Masukan nama pengguna
Kali ini aku mau bercerita tentang seseorang. Tentang seseorang yang berinisial R. Tidak ... tidak, ini bukan R yang katanya sulit dilupakan sebab dia baik. Bukan pula R, artis yang pernikahannya heboh disiarkan di mana-mana, tapi baru juga setahun sudah melakukan KDRT pada istrinya. Tidak juga R, suami seseartis yang selingkuh. Padahal kurang apa coba istrinya itu. Suaminya saja yang kurang bersyukur.
Upsss, kok malah jadi ghibah berjamaah gini, sih. Ujung-ujungnya malah jadi ngumpulin dosa jariyah, kan. Astaghfirrullah.
Oke, stop. Kalau mau dijabarkan masih banyak inisial R lainnya. Bisa lebih panjang lebar jadinya. Sampai-sampai gegara inisial-inisial R tersebut, netizen +62 yang kreatifitasnya tinggi setinggi awan kelabu itu munculin pepatah baru yang bunyinya "dari inisial R kita belajar". See? Ada-ada saja kan idenya.
So, balik lagi ke inisial R yang mau aku ceritakan. Inisial R yang satu ini beda pastinya, sebab dia istimewa. Dia istimewa karena berhasil merajai hatiku.
R alias Rian. Rian Ferdinan lengkapnya. Anak kedua dari Paman Hadi dan Bibi Utami. Tetangga sekompleks, yang rumah orangtuanya dan orangtuaku hanya dihalangi satu rumah saja.
Dari segi fisik Rian nyaris sempurna. Ah tidak, bukan nyaris, tapi katakanlah sempurna. Berbadan tinggi, tegap, dan kurasa berat badannya seimbang. Kulitnya putih, dan berambut lurus. Kalau melihat wajahnya, pasti semua sepakat menyebut dia tampan.
Namun, kurasa bukan itu yang membuatku jatuh cinta padanya. Entahlah, jangan ditanya karena apa. Sampai sekarang aku sendiri tak tahu mengapa aku mencintainya.
Yaa, Rian pintar. Sering juara kelas di sekolah. Tentu saja bukan bad boy, tapi tak terlalu good boy juga, sih. Meski dia bukanlah orang yang pendiam, tetapi dia juga bukanlah lelaki yang banyak bicara. Setauku begitu. Soalnya, aku jarang ngobrol sama dia. Tapi, terkadang aku tak sengaja mencuri dengar saat kakakku dan beberapa anak tetangga kumpul di rumah, termasuk dia.
Memang aku jarang ngobrol sama Rian, tapi sesekali kami berinteraksi. Menurutku dia sedikit usil terhadapku. Akan tetapi, sepertinya bukan karena hal-hal itu juga dia menjadi bintang di hatiku.
Intinya, jangan kau tanya kenapa dan kapan pastinya aku mulai jatuh hati pada Rian. Sebab, hingga saat ini aku pun tak kunjung temukan jawabannya.
Namun, semua hal tentang Rian, atau lebih tepatnya tentang aku yang ada dianya, adalah hal indah untuk diceritakan.
Pernah suatu kali, waktu kami masih kecil, di belakang rumah aku menemukan seekor anak kucing, lantas aku membujuk si kitten agar mau mendekat dan mau kudekap.
Kemudian Rian muncul, dan berkata, “Kucing lagi ... kucing lagi. Yang lain dooong.”
Aku hanya menoleh sekilas pada Rian, lalu fokus pada kitten lagi.
Kalau diingat-ingat, kok kayak aku nyuekin Rian gitu ya. Padahal aku tak bermaksud begitu. aku hanya tak menyangka Rian akan muncul dan bicara seperti itu.
Belakangan kupikir Rian berucap begitu, sebab beberapa minggu sebelumnya, dia pernah mendapatiku sedang berusaha menangkap anak kucing yang aku temukan berkeliaran di sekitar masjid di kompleks perumahan kami. Atau mungkin juga karena salah satu kebiasaanku adalah memelihara kucing. Entahlah, bisa jadi juga karena kedua hal itu. Hanya dia yang tahu, dan aku tak pernah menanyakannya.
Seingatku, Rian dan aku tak pernah benar-benar mengobrol, tak pernah benar-benar sengaja berinteraksi. Sepertinya aku tak punya keberanian untuk lama-lama berdekatan dengannya. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku mencintainya. Bagaimana kalau aku salah tingkah saat bersamanya?
Akan tetapi, jika dalam keadaan beramai-ramai, misalnya saat bermain bersama anak-anak kompleks, terus Rian juga ikut main, aku bisa bersikap lebih leluasa. Sebab tak hanya berdua, jadi kemungkinan salah tingkah itu bisa tersamarkan.
Ibuku pernah cerita, waktu masih balita--umurku mungkin empat tahun atau bisa jadi kurang dari itu, dan Rian setahun lebih tua dariku--aku pernah menggigit pipinya yang putih bersih itu sampai berdarah. Entah karena apa, ibuku tak terlalu ingat kejadiannya. Apalagi aku, memori tentang peristiwa itu tak tersimpan sama sekali dalam relung otakku.
Yang aku ingat, Rian pernah tak sengaja membuat mulut anak tetangga--Hamzah namanya, sebaya denganku--berdarah. Saat kami sedang bermain bersama, Hamzah sedang memasukkan benda keras, kecil tapi panjang, terbuat dari plastik ke dalam mulutnya. Lalu Rian tiba-tiba lewat dengan sedikit berlari, dan tangan Hamzah tersenggol dengan kuat, menyebabkan benda plastik itu terdorong lebih dalam mengenai gusi atau gigi, atau langit-langit mulut, aku tak tahu pasti. Yang jelas darah segar keluar deras dari mulut Hamzah. Kami semua panik. Termasuk Rian. Tampak jelas juga bahwa dia merasa bersalah dan takut.
Ada lagi saat bermain sembunyi dan mencari. Rian terkadang bertingkah sedikit konyol, misalnya saat teman yang berjaga sedang menyandarkan kepalanya menghadap dinding sembari menutup mata dan berhitung, Rian berjoget-joget di belakangnya sambil berdendang tak jelas.
Namun, pasca kejadian di masjid kompleks di suatu hari, semua kekonyolan dan keusilan yang Rian tampakkan sebelumnya seolah hilang ditelan bumi. Rian berubah, tanpa kutahu apa sebabnya. Aku pun akhirnya bersikap seolah tak peduli padanya. Meski awalnya kupikir rasa yang kupunya hanyalah sebuah cinta monyet. Namun, bertahun-tahun kemudian barulah kusadari bahwa Rian bukan sekedar cinta monyet, tapi dialah cinta pertama itu. Nanti kuceritakan bagaimana detailnya.
Bermula tatkala kejadian sore itu. Seperti biasanya aku dan anak-anak kompleks belajar mengaji dengan Ustadzah Hafsah di Taman Pendidikan Alquran Masjid Al-Hidayah. Masjid yang terletak di tengah-tengah kompleks perumahan.
Ketika Ustadzah Hafsah sedang mengajari satu-persatu santri yang maju ke depan menghadapnya, Rian—seingatku masih berumur sebelas tahun—yang sedang menunggu giliran di tempat duduk belakang sebelah kanan, tanpa aku ketahui melempar pensil ke arahku yang duduk di bagian kiri, dua baris di depannya.
Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Mengambil pensil yang baru saja mengenai pundakku. Lalu melihat ke sekeliling, mencari si pelaku.
Tepat ketika netraku mengarah pada Rian, kulihat ia cengar-cengir.
“Kembalikan pensilku.” Rian meminta padaku. Masih dengan tersenyum-senyum kecil.
Aku memasang wajah cemberut. Mengapa Rian melampar pensil ke arahku? Apa ia sedang menggodaku? Sebenarnya aku cuma pura-pura cemberut, agar ia tak tahu tentang perasaanku terhadapnya.
“Ayo, kembalikan pensilku!” Rian mengulang permintaannya, atau lebih tepatnya memberi perintah.
“Kenapa harus aku balikin? Kamu yang sengaja ngelempar.” Aku pura-pura marah.
“Balikin, tidak?” tegasnya lagi.
“Tidak!”
“Yang memegang pensilku, besar nanti akan menjadi istriku!” Rian mengatakannya dengan lantang dan mantap.
Aku tersentak, mataku terbelalak.
“Hei, ngomong apa itu?!” Suara Ustadzah Hafsah terdengar dari arah depan.
Spontan aku melempar pensil ke arah Rian, bersamaan dengan teguran yang Ustadzah Hafsah lontarkan.
Rian kembali cengar-cengir dengan wajah tanpa dosa.
Apa maksud Rian ngomong begitu? Masih kecil juga sudah ngomongin istri segala. Apa itu pertanda Rian juga suka sama aku? Ahh, tak mungkin.
Aku memang pura-pura tak suka mendengar kalimat yang Rian ucapkan barusan. Padahal hatiku kembang-kempis, berbunga-bunga tiada tara. Tapi, aku juga tak ingin segera menyimpulkan bahwa Rian juga punya perasaan yang sama. Bagaimana jika aku salah? Rian kan memang suka usil.
Nah, sejak kejadian itulah sikap Rian tak lagi sama terhadapku. Esoknya saat bertemu, Rian tak asyik lagi seperti biasa. Dingin, kaku, seolah ... entahlah. Sulit kumaknai. Pun seterusnya, Rian seperti membangun dinding pemisah di antara kami.
Aku yang waktu itu--bahkan hingga kini--tak mengerti apa yang terjadi, membalas sikap Rian dengan acuh tak acuh. Kadang aku bertanya pada hati ini, mungkinkah Rian menyesal telah berujar demikian? Karena itukah dia akhirnya menghindariku? Apakah dia menjadi ilfeel padaku?
Beberapa hari berikutnya, aku datang ke rumah orang tua Rian karena ada keperluan, disuruh oleh ibuku. Setelah mengetuk pintu sambil mengucap salam, pintu terbuka dan muncul Paman Hadi.
“Eh, Shafirah.” Sapa Paman Hadi setelah menjawab salam yang kusampaikan.
“Iya, Paman.”
“Riaannn …! Ada Shafirah nyariin.” Spontan Paman Hadi berteriak memanggil Rian sambil melongok ke dalam. Aku terkejut.
“Riaannn …!” Paman Hadi mengulangi, sebab Rian tak kunjung muncul. Bahkan menyaut pun tidak.
Duh, Paman Hadi kenapa manggil Rian segala. Aku kan tak ada perlu sama Rian. Tempo hari Rian di Masjid bertingkah aneh. Sekarang Om Hadi. Tak biasanya begitu. Apa menurutmu juga aneh?
Di lain waktu, pernah suatu kali, aku, Rian, juga beberapa anak sekompleks main bersama di rumah tetangga. Rumah paling ujung yang sederet dengan rumah orangtuaku dan orangtua Rian. Rumah Wak Nani. Beliau punya anak lelaki yang kreatif, umurnya dua tahun lebih tua dariku. Kami memanggilnya Kak Jamal.
Kak Jamal mengajak kami bermain peran. Kak Jamal menjadi ayah, Rian menjadi ibu, dan aku serta beberapa anak lainnya menjadi anak-anaknya mereka.
Selama bermain, Rian selalu memasang wajah datar cenderung dingin. Terutama terhadapku, bahkan dia sama sekali tak pernah menatapku langsung. Rian lebih banyak diam, hampir tak bersuara jika tanpa diminta. Bahkan saat Rian sebagai ibu yang sedang mengandung lantas melahirkan, terasa lucu bagi kami, hingga kami semua tertawa. Namun, Rian diam saja. Aku merasa Rian tak menikmati peran itu. Dia ada di sana, tapi seolah pikirannya entah ada di mana. Padahal Rian sejak awal setuju tanpa dipaksa memainkan peran ibu. Kalau dulu, dia pasti tertawa paling lucu dan lepas.
Begitu pun saat aku tak sengaja bertemu dengan Rian di samping kiri rumah Wak Nani yang dijadikan warung. Rian yang datang kemudian setelah aku, enggan masuk ke dalam warung sebab aku masih di sana. Rian hanya berdiri di luar, sekira satu meter dari etalase warung. Pandangannya datar dan dingin, dan tak pernah ia arahkan padaku. Selalu melihat ke arah lain. Dia diam saja, lalu akan menjawab sepatah-dua patah kata jika ditanya.
Hingga akhirnya kesibukan sekolah memisahkan kami. Meski satu tempat saat di sekolah menengah, tapi perbedaan kelas membuat kami jarang bertemu. Juga di kompleks perumahan, aktivitas pelajar yang cukup padat membuat kami tak lagi sering bermain bersama seperti di kala sekolah dasar.
Di pagi hari, tatkala berangkat sekolah, menunggu angkot di pinggir jalan nyaris tiap hari aku, Rian, juga anak-anak kompleks sebaya lainnya lakukan. Berebut lebih dulu menaiki angkot saat kendaraan umum roda empat itu berhenti di depan kami. Meski tanpa direncanakan, aku dan Rian sering kali menunggu bareng, tanpa sapa, hanya saling tatap, sekilas, ketika tak sengaja pandangan kami bertemu. Begitu pun jika menumpangi angkot yang sama, sepanjang perjalanan tak saling bicara. Walau riuh suara anak-anak bersenda gurau.
Di sekolah, sudah menjadi rahasia umum bahwa Rian tengah berpacaran dengan cewek cantik, modis, berkulit putih mulus, dengan tubuh semampai, dan berambut indah. Jika dibandingkan denganku, maka aku seolah kerupuk yang disiram air. Namun, setahuku hubungan Rian dengan pacarnya itu tak berlangsung lama, dalam masa SMP maupun SMA, entah sudah berapa kali dia pacaran. Dan pacar-pacarnya itu mempunyai penampilan yang sama. Cantik dan berkelas. Sungguh kebalikan dari diriku. So, mana mungkin Rian pernah punya rasa padaku, bukan? Jelas, kalimat ajaib yang dia ucapkan di TPA masjid sore itu adalah keusilan belaka. Jadi, tak pantas untukku masih berharap.
Hari-hari berlalu, waktu di SMP aku mengenal seorang kakak kelas baik hati yang sangat perhatian padaku. Sebut saja namanya Kak M. Kak M mempunyai postur tubuh tinggi dan putih seperti Rian, tapi lebih kurus. Orangnya ramah dan langganan juara kelas. Kalau bicara, hanya kata-kata bijak dan keoptimisan yang ia ucapkan. Sikapnya sangat dewasa. Ia juga aktif berorganisasi. Di OSIS, ia menjabat sebagai ketua. Aku jatuh cinta padanya.
Belakangan ku ketahui, ia baik dan ramah bukan saja padaku, tapi begitulah sikapnya pada semua orang. Perhatian yang ia berikan padaku, tak lebih dari seorang kakak pada adiknya. Namun, aku kadung mencintainya, dan itu tak berubah meski kutahu aku tak istimewa baginya. Setidaknya begitulah yang kupikir saat itu. Perasaan cinta yang telah menggeser posisi Rian di hatiku. Begitu mudahnya aku melupakan Rian. Yaa, tentu saja, sebab Rian hanyalah cinta monyet bagiku. Sedangkan Kak M adalah cinta pertama. Kala itu, begitu pikirku.
Hingga kusadari, Rian bukanlah sekedar cinta monyet, tapi dialah cinta pertama itu. Pantas saja, di saat kurasa hatiku telah lupa pada Rian, sebab telah ada cinta yang lain, tapi tiap kali aku dan Rian bertemu, aku selalu merasa dada ini seolah ada yang menekan. Tertahan. Terhimpit. Dulu kukira itu tak berarti apa-apa. Ternyata telat kusadari, Rian tak pernah hilang dari hati ini. Rasaku padanya hanya bersembunyi di balik rasa lain yang ada.
Mungkin saja rasa yang ada pada Kak M adalah euforia atas kebaikan dan perhatiannya padaku. Bisa jadi hanyalah fatamorgana dari rasa kagumku padanya, yang telah salah kumaknai sebagai cinta. Ataukah benar adalah cinta, tapi di kala kuberhasil melupakannya, menyebabkan rasaku pada Rian kembali ke permukaan? Entahlah.
Namun, yang pasti di saat kupinta pada Tuhan agar membuatku melupakan cintaku pada Kak M, aku begitu yakin dan benar-benar ingin rasaku padanya kembali biasa. Namun, tidak pada Rian. Itu tak berlaku. Aku ... tak pernah benar-benar meminta untuk lupa akan perasaanku pada Rian. Aku membiarkannya begitu saja. Menyerahkan pada waktu. Walau belakangan aku sadar, aku ingin Rian tetap ada di sini, di hatiku. Meski sikapnya seolah menjauh, tak menginginkanku.
Aku pernah melihat Rian merokok. Satu hal yang paling tak kuinginkan ada pada jodohku kelak. Anehnya, tak menimbulkan efek apa-apa akan rasaku pada Rian. Cinta yang ada tetap sama, tak berkurang sedikitpun. Tak berpengaruh. Orang-orang bilang itulah sebenarnya cinta. Cinta tanpa syarat. Bahkan hingga kini tak kutemukan satu pun alasan kenapa aku jatuh cinta padanya.
Ahh, satu lagi. Hampir saja aku tak ingat. Kejadian saat di SMA, tentu saja ketika aku belum menyadari bahwa Rian masih ada di hatiku, dan masih tertanam kuat di dasarnya.
Kala itu, masa di mana aku dalam tahap ingin melupakan Kak M. Kakak kelas di SMP yang kukira telah membuatku jatuh cinta. Kau masih ingat kan ceritaku di atas. Nah, dalam masa ingin melupakan Kak M, tanpa diduga aku naksir seseorang, satu tingkat di atas kelasku.
Berawal dari guru Agama Islam yang selalu memuji-mujinya setiap mengajar di kelas. "Ibu kagum sekali sama A (sebut saja begitu), kakak kelas kalian dari kelas 2.6. Orangnya pintar, soleh pula. Nilai agama Islamnya di raport, nyaris sempurna." Entah yang keberapa kalinya, Bu Nana selalu mengucapkan hal itu, dengan kalimat yang hampir sama, di sela-sela beliau mengajar.
Aku yang sudah tidak bisa menahan rasa penasaran, selesai Bu Nana mengisi kelas, aku langsung bertanya pada Wati, teman sebangkuku. A yang mana yang dimaksud oleh Bu Nana.
"Masa’ tidak tau Rah? Itu tuh, kakak kelas yang waktu acara maulid nabi ikut ngasih pidato, mewakili OSIS,” jawab Wati antusias.
Ingatanku melayang ke acara maulid nabi tempo hari. Ahh, jadi kakak itu. Manis juga orangnya. Jadi Kakak itu bernama A, dan sebegitu mengagumkan. Aku seketika tersenyum.
Kak A, lelaki soleh dan pintar. Berpostur sedang, dengan kulit coklat, berambut hitam lurus yang senantiasa diminyaki. Ia bukan cuma manis, tapi manisnya itu sungguh menawan. Kak A tak setinggi Rian, tapi untuk ukuran laki-laki, Kak A mempunyai tinggi yang standar. Ia adalah seorang bintang yang dikagumi para siswi.
Namun, malangnya karena kecerobohanku, perihal diriku yang naksir Kak A tersebar seantero kelasku, bahkan hingga ke kelas ia. Ternyata gayung bersambut, Kak A pun menunjukkan ketertarikan padaku. Suatu hal yang sangat membanggakan sebenarnya.
Lagi-lagi, aku yang gengsian tak berani mengakui kebenaran itu. Aku menghindar, bersikap seolah kabar tersebut tidak benar. Terlebih Kak A adalah teman sekelas Rian. Bukan hanya sebangku, tapi lebih dari itu, Rian dan Kak A sahabat karib.
Pernah saat aku dan saudaraku akan berangkat sekolah, kami berpapasan dengan Rian. Tanpa diduga Rian bertanya pada saudaraku apakah akhir-akhir ini aku sering menunggu telepon? Saat itu belum ada telepon seluler, hanya ada telepon rumah. Saudaraku tanpa ragu mengiyakan pertanyaan Rian, tapi dengan cepat kubantah, walau sebenarnya saudaraku berkata benar. Rian bilang, Kak A pernah meminta nomor telepon rumahku pada Rian. Tentu saja lelaki usil itu berikan. Dan beberapa hari sebelumnya, teman sekelasku yang juga aktif di OSIS, memberitahu bahwa Kak A akan meneleponku.
Aneh memang, mengapa aku gengsi mengakui perasaanku pada Kak A, terlebih pada Rian? Padahal kala itu aku tak ada rasa apa pun lagi pada lelaki usil itu. Begitu pikirku. Namun, tentu saja itu terjadi sebelum ku menyadari kebenaran yang ada. Seperti yang kukatakan tadi, belakangan baru kusadari bahwa Rian tak pernah pergi dari hati ini. Dia ada, bahkan selalu ada. Dia hanya bersembunyi di balik rasa lain yang muncul.
***
Beberapa tahun berlalu, aku dan Rian sama-sama melanjutkan studi di universitas yang berbeda, di provinsi yang tak sama. Seperti biasa, saat libur semester, aku pulang kampung.
Siang itu, selepas zuhur, aku disuruh ibu ke warung. Tatkala melewati masjid kompleks, terlihat satu persatu orang keluar dari masjid. Tampak pula di depan masjid Rian sedang mengobrol dengan Kakakku. Aku berjalan melewati mereka, dan pandanganku tak sengaja tertuju pada Rian. Bersamaan dengan itu, Rian menoleh ke arahku hingga kami bersitatap. Tetapi hanya berlangsung sekilas. Rian kembali menyimak kakakku yang sedang bicara. Aku pun memalingkan muka dan terus saja berjalan menjauhi mereka.
Aku sedikit penasaran dengan yang mereka obrolkan, tapi menurutku itu pasti sesuatu yang tak penting bagiku. Tentu saja Rian hanya diam melihatku tanpa menegur. Aku tak terlalu menghiraukan hal itu. Walau tak kupungkiri gelenyar aneh masih saja menghampiri ketika berjumpa Rian.
***
Puluhan purnama telah berlalu. Saat yang kutunggu-tunggu datang juga. Hari bersejarah. Kenangan yang tak kan terlupakan seumur hidupku.
"Aku terima nikah dan kawinnya Shafirah Aulia binti Zulkifli Hasan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana saksi, sah ... sah?" Pak Penghulu menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Sah."
"Saaahhh!" Serentak para tamu undangan yang memenuhi masjid, berseru.
Bulir bening menggenang di pelupuk mata tanpa diminta. Tiba-tiba, bersamaan dengan rasa membuncah di dada. Prosesi akad nikah usai sudah.
Orang tua, keluarga, para tamu satu-persatu mengucapkan selamat dan mendoakan. Termasuk ... Rian.
"Rah, selamat ya," ucapnya. Ada senyum tipis di wajahnya yang tampak sendu.
Lagi-lagi, dadaku terasa ada yang menekan. Tertahan. Sesak.
Inikah akhirnya, akhir dari rasaku pada Rian? Rasa yang selalu ada. Rasa yang sama, dan masih saja sama.
***
Tahun-tahun pun berlalu. Rian telah bahagia dengan istri dan sepasang anak. Yang laki-laki tampan seperti dia, sedang yang perempuan cantik seperti mamanya. Aku pun hidup penuh kesyukuran bersama keluarga kecilku, anugerah yang telah Allah beri.
Sesekali aku masih bertemu dengan Rian, tatkala kami berkunjung ke rumah orangtua masing-masing. Bertegur sapa seadanya, berinteraksi sekenanya.
Tentang rasa yang kupunya? Aku memilih berdamai. Aku tak meminta Tuhan untuk menghapusnya. Biarlah rasa itu pergi dengan sendirinya, aku serahkan sepenuhnya pada Sang Pemilik Hati. Biarkan skenario Allah yang bermain.
Soal bagaimana sebenarnya perasaan Rian padaku, jangan kau tanya. Sebab hal itu pun masih menjadi misteri bagiku hingga kini.
Satu hal yang pasti, aku berteman dengan orang tua dan semua saudaranya di sosial media tertentu. Namun, tidak dengan Rian. Aku ... tak pernah berani meng-add dia. Aku hanya tak siap jika dia mengabaikan permintaan pertemanan itu.
Hingga beberapa minggu belakangan ini, aku baru menyadari—tanpa sengaja—ada satu akun khusus tentang budidaya sesuatu—tak perlu kuberitahu nama akunnya, biar aku dan Tuhan saja yang tahu ya, hehe—yang kuketahui dipegang oleh Rian, jika memang tebakanku ini tak salah. Setidaknya dari apa yang aku lihat di akun tersebut, pun berdasarkan info dari ayahnya, aku yakin akun tersebut Rian yang menggunakan.
Aku yang waktu itu penasaran sejak kapan akunku berteman dengan akun tersebut, karena rasa-rasanya aku tak pernah meminta pertemanan, lantas bergegas mengecek. Hmm, sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Ternyata ....
***
Oke, cukup sekian dulu ya cerita kali ini. Semoga kalian suka :)