Masukan nama pengguna
Kupandangi wajah pulas suamiku di pembaringan. Setahun sudah ia menemaniku dalam bahtera rumah tangga. Namun, hingga kini masih belum kutemukan jawaban mengapa Allah menjadikan ia jodohku.
Waktu itu, setahun setelah wisuda, ada seorang ikhwan yang ingin ta'aruf. Namannya Ibrah. Aku tidak terlalu mengenalnya. Sedikit yang kutahu, lelaki ramah itu berakhlak baik dan mandiri.
Namun, di hatiku sudah terukir sebuah nama. Arga, teman semasa kuliah yang pendiam dan cerdas. Tidak mudah untuk menghapusnya. Walau sampai saat itu aku tidak tahu tentang perasaannya. Lantas, mencari tahu lewat seorang teman. Tetapi, Arga belum berencana menikah. Belum memikirkan wanita katanya.
Belum memikirkan wanita? Hmm, tentu aku pun tidak ada di hatinya. Iya, 'kan?!
Desakan ibu yang ingin aku segera menikah, membuatku harus secepatnya mengambil keputusan. Jawaban istikharah yang kulakukan adalah menerima Ibrah.
Setelah menikah, aku makin mengenal suamiku. Ia banyak bicara. Tidak pendiam seperti Arga. Lelaki yang ingin kulupakan. Detik di saat kuterima Ibrah, di detik itu pula kuputuskan berhenti mencintai Arga. Berhasil? Tidak semudah itu!
Aku menyukai lelaki pendiam, tetapi Allah memberiku sebaliknya. Semakin sulit membuang rasa yang masih tersimpan untuk Arga.
Hidup bersama seseorang, dengan bayang-bayang lelaki lain tidaklah mudah. Aku kerap kali menangis dalam diam, menahan rindu yang tidak boleh lagi ada. Terisak sendiri di dalam kamar, sambil terus meminta agar Allah menjadikan Ibrah satu-satunya di hatiku, dan membuatku seutuhnya melupakan Arga.
Ibrah yang terkadang lamban, bertolak belakang dengan Arga yang cerdas. Pernah meminta pendapatnya tentang suatu hal, "Bagaimana sebaiknya?" tanyaku setelah menjelaskan.
"Ehmm ...," ia tampak berpikir, "apa tadi?"
Kasar kuhembus napas, "Sudah, lupakan!"
Lantas, bagaimana aku akan jatuh cinta padanya? Mengapa begitu sulit membangun cinta pada orang yang dianggap tidak tepat? Apalagi dengan bayang-bayang lelaki di masa lalu.
Tidak tepat? Bukankah Allah tidak pernah salah memberi?
Sampailah pada tahap aku sangat bersyukur bersuamikan Ibrah. Mungkin jika menikah dengan lelaki lain, aku telah ditinggalkan.
Lima tahun pernikahan, dengan dikaruniai sepasang putra-putri yang cerdas dan aktif, membuatku kerap kali tidak memperhatikan Ibrah.
Aku lupa menanak nasi yang habis setelah menyuapi si bungsu yang berumur dua setengah tahun. Ibrah yang pulang kerja dengan perut lapar, tidak protes sedikitpun. Dikeluarkannya panci rice cooker, dicucinya dan diisinya beras. Telaten ia menanak nasi.
"Maaf, aku lupa."
"Gak papa." Alih-alih marah, ia malah tersenyum.
Kali lain saat pagi-pagi ia harus apel, tapi didapatinya seragam kerjanya masih kusut.
"Kenapa tidak membangunkanku?" tanyaku saat terbangun dan kulihat ia menyetrika pakaian.
"Kulihat kamu sangat lelap. Gak tega kubangunkan. Pasti capek menemani si kecil yang semalaman rewel." Lagi-lagi ia menjawab sambil tersenyum.
Kulihat jam di dinding, jika tidak buru-buru ia akan terlambat apel. Aku bergegas bangun, ingin membuatkannya sarapan.
"Aku sudah makan nasi goreng tadi sebelum mandi. Kubuatkan juga untukmu dan anak-anak."
Tidak hanya itu, ia tidak pernah mengeluh tiap kali pulang kerja menemukan rumah berantakan dan diriku yang kusut masai.
Kejadian itu tidak hanya sekali-dua. Hampir sering. Tidak sedikitpun dipermasalahkannya.
Ya, suamiku bukanlah pria idaman. Namun, ia adalah suami tersabar di dunia. Lelaki terbaik yang Allah kirimkan untuk membersamaiku. Tidak salah jika bertahan untuknya. Membangun cinta walau harus tertatih.