Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,410
06 Sang Pengamat
Slice of Life

Ia telah hidup lebih lama dari yang bisa dihitung manusia.

Melewati zaman yang berganti, Dia tak ingat berapa kali matahari terbit dan tenggelam, berapa kali kerajaan bangkit dan runtuh, atau berapa banyak peradaban yang sirna menjadi debu, menara-menara tinggi yang tumbang karena usia, sungai-sungai yang mengering lalu mengalir kembali dengan nama yang berbeda. Dia ada di sana, menyaksikan semuanya, namun tidak pernah ikut serta.

Sosoknya begitu tenang, nyaris tak tersentuh oleh dunia yang terus berubah. Kulitnya seputih rembulan, rambutnya berwarna merah mengalir bagai sutra yang selalu tertiup lembut oleh angin, dan matanya berwarna emas—mata yang telah melihat begitu banyak kehidupan berlalu seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur.

Wanita itu adalah Sang Pengamat.

Di antara atap-atap kota yang sibuk, ia melihat seorang ibu menggendong bayinya, menyanyikan lagu yang tak akan diingat sang anak ketika dewasa. Di jendela toko roti, seorang gadis kecil menempelkan wajahnya, terpesona oleh roti yang baru matang, sementara pemilik toko diam-diam meninggalkan satu potong untuknya di depan pintu.

Di pasar, seorang lelaki tua berbicara pada burung hantu yang bertengger di tongkatnya, menceritakan kisah masa mudanya kepada makhluk yang tak bisa menjawab.

Ia melihat semua itu, mengabadikannya dalam ingatannya, lalu melanjutkan langkah.

Kadang ia bertanya-tanya, apa yang terjadi pada mereka setelah ia pergi? Apakah gadis kecil itu tumbuh menjadi seorang pembuat roti? Apakah lelaki tua itu masih memiliki burung hantunya di tahun-tahun berikutnya?

Namun, ia tidak pernah mencari jawabannya. Ia tidak tinggal cukup lama untuk tahu.

Sampai pada malam hari, agak jauh dari pusat kota, keadaannya berbeda. Di sebuah gang yang gelap, langkahnya terhenti. Angin di sekitarnya terasa berat, seperti dipenuhi sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Wanita itu menoleh. Dia terkejut seolah ini yang pertama kalinya. Di sana, seorang pria berdiri sendirian. Pakaiannya compang-camping, tangannya terangkat dengan posisi yang tak wajar. Namun bukan itu yang membuatnya menarik perhatian.

Ada sesuatu yang mengalir di sekitarnya—sesuatu yang nyaris tak terlihat, tetapi terasa begitu kuat. Aura yang salah. Aura dari seseorang yang telah merenggut banyak nyawa. Hitam pekat, dingin, menakuti orang yang melihatnya.

Diusianya yang menginjak angka tak terbatas, Ia tahu sihir dalam segala bentuknya. Ia telah melihat penyihir menciptakan keajaiban, menyembuhkan luka, dan menghidupkan api hanya dengan jentikan jari. Tapi ini berbeda.

Sihir ini bukan untuk menciptakan. Sihir ini adalah sihir yang merusak.

Mata emasnya menatap pria itu tanpa ekspresi. Ia bisa saja membiarkan hal ini berlalu seperti yang selalu dia lakukan, menjadi saksi tanpa ikut campur. Tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.

Ketidaksukaan.

Ia menghela napas. Satu langkah, dia mendekat. Langkah wanita itu ringan, nyaris tak bersuara saat ia mengikuti pria itu melewati gang sempit. Ketidaksukaan yang ia rasakan tadi tidak menghilang, tetapi kini bercampur dengan sesuatu yang lain

Penasaran.

Sudah lama sejak ia membiarkan dirinya tertarik pada sesuatu lebih dari sekadar pengamatan. Namun pria ini, dengan aura sihirnya yang gelap, tampak seperti sesuatu yang berbeda. Ia bukan hanya seseorang yang menggunakan sihir untuk keinginannya sendiri. Pria itu sedang menuju suatu tempat dan melakukan sesuatu yang mungkin layak diamati lebih lama.

Pria itu berjalan dengan langkah tergesa, melewati jalan-jalan sempit dan berkelok. Dia bertemu beberapa orang di sepanjang perjalanan—wajah-wajah yang diselimuti bayangan, tubuh mereka tertutup jubah lusuh. Mereka bukan orang biasa.

Mata emasnya menangkap sesuatu yang lain.

Di ujung gang salah satu dari mereka membawa tahanan—orang-orang yang dikurung, diikat dengan rantai berbalutkan kekuatan sihir menjijikan, wajah mereka tertutup kain kotor. Beberapa merintih, beberapa berusaha memberontak, tetapi sia-sia. Di kota itu tampaknya normal, tidak ada seorang pun yang peduli. Tidak ada yang mencoba menghentikan mereka.

Wanita itu tetap diam, membiarkan ketujuh orang itu menuntun dirinya mengikuti arus tanpa terlihat.

Semakin jauh mereka pergi, semakin ia menyadari tujuan mereka—bukan kota, bukan benteng, tetapi sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik hutan jauh dari kota asal mereka bergerak.

Bangunan di sana tua dan reyot, kayunya lapuk yang sepertinya akan roboh hanya dengan satu hembusan angin. Lampu-lampu redup bergoyang ditiup angin malam, menimbulkan bayangan panjang di tanah yang becek. Udara di sekitarnya berubah, lebih berat, lebih pekat tatkala mereka tiba. Setiap orang yang melihatnya akan menghindar.

Wanita itu teringat pernah melihat tempat seperti ini sebelumnya. Bukan desa, bukan pemukiman. Tapi tempat yang cukup sering menjadi tempat ritual pengorbanan.

Ia tetap diam, matanya memperhatikan dari jauh saat para pria berjubah membawa para tahanan ke dalam rumah yang lebih besar yang tampaknya sudah disiapkan. Rumah itu nyaris runtuh, tetapi bagian dalamnya terang dengan cahaya lilin dan simbol-simbol aneh yang digambar di lantai.

Ritual akan dimulai.

Wanita itu mengamati dari kegelapan, berdiri di ambang dunia yang nyata dan yang tidak.

Pria yang ia ikuti berdiri di tengah lingkaran ritual. Ia berbicara dengan rekan-rekannya, suaranya dipenuhi hasrat dan ambisi. Para tahanan mulai meronta, berteriak walaupun tertahan, menyadari nasib mereka. Pisau-pisau ritual diangkat, mantra-mantra mulai dilantunkan.

Namun, wanita itu melihatnya sebelum yang lain menyadarinya—senyum tipis di wajah pria itu yang memimpin ritual. Senyum yang menandakan pengkhianatan.

Dalam satu gerakan cepat, pria itu menikam dada keenam rekannya. Sihir meledak di sekelilingnya, menghisap energi dari mereka yang berdiri di lingkaran. Jeritan menggema, tubuh-tubuh satu persatu mengering, dimulai dari para tahanan.

Saat semuanya terjatuh, pria itu berdiri di tengah lingkaran ritual. Matanya berkilat, dipenuhi kekuatan baru yang mengalir melalui nadinya. Aura hitam yang dimilikinya berubah semi transparan semakin tidak jelas menandakan dirinya berada di level yang baru.

Wanita itu tetap diam. Ia tahu bahwa pria ini telah berhasil. Ia telah memperoleh kekuatan yang cukup besar.

Pria itu mengangkat wajahnya tertawa sangat puas. Tetapi sebelum ini berakhir untuk pertama kalinya, matanya bertemu dengan mata emas wanita itu.

Kejutan tergambar di wajah Sang Pengamat.

Asap tipis masih bergelayut di udara. Cahaya lilin yang sebelumnya bergoyang liar kini mulai stabil, menerangi dua sosok yang berdiri di tengah ruangan. Mereka saling mewaspadai satu sama lain. Tidak, hanya si pria yang waspada.

Nafas pria itu masih berat setelah ledakan kekuatan yang baru saja ia peroleh. Dia bisa merasakan energinya membara di dalam tubuhnya—lebih kuat, lebih tajam dari sebelumnya.

Namun, di hadapannya, wanita itu tetap diam. Tidak bergerak. Tidak terpengaruh oleh kekuatan yang memenuhi udara.

“Tidak, bukan tidak terpengaruh. Dia tidak peduli.”

Senyap. Tak ada suara selain api lilin yang berderak. Mereka hanya saling menatap, seolah menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu.

Si Pria akhirnya bertanya, “Siapa kau?” suaranya tenang, tetapi penuh kehati-hatian.

Wanita itu tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata emasnya yang tampak seolah menembus jiwanya. Lalu, akhirnya, ia mengangkat dagunya sedikit, seakan menimbang-nimbang apakah ia ingin menjawab atau tidak.

“… Lilist.”

“Michael,” jawab si pria.

Mata hitamnya sedikit membesar. Ia mengenali nama itu. Siapa yang tidak?

Lilist—nama yang terukir dalam sejarah gelap sihir. Nama wanita yang, konon, pertama kali bersekongkol dengan iblis. Seorang pendosa yang ditolak oleh dunia, seseorang yang seharusnya telah lama menjadi abu dalam legenda.

“… itu nama yang menarik,” gumam Michael akhirnya, suaranya tetap tenang.

Lilist hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan sesuatu yang penting. “Mungkin.”

Senyap kembali menyelimuti mereka sebelum Michael melangkah perlahan, matanya tetap terpaku pada Lilist. “Apa kau hanya akan berdiri di sana dan mengamatiku?”

Lilist tidak langsung menjawab. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Itulah yang kulakukan seumur hidupku.”

Michael tertawa kecil, tapi matanya tetap waspada. “Kau mengikutiku dari awal?”

Lilist menggeser pandangannya, melihat tubuh-tubuh yang tergeletak di lantai. Beberapa di antaranya masih mengepulkan asap gelap akibat ritual. Darah mengalir di lantai kayu yang lapuk, bercampur dengan sisa-sisa sihir yang masih tersisa di udara.

“Tidak, hanya dari kota.”

Michael mengikuti pandangan Lilist. “Sepertinya kau sudah terbiasa dengan ini. Kau bermain-main dengan kehidupan orang-orang, melihat mereka mati tanpa berbuat apapun. Bagaimana menurutmu?” dia mengangkat tangannya. “Bukannya, mereka tak punya nilai? Menyembah para iblis haus akan kekuatan.”

“Ya, kebodohan, mungkin,” jawabnya akhirnya.

Michael tertawa lebih keras kali ini. “Kau setuju denganku. Ya, ini bukan sesuatu yang buruk. Mereka pantas mati.”

“Oh?” Lilist menoleh padanya. “Kenapa begitu?”

Michael melangkah lebih dekat, senyumnya melebar. Ia tampak percaya diri, bahkan bangga. “Mereka adalah pecundang. Para pemuja iblis yang lebih mementingkan kepuasan pribadi mengejar kekuatan sejati. Namun, yang mereka dapatkan hanya kekuatan sementara.”

Lilist mengangguk seakan setuju, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Dan kau bukan bagian dari mereka?”

Michael menyeringai. “Aku berbeda. Setiap dari mereka memiliki dosa yang membuatku muak.”

“Hm.” Lilist tidak tampak terkesan. “Kau juga membunuh mereka untuk merebut sihir mereka. Bukankah itu sama saja?”

Michael mengangkat bahunya. “Mungkin. Tapi mereka semua memang pantas mati. Kau tidak keberatan, bukan?”

Lilist menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Apa yang kau pikirkan?”

Jawaban itu membuat Michael terdiam sesaat. Michael mengamati wanita itu lebih dalam. Ada sesuatu yang aneh dalam caranya berbicara, caranya menatap, caranya tidak terpengaruh.

“Di dunia ini masih banyak para penyembah iblis seperti mereka ini. Apa kau ingin terus menjadi seorang pengamat?”

Lilist berbalik dari ruangan tertutup itu dan melihat ke luar pintu. Setiap langkahnya meninggalkan bunyi ringan berirama di atas lantai kayu, menciptakan dentingan lembut seperti ketukan jari di meja.

“Aku telah hidup sangat-sangat lama menyaksikan banyak kehidupan. Tentu, aku tahu dimana mereka. Tapi, aku lebih berantusias melihatmu membasmi mereka. Aku penasaran setelah semua itu apa yang akan kau lakukan?”

Michael menyeringai. “Kau ini sebenarnya apa?”

Lilist hanya tersenyum samar. “Bukankah aku sudah bilang? Aku adalah pengamat. Tidak seharusnya aku berbincang seperti ini.”

Michael paham. “Kalau begitu Lilist, kau tak keberatan aku berbicara sedikit tentang rencanaku, kan?”

Lilist melihat ke arahnya hanya mengangguk pelan memberi isyaratnya untuk melanjutkan.

Michael melangkah ke tengah lingkaran ritual yang masih menyisakan bekas darah. Ia menatap tangannya, merasakan energi baru yang mengalir deras di tubuhnya. “Sihir ini… kekuatan ini… tidak akan bertahan lama, seharusnya. Aku mengumpulkan orang secara spesifik agar saat ritual ini dilakukan, tubuhku pun berubah dan mampu untuk menopang kekuatan besar ini. Aku tahu sihir apa yang mereka punya.”

Michael. Pria itu sudah mengakumulasikan banyak kebencian terhadap para penyembah iblis di bawah kakinya. Dengan wajah jijik dia menghancurkan tulang salah satu penyembah iblis itu.

“Menurutmu bagaimana aku bisa tahu?”

Lilist tidak peduli dan tampaknya Michael belum selesai.

“Aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat sihir apa yang dimiliki seseorang,” kata Michael matanya tertuju pada Lilist.

Lilist melihat balik—memperlihatkan ketertarikannya.

“Lilist adalah nama seorang wanita yang dibakar karena memuja iblis dan membawa petaka ke seluruh negeri bahkan hingga sekarang. Sejak saat itu tidak ada bayi yang di beri nama Lilist. Kecuali para pengagumnya.”

Michael melangkah kakinya. Suara yang ditinggalkannya perlahan menghilang. Dia mulai terbiasa dengan kekuatan barunya.

“Kisah Lilist ditulis setidaknya 15 ribu tahun yang lalu. Kau tidak memiliki sihir yang membuatmu abadi atau berumur panjang. Aku ragu kau hanya pengagum.”

“Itukah pendapatmu?”

Lilist pada akhirnya kecewa. Michael juga merasakan hal yang sama.

“Aku ingin menghancurkan mereka semua,” katanya pelan. “Para penyembah iblis yang selama ini menganggapku hanya alat. Aku sudah membunuh mereka satu per satu… dan sekarang, ada satu target terakhir yang harus kuhancurkan.”

Keberadaannya menghilang tanpa suara sedikit pun. Lalu, muncul kembali di belakang Lilist siap dengan belatinya.

Lilist menyadari hal itu tetapi, tetap diam membiarkan Michael melanjutkan.

Darah kembali mengotori lantai kayu. Namun, itu bukan darah Lilist.

“Aku akan menantimu setelah para penyembah iblis hanya tersisa diriku.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)