Masukan nama pengguna
"Kalo ada mau pinjam enam juta, Mbak. Buat ngeramik lantai masih kurang. Pas dapat gaji tiga belas dibalikin," pinta Yana, adik bungsu suamiku. Ia datang ke rumah bersama suaminya.
Teringat simpanan uang yang rencananya akan digunakan jika sewaktu-waktu ada keperluan. Dibela-belain disimpan dan menunda memperbaiki beberapa bagian rumah yang mulai usang. Masih bisa menunggu, pikirku.
***
"Mbak, maaf belum bisa mengembalikan uangnya. Gaji tiga belas sudah terpakai. Buat bayar sekolahnya Rangga, juga untuk keperluan lain." Yana berujar padaku.
Begitu entengnya Yana berkata. Padahal sebagai ASN di suatu instansi, dia dan suaminya sama-sama dapat. Total yang mereka terima lebih dari enam juta. Mudah saja bagi mereka untuk mengembalikan jika memang membayar utang adalah prioritas.
Tidakkah mereka pikir bahwa kami juga punya keperluan?! Direlakan untuk dipinjam karena yakin akan dikembalikan tepat waktu, saat ia berjanji empat bulan yang lalu. Namun, ternyata .... Ahh, sesak rasanya dada ini.
***
"Ini Mbak, dua setengah juta dulu ya. Baru segitu adanya. Itu juga habis nagih sama Mbak Sarah." Yana menyebut nama saudara kandungnya, adik suamiku yang nomor tiga.
Yana datang ke rumah sepekan setelah kutagih. Ditega-tegakan menagih karena ada kebutuhan mendesak sejak Yana tidak menepati janjinya dua bulan lalu.
Seketika hatiku beristighfar. Sarah hanya ibu rumah tangga. Berjualan apa saja untuk memenuhi kebutuhan. Suaminya sudah lama tidak bekerja karena di PHK. Entah darimana Sarah mendapatkan uang sebesar itu.
***
Lebaran Idul Fitri hari ketiga, aku beserta anak cucu bersilaturahim ke rumah-rumah keluarga besar suami. Setelah sebelumnya, adik-adik suami yang datang ke rumah di hari pertama lebaran.
Setiba di rumah Yana, tampak di halaman depan, terparkir sebuah mobil baru.
Ini kali pertama berkunjung ke sini pasca rumahnya selesai dibangun, karena kesibukan masing-masing. Momen lebaran memang sering dimanfaatkan untuk saling bertemu. Sudah menjadi kebiasaan keluarga, saat berkunjung pertama kali ke rumah saudara yang baru ditempati atau baru dibangun, kami akan melihat-lihat hingga ke bagian belakang rumah. Ikut merasa senang.
Masuk ke dalamnya, aku lebih takjub lagi. Guci hias di ruang tamu, sofa yang empuk, gorden jendela yang tebal dan berat. TV layar datar 32 inchi di ruang tengah. Set meja makan dengan enam kursi di ruang makan. Mejanya diukir sedemikian rupa, dan di atasnya dilapisi kaca tebal transparan.
"Bagus bener Tan meja makannya, hiasannya unik. Ini kayu jati ya, Tan? Berapa harganya, Tan?" Anak bungsuku bertanya pada Yana dengan mata berbinar. Teringat meja makan di rumahku. Hanya meja biasa dari papan tanpa plitur. Kursinya pun kursi plastik yang dibeli terpisah.
"Iya kayu jati. Kredit ini belinya sama teman." Yana menjawab dengan hati-hati. Wajahnya tampak kaget ditanya begitu.
Melihat ini semua, sesak di dada kembali terasa. Bukan ...! Bukan karena aku iri dengan rumah Yana dan isinya, hanya saja ingatanku melayang pada peristiwa setahun yang lalu. Kembali istighfar yang terucap di hati. Jangan sampai sisa utang yang telah kurelakan menjadi ternoda keikhlasannya.