Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,699
Bulan Tidak Terbit
Slice of Life

Bulan Tidak Pernah Terbit



Tara memasuki sebuah halaman dengan ragu-ragu, matanya melirik satu persatu kendaraan yang lebih dahulu parkir sambil membandingkan dengan roda dua kepunyaan miliknya. Kepalanya bekerja keras mencari waktu, kapan terakhir kali mencuci motor tahan banting yang sedang didudukinya itu. Tara memamerkan giginya menertawakan diri sendiri karena sudah setahun lewat terakhir ia mencuci motornya itu padahal enam bulan sebelumnya sempat dua kali nyungsep bersama angkutannya itu hingga lampu belakang motornya mati.

Dia hanya tersenyum, merapihkan rambutnya di depan spion melihat jalan dari pantulan cermin ke arah jalan belakang, Perjalanan yang jauh jika membayangkan putar balik melewati jalan berbatu nan lembek hanya untuk sampai ke jalan utama. Helaan nafas terdengar dalam dari tubuh pria itu, "Kagak cocok kayaknya lu, gabung bareng di sono. Nyenggol dikit meperin debu." Kata Tara kepada motor beat yang sudah dianggap sahabat olehnya. 

Berat hati Tara menuntun motornya mundur keluar dari halaman agar tidak jadi gabung ke deretan mobil dan motor yang terlihat baru dan bersih, ia memutuskan tidak jadi menghadiri pertemuan dengan teman-teman lamanya meskipun tidak bertemu sejak 3 tahun lalu dengan mereka yang biasanya mengadakan pertemuan minimal enam bulan sekali karena kejadian yang hampir sama persis seperti ini, seperti perasaannya.

Rasa tidak berani untuk berbincang atau sekadar menatap mata kawan lama yang pernah diajak berjuang bersama kembali muncul mengisi ruang hati dan pikirannya, rasa yang seharusnya tidak boleh ada karena mereka sudah menemani kehidupan tara hampir 10 tahun lamanya.

 

Tara menaikkan kedua kakinya ke badan motor bersiap menancap gas ke depan namun badannya malah mengarah mundur,

"Mau kemana Sob? Bukannya ngabarin kalo udah di depan malah nyelonong." Rai, menarik motor Tara bersama Moen masuk lagi ke dalam lingkungan Vila.

"Yaelah, Ketauin." Kata Tara.

"Ketauaa..an." Sambut Moen sambil tertawa.

"Kangen banget gue dengernya." Kata Rai menghampiri Tara yang masih duduk di motor untuk memeluknya.

Tara dan Rai berpelukan lalu bersalaman disaksikan Moen yang ingin bergantian dengan Rai untuk memeluk Tara. Namun belum sampai Moen memeluk Tara, Rai mendorong pelan dan berkata

"Dorongin dulu Mo, nanggung banget biar mepetin sama motor Lu." Kata Rai menunjuk ke arah motor N-Max yang sudah dimodif agar kada sandarannya itu.

"Sialun." Kata Moen kapada Rai.

Lalu hening, Moen menunggu sambutan dari kedua sahabatnya.

"Dih, Sialan." Katanya kembali memasang muka masam karena tidak disambu, lalu mereka tertawa bertiga berangkulan menciptakan suasana hangat yang terpancar dari senyum di masing-masing bibir.

Dari kejauhan ada wanita yang sedang menggendong bayi, Tanya. Ia menghampiri ketiga laki-laki yang sedang melepas kerinduan di hadapannya. Mendekat, tidak dapat berteriak sebab membawa seorang manusia yang sedang tidur, baru saja tidur lebih tepatnya namun karena melihat Tara datang dan ingin ikut ke dalam momen mengharukan yang dilihatnya dari kejauhan ia cepat terbangun dan menghampiri sahabatnya yang lama tidak terlihat batang hidungnya secara langsung.

Lebih tepatnya ada Tara, Tanya, Rai, Moen dan Ineke juga Manta yang masih ada di dalam rumah yang mereka sewa. Keenam manusia ini adalah sahabat sedari SMA yang sudah lama tidak berkumpul secara komplit seperti saat ini, perihal komunikasi mereka tetap menjalin secara online dalam momen ulang tahun atau hari besar untuk saling mengucapkan dan mendoakan satu sama lainnya, Ada Manta yang selalu mengusahakan agar setidaknya dalam satu tahun masih bertemu dengan kelima orang yang sudah dianggap keluarganya ini.

"Guys, Gue mau ikut suami nih dinas ke luar negeri. Kita kumpul ya semuanya wajib dateng, fardhu'ain untuk Tara yang absen terus." Tulis Manta di dalam grup chat hingga membuat pertemuan ini terjadi.

Sebenarnya ada satu orang lagi yang pernah menjadi anggota dalam pertemanan ini yaitu Bari. Mantan pacar dari Manta saat mereka masih sekolah dahulu namun saat putus Bari menjauh dari Manta sampai berimbas ke pertemanan ini.

"Tara." Panggil Tanya membuka tangan untuk meminta Tara memeluk Tanya.

"Udah punya anak masih aja doyan dipeluk laki orang." Celoteh Rai usil kepada Tanya yang ditepuk pelan pundaknya oleh Moen memberi kode untuk membiarkan Tanya mendapat pelukan dari Tara.

Tara menghampiri tanya yang berjarak kurang dari 10 meter darinya, berjalan cepat menghampiri tanpa ragu merangkul Tanya dan mengelus perempuan kecil yang mirip dengan wanita itu.

"Manis persis ibunya, sorry ya ga dateng pas Lu nikah. Suami lu ikut?" Tanya Tara melihat ke dalam bangunan villa mencari seseorang.

"Ikut suaminya Manta lagi nyari daging mentah buat BBQ." Jawab Tanya

"Kenapa ga nitip gue aja?"

"Kenapa ga nitip? Lu dateng aja udah syukur." Sambut Manta keluar dari dalam rumah bersandar pada pintu sembari melipat tangannya.

Tara, Tanya, Rai dan Moen berjalan mendekati Manta masuk ke bagian dalam rumah.

"Ayo masuk." Pinta Manta mengarahkan teman-temannya duduk bersama di ruang tengah Villa yang disewa oleh dirinya demi memanjakan kelima temannya itu.

"Masa harus jalan jauh ke puncak dulu si Tar, baru lu mau main bareng kita. Di Jakarta kan kita lebih deketan buat ketemu." Keluh Manta kepada Tara saat mereka sudah duduk bersama.

Berbeda dengan Tanya yang lebih ceria dan memiliki penampilan yang tidak berubah, Manta yang mempunyai nama asli Samantha Margaretha mantap memutuskan berhijab semenjak bertemu dengan suaminya dan akan menikah saat itu. Keputusan yang membuat Tara kaget dan bingung karena merasa Manta sulit untuk berubah setelah usaha Tara memperbaiki jam pulang Manta yang kelewat pagi.

Tara tidak pernah bisa melucu sebebas biasanya terhadap Manta setelah mendengar dirinya akan ditinggal nikah sahabat wanitanya itu. Saat keempat temannya sudah memasuki semester 6 kuliah, tinggal dirinya dan Manta yang masih bimbang apakah akan meneruskan pendidikan-nya atau tidak ditahun itu karena keterbatasan biaya jika harus mendaftar kuliah sambil membiayai sekolah juga adik mereka yang sama-sama masih SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Kemudian, tanpa disangka Manta bertemu dengan laki-laki bak pangeran impian yang ditemuinya saat pulang kerja dan ingin lanjut untuk minum karena pikiranny sedang kalut, laki-laki itu mengantar Manta yang hampir pingsan pulang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tua Manta. Entah bagaimana kelanjutannya, Manta mengabari Tara bahwa mereka akan menikah dalam waktu dekat sehingga Manta tidak perlu bekerja dan hanya mendatangi kajian untuk memperdalam agama.

Mendengar Manta berkata seakan mengeluh kepada Tara membuat dirinya bingung, ia hanya bisa tersenyum menepuk pelan pundak wanita disampingnya yang kini sudah diberpakaian lengan panjang. Suasana di ruang tengah mendadak canggung karena tidak ada jawaban dari mulut Tara sampai akhirnya Ineke datang membawa olahan pisang dan teh hangat ke dalam lingkarang yang hening itu. 

"Biar nggak pada mesem-mesem sendiri. Di kulkas ada brownies sama cola, kalau mau ambil sendiri ya." Kata Ineke meletakkan sajian ke atas meja, lalu melihat ke Tara yang sedang menunduk melintir kertas entah apa. Tara yang merasa dilihat refleks memandang Ineke dan langsung merangkulnya,

"Koki kesayangan kita." Ucap Tara kepada Ineke.

Yang dipuji tidak merespon senang, "Udah ga jadi koki gue, Tar." Kata Ineke memasang muka sedih.

"Serius?!" Tara kaget, matanya memperhatikan temannya satu persatu membuatnya bersandar dan sadar ternyata hanya dirinya yang belum tahu.

"Dari dua tahun lalu, perusahaannya bangkrut gue ga dapet praklaring karena HRD nya kabur. Alhasil kerjaan gue lima tahun berasa kosong, gue bantu kerjaan Tanya jadi admin aja sekarang."

Tara melirik ke arah Tanya, "Gue buka online shop dari dua tahun lalu, barang impor second apa aja lumayan ternyata omsetnya. Rai? Rai jadi masih arsitek sama interior design di perusahaan om nya, Mo? Mo jadi konselor iklan sekarang Tar sampingan tapi lumayan buat pensiun dini. Manta juga kerja loh sekarang, tebak jadi apa?" Tanya menjelaskan perkembangan karir satu persatu temannya kepada Tara.

Tara memajukan kepalanya isyarat tak ingin menebak,

"Tebak dulu." Ucap Tanya.

"Manager restoran?"

"Bukan."

Manta tertawa kecil mendengarnya, Tara ternyata ingat keinginan iseng Manta untuk menjadi manager restoran karena lelah untuk pulang malam saat bekerja menjadi waiters.

Tara memalingkan wajahnya sebentar melihat manta yang tertawa kemudia menatap Tanya berkata, "Jadi Ustadzah?"

"Mana ada." Sanggah Manta menahan tawanya.

Tara lalu menengadah meminta kepada yang punya jabatan,

"Videografer."

Tara mendelik, "Amatir sih, tapi mayanlah buat kegiatan selama di London nanti" Manta menjawab keraguan Tara dengan percaya diri.

Memainkan lensa adalah kesukaan Tara sejak umur 12 tahun. Lucu sekali, batinnya.

"Doain ya guys, kali ini gue lolos ngelamar di BUMN." Pinta Rai.

"Udah buka ya?" Tanya Tara.

"Makannya Tar, Jangan sering-sering jadi tim nyimak ah di grup." Ledek Moen karena Tara sudah hampir sebulan hanya menjadi tim nyimak di dalam grup buatannya sendiri, hal ini sengaja dia lakukan untuk memberikan kejutan kepada teman-temannya sebab beberapa pertemuan belakangan dia selalu absen.

"Kayak lu enggak aja moen."

"Lah, Gue mah silen (Dibaca benar silen) tetep hadir jadi ga ketinggalan berita." Jawab Moen merangkul Rai yang memasang wajah kecewa.

"Sabar ya, Sob." Moen menepuk bahu Rai yang dalam rangkulannya, Rai menyambut dengan berpura-pura menangis haru.

Tara melihat adegan tersebut dengan perasaan bersalah hingga membuat dirinya salting.

Ineke yang melihat hal tersebut langsung mencomot pisang goreng buatannya dan memasukkan ke mulut Tara paksa.

"Makan dulu."

Yang disuap ternyata tidak menolak, Laki-laki itu mengunyah dengan riang karena memang lapar.

"Terus apalagi yang gue ketinggalan? Motor baru nih Moen." Ucap Tara meledek moen yang masih berangkulan dengan Rai.

Kali ini, Rai yang bertindak menenangkan Moen yang mulai berapi-api,

"Tenang Sob, Tenang ada Rai." Katanya menahan dada bidang Moen.

Kali ini Tanya yang ikut menepuk pundak Tara sambil tertawa kecil, "Kenapa, Tar?" Katanya mendekat.

Tara, merasa terpojok seperti anak kecil yang telat pulang ke rumah sampai kelewat petang. Lagi, Tara hanya bisa nyengir karena malu mengutarakan isi hatinya.

Biasanya dia bisa mengungkapkan apa saja di depan kawan-kawan lamanya itu karena sudah lebih dahulu bercerita dengan Manta dan masih merasa ada teman di medan perjuangan yang sama. Namun, setelah melihat keempat temannya sudah sibuk untuk skripsi dan satu lainnya sudah menemukan hidup baru Tara merasa sendirian di ujung jalan bak tertinggal ratusan meter dari rombongan, Padahal 10 tahun lalu dialah yang menyatukan kelima karibnya ini, memimpin jika ada kerja kelompok membantu jika ada yang kedapatan nilai lima, mendatangi orang tua masing-masing temannya sampai menciptakan perayaan ulang tahun bersama karena lahir di bulan yang sama bahkan Rai dan Moen lolos SBMPTN berkat didikan keras Tara.

"Santai-santai..." Tara menekan-nekan kedua tangan diudara agar memecah ketegangan yang dirinya rasakan ketika ditatap banyak mata.

"Motor lu dipake abang lu kan, Mo? Terus itu motor abang lu?" Tara berhasil mengurangi emosi Prasmoendi, teman pertamanya di Sekolah Menengah Atas.

"Bukan, itu motor kantor sampingan kalo jadi konselor marketing. Lumayanlah duit bensin buat dipake nabung, target tahun depan dari Dinda." Jelas Moen menerangkan target impian meminang pacarnya.

"Widih, nyusul nih jadi Bapak." Seru Ineke.

"Lu kapan? Temen lu udah pada bawa buntut." Kata Rai.

"Bentar." Ineke mengambil ponselnya, mengecek ponsel dan mengetik sesuatu.

TING, bunyi beberapa ponsel bersamaan.

"Bulan depan banget, Anjay." Sahut Rai sumringah mendapat kabar dari temannya.

"Sisa kita, Sob." Kata Tara bersalaman dengan Rai.

"Selamat Ne, Gue janji pasti dateng." Lanjutnya, Rai dan Moen ikut menyalami Ineke, Manta dan Tanya memeluk Ineke haru karena tidak bisa bertemu lengkap lagi untuk waktu lama.

"Nanti gue jemput ya, Tar." Ucap Moen.

"Boleh, lebih boleh kalo yang jemput Rai. Mobil bagus kan."

"Mobil? Gue aja kesini nebeng Ine."

"Yang putih itu mobil lu, Ne?"

"Hasil pesangon sama jual rumah nenek di Malang itu, Ya mobil itu."

"Mantap juga Ne, Banting stir-nya stir beneran." Tara salut dengan teman wanitanya itu karena dahulu hanya dia yang belum bisa membawa kendaraan.

"Belajar motornya gajadi dong nih?" Tanya Tara.

"Gausah kali ya..." Sahut Manta dan Tanya kepada Ineke bersamaan lalu mereka bertiga tertawa diperhatikan oleh ketiga pria yang bangga melihat perkembangan ketiga teman perempuannya.

Tak berselang lama di tengah reuni mereka, Suami Manta dan Tanya datang membawa bahan masakan untuk acara bakar-bakar di halaman belakang Villa.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabaraatakaatuh" Salam dari Suami Manta membuat yang diisi rumah berhamburan,

"Wa'alaikumsalam, Mas. Apa kabar? Sehat Mas?" Tara menghampiri Ardhi, Suami dari Manta untuk berbasa-basi, meski sebenarnya ia canggung hubungannya dengan pasangan sahabatnya meskipun cukup akrab dengan Ardhi karena mereka lebih dulu bertemu dibandingkan Manta sendiri.

Persiapan acara malam pun di mulai, semuanya ikut sibuk saling membantu. Acara diselingi dengan doa untuk keberangkatan keluarga kecil Manta, Rencana pernikahan Ineke, Bisnis Tanya dan Karir untuk Rai juga hal baik apa saja untuk Tara serta Moen. Karena ada dua anak balita, keramaian pun sudah berakhir di pukul 11 malam, Ineke dan Moen juga ikut masuk kamar karena mengurus persiapan hajat masing-masing.

Sisa Rai dan Tara yang duduk di bale panjang halaman belakang vila sambil melihat langit malam dan menikmati hawa yang tidak ada di ibukota.

"Ga enak banget ternyata make privilege keluarga gini, ya." Keluh Rai bersandar dengan muka masam.

"Enak aja kalo bisa buang rasa ga enakan, Rai."

"Malu cuy, kalau keluar tapi gaji sama aja, cuman babak belur gue disini." Rai, masih dengan keluhannya.

"Udah mau lima tahun kerja, lu masih ngerjain semua kerjaan om lu itu?"

Rai hanya mengangguk sambil memasang kunci gitar yang baru dipeluknya.

"Dan lu masih belum berani cerita ke Ibu?"

"Nggak perlu lah, Ibu juga belum tentu paham, buat dia gaji tujuh juta wajar kalau kerjaan banyak."

"Kan ga seusuai Jobdesk, Rai. Obrolin dulu aja Sob. Apa lu mau kerja join sama gue kita bikin cafe yang ada studio foto?"

"Tiba-tiba banget nih? Jangan bilang lu udah nabung dari lama? Jangan itu tabungan lu bakal kuliah?" Todong Arai kepada Tara penasaran, yang ditanya hanya memasang senyum malu-malu.

"Berapa?"

"Apanya?"

"Udah berapa?"

"Cukuplah buat sampe wisuda."

"Tapi jangan cerita ke yang lain dulu, ini kan gue ngajak join bisnis, siapa tau lu bisa nabung ngalahin tabungan nikah moen, kan enak kalo resign." Tambah Tara menjelaskan, niat dirinya datang sebenarnya ingin memberi kabar kalau akhirnya ia bisa menyusul temannya untuk kuliah di pertengahan tahun ini, itu juga yang membuat akhirnya Tara berani bergabung dengan sahabat lamanya setelah rasa rendah diri berbulan-bulan lamanya dan tiga kali putar balik di tiga kali pertemuan terakhir.

"Gue coba daftar seleksi BUMN dulu ya, Gue telepon ibu sekarang lu jangan berubah pikiran buat nunda kuliah."

"Siapa tau ibu mau jual rumah juga buat modal usaha?"

"Sialan." Sahut Rai, karena Tara paham betul rumahnya adalah salah satu kenangan penting bersama mendiang ayahnya.

Lalu direbahkan dirinya di atas dipan panjang di depan teras rumah yang mulai sepi itu. Suara gaduh samar-samar hilang berpencar masuk dalam bilik masing-masing menyisakan jangkrik, kodok, bahkan sesekali tokek bersautan. Rasanya 3 tahun lalu suasana berkumpul masih ramai menemani dirinya bermain gitar, bernyanyi sambil makan kacang di depan teras sampai pukul dua pagi. Kini, kelima temannya sudah memiliki kesibukan masing-masing yang tidak bisa diprediksikan oleh kepala usia 17 tahun ketika Tara dan kelima temannya lulus dari SMA.

Kerendahan diri Tara hilang saat tersadar keadaan tidak seperti ketakutannya, Meskipun Manta tidak lahir dari keluarga berada seperti Tanya ternyata dirinya mampu membalik keterpurukannya dengan kerja keras sikap realistis, Ineke yang semlat sukses dengan kepiawaiannya memasak akhirnya rela menjadi karyawan dan bekerja apa saja demi keluarganya, dan Arai, merasa fasilitas berupa jasa keluarga ternyata bisa memberatkan hidupnya juga.

"Jalani saja hidup ini, rejeki tidak akan tertukar. Tak perlu repot memikirkan apa yang belum tentu milik kita." Kalimat andalan dari Ibu Tara jika muncul pertanyaan dari tetangga perihal rencana ke depan anaknya. Bagus temannya tidak pernah melontarkan kalimat tanya yang basi seperti kapan menikah ? Kapan lulus kuliah? Kapan skripsi kelar? Gaji berapa? Atau semacamnya yang dapat menambah beban pikiran.

"Apa yang terjadi 3 tahun selanjutnya?" Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di otak Tara. Namun enggan, pemuda itu memilih tidak berharap yang bukan-bukan dan membebani yang tidak wajib, tugasnya hanya tetap menjalani waktu dengan baik, berpikir dengan pantas dan menata hari dengan hati. Lalu tidur sampai pagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)