Masukan nama pengguna
DIA diam, tapi bukan karena diam dan tak bisa melawan. Dia diam, tapi bukan karena tak mau membalas. Dia diam, tapi bukan karena lemah. Namun, dia diam karena sedang menyusun sebuah rencana untuk mengalahkan orang-orang yang selama ini memusuhi dan menghinanya. Dia akan memberikan sebuah kejutan kepada mereka ketika waktunya telah tiba. Seperti kiamat atau bencana Tsunami yang datang secara tiba-tiba ketika manusia sedang lengah dan sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing sehingga tak ada waktu bagi mereka untuk menghindarkan diri. Begitu pula dengan yang sedang dia rencanakan. Dia akan membalas apa yang selama ini telah mereka lakukan padanya. Dia akan membalas sakit yang telah mereka goreskan selama ini.
Tidak ada seorang pun yang memposisikan sebagai dirinya. Sehingga bisa merasakan sakit sekaligus kecewa yang selama ini dialaminya. Dia tidak pernah menampakkan air matanya meski telah bertubi-tubi hatinya dibuat menangis. Bahkan, istrinya saja tidak pernah sekalipun melihat air matanya tumpah. Padahal, seorang istri seharusnya dapat melihat air mata suaminya yang tumpah secara tak kasat mata. Namun, itu semua karena rasa. Tanpa rasa tidak akan pernah bisa.
Ada beberapa rencana yang sedang dia persiapkan untuk membalaskan dendam hatinya yang selama ini diperamkan. Dan, dia tidak ingin ada seorang pun yang tahu akan rencana briliannya itu termasuk istrinya sendiri.
Setelah seharian bekerja di depan komputer, lelaki itu melepaskan lelah di tempat tidur. Dia sama sekali tidak mengingat apa pun termasuk saat ada beberapa teks pesan WhatsApp yang masuk dan beberapa pesan email baru. Kedua matanya telah letih sehingga tidak bisa diajak berkompromi. Saat itu dia masuk ke dalam sebuah mimpi. Dalam mimpi itu muncul wajah seorang gadis yang selama ini diam-diam telah jatuh cinta pada dirinya. Perasaannya, gadis itu sedang berdua dengan seorang pemuda yang sangat dia kenal. Karena mereka berdua adalah muridnya. Saat itu, gadis itu mengungkapkan perasaannya pada pemuda itu, dan pemuda itu langsung mengakuisisinya. Betapa kecewanya lelaki itu melihat orang yang dia cinta ternyata telah diembat oleh orang lain. Kemudian, dia terbangun dan baru sadar bahwa apa yang dilihatnya hanyalah sebuah mimpi.
Saat dia terbangun itu anaknya menangis. Tangisnya seakan tengah memanggil dirinya agar datang untuk melindunginya. Lalu, lelaki itu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Dia mencari tahu siapa orang yang telah membuat anaknya menangis. Dan ternyata adalah istrinya sendiri. Dia ingin menegur istrinya, tapi nuraninya segera berkata padanya,
"Hei, itu hanyalah perangkap yang ingin memancing kemarahanmu. Jika kamu memarahi dan menegur istrimu, maka ibu, bibi dan keluarganya yang lain akan bersatu menyerangmu. Apakah kamu telah lupa bahwa selama ini istrimu lah yang mengawali pertengkaran sehingga mereka membantu untuk memangsamu?"
Lalu, ingatan lelaki itu terlempar pada kejadian dua tahun yang lalu. Malam itu, istrinya tiba-tiba bangun seperti orang yang sedang ngelindur. Dia membersihkan tempat tidurnya seperti sedang dirubung semut. Lelaki itu bertanya ada apa, dan istrinya menjawab bahwa dia seakan bermimpi sedang dirubung semut. Mendengar bisik-bisik ibunya, bayi itu bangun dan menangis. Ternyata tangisannya memancing keluarga ibunya yang lain. Mereka berdatangan dan masuk ke dalam rumahnya.
Ada yang mengatakan kalau anak itu diganggu oleh jin hitam. Ada yang menduga kalau anak itu habis ditempeli setan. Bagi orang kampung yang masih berkebiasaan berdukun, pasti akan menghubung-hubungkan anak yang sedang menangis dengan makhluk ghaib. Padahal, sejatinya tugas setan bukan membuat bayi menangis melainkan membuat manusia yang satu dengan manusia lainnya bertengkar. Tugasnya adalah mengerjai suami bertengkar dengan istrinya. Lalu, salah satu dari mereka menyarankan agar membawa anak itu ke seorang dukun. Tak ayal, saran orang tersebut memancing kemarahan lelaki itu karena sudah muak dengan pikiran piciknya.
"Tutup mulut busukmu itu!"
***
Sebaik-baiknya manusia jika berada di lingkungan yang salah, maka dia akan dianggap salah. Sejujur-jujurnya manusia, jika dia hidup di lingkungan yang jahat, maka dia akan dianggap berdusta. Seperti itulah yang dialami oleh lelaki bernama Aldzam itu. Sejak menikah dengan istrinya dia telah berusaha berusaha baik dan jujur. Bukan untuk tujuan mendapat sanjungan dan pujian. Namun, dia sedang menerapkan apa yang telah diajarkan oleh neneknya dulu. Neneknya pernah berpesan, "Berbuat baiklah terhadap siapa pun termasuk kepada orang-orang yang menyakitimu. Jangan membalas apa yang telah mereka perbuat padamu. Karena Tuhan pasti akan membalas perbuatan jahat mereka. Bersikap jujurlah kepada orang yang memberimu amanah karena percaya kalau kamu adalah orang yang jujur. Janganlah mengambil sesuatu yang bukan hakmu." Namun apa yang dia peroleh? Dia ibarat bunga yang tumbuh di kebun api. Dia seperti rumput ungu yang hidup di hamparan padang gurun. Dia ibarat bunga Dendelion yang ditanam di tanah gambut. Bukannya berbunga justru bunga itu mati.
Hari ini lelaki itu pulang dengan membawa sepeda keranjangnya. Namun bukannya dikayu, melainkan dituntun dengan diangkat bagian depannya karena tahu-tahu ban depannya meletus. Akhirnya, dia menuntun sepeda keranjang itu dari sekolah menuju rumahnya dengan menempuh jarak kurang lebih 6 km. Sampai di rumah dalam keadaan tenaga diisap terik matahari, bukannya disambut dengan segelas es teh malah dia disuguhi emosi oleh istrinya. Seketika api yang tersimpan dalam tubuhnya langsung menguasai dirinya dan berubah menjadi amarah yang berkobar-kobar.
"Aku kan tadi sudah bilang, ban depan itu jangan diisi angin terlalu penuh karena sudah tipis. Bila meletus begini, siapa yang akan repot?!" kata Aldzam memarahi istrinya.
"Bukannya tadi aku sudah bilang, kurangi anginnya kalau terlalu penuh?!" balas istrinya.
"Ya salahnya kamu. Kenapa tadi ngisi anginnya terlalu penuh?! Bila pecah begini, siapa yang kamu suruh mengganti? Ujung-ujungnya kan aku juga kan? Bukannya kamu sudah tahu kalau sudah enam bulan ini aku belum digaji!"
Amarah yang meluap-luap dari dadanya yang selama ini dia pendam membuatnya tidak peduli akan resiko apa yang bakal terjadi setelah ini. Dia sudah tidak takut bila salah satu dari keluarganya menyuruhnya angkat kaki dari rumah itu. Lalu, masih dalam kondisi marah yang menyala-nyala, lelaki itu mengeluarkan motor matiknya. Dia telah siap meninggalkan rumah itu.
"Sejak dulu kamu selalu mencari gara-gara untuk memancing kemarahanku. Bila kamu tidak mencintaiku, aku sama sekali tidak keberatan untuk meninggalkan rumah ini. Dan aku tahu, sejak awal tinggal di rumah ini, bukannya memperoleh ketenangan malah aku dihina, direndahkan, dibenci dan dimusuhi bahkan oleh keluargamu sendiri. Kamu tahu kenapa mereka bisa begitu? Karena mereka tidak pernah berpikir bagaimana jika mereka berada di posisiku! Tapi, selama ini aku diam bukan karena takut! Bukan karena tidak mau membalas! Melainkan aku akan membalas semua kejahatan dan kebencian mereka padaku dengan caraku sendiri! Sebuah balasan yang jauh lebih menyakitkan dan lebih mematikan dari perbuatan jahat yang telah mereka lakukan padaku selama ini!"
Setelah meluapkan kemarahannya pada istri yang sama sekali tidak memedulikan dirinya, Aldzam meninggalkan perempuan itu. Tujuannya bukan rel kereta api, bukan jembatan, dan bukan tiang pemancar sinyal internet telepon seluler, bukan. Akan tetapi, sebuah asrama pondok pesantren. Dengan keberanian yang berkobar-kobar, dia datangi seorang gadis yang selama ini dicintainya. Nama gadis itu adalah Afifah. Tanpa merasa ragu kalau cintanya bakal ditolak, dia genggam kedua tangan gadis belia itu.
"Selama ini aku dapat merasakan bahwa sebenarnya kamu juga mencintaiku. Aku bisa melihat cinta itu dari kedua matamu. Aku bisa mendengar getaran cinta itu dari detak jantungmu. Karena itu, hari ini aku akan berkata jujur padamu bahwa aku benar-benar tulus mencintaimu," kata Aldzam pada gadis itu dengan serius sehingga membuat gadis manis yang ada di hadapannya itu tidak bisa berkutik. "I Love You."
***
Persis seperti apa yang telah dia rencanakan selama ini. Setelah bukunya meledak di pasaran, royalti dari penjualan buku itu mengalir ke rekening pribadinya sehingga dia bisa merenovasi rumah peninggalan neneknya. Dia mendesain ulang bentuk bangunan rumah itu sehingga menjadi yang lebih mewah dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Tidak hanya itu saja, dia bahkan melayangkan gugatan cerai terhadap istrinya. Sebuah keputusan yang tidak akan pernah dilupakan oleh perempuan itu. Dan yang tidak kalah penting, Aldzam menikahi gadis manis yang tidak lain adalah mantan muridnya itu. Semuanya datang secara tiba-tiba seperti halnya Kiamat atau Tsunami yang menenggelamkan tubuh orang-orang yang selama ini membenci dan memusuhinya. Akhirnya, dia bisa membalaskan dendamnya dengan cara yang sehat, tapi bisa membuat mereka iri dan dengki yang justru bisa mematikan diri mereka sendiri.
"Seindah-indahnya bunga bila tumbuh di lingkungan yang salah, maka bukannya bisa membuatnya tumbuh dan berbunga melainkan membuatnya mati secara perlahan," kata Aldzam kepada istri barunya yang amat dicintainya. "Begitu juga dengan kita. Sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya kita, jika berada di lingkungan yang jahat, maka sampai kapan pun tidak akan pernah bisa membuat kita menjadi semakin baik dan jujur, melainkan akan membunuh kita."
"Becik ketitik, ala kethara." Apa yang mereka tanam selama ini ternyata berbuah seperti apa yang mereka tanam. Jika mereka menanam kebencian dan kedengkian, maka mereka akan memetiknya pula. Mereka juga mengalami apa yang selama itu dialami oleh Aldzam. Mereka juga dimusuhi oleh orang-orang yang sudah tahu watak aslinya. Dan akhirnya, mereka tidak memiliki tetangga. []
Probolinggo, 2024
Khairul A. El Maliky. Novelis yang lahir dan besar di Probolinggo, 5 Oktober 1986. Bukunya telah diterbitkan oleh MNC Publishing, Malang. Sementara dua buku terbarunya masih dalam proses terbit. Saat ini ia telah menyelesaikan satu novel berjudul Pernikahan & Prasangka Cinta yang akan diterbitkan pada tahun 2025.