Masukan nama pengguna
“Ladies and gentlemen, as we start our descent please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also, make sure your seat belts is securely fastened and call carry-on luggage is stowed underneath the seat in front of you or in the overhead bins. Thank you.”
Sintong mengencangkan sabuk pengamannya. Sekilas ia menoleh ke jendela, pemandangan luar masih sama seperti dua jam lalu. Hamparan awan gelap karena malam, tanpa bulan bintang. Selamat datang Indonesia. Sintong menuruni anak tangga pesawat. Memperhatikan ruang tunggu kedatangan dari jauh. Ada siapa disana?
Sintong melangkah lebih cepat, ia ingin segera sampai di tempat tidur. Entah tepat tidur siapa, karena setelah kejadian Sintong meminta berhenti menjadi penjaga toko buku berkah itu, hubungan dengan pakliknya menjadi renggang.
“Ucok?”
Langkah Sintong terhenti, ini sungguh di luar dugaan. Percaya atau tidak, Ucok sedang berdiri, bergaya merentangkan tangan untuk menyambut, yang tidak kunjung ditanggapi Sintong.
“Selamat malam Sintong Tinggal. Jika tidak ingin berpelukan denganku, bersalaman lah, formalitas.”
Ucok menjulurkan tangan, yang juga tidak langsung disambut Sintong.
“Kau tidak suka kalau aku yang menjemputmu, heh! Untung Kau bertambah tampan, kalau tidak... “
“Sebentar, bagaimana Kau tahu aku pulang malam ini?”
Sintong memotong kalimat Ucok yang segera dibalas dengan kacak pinggang.
“Inang Kau lah. Siapa lagi?”
Dan seterusnya. Mereka basa-basi sebentar, kemudian segera menuju pintu keluar. Ucok mengomel sepanjang jalan. Bahkan saat berada di taksi. Ia terus bercerita tentang gadisnya di kampung halaman mereka, Sumatra. Ucok dan Sintong memang sempat bertemu saat Ucok bertemu klien di Belanda, tiga bulan lalu. Meskipun sebentar, namun lebih dari cukup untuk sekadar bertukar cerita seperti saat kecil di pinggir sungai.
“Eh, aku kemarin mampir di toko buku yang dulu Kau pernah jaga disana.”
Sintong menaikkan alisnya. Ah, apakabar mereka semua. Apa kabar Jess. Wajah manis dengan rambut yang selalu tergerai itu. Dan Bunga?
“Paklikmu sungguh hebat, Sintong. Ia bercerita banyak kemarin.”
Sintong merutuk dalam hati. Apanya yang hebat? Buku bajakannya? Ingatan itu kembali pekat, saat dia harus tegas untuk berhenti ikut membantu paklik Maman di Toko Buku Berkah. Berkah dari mana, isinya buku bajakan semua.
“Aku membeli dua novel. Tadinya mencari novel terjemahan, tapi karena belum lengkap setelah renovasi, aku membeli novel karya anak bangsa sajalah. Tidak kalah bagus. Tidak sia-sia uang dua ratus ribuku.”
Sintong menoleh. Menatap Ucok penuh tanya. Berapa tadi? Dua ratus ribu?
“Kau beli dua?”
“Iya.”
“Dua ratus ribu?”
“Kau ini bagaimana? Kenapa wajah Kau seperti itu? Macam menghina.”
Ucok mengeluarkan salah satu buku dari ransel. Dengan bangga menyerahkannyakepada Sintong. Bukan main, Sintong hampir terlonjak dari tempat duduk, saking kagetnya. Ia sedang memegang novel asli dari seorang penulis yang masih asing baginya.
“Bukan bajakan?”
Sintong menggumam, yang segera dijawab Ucok.
“Ah iya. Kemarin paklikmu itu cerita. Pasti Kau belum tahu. Beberapa bulan lalu, tempat pusat produksi novel bajakan milik bos paklikmu itu kebakaran. Bapak bos frustasi, kemudian diberi pencerahan anaknya. Siapa namanya... “
“Bunga.”
“Nah, Bunga. Akhirnya diadakan rapat antara produsen dengan distributor. Setelah adanya banyak pertimbangan, entah perihal petugas razia, sampai perihal kemanusiaan, tak tahulah. Aku tak begitu paham.”
Wajah Sintong sedikit cerah. Ia tersenyum simpul. “Akhirnya.” Katanya dalam hati.
“Memangnya Kau di Belanda tidak lanjut menulis? Wawancara dengan cicitnya Jan Pieterszoon Coen misalnya, pimpinan penjajah dulu.”
“Bercanda Kau aneh, Ucok. Mana tahu mereka kalau punya kakek Sekejam itu. Yang tahu, mereka punya kakek hebat, keren, yang pernah menjadi gubernur di Indonesia. Setelah mereka searching dimana itu Indonesia, yang dikatakan google, Indonesia adalah negara dengan istilah jika kayu tertancap, maka akan tumbuh buah-buahan. Pasti mereka terpesona dengan kredibilitas kakeknya zaman itu. Kan jadi repot.”
“Bercanda Kau lebih aneh, Sintong.”
Ucok mengusap wajahnya yang memerah karena tawa. Begitulah mereka, selalu nyambung ketika membahas apa saja.
***
“Bangun, Sintong. Ada yang menunggumu di ruang tamu.”
Sintong mengernyitkan dahi.
“Temui saja. Yang jelas bukan Jess, atau Bunga, jadi tidak perlu mandi dulu. Lebih cepat lebih baik.”
Ucok keluar kamar. Membawa beberapa plastik yang sepertinya berisi makanan.
“Bagaimana kabarmu, Sintong Tinggal. Kau sungguhan seperti aktor-aktor, macam yang di tv itu. Tampan dan mempesona.”
Sintong disambut dengan lawakan kecil dari Pakliknya yang sampai berdiri saat melihat Sintong keluar. Bahagia benar kelihatannya.
“Selamat pagi, Paklik Maman. Lama sekali Sintong tidak bertukar kabar dengan Paklik.”
Mereka berpelukan cukup lama.
“Sudahlah. Seharusnya Paklik berterima kasih denganmu. Paklik mendapat pelajaran yang sungguh hebat setelah Kau berani mengambil keputusan itu. Maafkan Paklik dan Bulik yang dulu telah berkata kasar kepadamu.”
“Iya, Paklik. Sintong juga bertema kasih karena Paklik sudah membantu membiayai kuliah Sintong.”
Lega sudah hati Sintong, juga Pakliknya. Mereka menghabiskan hari dengan obrolan ngalor ngidul. Dari mulai cerita Inangnya yang takut Sintong durhaka seperti Malin Kundang, sampai cerita Toko Buku Berkah milik Paklik yang sekarang beneran berkah.
“Betul. Biaya mikir memang tidak ada harganya, butuh waktu lama juga.”
Ucok meneruskan kalimat Paklik Maman sebelumnya.
“Paklik juga baru paham kemarin kalau royalti penulis hanya sepuluh sampai lima belas persen, karenadari seratus persen itu masih dibagi buat edit, cover, pajak PPh sampai promosi. Rugi benar dia kalau bukunya dibajak. Karena pembajak tidak membayar apapun. Mereka memang ikut mikir, tapi mikir buat fotocopy, tidak layak dibayar. Padahal jika penulisnya tidak rela, sama saja dengan mencuri. Dan yang rugi sebenarnya bukan penulis, atau penerbit, tapi diri sendiri karena mendapatkan uang hasil curian, dan jika menjadi daging, genap sudah hidup kita dengan kekurangan itu. Dan bagi penikmat buku bajakan, kerugian dia terletak di harga dirinya yang zonk. ”
Sintong tertawa.
Berbicara mengenai buku bajakan, kita memang harus menaruh perhatian lebih dalam hal edukasi. Tentang mengapa ada pembajakan, mengapa tidak boleh membajak buku, apa konsekuensinya, dan lain sebagainya. Kita benar-benar tidak bisa menyalahkan secara mutlak pihak-pihak tertentu karena banyak dari mereka belum paham benar apa itu buku bajakan. Dalam satu sisi, aparat penegak hukum memang kurang tegas meskipun sudah ada undang-undangnya. Di sisi lain, secara rasional, pembajakan buku memang sangat merugikan penulis, penerbit, karena banyak hal telah dikorbankan untuk menghasilkan karya tersebut, mulai dari waktu, pikiran, tenaga, biaya, dan lain-lain. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih penting lagi untuk dipahami, bahwa seseorang dengan jiwa yang baik dan memiliki harga diri, ia akan menghargai orang lain berikut karya nya, dan tidak akan melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan, seperti membaca buku bajakan. Dan disini kita akan menemukan hakikat mencintai, bukan mengaku suka tapi malah menyakiti hati penulis. Karena ini bukan tentang nominal, melainkan harga diri.