Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,167
Antara 45 dan 65 Derajat
Komedi

Namaku Bian, 25 tahun, lulusan Teknik Informatika dari kampus negeri yang cukup ternama. Dulu aku bermimpi ngoding di startup unicorn atau jadi analis data di perusahaan multinasional. Namun, hidup rupanya lebih suka bercanda. Sekarang aku Office Boy, dan ijazahku cuma hiasan di laci yang tak pernah dikunci.

Bosku, Pak Ferdy—empat puluh tahun, manajer operasional—memiliki standar hidup sepresisi penggaris. Dia bisa menghabiskan waktu 5 menit hanya untuk memastikan stapler di mejanya membentuk sudut 45 derajat. Anehnya, dia juga pelupa. Dompetnya sering jatuh di toilet. Tiga kali terjadi bulan lalu. Pernah juga, dia salah kirim email rahasia perusahaan ke grup WhatsApp keluarganya.

“Bian, tolong bikinkan kopi. Suhunya 65 derajat Celsius, ya,” katanya suatu pagi, sambil mengintip layar monitornya pakai jangka.

Aku mengangguk, menahan tawa. Dalam hati, “Pak, ini kantor alat tulis, bukan laboratorium NASA.”

Meski kadang menyebalkan, Pak Ferdy bukan bos yang bengis. Gajiku lancar. Nada suaranya memang kadang setengah teriak, tetapi tak pernah kasar. Satu prinsipnya: jangan ganggu simetri. Dia alergi pada benda miring, dan mungkin kehidupan yang melenceng dari rencana.

Aku terbiasa dengan permintaan-permintaannya yang nyeleneh. Hanya saja, ada satu kejadian yang masih terngiang, membuatku terpingkal-pingkal lalu menangis, ketika mengenangnya.

Hari itu, jam sembilan tepat, kantor mendadak seperti tempat ujian nasional. Pak Ferdy panik. Laporan bulanan untuk klien terbesar, PT Mega Abadi, hilang. Kerja sama bernilai miliaran rupiah terancam batal.

“Bian, ini laporan penting. Saya taruh di mejamu. Jangan disentuh, jangan dilihat, apalagi didekati!” katanya, menatapku seolah aku memiliki naluri kriminal dalam hal penggelapan dokumen.

“Siap, Pak,” tegasku, mantap. Sementara, suara batin berbisik, “Kalau sepenting itu, kenapa ditaruh di meja OB?”

Dua jam kemudian, saat aku isi ulang kopi di pantry, teriakan memecah keheningan.

“Bian! Laporannya mana?!”

Aku langsung lari. Dua orang klien sudah duduk di ruang meeting, wajah mereka kaku mirip marmer ruang tunggu direktur, sedangkan wajah Pak Ferdy merah padam.

“Bian, dokumen itu di mana? Ini taruhannya kontrak terbesar kita!” ucap Pak Ferdy, duduk di kursi dengan posisi tegak bak militer, kedua tangannya mencengkeram sandaran lengan, tampak mencoba meredam gejolak dalam dirinya.

Meja kosong. Laci kosong. Tempat sampah nihil. Keringatku turun deras.

“Saya cek dulu, Pak,” jawabku. Jawaban standar OB saat sudah merasa buntu.

Aku telusuri setiap sudut kantor. Hampa. Sampai akhirnya aku teringat bahwa Pak Ferdy sempat buka dompet setelah menaruh laporan itu. Jejak penelusuranku mengerucut pada satu benda yang konsisten menghilang dari hidupnya. Ya, dompetnya.

Aku bergegas ke toilet. Benar saja, di dekat wastafel, tumpukan kertas basah dengan aroma sabun cair menatapku tragis. Laporan penting itu lebih menyerupai kain pel daripada dokumen bisnis.

Aku nyaris tertawa. Toilet lagi, Pak? Konsisten sekali Bapak ini.

Sayangnya, masalah belum selesai. Tinta luntur. Tabel-tabel berubah jadi lukisan surealis. Aku hanya punya waktu 10 menit sebelum para klien kehilangan kesabaran. Panik, aku lari ke ruang fotokopi. Kucoba keringkan laporan pakai hairdryer. Akan tetapi, baru lima menit, listrik kantor mati total.

Listrik padam. Mungkin Tuhan ikut menyerah.

Teriakan dari ruang meeting menggema.

“Bian, apa lagi ini?!” seru Pak Ferdy.

Saat itulah aku ingat. Sebulan lalu, Pak Ferdy pernah memintaku memindai dokumen-dokumen penting “untuk jaga-jaga”. Aku masih menyimpan salinannya di laptop bututku, prajurit perjuangan dua generasi dari SMA hingga selesai S1.

Aku lari ke pantry, sambung WiFi tetangga pakai hotspot, buka laptop. Ya, file-nya masih ada. Dengan printer cadangan bertenaga baterai, aku cetak ulang laporan, lari ke ruang meeting lagi, dan menyerahkan dokumen itu dengan ekspresi seolah semuanya berjalan normal.

“Ini, Pak. Ketlingsut di bawah meja,” kataku, padahal napasku nyaris habis.

Pak Ferdy menatapku curiga, tetapi tak ada waktu untuk interogasi. Presentasi dimulai. Aku berdiri di sudut ruangan, menahan napas dan berbicara dalam hati, “Tuhan, jika dia bukan jodohku...”

Entah kenapa kalimat itu yang muncul.

Lalu, klien bertanya, “Pak Ferdy, kenapa tabel di halaman lima tidak sesuai data bulan lalu?”

Pak Ferdy melirik ke arahku, seperti aku baru salah input neraca keuangan negara.

“Pak, saya cuma OB, bukan aktuaris…”

Namun, tiba-tiba, klien satunya—yang sejak semula hanya diam—tersenyum.

“Ah, Pak Ferdy, maaf. Bulan lalu kami memang salah kirim data. Yang ini justru benar.”

Ruangan pecah tawa. Termasuk Pak Ferdy, yang akhirnya bisa menghirup udara lapang.

Aku? Cuma berdiri dengan kening mengeras, “Kantor ini memang tak pernah lepas dari drama. Bagai syuting sitkom tanpa kru kamera,” ucapku, pelan.

Sore harinya, saat aku sedang menyapu di dekat mejanya, Pak Ferdy memanggilku.

“Bian, duduk sebentar.”

Aku kaget. Biasanya kalau bukan soal kopi, ya kertas miring.

Dia membuka dompet—yang, jujur, masih bau sabun sedikit—dan mengeluarkan foto. Seorang anak kecil berdiri di depan pintu, tepat di tengah-tengah.

“Dulu, tiap pulang sekolah, saya harus nyusun sepatu dengan rapi. Piring makan harus sejajar. Sendok-garpu letaknya harus sama. Kalau tidak, Ayah saya akan marah. Katanya, ‘Ferdy, hidup itu harus rapi dan taat aturan, kalau tidak, kamu akan kesusahan di masa depan.’ Saya dibesarkan dalam dunia yang harus sempurna,” jelasnya sembari mengatur posisi stapler yang kesenggol tanganku hingga bergeser beberapa centimeter.

Pak Ferdy tersenyum tipis, tetapi matanya tak ikut tersenyum. Dia pun mengurai latar belakang keluarganya. Ayahnya seorang Laksamana Madya Angkatan Laut yang terbiasa hidup dalam disiplin absolut. Hidup mereka seperti jadwal kapal induk: makan pukul 06.00, tidur pukul 21.00, sepatu menghadap timur, pakaian dilipat layaknya dokumen militer.

Pak Ferdy kecil tumbuh bukan hanya dalam ketertiban, tetapi juga tekanan tak kasatmata. Segala sesuatu harus terukur. Emosi harus ditekan. Tangis dianggap kelemahan. Setiap nilai rapor dibandingkan dengan standar “anak laksamana tidak boleh salah”. Saat teman-temannya bermain, Pak Ferdy justru menyusun barisan mobil-mobilan dengan penggaris, dan melaporkannya kepada sang ayah.

“Kamu tahu, Bian. Ayahku selalu bilang, ‘Di laut, tak ada ruang untuk kesalahan. Satu derajat saja bisa buat kapal karam.’” Pak Ferdy menatap lurus ke arah jendela. “Dia ingin saya jadi perwira sepertinya. Tapi saya ingin bisa jatuh tanpa dihukum,” sambungnya sambil menoleh kepadaku. Dia tertawa, tetapi hambar.

Hening menyelimuti. Dia diam cukup lama, seakan menimbang apakah kalimat berikutnya layak diucapkan atau lebih baik disimpan seperti dokumen rahasia di laci meja kerjanya.

Setelah cukup mengambil jeda, mungkin, dia lanjut berkisah. “Saya memang keras kepala. Waktu SMA, saya bilang mau kuliah manajemen, bukan akademi militer. Kami jadi dingin. Di meja makan pun saya merasa kami tengah berperang.”

Satu tarikan napas panjang dihela Pak Ferdy. Terdengar cukup berat.

“Waktu saya semester dua, ayah saya meninggal. Stroke. Katanya karena hipertensi. Tapi saya selalu curiga, mungkin juga penyebabnya karena keinginan kami yang berseberangan. Itu menjadi pemicu amarahnya meledak dari dalam.”

Pak Ferdy memandangi foto keclinya lagi. Dalam dan tajam. Seakan ingin masuk kembali ke masa lalunya untuk memperbaiki sesuatu.

“Saya tolak hidupnya, tapi sekarang saya hidup seperti dia. Piring di kantor harus sejajar. Pulpen, stapler, cangkir kopi harus dalam posisi yang tepat dan presisi. Orang bilang saya sepertinya menderita OCD. Tapi kadang saya berpikir, mungkin saya cuma sedang berusaha bicara dengan ayah saya. Lewat benda-benda yang rapi. Lewat simetri yang tak bisa menjawab, tapi juga tak pernah membantah.”

Aku membisu. Hati bergetar. Rasanya ingin menyusun ulang semua hal yang pernah aku tertawakan dari Pak Ferdy.

“Aneh, ya,” gumamnya, “semua harus rapi dan teratur dengan posisi sempurna menurut pandangan saya, tapi dompet saya bisa nyemplung ke toilet beberapa kali dalam sebulan. Laporan penting bisa hilang begitu saja. Mungkin saya sengaja ceroboh. Bukan karena bodoh, tapi karena lelah dan rindu.”

Aku tak menyangka di balik stapler 45 derajat, ada luka yang tak pernah sembuh secara utuh, ada rindu yang beresonansi di sanubarinya.

Dia menepuk pundakku, lalu berkata, “Kamu pintar, Bian. Saya tahu kamu nggak seharusnya di sini. Namun, inilah hidup yang nilai keadilannya tak bisa diharapkan selalu setara. Saya juga pernah bermimpi besar. Sekarang, saya hanya seorang manajer kantor kecil yang masih belajar menerima kalau tak semua bisa sejajar.”

Aku tak bisa berkata banyak. Hanya, “Pak, kita semua hanya bisa berusaha sejauh yang kita bisa.”

***

Aku duduk di kasur, di kosan, menatap ijazahku di dalam laci. Masih mengilap. Masih tak berguna. Lucunya, aku tak merasa kalah.

Hari itu aku menyelamatkan laporan dari toilet, menyambung WiFi tetangga, dan menyaksikan bosku tertawa di tengah krisis. Untuk pertama kalinya, aku paham bahwa mungkin hidup bukan tentang gelar, mimpi besar, atau dokumen yang kering, melainkan tentang bertahan dan saling menyelamatkan di tengah kekacauan yang disebut kantor, atau dunia.

Besok pagi aku akan kembali bekerja. Menyapu lantai, menyeduh kopi 65 derajat, dan mungkin menyelamatkan dokumen lain dari nasib buruk.

Aku tertawa pelan, menatap langit-langit kamar yang mulai retak, lalu menghibur diri, “Hidup ini komedi. Dan aku, entah kenapa, mulai menikmatinya, meski tak ada yang tertawa.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)