Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,779
Alien
Slice of Life

Pagi ini kutumpahkan isi map besar ke kursi. Kucari surat atau lembaran apa pun yang bisa memberiku jawaban tepat atas permasalahanku saat ini. Jawaban atas omongan orang-orang di luar sana.

Ada rapor TK sampai SMK, ijazah, juga sertifikat-sertifikat.

Di rapor TK ada catatan lengkap tentang perkembangan di kelas. Pada halaman awal kutemukan fotoku yang masih lucu, memakai bando.

Aku jadi rindu masa-masa TK, pada kelas yang jadi satu dengan area taman bermain untuk umum—kalau istirahat kami bermain sepuasnya, lalu kembali ke kelas saat guru bertepuk tangan memanggil. Hari Sabtu untuk renang. Tapi aku tidak pernah mau berenang. Ibu bilang, aku menangis bahkan saat baru mencelupkan kaki ke dalam air, sementara teman-temanku sudah berjalan ke sana kemari di dalam air, memakai ban. Aku tidak peduli.

Aku beralih pada rapor SD. Tidak pernah ingat ranking dua di kelas dua. Karena seingatku, aku dijewer guru di depan kelas karena tidak mengerjakan PR. 

Di akhir kelas enam, tidak ada buku kenangan yang harus diisi. Tapi aku membuat buku kenanganku sendiri. Kuminta teman-teman yang perempuan untuk mengisi halaman binder—nama, tempat tanggal lahir, pesan dan kesan, lalu tanda tangan—aku tidak meminta pada yang laki-laki, pertama karena memang tidak akrab, kedua, mereka lebih sering menyebalkan.

Beberapa pesan masih kuingat sampai sekarang meski binder itu sudah tiada. 

Alia menulis, "Jangan mementingkan diri sendiri." 

Ya. Kami akrab, tapi terkadang kau bisa menemukan kami saling menjambak untuk masalah sepele. Dia temanku sejak TK, seperti Disha. Tapi karena tahu aku sering bertengkar dengannya, ibu memutuskan menyekolahkanku di tempat yang berbeda, di SD 3, sebab Alia dan Disha masuk SD 4. Hal itu mengurangi frekuensi pertengkaran. Tapi tetap saja kami sering bertemu kalau jajan di kantin. Bagaimana tidak? Bangunan SD 3 dan SD 4 itu berhadapan! Bahkan kami keluar dari pagar yang sama. Upacara hari Senin bersama-sama. Lantas kenapa harus ada dua SD di sini? Aku tidak tahu. 

Tapi akhirnya, saat aku duduk di kelas empat, SD 3 dan SD 4 digabung jadi SD 2.

Katanya murid SD 4 terlalu sedikit. Saat itu aku dan Alia sudah cukup mengerti untuk tidak bertengkar. 

Kembali ke buku kenangan, Novita menulis, "Patuhilah kedua orang tuamu." Pesannya sudah seperti quote di bagian bawah buku tulis. Singkat tapi mengena! Sebab seringnya aku memang tidak bisa diatur.

Lalu Nana, yang paling ceria menulis, "Jika tua nanti kita kan hidup masing-masing. Ingatlah hari ini." Setahuku itu lirik lagu. 

Lalu Farah, "Jangan kesiangan kalau bangun."

Betapa perhatiannya teman-temanku! Mereka bahkan hafal kebiasaanku.

Rapor SMP terlihat bagus. Sepertinya aku sungguh-sungguh saat bersekolah di situ. Aku mengingat lagi bebas SPP satu semester karena ranking dua. Tapi aku tidak pernah dijewer lagi, tentu saja! Hanya .... di kelas tujuh ada hari di mana aku lupa mengganti buku-buku pelajaran di tas dengan buku untuk pelajaran hari itu. Entah apa yang kulakukan di rumah sampai amnesia begitu! Membawa lagi buku pelajaran kemarin. Tentu saja karena kebanyakan bermain! Alhasil aku kelimpungan menelepon ke rumah tetangga dengan telepon koin, juga meminjam ponsel teman, meminta tolong agar ayah mengantarkan buku. Sungguh itu saat-saat yang horor! 

Saat buku itu tiba aku ingin menangis karena beberapa tidak sesuai dengan pesanan. Tapi, mana tahu orang tuaku? Sebenarnya, lebih ingin menangisi betapa teganya aku merepotkan ayah pagi itu. 

Di lain waktu yang buruk, aku diusir dari kelas bersama segerombolan anak laki-laki yang juga tidak membawa LKS. Kalau belum mengerjakan PR masih bisa ngebut, tapi kalau bukunya saja tidak dibawa mau ditulis di mana? Sementara anak laki-laki cekikikan setengah berbisik satu dengan yang lain, aku hanya bisa diam karena tidak ada teman perempuan yang bisa diajak menggosip. Tapi untungnya aku memang tidak suka menggosip. Tapi menggosip di saat seperti itu mungkin dibutuhkan, selagi bersantai di dekat parit.

Rapor SMK aku menyimpannya di map lain, karena satu paket dengan ijazah terakhir. Yang kucari di sini adalah lembaran hasil tes IQ. Aku pernah ingat ada tes IQ di SMP, tapi ibu bilang tes itu saat aku masih SD. Meski pelupa, aku ingat pernah ada tes lagi di SMP, hanya saja aku tidak pernah memberi tahu ibu. Dan kalau ibu tidak tahu lembaran itu pasti raib, seperti surat keterangan lulus seleksi beasiswa golongan entah empat atau atau enam di salah satu kampus bergengsi—kusebut begitu karena memang biaya lain yang harus kubayar jika bersedia kuliah masih sekian puluh juta—saat menerima surat itu aku hanya bisa tertawa. Siapa yang mau membayar? Lagipula aku cuma iseng ikut seleksi karena kampus itu sepertinya keren. Siapa tahu ada takdir nyasar bisa kuliah gratis—yang faktanya tidak mungkin karena sebagian soalnya saja kujawab asal. Itu soal anak SMA! Di SMK tidak pernah diajari sampai sejauh itu, untuk soal matematika dan entah apalagi.

Kembali ke tes IQ! 

Akhirnya kutemukan juga amplop cokelat yang di bagian ujungnya tertulis "Rahasia". 

Kuambil lembaran di dalamnya. Ini dia hasil tes itu! Dari tahunnya aku bisa tahu itu memang dibuat saat aku kelas dua SD.

Melihatnya membuatku tersenyum. Tidak terlalu buruk. Sekarang, aku tidak akan percaya kalau ada yang bilang aku idiot. Meski sebenarnya, kata "idiot" sudah mengalami pergeseran makna, seperti halnya "gila". Meski IQ bisa saja turun, terutama kalau mentalmu tidak stabil sepertiku sekarang ini. 

Tapi aku penasaran saja, siapa tahu berkas itu masih ada. 

Ada keterangan tentang kepribadian juga. 

"Ekstrover"

Yang benar saja! 

Nyaris semua orang mengenalku pendiam. Dari mana psikolog itu melihatku sebagai seorang ekstrover?

Meski sebenarnya, dewasa ini kepribadianku tergolong INFJ. Introver yang sering disalahpahami sebagai ekstrover. 

Mungkin ini memang akurat! 

Masih ada lagi ....

"Menuntut"

Astaga! Ini akurat sekali untuk ukuran zaman itu. Tapi lagi-lagi aku penasaran, bagaimana cara psikolog itu mengobservasi?

Aku memang sering menuntut saat ada hal di sekitar yang tidak sesuai denganku. Menuntut penjelasan ini itu. 

Dan satu lagi, bagaimana bisa psikolog itu menyimpulkan aku "Scientific"?

Memangnya apa yang diujikan pada anak kelas dua SD sampai membuat kesimpulan seperti itu? 

Oh! Ternyata ini ada di barisan "Bakat dan Minat".

Baru-baru ini aku mendengar anak bosku diwawancara juga untuk tes macam ini.

Apa psikolog itu menanyakan cita-citaku?

Seingatku yang pelupa ini tidak pernah mendeklarasikan cita-cita apa pun sewaktu SD kecuali untuk biodata di binder, "Keliling Indonesia, keliling dunia, pergi ke luar angkasa, masuk surga." 

Tapi aku memang ingat pernah terpesona dengan bintang dan planet-planet saat berkunjung ke planetarium. Itu acara rekreasi untuk perpisahan di TK. Lagipula anak kecil mana yang tidak suka melihat benda menyala dalam gelap? 

Di hati kecilku, aku ingin melihat bintang-bintang itu lebih dekat. 

Entah di kelas berapa, aku ingat pernah meminjam buku perpustakaan sampai lupa—atau mungkin lebih tepatnya tidak rela—mengembalikan. Aku selalu menunda sampai akhirnya lulus dan lupa. Buku itu berjudul "Bintang-Bintang di Alam Semesta." Foto-fotonya hitam putih, tapi mengesankan. 

Bohong kalau aku bilang ingin jadi astronot, sebab aku tidak begitu suka Fisika. Yang kusuka dari Fisika hanya Tata Surya. Tapi melihat caraku yang begitu canggung berinteraksi dengan orang lain—bahkan aku menyadari betapa besar perbedaan itu, aku akan lebih cocok disebut Alien. 

Alien mana yang tidak suka melihat tempat asalnya? 

Ya. Mungkin aku hanya Alien yang tersesat di bumi. 































Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)