Masukan nama pengguna
Sekian lama kulupa rasanya mencintai, kau menyadarkanku kembali akan rasa itu. Kau yang telah lama kukira pergi, ternyata selalu ada di sini. Di hatiku. Bersembunyi di balik rasa lain yang ada.
Kau selalu masuk lewat mimpi-mimpi di kala tidurku meski tak kupinta. Mengusik kalbu yang telah melupakan. Menguat dalam ingatan.
Hingga waktu mempertemukan kita kembali. Saat ini. Sayangnya ... di waktu yang tak tepat.
Kau tersenyum, kubalas senyum dan anggukan. Sekilas. Kali ini aku tak bisa menangkap sorot matamu, apakah masih sama seperti kala itu, tatapan penuh cinta meski tanpa kata, karena tak ada lagi keberanian untuk menatapmu lebih lama. Hingga kau berkata, "Apa kabar?"
Aku yang sedianya tak menyangka kau akan menyapa, tersentak dan mendongak, dan kita bersitatap. Lama kuterdiam, seolah tersihir kenangan masa lalu. Lantas kalimatmu selanjutnya menyadarkanku dari lamunan yang datang tanpa kusadari.
"Awa, kamu baik-baik saja 'kan?"
"Ba ... baik. Ya, aku baik-baik aja. Alhamdulillah." Aku tersenyum kaku.
Ada aliran hangat yang menjalar, tatkala nama kecilku kau sebut. Panggilan yang hanya keluargaku dan kau saja yang tau. Salah satu hal yang membuatku merasa istimewa, di hatimu. Masihkah aku istimewa bagimu?
Masih teringat saat kau bertanya, "Awa? Kenapa dipanggil dengan nama itu?"
"Itu panggilan sayang dari keluargaku, terutama mama. Tapi jika dipanggil dengan nama depan, apalagi nama lengkap, alamat akan kena ceramah panjang lebar." Aku terkikik. Kau pun tertawa. Sejak itu, kau memanggilku Awa bukan lagi Zahara.
Kita tak pernah ada hubungan, hanya tetangga yang dekat layaknya keluarga sejak kecil. Kerap kali kau berkunjung ke rumah, tapi bukan untukku, melainkan bermain dengan kakakku.
Entah sejak kapan rasa itu hadir. Ia ada, tapi tak ingin ditunjukkan. Menyimpannya dalam diam, tapi aku menikmatinya. Menikmati rasa yang terpendam. Membuatku canggung demi menutupi salah tingkah tiap kali kita berjumpa.
Menjadi tetangga hanya sementara, sebab kau sekeluarga pindah bersamaan dengan pindah tugas ayahmu. Kala itu, saat kita duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Meninggalkanku yang belum terlalu paham dengan rasa kehilangan. Hingga hari-hari berlalu, aku merindukanmu.
"Mas."
Perempuan ayu nan anggun memanggilmu, kau menoleh ke arahnya. Ia mendekat dan bergelayut di lenganmu.
"Salam kenal, saya Nadia, istrinya Bagas." Ia tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya.
"Zahara." Aku tersenyum tak kalah ramah dan menyambut ulurannya.
"Maaa ...."
Seorang gadis mungil berusia dua tahun mendekat dan menarik gamisku. Di belakangnya, lelaki tegap berkacamata yang membuat kecerdasannya makin kentara, berjalan mendekati kami.
Kugendong bocah itu, "Ya ampun, Mama lupa mau ambilin minum buat Alin. Lama ya nunggu sama Papa? Maaf ya, sayang." Kukecup pipinya yang menggemaskan. Lelaki berkacamata tadi telah berada di sampingku.
"Ah ya, kenalkan ini suamiku," ucapku bangga.
Mereka berkenalan. Lalu kami berpamitan. Kau dan istrimu berlalu ke tengah ruangan. Aku dan keluargaku menuju meja makan besar di salah satu sudut ruangan. Acara inti reuni SMP tengah berlangsung.
Ya, kau memang pernah menjadi yang terindah, tapi suamiku adalah lelaki terbaik yang Allah kirim untukku. Dan aku yakin, tak lama lagi hanya suamiku yang seutuhnya di hatiku. Tanpa kamu.