga! Pelit amat!” Kesal Pak Darmadi sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. “Punya toko besar, paling tokonya diwariskan ke aku, kok pelit amat! Ngasih tuh satu slop kek!”
“Tadi aku udah minta ke Mama, kata beliau tinggal segitu Yah. Kalau udah ada, nanti mau dianterin ke sini.”
Jemari Pak Darmadi terhenti ketika akan menyentuh logo panggilan. “Seriusan?”
“Iya, Ayah tenang aja. Mama nggak mungkin ingkar janji kok. Paling kalau nggak nganterin lupa, maklum udah tua."
“Ohhh ….” Pak Darmadi mengangguk-anggukan kepala, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. “Ya udah, ayo pijetin Ayah.”
“Iya Yah,” sahut Bu Laras tak keberatan sama sekali sambil mengikuti langkah kaki suaminya ke belakang rumah.
“Ibu!!” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang lelaki bersamaan dengan pintu yang tertutup keras.
Bu Laras yang sudah berada di belakang rumah, masuk kembali ke ruang makan. “Rora, Kakakmu pulang, buatin kopi. Ibu mau ngurusin Ayah dulu,” tuturnya lalu kembali ke belakang rumah, letak taman yang memang cocok untuk bersantai.
Rora diam.
“Heh bocil, Ibu mana?!” Ardan, lelaki yang berpakaian kaos oblong serta celana jeans yang sengaja dirobek mendekati Rora, menumpu tubuhnya dengan tangan kiri di atas meja makan.
Rora yang belum menyelesaikan makanya beranjak dari tempat duduk. “Ibu lagi mijetin Ayah. Aku disuruh buatin kopi.”
“Ohhh.” Ardan hanya ber-oh ria. Menjatuhkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan kaki, mengambil rokok yang ada di atas meja milik Ayahnya lalu menyalakan.
Setelah kopi selesai dibuat, Rora pun menyajikan di depan Ardan. Lalu setelah itu kembali menghabiskan makanan sampai tak tersisa.
“Dasar cewek, cantik-cantik goblok! Mau aja diporotin!” gumam Ardan dengan pandangan ke layar ponselnya sambil ketawa-ketawa sendiri.
Rora melirik kakak lelakinya yang sedang cekikikan. Ia tak terkejut dengan kata kasar yang terlontar dari mulutnya karena memang sudah terbiasa mendengar.
***
“Ada duda anak satu yang mau nikahin kamu. Kamu harus mau loh!”
Elma, remaja berusia 16 tahun yang baru pulang dari tempat kerjanya di rumah tetangga jadi buruh cuci gosok menghentikan langkah kaki. Mengangkat kepala, menatap lelaki yang tingginya di atasnya.
“Siapa Yah?”
“Mas Aci. Dia suka sama kamu.”
Deg!
Pandangannya tertunduk lagi.
“Kamu harus mau. Kalau kamu mau jadi anak sholehah yang pengen masuk surga, kamu harus nurut sama orang tuamu terutama Ayahmu! Kalau kamu nikah, beban di rumah ini akan berkurang! Tagihan listrik, air dan nasi jadi sedikit ringan. Kamu perempuan, harus nurut karena tugas perempuan menerima. Kamu perempuan, nggak boleh nolak lelaki. Ibumu itu nikah sama Ayah malah waktu umurnya masih 15 tahun. Besok Mas Aci mau ke sini, ngelamar kamu. Kamu harus nerima lamarannya biar nggak jadi perawan tua!”
Tes.
Tanpa diinginkan, air mata Elma luruh. Tadi, sepulang dari tempat tetangga yang membutuhkan jasanya, Elma melihat teman-teman seumurannya pulang dari sekolah, mengobrol dengan satu yang lainnya sambil menikmati jajanan pedagang kaki lima. Mungkin bagi mereka hal yang biasa. Tapi bagi Elma, suatu kehidupan yang sangat-sangat dia impikan.
Suara pintu tiba-tiba terbuka. Terlihat lelaki berkaos lusuh, celana selutut serta bertopi robek datang. Wajahnya mengkilap, kusam dan berdebu. Melihat ayah dan kakaknya dengan tatapan tak selera. Tanpa berbicara sedikit katapun, Amar melanjutkan jalan masuk ke dalam kamar.
“Dapet uang berapa Mar hari ini?”
Itu hanya enam kata. Namun, seketika menimbulkan panas di hati lelaki yang lelahnya belum terobati.
“Kenapa Yah?!” tanya Amar jengah.
“Jangan lupa, Ibumu dikasih buat beli lauk kek, apa sabun. Dia yang udah ngelahirin kamu.”
Tak menjawab apapun lagi, Amar melanjutkan jalan ke dalam kamar.
Padahal, Elma berharap adik lelakinya itu akan membelanya, menentang perintah yang sebenarnya, sangat ingin dia tolak. Tapi, apa boleh buat. Dia serasa diterungku dalam penjara mewah, suaranya dibungkam, lehernya dicekik dan pergerakannya dibatasi sesuai aturan ayahnya.
“Pokoknya kamu harus nerima lamaran Mas Aci ya Elma, besok! Jangan buat malu sekeluarga! Nggak usah nangis gitu lah, udah gede cengeng amat! Kamu seharusnya bersyukur, masih ada lelaki yang mau sama kamu! Dari pada jadi perempuan yang enggak laku! Kalau kamu nikah, kamu cuman ngurusin dia, anaknya dan kalau kalian punya anak.” Tangan Pak Darmadi menyentuh pipi kanan Elma, menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. “Senyum!”
Elma menurut. Ia pun memaksakan senyum.
“Nggak usah lebay! Udah gede! Sana mandi, perawan kok bau matahari!” Setelah itu, Pak Darmadi pergi dari hadapan Elma.
Setelah kepergiannya, perempuan muda itu terduduk lemas. Dalam diamnya hanya bisa menangis menumpahkan segala rasa sakit yang selama ini dipendam. Tangannya yang kurus serta urat yang menonjol mencengkram rambutnya yang lepek.
Lelaki yang akan melamarnya seorang duda yang mantan istrinya bunuh diri. Dengar-dengar dari tetangga yang dekat rumahnya karena memiliki suami yang keras dan anak yang bandel. Elma tak bisa bayangkan betapa lebih tragisnya kehidupannya kelak setelah menikah.
***
Rutinitas pagi hari bagi seorang istri seperti Bu Laras Sutani, wanita paruh baya yang berusia 35 tahun yaitu membuatkan kopi untuk sang suami yang sedang duduk santai di depan rumah. Tapi setibanya di kursi depan rumah, tak ada suaminya. Padahal tadi menyuruh membuatkan kopi lalu menyuguhkan ke depan rumah.
“Taruh sini aja,” gumam Bu Laras sambil meletakkan gelas beserta nampan keramiknya.
Setelah gelas diletakkan dan niatnya akan masuk ke rumah kembali, tak sengaja pandangannya tertuju ke ponsel sang suami yang menyala. Penasaran dengan itu, Bu Laras mengambil ponsel tersebut.
Asnar
Hehe terima kasih uangnya Mas, lumayan buat beli bedak
Deg!
Darah Bu Laras serasa mendidih, jantungnya berdegup kencang, dan tatapannya berubah tajam setelah tahu siapa pengirim pesan tersebut. Dia Asnar, janda anak satu yang diceraikan mantan suaminya dua tahun yang lalu. Asnar, si wanita menor berpakaian ketat biasa bertemu dengannya ketika di pedagang sayur bahkan mereka sering mengobrol meski hanya sekedar obrolan ringan.
Layar ditarik ke atas, ingin sekali membaca pesan-pesan apa yang mereka saling kirim sebelumnya. Tapi, ponsel Pak Darmadi dikunci.
“Ibu apa-apaan sih pegang hape nggak ijin!” Rebut Pak Darmadi setelah tiba di depan rumah. Lalu duduk kembali, menyilangkan kaki sambil menyalakan rokok untuk kesekian kali.
“Ayah nyelingkuhin Ibu lagi dan lagi?!” Pasalnya, sebelum ini Pak Darmadi memang kerap kepergok chating-an mesra atau bahkan bertemu dengan wanita yang lebih muda dari Bu Laras.
Pak Darmadi melirik jengah. “Aku ini lelaki yang suka lihat keindahan. Kalau di rumah nggak lihat keindahan ya cari di luar lah!”
Mendengar jawaban tanpa rasa bersalah, hati Bu Laras semakin sakit, ngilu, dan panas membara serasa terbakar api dan tersayat-sayat pisau paling lancip. Tenggorokannya terasa tercekat, lidahnya kelu, ingin berbicara banyak namun hanya air mata yang mengalir, menandakan betapa sakit perasaannya, ketika sang suami berulang kali berkhianat bahkan terang-terang tak merasa bersalah atas apa yang dia lakukan.
“Udah lah Laras. Kamu itu perempuan, harus nurut. Kamu perempuan yang lemah dan nggak bisa apa-apa tanpa aku. Kamu nggak diusir dari rumah ini aja seharusnya kamu bersyukur. Nggak usah banyak drama deh!” Sambil berbicara seperti itu, senyuman di bibir Pak Darmadi mengembang dengan tatapan tertuju ke arah layar ponsel.
Tiba-tiba terdengar suara pintu gerbang terbuka. Kedatangan Nenek Asmita, Ibu kandung Pak Darmadi membuat Bu Laras menatap penuh harap wanita lansia itu, berharap kali ini dibela.
“Widih, Mama bawa apa ini?” Pak Darmadi meletakkan ponsel, matanya berbinar dengan apa yang dibawa sang ibu.
Nenek Asmita tersenyum. “Bawa telor sama daging Dar. Katamu nanti malem Elma mau dilamar Aci. Jadi, ini buat hidangan tamu.” Pandangannya tertuju ke arah sang menantu yang masih menangis dalam diam.
“Loh-loh kenapa? Kenapa Laras nangis?” paniknya.
Itu hanya pertanyaan biasa. Namun bagi wanita yang jarang diperhatikan suami, pertanyaan itu seperti bentuk perhatian.
“M … as D … ar Ma …. Dia se … se …. lingkuh la … gi,” adunya dengan suara terbata-bata menahan sakit. Dengan tangan yang dingin dan gemetaran, menghapus air mata kepedihan yang sulit berhenti.
Pak Darmadi menjawab, “Laras udah nggak cantik Ma, dia udah tua. Aku udah sumbek lihat dia."
Tak hanya disayat. Tapi ini rasanya sudah dicabik-cabik tanpa ampun oleh lelaki yang selama ini Bu Laras patuhi apapun perintahnya dan masih ia hormati meski sudah disakiti berkali-kali.
Nenek Asmita menghela napas panjang, tiba-tiba memeluk sang menantu yang tentu disambut pelukan erat oleh Bu Laras. Karena dengan pelukan ini, ia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang tak didapatkan selama ini. Teringat kedua orang tuanya telah meninggal. Ketika dipeluk seperti ini, tangisan Bu Laras kian menjadi-jadi.
“Darmadi, kalian itu udah sama-sama tua. Tinggal kalian jalani saja hidup kalian, jangan buat istrimu sakit hati,” tutur Nenek Asmita lembut.
Pak Darmadi hanya menyesap kopinya lalu setelah itu merokok dengan pandangan lurus ke depan menikmati jalanan yang tak terlalu ramai.
Sambil mengelus kepala menantu satu-satunya, Nenek Asmita kembali berucap, “Laras …. Lelaki itu makhluk visual. Jadi wajar kalau dia suka lihat perempuan cantik. Itu nandain kalau kamu sebagai istri harus lebih cantik dari perempuan di luar sana.”
Bu Laras pikir, mertuanya akan menasehati anak lelakinya itu. Tapi ternyata, tutur katanya yang lembut hanya menambah luka di hati yang sudah hancur berkeping-keping. Bu Laras menghentikan isak tangisannya meski air matanya masih mengalir. Pelukannya terlepas, menghapus air matanya sendiri dengan kasar,
“Mama udah bawa telor. Buatin martabak telor kayak gini sana Ras!” titah Pak Darmadi sambil menunjukkan layar ponselnya.
Perasaan sang istri tak dianggap penting, itulah yang Pak Darmadi lakukan.
“Ck, cepet buatin. Aku pengen banget nih! Cepet Laras!"
Mata merah Bu Laras menatap sang mertua, mengharap ia dibela meski kemungkinan kecil.
Justru, Nenek Asmita tersenyum sambil menganggukan kepalanya. “Buatin.”
Bu Laras diam.
Sungguh, jika keadaan hatinya sedang tak baik-baik saja, memasak pun rasanya tak berselera.
“Ck!” kesal Pak Darmadi sambil memukul meja. Tatapannya berubah tajam. “Kalau kamu nggak mau buatin, aku suruh Asnar yang buatin loh!” ancamnya, lebih terdengar bentakan.
Dengan sangat terpaksa, Bu Laras segera mengambil kresek itu, lalu berbalik badan.
“Yang enak buatnya ya Ras, biar suamimu seneng. Suamimu rela jual banyak aset demi kamu juga. Sekarang giliran kamu menyenangkan suamimu. Menyenangkan suami termasuk berpahala besar loh.” Itu bukan kalimat penenang yang terlontar dari mulut sesama wanita. Tapi justru, kalimat yang tak kalah menyakitkan serta menyesakkan dada.
Sesampainya di dapur, kresek berisi lauk itu diletakkan ke atas meja, sedangkan Bu Laras duduk sambil memeluk lututnya sendiri melanjutkan tangisan yang tadi sempat teredam. Sejenak tak memikirkan ketakutan-ketakutan akibat tak langsung mematuhi perintah sang suami karena kini, rasanya sangat sulit untuk sekedar memecahkan telur.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tanpa melihat siapa yang datang, Bu Laras langsung berdiri dari duduknya, menghapus air mata lalu menuju ke almari, mengambil tepung.
“Nggak usah panik gitu Bu.”
Ternyata, yang datang Amar—putra ketiganya.
Bu Laras bisa bernapas lega sejenak.
“Ayah buat ulah apa lagi Bu?” tanya Amar sambil mengambil gelas.
“Ayahmu selingkuh sama Asnar,” sahut Bu Laras lirih. Pertama-tama ia akan membuat kulit lumpia terlebih dahulu meski dalam keadaan berat hati.
Amar yang sedang duduk setelah minum berkata, “Kalau Ibu bisa mutar masa muda, Ibu mau gimana?”
Bu Laras mengedikkan bahunya. “Nggak tahu Mar ….”
“Ternyata, lelaki yang punya banyak warisan, ganteng dan Ibu cinta banget sama dia, nggak cukup ya Bu.”
Bu Laras menghentikan tangannya yang sedang menakar tepung tapioka, lalu menoleh ke arah putranya yang bertubuh kurus. “M … maksudmu Mar?”
“Ayah itu anak tunggal. Anak yang kata Nenek sangat diharapkan kehadirannya setelah 5 tahun pernikahan Nenek sama almarhum Kakek yang nggak kunjung punya keturunan .... Nenek sayang banget sama Ayah karena Ayah anaknya dan meskipun Ayah salah, tetep dibela.” Amar menatap kosong dinding rumah.
Bu Laras masih mendengarkan putranya bertutur.
“Kalau Ibu nggak nikah sama anak yang dimanja, kayaknya nasib Ibu dan anak Ibu nggak setragis ini. Harta orang tua Ayah itu banyak banget. Tapi, semuanya udah jadi milik orang lain. Kalau Ibu nggak nikah sama Ayah memang nggak ada aku. Tapi setidaknya ….” Amar tak melanjutkan ucapannya.
Ia mengenakan topi lusuh, meletakkan gelas ke pojok meja makan untuk dipakai lagi nantinya lalu menyalimi Bu Laras.
“Aku berangkat dulu Bu. Assalamualaikum.”
Bu Laras menganggukkan kepalanya lalu membalas, “Wa’alaikumussalam ….”
Perlahan, punggung anak muda lelaki pekerja keras itu mulai menjauh dari hadapan wanita yang telah bertaruh nyawa demi melahirkan sosok yang diharuskan kuat karena keadaan.
Amar, umurmu baru 14 tahun …. Seharusnya kamu masih sekolah kayak temen-temen seumuranmu Nak …. Tapi, kamu malah harus kerja keras demi duit yang nggak seberapa …. Maafkan Ibu Mar …. Maaf …. Batin Bu Laras sambil menatap nanar rumah mewah yang di dalamnya sebenarnya tak ada kehangatan sama sekali.
***
Tangan putih, dingin dan sedikit gemeteran yang urat punggung tangannya sedikit menonjol urat, memperlihatkan cincin emas permata satu. Menandakan bahwa gadis manis yang wajahnya banjir air mata ini telah terikat hubungan serius dengan seorang lelaki yang bahkan, ia sendiri sangat-sangat tak menginginkan. Hari ini, ia telah dipersunting oleh lelaki yang umurnya terpaut jauh dengannya bahkan kini, dari luar kamar mendengar suara anak kecil menangis yang tidak lain, putri sambungnya.
Elma menghela napas panjang. Bangkit dari duduknya dari pinggir ranjang, berjalan mendekati kaca yang gordennya sudah ditutup karena telah malam. Kepalanya disandarkan ke tembok. Matanya terpejam, air matanya luruh untuk kesekian kali sampai tak bisa dihitung sudah berapa kali. Ini tak hanya sakit, namun juga ngilu dan perih yang merayap ke seluruh tubuh.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Elma langsung terlonjak. Lelaki berpawakan tinggi besar yang datang, suami Elma. Dia tersenyum, namun senyumannya justru semakin mengiris hati Elma.
“Kau sekarang telah menjadi istriku,” katanya sambil tersenyum yang membuat bulu kuduk Elma berdiri.
Elma menundukkan kepala—ketakutan dan ia sangat ingin pergi dari sini. Terbesit di pikiran memiliki kemampuan bisa menghilang detik ini juga.
“Hey, kenapa kamu menangis? Apa kau tidak bahagia dengan pernikahan ini?” Aci, suami Elma tiba-tiba tertawa kecil. Berjalan sambil mengelilingi tubuhnya yang gemetaran sambil memperhatikan detail wajah cantik Elma yang dipenuhi kepedihan.
“Kau ….” Aci mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau tak bisa melawan dan melakukan apapun untuk melawan takdirmu …. Aku yakin, dalam waktu dekat kamu akan mencintaiku."
Semakin banyak kata yang Aci ucapkan, semakin menambah ketakutan Elma bahkan kini, tangisannya sudah tersedu-sedu.
“Elma ….” Aci tiba-tiba menyentuh dagu belah dua Elma yang membuat sekujur tubuhnya merinding.
Tiba-tiba .... Brak! Brak! Brak!
“Papa!!”
Suara itu, suara tangisan putri Aci yang seketika membuatnya menjauhkan tangan dari Elma.
“Sialan!” umpatnya segera membuka pintu kamar. Terlihat putrinya yang berusia 8 tahun sedang menangis.
“Papa! Papa!” rengeknya sambil sesekali melirik Elma yang masih menundukkan kepala.
“Ada apa?!” tanya Aci. Nada suaranya sedikit membentak. Dengan mata tajam, menatap putri kecilnya.
“Aku mau tidur bareng Papa, dia nggak boleh tidur di sini!!” pintanya.
Aci mengeraskan rahangnya, berganti menatap tajam adik perempuannya yang sejak tadi berusaha menenangkan Rania.
“Ella! Seharusnya kamu bawa pergi jauh dia dari sini! Dasar biang rusuh!”
Rania berdecak kesal. “Sudah Abang, tapi kau tahu sendiri, Ella itu keras kepala dan nakal! Aku sampe kehabisan akal buat bujuk dia nggak ganggu kau! Lihat ini!" Ella menunjukkan lengannya. "Aku sampe dicakar!"
“Papa! Usir dia Papa!” tunjuk Rania pada Elma. “Aku benci dia!! Aku nggak mau dia jadi Ibuku!!” teriaknya, wajahnya semakin memerah.
“Ck anak ribet! Kalau tahu gedenya kayak gini, dulu aku suruh Ibumu gugurkan saja kandungnya! Sialan!” sungutnya lalu menghampiri Elma. “Malam ini kau tidur bersama adekku! Anak benalu itu mengganggu saja! Kau bisa bebas hari ini! Tapi selanjutnya kau tak akan aman! Kau harus melakukan kewajibanmu sebagai istriku!”
“Hey kau! Keluar!” usir Rania. Tiba-tiba, gadis kecil itu melemparkan sebuah sendal sampai hampir mengenai wajah Elma jika ia tak menghindar.
Tak terima dengan ini, Aci kembali mendatangi putrinya. Lalu mencengkram dagunya sampai kesakitan, sehingga tangis Rania semakin kencang. “Rania! Sudah hentikan!! Kalau kau nakal terus, Papa akan cincang-cincang tubuhmu!” ancamnya tak main-main dengan mata melotot. “Tidur bersama Tantemu, atau kau akan Papa bunuh! Cuih!!” Lalu meludahinya.
Rania memang anak kecil. Namun, ia paham dengan apa yang ayahnya ucapkan.
“Bawa bocah sialan ini pergi dari sini, Ella!” Bersamaan dengan itu, Aci melepaskan tangannya dari dagu Rania dan menutup pintu kamar secara kasar.
Bukannya diam setelah Aci bentak, justru tangis Rania semakin menjadi-jadi, bahkan tak berselang lama terdengar benda yang sengaja dibanting.
“Abang!! Abangg!!! Sudahlah Bang, ngalah dulu sama Rania! Aku udah nggak bisa lagi bujuk dia!!” teriak Ella di balik pintu.
“Ck!! Arghh!” Kepala Aci yang pusing, diacak-acak rambutnya. Hatinya yang memanas, melampiaskan ini dengan melempar vas bunga sampai mengenai kaca rias lalu pecah dan ia pun pergi dari kamar ini.
Lutut Elma melemas, tubuhnya seperti kehilangan daya untuk sekadar berdiri tegak. Sehingga ia terduduk lemas di lantai kamar yang sangat dingin. Tatapannya kosong menembus ruang, seolah-olah dunia di sekitarnya sudah tidak lagi bermakna. Tadi menangis dalam diam menahan sesak, kini tangisannya sudah terdengar isakan cukup keras. Dari luar, mendengar bentakan, teriakan dan tangisan yang saling bersahutan.
Penderitaan yang lebih derita. Batin Elma.
Hatinya sudah pasrah, jika seumur hidup harus menjadi pendamping hidup pria yang kasar dan jadi ibu dari anak yang nakal. Ia menyerahkan seluruh jiwa raganya pada takdir yang sangat kejam.
***
Rumah megah lantai dua yang didirikan oleh kerja keras kedua orang tua Pak Darmadi, kini telah resmi jadi milik orang lain. Perjanjian dengan harga 300 juta, tanda tangan kedua belah pihak, dan diakhiri dengan berjabat tangan. Sehingga, keluarga Pak Darmadi telah berpindah tempat tinggal di rumah toko Nenek Asmita yang sebenarnya jika harus menampung keluarga, menjadi sangat sempit. Karena isi rukonya sebagian besar barang-barang jualan.
Pak Darmadi menjual rumah bukan tanpa sebab. Melainkan untuk melunasi hutang-hutangnya yang menggunung sampai di-blacklist dari bank dan sering didatangi penagih hutang dari rentenir. Hutang yang menggunung bukan tanpa sebab. Tapi karena dia pecandu judi online yang membuat hutang menggunung dan menguras harta-hartanya.
"Ayah."
Tiba-tiba, Ardan—putra pertamanya yang sangat suka memakai celana robek datang mendekat.
Pak Darmadi yang sedang duduk santai sambil menyesap rokok di balkon ruko lantai dua melirik sekilas. Ia sudah bisa prediksi, jika tiba-tiba Ardan datang, karena ada uang yang ingin diminta.
"Minta berapa?!" tanya Pak Darmadi langsung.
"Hehe ...." Ardan menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal.
"Berapa?!"
"Sekitar 5 juta Yah."
Pak Darmadi mendelik tajam. "Buat apa?"
"Ekhm jadi gini Yah." Ardan membenarkan tempat duduknya meski sudah benar. "Aku punya pacar, te—"
"Terus mau kamu nikahin gitu?!!" tukas Pak Darmadi. "Eh Ardan, kamu ini masih bocah banget! Kalau suka sama cewek buat mainin aja lah, belum waktunya kamu nikah!"
"Sstt bukan gitu Yah! Bukan!"
"Terus?!" Pak Darmadi mengernyitkan kening.
Ardan memelankan suaranya. "Aku sama pacarku kebablasan. Aku minta uang biar kandungan dia bisa digugurin. Ayah kan belum mau aku nikah. Jadi, itu jalan satu-satunya kan? Ayo lah Yah, kalau nggak minta sama Ayah, aku minta sama siapa?"
Pak Darmadi hanya mendengus kesal, meninggikan nada suaranya. "Kau pikir, cari uang gampang banget?!"
"Ayah .... Plisss ...." Ardan menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Ayah kan yang paling ganteng di sini, Ayah yang paling kaya. Lagian, Ayah habis jual rumah pasti punya duit banyak kan? Ibaratnya aku cuman minta secuil sedangkan Ayah punya sebongkah."
"Tiga juta! Kau cari tempat gugurin kandungan yang murah!" Pak Darmadi mengambil keputusan.
"Tambahin 1 Yah .... Ya pliss, buat jajan ...," bujuk Ardan lagi.
Pak Darmadi melirik sekilas. "Ck iya!"
"Yess!!!" girang Ardan disertai senyum kemenangan.
Tanpa mereka sadari, di balik dinding pembatas, Bu Laras sedang menutup mulut agar isak tangisannya akibat rasa sakit merasa gagal jadi Ibu dan istri tak mereka dengar.
***
Nasi bungkus ketiga dihabiskan pada malam ini, pukul setengah sebelas malam untuk mengisi ulang energi Amar yang terkuras banyak. Setelah bekerja begitu keras di pasar menjadi tukang angkut barang serta tukang parkir di pusat pembelanjaan menggantikan tukang parkir biasanya karena sedang sakit. Meski hari sudah malam, Amar masih duduk di pinggir jalan melamun.
Selama beberapa menit melamun, Amar mengusap wajahnya, berdiri dari duduknya dan mulai jalan kaki pulang ke ruko Nenek Asmita. Tubuhnya yang pegal, ngilu dan sangat menginginkan istirahat harus berjalan demi menghemat pengeluaran. Tiba di ruko tepat pukul dua belas malam yang sangat dingin. Padahal ia belum mandi, besok harus bangun pagi bekerja mengangkat dagangan barang dengan upah yang tak seberapa. Pintu yang telah dikunci, diketuk-ketuk berulang kali. Baru sadar, jika ada sebuah kertas yang tertulis jika ingin masuk, lewat pintu belakang dan kuncinya ada di bawah keset.
Amar menghela napas pendek. Berjalan lemas ke belakang rumah. Pintu dibuka, penerangan redup. Tangannya yang kasar meraba-raba sakelar. Setelah menemukan, lampu dinyalakan. Tiba-tiba menabrak tumpukan kardus, Tak langsung menuju ke lantai dua letak kasur lantai tempatnya tidur, karena harus membersihkan tubuh di WC.
Setelah lengket di tubuhnya hilang, baru lah Amar menuju lantai dua. Di sini, hanya ada satu kamar, yakni milik Nenek Asmita. Namun karena kedatangan keluarga Pak Darmadi, sehingga kamar tersebut untuk tidur Pak Darmadi, Bu Laras dan Rora. Nenek Asmita mengalah pindah tidur di sofa, sedangkan Amar di kasur lantai dan Ardan? Bahkan sampai saat ini lelaki itu belum pulang, entah apa yang diperbuat di luar sana.
Meski dengan keadaan tak nyaman, Amar membaringkan tubuh di kasur lantai yang sangat tipis dan dingin. Menarik selimut tipis, mulai memejamkan mata tapi tak terasa, tiba-tiba air matanya luruh namun sesegera mungkin dihapus.
“Lelaki kok cengeng,” gumamnya sambil memejamkan mata dan tertawa hambar, mentertawakan nasibnya yang malang.
Keesokan hari, Amar bangun pukul empat kurang. Sebelum beraktivitas ke pasar pagi yang menuntutnya datang pagi-pagi buta, ia menyelinap masuk ke dalam kamar Nenek Asmita atau kamar yang sekarang dihuni kedua orang tua dan adik bungsunya, Rora. Tanpa sepengetahuan mereka, Amar menyelipkan selembar uang sepuluh ribu ke dalam tas Rora. Meski ia sendiri tahu, jika Pak Darmadi habis menjual rumah, bukan berarti Rora diberikan makan yang layak dengan alasan dia perempuan dan dia harus mengalah dari anggota keluarga yang lain.
Salah satu alasan Amar masih bertahan dan berjuang di kehidupan yang keras ini, agar Rora masih bisa membeli makanan yang layak di sekolah. Ketika di rumah ia harus makan yang tak seharusnya dimakan oleh anak yang sedang masa pertumbuhan. Rora juga tahu jika hanya Amar, satu-satunya keluarga yang benar-benar peduli padanya.
Amar tersenyum miris melihat tas Rora. Bahkan ketika Pak Darmadi sedang mengantongi banyak uang, tas sekolah Rora yang sudah banyak tambalan kain menutupi kerusakan pun tak dibuang dan diberikan yang baru. Hatinya semakin teriris, melihat semu a ini. Jika saja, bukan Nenek Asmita yang meminta Rora tidur di kamar, tentu gadis itu akan tidur di kasur lantai yang sangat tipis bersamanya.
Setelah itu, Amar kembali keluar kamar. Seburuk apapun nasib hidupnya, ia tetap sadar jika manusia masih tetap membutuhkan pertolongan Tuhan dan dunia bukan akhir dari segalanya. Amar masih punya imam. Sebelum ke pasar, menunaikan salat sunnah terlebih dahulu untuk meminta ketabahan. Ia masih percaya, akan ada balasan di hari kemudian atas semua kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Sesibuk dan sesakit apapun hidupnya, Amar tetap berusaha salat.
Di sini, di penghuni rumah toko yang tak memiliki karyawan karena hanya Nenek Asmita yang mengurus toko, hanya Amar yang rela jalan kaki ke pasar di pagi hari. Masuk angin dan kedinginan sudah menjadi temannya sehari-hari. Kaki kapalan, pecah-pecah, pegal, dan ngilu sudah biasa ia rasakan.
Di tengah kehidupan yang menuntutnya berjuang keras, terlihat saudaranya, Ardan ternyata tak pulang ke rumah karena sedang dalam keadaan tak sadarkan diri efek alkohol yang berlebihan. Raganya terkulai lemas di gudang terbengkalai letaknya ujung gang rumah sempit dekat pasar. Di samping Ardan, seorang wanita-wanita bercampur lelaki lain sama-sama tak sadarkan diri sambil memegang botol minuman keras.
Peluh keringat pagi-pagi yang menyerang raga Amar, disambar ngilu di hati melihat saudara lelaki sekaligus anak pertama yang seharusnya menjadi panutan, dalam keadaan seperti ini.
Amar—si anak lelaki yang harus dipaksa kuat karena keadaan. Namun, ia juga manusia biasa yang punya rasa lelah dan lemah. Usianya masih sangat belia, tapi raganya dipaksa seperti kepala keluarga yang harus bekerja keras demi anak istri bisa makan di rumah. Amar juga sering bertanya-tanya kenapa hidupnya tak seberuntung orang lain dan kenapa harus ia yang menjalani hidup ini.
"Mar! Jangan ngelamun! Cepat angkut barang-barangnya!" tegur rekan kerjanya.
Amar mengerjapkan matanya berkali-kali. "Eh iya, maaf Pak."
"Nggak usah heran gitu lihat anak muda berandalan lagi mabuk. Udah biasa buat markas. Nanti kalau matahari udah muncul, mereka pergi kok."
"Emangnya nggak diusir Polisi apa pihak keamanan gitu Pak?"
"Lah, jangan tanya saya kenapa nggak diurus dan diusir. Karena kau tahu sendiri keadaan penduduk sini lah. Udah lah, jangan mikirin yang enggak penting. Ayo angkut barang lagi!"
Amar mengangguk, "Baik Pak.”
***
Bu Laras tahu. Jika berani melihat ponsel suami, harus berani menanggung resiko sakit hati. Meski sudah tahu resikonya, rasa penasarannya tetap mendorongnya melakukan hal demikian. Ketika Pak Darmadi sedang tidur siang, tanpa sepengetahuan sang suami, Bu Laras mengambil ponselnya. Mengangkat jari telunjuk Pak Darmadi dengan hati-hati untuk disentuhkan ke sensor sidik jari ponsel.
Tak membutuhkan waktu lama, ponsel pun terbuka. Tujuan pertama membuka ponsel Pak Darmadi tanpa ijin menuju ke aplikasi obrolan. Belum dibuka isi obrolannya, sudah terlihat jelas nama perempuan-perempuan yang sering mengobrol secara daring dengan suaminya. Satu orang yang diincar Bu Laras, Asnar yang posisi obrolannya berada di paling atas dari beberapa perempuan lain.
Seburuk apapun perbuatan Pak Darmadi, dia tetaplah suami Bu Laras dan sampai detik ini masih mencintainya. Belum membuka isi obrolannya, sudah sangat membuat hati ngilu. Menambah rasa ngilu, ketika jemarinya menyentuh nama Asnar, sehingga memuat bukan hanya sekedar obrolan, melainkan berisi pesan romantis. Hatinya tak hanya ngilu, namun juga tercabik-cabik, diinjak-injak bagai keset yang tak bermartabat. Air matanya seketika menetes, membasahi layar ponsel yang digenggam dengan tangan gemetaran. Terlihat bukti transfer senilai 10 juta untuk Asnarsari. Padahal, ia sendiri sebagai istri hanya diberikan uang 300 ribu.
“Heh heh!” Pak Darmadi bangun dari tidurnya, matanya yang merah menatap tajam sang istri yang kini sedang menangis sesenggukan.
“Sini hapeku!” bentak Pak Darmadi sambil berusaha merebut ponselnya di belakang tubuh sang istri.
Tapi tiba-tiba … BRAK!
Ponsel Pak Darmadi dibanting.
“HEH KURANG AJAR KAU!!” Amarahnya telah tersulut. Jika saja Bu Laras tak langsung mengambil vas bunga untuk menakut-nakuti, hampir saja Pak Darmadi mencengkram lehernya.
“Ayah!!” Tangan kiri Bu Laras yang tak memegang vas menunjuk wajah garang Pak Darmadi.” Sadar Yah!! Kalau cuman Ibu mau ada di samping Ayah susah seneng!! Cuman Ibu yang punya kesabaran dan mencintai Ayah dengan tulus!! Ingat baik-baik Yah, kalau Ayah berani nyakitin Ibu, hidup Ayah akan sengsara terus!!”
Pak Darmadi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ohh udah berani nantang ya, kamu Laras?!! BERANI?!!!”
Ini pertama kali dalam hidup Bu Laras berani melawan sang suami. Meski tak bisa dipungkiri jika rasa takut Bu Laras semakin menjadi-jadi sekaligus tangisannya semakin keras. Tangis yang selama ini dipendam sendiri dan dikeluarkan dalam diam, kini pecah keras.
“Aku selama ini kurang apa Yah?! Kurang apa??!” Tak hanya bertanya, Bu Laras juga ikut membentak.
“Kamu kurang apa?!!" Pak Darmadi tertawa remeh. "Lihat baik-baik ragamu!! Kamu kurang segalanya!! Kamu manusia yang banyak kurangnya!! Kamu kurang cantik!!! Kurang pinter!! Kurang baik!! Kurang segalanya!!!” Jika tadi suara Pak Darmadi keras, kali ini lebih keras. “Kamu masih tanya kurangmu apa?!! Kamu ini kalau tanpa aku bisa apa Laras, ha?!!! Kamu cuman numpang, cuman beban dan cuman jadi parasit di hidupku!!! Kamu itu anak orang miskin, kamu yatim piatu, kalau aku nggak nolongin kamu, kamu nggak bisa hidup enak, Laras!!”
“ASTAGHFIRULLAHALAZIM!!!” pekik Nenek Asmita mendatangi mereka dengan wajah memerah. “Rendahkan suara kalian!! Nggak sopan didenger orang lain!!” lirihnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Pak Darmadi tersenyum sinis. “Menantumu itu Ma, orang nggak tahu diri! Aku talak kamu, Laras! Masih banyak di luaran sana yang mau sama aku, nggak cuman kamu doang!! Jadi. nggak usah sok-sokan ngerasa paling berkorban! Tanpa hartaku, kamu nggak bisa makan! Kamu beresin barang-barangmu dari sini, angkat kakimu, bawa pergi anak-anak yang masih kamu pedulikan!”
“Darmadi, istighfar Dar! Istighfar!! Dia itu istrimu, Ibu dari anak-anakmu!! Tarik ucapanmu, minta maaf dan damai, cepetan!!” pinta Nenek Asmita merintih.
“Mama nggak berhak ngatur hidupku!” Pak Darmadi menyambar jaket kulit yang tergeletak di sofa. “Nanti pokoknya, aku sudah nggak lihat dia lagi di sini! Muak! Udah tua, keriput, jelek, ribet!” Langkahnya yang lebar bergegas pergi dari sini.
Nenek Asmita merengkuh tubuh gemetaran Bu Laras yang sampai detik ini masih menangis tersedu-sedu.
“Maafin Darmadi ya, Ras …. Anggap aja itu omongan lagi marah .… Pasti dia nanti bilang nggak mau nyeraikan kamu kok …. Tenang yaa ...."
Suara Nenek Asmita lirih, nyaris patah. Tapi bagi Bu Laras, setiap kata hanyalah garam yang ditabur ke luka yang sudah bernanah. Beribu kali permintaan maaf pun takkan pernah mampu menambal rusaknya hati. Ia sudah terlalu letih, rusak, dan kosong. Hidupnya kini tak lebih dari serpihan kaca—berkeping-keping, menusuk dirinya sendiri.
Air mata Bu Laras jatuh tanpa jeda. Ia menatap lantai rumah yang terasa semakin dingin, menyakitkan, dan gelap. Masa depan? Ia bahkan tak sanggup lagi membayangkan esok hari.
“Ibu!!” Rora, gadis mungil yang baru pulang sekolah, terisak hebat. Berlari dan memeluk tubuh ibunya yang masih terguncang tangis.
Rora tahu segalanya. Ia terlalu cepat dewasa oleh luka. Apa pun yang menimpa ibunya, juga menimpa dirinya.
Maafin Ibu, Nak .… batin Bu Laras merintih, suara hatinya penuh sesal. Tapi, rasa bersalah itu tak kunjung menemukan jalan keluar, dan ia semakin terbenam dalam jurang kelam yang tanpa dasar.
***
Amar tak punya ponsel. Sehingga ia baru tahu, jika ibunya dan Rora telah pergi dari rumah toko Nenek Asmita dan hanya menitipkan pesan permintaan maaf. Jiwa lelakinya menjadi seorang pelindung tergugah, meski ayahnya mewanti-wanti Amar tidak mencari mereka. Meski raganya masih bercucuran keringat dan sangat membutuhkan istirahat, nekat mencari keberadaan sang ibu setelah menelpon ibunya dengan ponsel milik Nenek Asmita. Ternyata, Bu Laras dan Rora kini sedang berteduh di pinggir rel kereta karena hujan deras. Bahkan mengatakan kepada Amar setelah mengabarinya, ponsel tua Bu Laras akan dijual.
Seorang lelaki yang tak menghiraukan kaki pegal dan raga lelah, menerobos hujan deras dan dinginnya air menuju ke tempat yang jaraknya cukup jauh dari rumah toko Nenek Asmita. Di tengah hujan deras, air matanya luruh, memikirkan betapa mengenaskannya nasib ibu dan adik perempuannya. Amar hanya seorang anak yang telah dewasa karena keadaan dan perlakuan. Kehidupan yang mengharuskannya berjuang keras, mendidiknya untuk kuat dalam segala keadaan.
“Ibu …,” lirih Amar dengan suara yang gemeteran, tatkala melihat wanita yang telah menua tak hanya termakan usia dan keadaan sedang merengkuh putri kecilnya yang kedinginan.
Amar berlari menabrakkan sendal tipisnya dengan tanah kasar. Tak pernah sebelumnya hatinya sesakit ini. Perempuan-perempuan itu, perempuan yang lemah dan sangat membutuhkan perlindungan dan keamanan, terlihat mengenaskan di tengah dinginnya sore.
“Ibu ….” Amar bersimpuh tepat di depan Bu Laras dan Rora.
“M … Maar ….” Tangan gemetaran Bu Laras menyentuh kepala Amar. “Maafin Ibu Mar …. Maaf ….” Tangannya menjauh, menundukkan kepala.
“Bu, kita cari kos-kosan buat berteduh ya Bu .… Ibu sama Rora nggak boleh tinggal di sini,” tutur Amar meyakinkan.
Bu Laras menggelengkan kepalanya. “Bayarnya gimana Mar ….”
“Biar Amar yang usaha. Ibu tenang aja, pasti kita dikasih rezeki sama Allah ya Bu. Jangan tinggal di sini ….”
Semakin mengiris hati, melihat mata berkaca-kaca Rora yang sedang menatapnya.
“Ya Bu. Nanti setelah hujan reda, kita cari kos-kosan dekat sini.”
Bu Laras menganggukkan kepalanya. “Nanti kalau udah nemu kos-kosan, Ibu akan kerja, Ibu janji. Ibu nggak mau merepotkan kamu. Ibu udah gagal jadi orang tua yang baik, Ibu nggak—”
“Sstt udah-udah, Bu .... Itu pikir belakangan. Yang penting sekarang, Ibu sama Rora aman.”
Bu Laras mengangguk.
***
Keesokan hari ....
“Darmadi, kamu jangan gitu lah sama istrimu. Dia udah nemani kamu lama banget, masa kamu tega sama dia? Anakmu yang paling kecil, Rora kasihan lah dia. Rora butuh sosok Ayah …,” bujuk Nenek Asmita berusaha menyadarkan putra semata wayangnya.
Kedua alis Pak Darmadi hampir tertaut, “Lah kok salahin Dar Ma?! Kan yang nantang dia duluan? Kalau aja si Laras nggak mancing perkara, nggak mungkin aku ceraikan dan usir dia kok Ma!"
“Emang masalahnya apa?” Suara Nenek Asmita masih lembut.
“Dia itu jelek, nggak bisa ngerawat diri, nggak bisa nyenengin suami! Dia nggak becus jadi istri, Ma. Mama seharusnya tahu, dia kayak gembel, kayak pembantu! Mau dipoles bedak sekilo pun, kalau dasarnya jelek ya tetep aja jelek! Dia sebagai istri nggak bisa menuhin kebutuhanku sebagai suaminya! Aku bisa betah di rumah, kalau di rumah ada wanita yang enak dilihat! Kalau wanita kayak dia mah, bosenin!”
“Darmadi …. Kalian itu udah sama-sama tua, anak kalian udah pada gede. Seharusnya juga sama-sama sadar, wajarnya fisik yang menua seiring berjalannya waktu.”
“Halahh-halah!! Mama itu udah tua, pasti butuh aku! Nggak usah sok-sokan ngatur hidupku lah Ma! Nggak usah bela Laras! Aku tanpa Laras juga masih bisa hidup enak! Lagian, kalau mereka pergi dari sini, ngurangin beban Laras buat ngasih makan kan?! Nggak usah ribet lah Laras!”
“Astaghfirullahalazim ….” Nenek Asmita menghela napas panjang, menabrakkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Assalamualaikum ….”
Terdengar, seseorang datang. Dia Amar, putra ketiga Pak Darmadi.
“Mar Amar!” Nenek Asmita spontan berdiri dari duduknya setelah melihat siapa yang datang. Ia mendatangi cucu yang wajahnya kusam dan begitu kelelahan. “Adek sama Ibumu mana? Kemarin Nenek udah cegah mereka pergi, Ibumu nggak mau,” lirihnya.
“Nenek tenang aja. Ibu sama adek aman. Aku ke sini mau ambil baju-bajuku.”
“Kamu udah makan belum?”
Amar memejamkan mata sambil mengangguk.
“Kamu kalau berani angkat kaki dari sini, kamu berarti berani hidup susah Mar?” Pak Darmadi mengernyitkan kening.
Amar tertawa hambar. “Sejak kapan aku hidup bahagia Yah? Bukannya sejak dulu aku hidup susah terus? Aku punya Ayah yang punya banyak harta, tapi aku nggak bisa mendapatkan hakku dengan baik. Aku hanya bisa ngelamun lihat teman-teman seumuranku yang hidupnya masih mikirin besok belajar dan jajan apa tanpa mikirin besok cari duit di mana lagi.”
“Ohh jadi kamu nggak ngerasa yang selama ini ngasih kamu makan siapa?!!” bentak Pak Darmadi setelah berdiri dari duduknya. “Kamu sampe gede sekarang, nggak makan dari harta Ayah, makan harta siapa?! Tetangga?!!” Rahangnya mengeras, sambil menunjuk wajah lelah Amar. “Kamu, Ibumu, kakakmu, dan adek-adekmu selama ini yang ngasih makan tuh Ayah! Pake duit Ayah bukan duit Ibumu! Ibumu itu hanya wanita miskin yang nggak punya apa-apa selain raganya yang jelek! Ingat itu!! Dasar anak durhaka! Kamu udah berani ngelawan ya, sama kayak Ibumu yang belagu itu! Najis!! Cuih!!” Ludahan pun berhasil mendarat di wajah Amar.
Amar mengusap kasar wajahnya.
Pak Darmadi sedang murka, Nenek Asmita tak berani menenangkan karena ia tahu, jika berani ikut campur meski membela cucunya, justru semakin membakar amarah Pak Darmadi. Nenek Asmita hanya bisa menangisi semuanya.
Amar tersenyum kecut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya terima kasih Yah …. Terima kasih.” Setelah itu, Amar pergi dari hadapan mereka, bergegas menuju ke lantai dua ruko untuk mengambil baju-baju kusutnya.
“Ibu nggak usah tangisin anak durhaka Bu! Sumbek banget di rumah, mending keluar sama Asnar!” gumam Pak Darmadi.
Hayalan Nenek Asmita di masa tua yang seharusnya hanya duduk bersantai di teras rumah setelah masa mudanya bekerja keras demi kehidupan yang lebih baik. Ternyata, harus menghadapi kehidupan seberat ini. Menyaksikan keluarga anaknya berantakan.
“Ya Allah Ya Tuhanku …,” rintihnya.
***
Ardan pulang ke ruko Nenek Asmita setelah hampir seminggu tidur di gedung tua terbengkalai bersama teman-teman senasib. Bau alkohol yang dipadukan dengan keringat menyengat karena lama tak mandi, masuk ke rumah toko yang bersih. Kedatangannya membuat orang-orang yang sedang berbelanja menatap aneh, tak sedikit yang bergidik ngeri namun Ardan tak peduli. Ia melenggang santai menuju ke lantai dua yang terlihat sepi.
Rokok premium tergeletak di atas meja, rokok yang tak pernah Ardan hisap karena harganya yang sangat mahal. Tanpa ijin ayahnya, mengambil rokok itu. Menyalakan lalu mulai menghisap pelan-pelan, menikmati rasa yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Kilasan masa lalu tiba-tiba menyerang ingatan. Tentang masa kecil Ardan yang penuh kebahagiaan, disayangi sepenuh hati oleh kedua orang tuanya, setiap keinginan dituruti, fasilitas kehidupan seperti pangeran didapatkan, dan tak pernah mendengar bentakan atau pecahan barang di rumah. Namun, ketika usianya menginjak 7 tahun, ketika pikirannya mulai nalar, sifat ayahnya yang keras sering ia saksikan dan sejak itu, hidup Ardan berbeda. Setiap kesalahan kecil yang dilakukan anak-anaknya dan Bu Laras, seperti sudah melakukan dosa besar,
Ardan sebenarnya tak menginginkan mabuk-mabukan, tidur sembarangan, dan memainkan perasaan wanita. Namun, ia tak tahu harus apa selain melakukan demikian. Karena ia merasa memiliki kehidupan yang tak hanya berantakan, tapi hancur dan tak punya kesempatan memiliki masa depan yang cerah. Lagi pula, contoh di rumah yang dilakukan Ayahnya demikian—kasar dan jahat. Meski hatinya kadang menolak ketika melakukan perbuatan salah, raganya serasa sulit mengakhiri.
“Ardan. Tahu jalan pulang kamu?! Duitmu udah habis ya? Nggak ikut blangsak kayak Ibu dan adek-adekmu?” Pak Darmadi datang,
Ardan melirik sekilas. “Ibu sama adek di mana?”
“Ibumu sudah Ayah ceraikan dan usir dari sini. Si Amar sok-sokan jadi pahlawan kesiangan, ikut Laras sama Rora pergi.”
“Aku minta uang Yah," tukas Ardan.
“Huh, kebiasaan! Pulang cuman minta duit! Minta noh sama Nenekmu!”
Sebelah alis Ardan terangkat. “Terus duit Ayah yang banyak buat apa kalau nggak dikasih ke aku?”
“Ya buat senang-senang sendiri lah! Kamu udah gede, urusin dirimu sendiri! Jangan pake duit Ayah terus! Kamu pikir, cari duit gampang?!”
Ardan tertawa hambar. Namun di balik tawa itu, tersimpan luka yang tak terlihat orang lain ketika banyak orang-orang yang mengecap Ardan sebagai lelaki berandalan.
***
Sebulan kemudian ….
Menjalani kehidupan yang sebelumnya tak pernah Bu Laras bayangkan. Tinggal di kos-kosan sempit ukuran 2×3 M bersama kedua anaknya. Mereka bertiga hanya tidur beralas kardus dan tikar, karena kos-kosan ekonomis ini hanya menyediakan ruangan dan satu meja kecil. Tak ada kasur atau perabotan lain. Meski begitu, kedua anak-anak Bu Laras tak pernah mengeluh dan tetap menjalani kehidupan yang berat dengan lapang dada.
Kini, Bu Laras sudah kerja di toko sembako dengan gaji yang pas-pasan. Cukup patungan dengan Amar untuk bayar kos-kosan dan untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan hubungan pernikahannya dengan Pak Darmadi, sedang dalam proses cerai resmi di pengadilan.
Bu Laras pulang dari toko sembako pukul setengah lima sore. Perjalanan pulang sebelum sampai ke kos-kosan harus melewati terminal bus antarkota. Ketika bus mikro yang ditumpanginya berhenti menunggu penumpang lain masuk, tiba-tiba tak sengaja pandangnya tertuju ke arah bocah yang mengenakan rok merah dan atasannya jaket yang warnanya telah pudar. Bu Laras hafal betul itu jaket siapa. Meski belum sampai tempat tujuan, bergegas membayar dan turun dari mikro bus. Berlari mendekati Rora yang sedang menawarkan tissu dan air minum kemasan kepada orang-orang yang ada di terminal.
“Rora, apa yang kamu lakukan di sini?!” Bu Laras langsung menarik tangan Rora, menjauhi keramaian. “Kamu jualan?!” tanyanya sungguh tercengang.
Wajah Rora yang berkeringat dan merah, tertunduk.
“Rora …. Sejak kapan kamu jualan kayak gini? Tugasmu itu cuman belajar dan sekolah. Biar Ibu yang cari uang.”
“A … aku cuman mau bantu Ibu ….”
Bu Laras menghela napas panjang. “Astaghfirullahalazim, sejak kapan kamu kayak gini?”
“Dua hari yang lalu Bu ….”
“Kamu ambil di mana tisu sama air minumnya?”
“Di warung sana Bu,” sahutnya sambil menunjuk ke arah warung yang jaraknya cukup jauh dengan terminal bus.
“Kembaliin, kita pulang ke rumah!” tegas Bu Laras yang sebenarnya tak ingin putri bungsunya semakin menderita. “Ayo!” ajaknya sambil menarik tangan Rora.
Sesampainya di kos-kosan, mereka makan satu piring berdua. Tak hanya karena makanannya yang terbatas. Namun juga hanya punya satu piring, sendok dan dua gelas. Itupun bahan plastik dan dibeli dadakan. Karena pergi dari ruko Nenek Asmita hanya membawa baju-baju dan perlengkapan sekolah Rora.
Tiba-tiba ketika masih makan, ingatan Bu Laras tertuju pada 19 tahun yang lalu, ketika ia meminta persetujuan kepada kedua orang tuanya ingin menikah dengan Pak Darmadi.
“Bapak tahu, kalau Darmadi itu ganteng dan anaknya orang kaya. Tapi, apa kamu pernah lihat, dia bantu-bantu kerjaan orang tuanya di kebun? Peternakan? Toko? Enggak kan? Sering banget Bapak lihat orang tuanya dan karyawannya kerja, sedangkan dia malah duduk, ngerokok, ngopi dan makan. Suka manggil tukang pijet padahal aktivitasnya nggak kerja keras, cuman nyante. Bapak tahu, kalian sama-sama cinta. Tapi, menikah nggak hanya tentang cinta dan kamu akan hidup dengan karakternya.”
“Tapi kalau udah nikah, Mas Dar pasti tahu tanggung jawab dan kewajibannya jadi suami kok Pak. Pasti nanti sadar kok. Nanti dia pasti mau kerja dan usaha apa lagi kalau udah punya anak."
“Cinta nggak akan bisa merubah karakter seseorang, Ras. Manusia bisa berubah kalau dia mau berubah.”
“Tapi aku yakin, dia lelaki yang penyayang dan bertanggung jawab kok Pak. Tolong ya, restui kami. Dia juga udah janji mau jagain Laras dan cinta sama aku sampe maut misahin. Ya Pak. Kami udah sama-sama janji dan orang tuanya juga ngerestuin kok.”
“Baik buruk yang terjadi itu pilihanmu. Bapak hanya arahkan, sisanya kamu yang menjalani.”
Bapak .... Maafin aku Pak. Maaf. Batin Bu Laras pilu, penuh penyesalan.
“Ibu kenapa ngelamun?” lirih Rora. Suaranya memang lirih.
Bu Laras mengerjapkan matanya berkali-kali. “Eh enggak Ra. Habisin makannya ya. Ibu udah kenyang. Ibu mau cuci tangan dulu.”
Rora mengangguk.
Bu Laras keluar kamar kos. Menuju ke wastafel untuk mencuci tangannya. Terlihat di luar kaca dapur, sosok anak lelaki yang dipaksa kuat karena keadaan sedang berjalan masuk ke kos-kosan. Melihat nasib Amar seburuk ini, semakin menimbulkan penyesalan dan rasa ngilu di hati Bu Laras dan seketika, air matanya luruh.
“Ardan ….”
“Elma ….”
"Amar ….”
“Rora ….”
“Maafin Ibu .... Karena kalian harus hidup seperti ini,” gumamnya sambil terus menyeka air mata yang sulit berhenti mengingat segala nasib-nasib buruk yang menimpanya dan anak-anaknya.
Tamat.