Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,427
Tanpa Kantor, Tanpa Takut
Aksi

Suatu hari, datang seorang wanita tua bernama Mak Yati. Matanya sembab. Ia baru saja diusir dari rumahnya sendiri oleh keponakannya yang mengklaim warisan, lengkap dengan akta hibah yang katanya ditandatangani almarhum suami Mak Yati.

“Pak Ari, saya nggak tahu hukum. Tapi saya tahu tulisan almarhum suami saya. Itu di akta itu, bukan tulisannya. Bapak bisa bantu saya?”

Ari tak langsung menjanjikan kemenangan. Ia menjanjikan perjuangan yang jujur.

Dalam proses penyelidikan, Ari tak membawa kliennya ke kantor hukum besar. Ia hanya membawa mereka ke ruang persidangan dengan hati teguh.

Dengan bantuan ahli forensik tulisan tangan, Ari membuktikan bahwa tanda tangan di akta hibah itu dipalsukan. Bahkan, ia menemukan bahwa saksi dalam akta tersebut ternyata adalah pegawai kelurahan fiktif.

“Yang membuat akta mungkin berpikir hukum hanya soal kertas. Tapi saya di sini karena saya tahu hukum itu soal kebenaran.”

Hakim mengetuk palu. Warisan itu dikembalikan ke Mak Yati. Keponakannya dijatuhi sanksi hukum atas pemalsuan dokumen.

Usai sidang, Mak Yati menangis sambil menggenggam tangan Ari.

“Pak, Bapak nggak punya kantor, tapi Bapak pulangkan rumah saya. Kalau Tuhan izinkan saya hidup lebih lama, saya doakan Bapak terus.”

Karena tak punya kantor permanen, Ari mulai membuka jadwal konsultasi keliling. Terminal, taman kota, warung kopi. Ia memberi pengumuman di media sosial:

“Temui saya di Terminal Selatan, bangku hijau pojok, pukul 10 pagi – 1 siang. Gratis untuk yang sedang berjuang.”

Dari situlah ia bertemu Dian, mahasiswa hukum tingkat akhir yang kehilangan semangat karena realita hukum yang korup. Tapi saat melihat Ari yang tetap membela tanpa sokongan lembaga besar, Dian memutuskan jadi asisten sukarela.

“Aku kira pengacara itu harus punya gedung besar, relasi kuat, dan klien kelas atas.”

Ari tersenyum, “Nggak, cukup punya logika, integritas, dan niat nggak takut susah.”

Sebuah kasus besar menghampiri. Ari diminta membela seorang warga desa yang menggugat perusahaan tambang karena merusak sumber mata air.

Gugatan rakyat kecil terhadap perusahaan besar? Bagi banyak pengacara, itu pekerjaan bunuh diri.

Tapi Ari tak goyah. Meski ia tahu risikonya.

Dan benar saja, dua hari setelah sidang pertama, rumah kontrakannya dilempar batu. Laptopnya disabotase. Bahkan ia diikuti saat malam.

Namun Ari tetap datang ke pengadilan, hanya berbekal berkas fotokopi dan saksi warga.

Ia mengutip dalam pleidoinya:

“Kantor saya tidak mewah. Tapi saya punya keyakinan bahwa air bersih bukan hak eksklusif. Kalau tanah mereka digerus, suara mereka akan menggema di sini.”

Perjuangan itu berlangsung delapan bulan. Akhirnya, pengadilan memenangkan gugatan warga. Perusahaan diperintahkan membangun kembali sistem irigasi dan membayar ganti rugi lingkungan.

Sejak itu, Ari dikenal juga sebagai: "Pengacara yang Tidak Bisa Dibeli."

Ari tahu tak semua orang bisa datang ke pengadilan. Tapi semua orang bisa belajar tentang hukum.

Setiap Sabtu malam, ia menggelar kelas hukum rakyat di pinggir jalan. Pakai proyektor bekas dan spanduk kain, ia mengajar warga soal:

Cara menolak tanda tangan dokumen yang tidak dipahamiHak saat diperiksa polisiCara menghadapi sengketa tanah

Ia membuat video pendek berjudul “Hukum Itu Bukan Milik Sarjana Saja” dan mengunggahnya ke media sosial.

Tak lama, kanal YouTube-nya tembus 100 ribu pelanggan.

Yang lebih hebat? Banyak dari penontonnya adalah para korban hukum yang akhirnya berani bersuara.

Suatu hari, Ari menerima surat dari seorang jaksa muda:

“Saya dulu hanya melihat Anda sebagai pengacara tanpa kantor. Tapi setelah menyaksikan pembelaan Anda dalam kasus tambang, saya sadar: kantor hukum bukan di gedung, tapi di hati masyarakat.Terima kasih telah mengingatkan saya mengapa saya masuk ke dunia hukum.”

Di suatu pagi, seorang wartawan bertanya, “Pak Ari, kapan buka kantor tetap?”

Ari menjawab pelan:

“Saya sudah punya kantor, Mas.Namanya kepercayaan. Letaknya di hati orang-orang yang tak punya siapa-siapa.Dan setiap kali saya membela dengan tulus, kantor itu makin besar—meski tak pernah terlihat.”

Suatu sore di taman tempat Ari biasa membuka konsultasi hukum terbuka, datang seorang anak muda lusuh, menggenggam map plastik.

Namanya Iqbal — 17 tahun, anak seorang tukang sapu jalan. Matanya tajam, wajahnya keras kepala, dan langkahnya ragu-ragu.

“Pak... saya nggak butuh pengacara, saya butuh keadilan.”

Ari menatapnya penuh minat.

“Apa yang kamu alami, Bal?”

Iqbal mengeluarkan selembar surat panggilan polisi dan beberapa dokumen berserakan. Ia dituduh mencuri laptop di sekolah tempat ia menjadi cleaning service magang. Padahal, laptop itu ditinggalkan begitu saja oleh siswa kaya yang kerap menghina dan mempermalukannya.

“Kata dia saya maling. CCTV-nya katanya rusak. Saya diminta mengaku, tapi saya nggak mau.”

Ari membaca pelan dokumen itu. Hatinya langsung tertarik. Ini bukan sekadar perkara kecil. Ini perkara sistem yang melihat status sosial, bukan fakta.

Ari tahu kasus ini rumit karena tekanan sekolah, polisi, bahkan orang tua siswa kaya yang “menyumbang besar” ke yayasan.

Tapi Ari berkata pada Iqbal:

“Selama kamu jujur dan tidak mencuri, saya akan berdiri di depan kamu. Kita tidak perlu takut, karena kebenaran akan berdiri paling akhir — meski tertatih.”

Di ruang sidang, Ari tidak hanya berargumen hukum. Ia membawa kehidupan nyata ke dalam ruang pengadilan:

Ia menunjukkan bukti bahwa Iqbal sedang bertugas menyapu saat laptop dinyatakan hilang.Ia menghadirkan saksi penjaga sekolah yang melihat siswa kaya itu keluar kelas membawa laptop.Ia bahkan menghadirkan bukti bahwa siswa tersebut pernah kehilangan ponsel dan menuduh temannya sendiri.

Lalu Ari bicara lantang:

“Kalau sistem pendidikan melatih anak menindas yang lemah, maka kita tidak sedang mencetak pemimpin, tapi penindas berseragam.”

Putusan dibacakan.

Iqbal dibebaskan dari semua tuduhan. Hakim bahkan menyarankan agar penyelidikan internal dilakukan terhadap pihak sekolah.

Usai sidang, ayah Iqbal — Pak Syamsul, si tukang sapu jalanan — berlutut menangis di kaki Ari.

“Saya nggak bisa balas jasa Bapak. Tapi saya tahu, hari ini anak saya bisa tetap punya harga diri karena Bapak.”

Ari memeluknya dan berkata:

“Pak, saya ini anak orang biasa juga. Kita cuma beda kesempatan, bukan derajat.”

Setahun setelah kasus itu, Ari menerima undangan khusus. Iqbal lulus dari SMA dengan beasiswa penuh dan diterima di Fakultas Hukum terbaik di Indonesia.

Salah satu esai pendaftarannya berjudul: “Saya Tidak Mau Jadi Korban Sistem Lagi. Saya Ingin Jadi Bagian dari Solusinya.”

Ari membaca esai itu sambil berlinang.

Ari tidak punya kantor, tapi setiap minggu ia mengajar di jalan, menulis konten edukasi hukum di papan tulis portable, dan mengunggah ke media sosial.

Ia bukan pengacara terkenal di televisi, tapi namanya bergaung di ruang-ruang kecil rakyat.

Ia tak pernah menjual prinsip demi proyek besar.

Ia tak punya papan nama, tapi punya ribuan hati yang menyebut namanya dalam doa.

Suatu malam, Ari mendapat surat tulisan tangan dari seseorang tak dikenal:

“Pak Ari, saya dulu anak jalanan. Saya lihat video Bapak soal ‘Hukum Bukan Untuk Orang Kaya Saja’. Sejak itu saya berhenti mencopet. Saya sekarang kerja bersih-bersih di kafe. Terima kasih, Pak. Karena Bapak, saya percaya saya juga punya tempat di negara ini.”

Ari terdiam lama. Ia menatap langit-langit kontrakannya. Tak ada yang berubah secara fisik.

Tapi ia tahu, hatinya telah membangun kantor terindah: sebuah rumah bernama harapan.

Tahun berikutnya, ia menangani kasus pemecatan sepihak terhadap buruh perempuan hamil.

Lalu, kasus guru honorer yang diperas agar lulus seleksi.

Semua tanpa bayaran. Semuanya ia menangkan.

“Kenapa Bapak selalu menang?” tanya seorang wartawan lokal.

Ari tertawa kecil.

“Karena saya cuma bela yang benar. Kalau sudah benar, yang saya hadapi cuma waktu.”

Kini, meski tetap tinggal di rumah kontrakan, setiap hari ada saja yang datang. Bukan untuk konsultasi saja. Tapi untuk belajar, untuk menyumbang, untuk ikut jadi relawan.

Ada mural kecil di tembok belakang rumah Ari, lukisan buatan warga desa:

🎨 Gambaran meja kayu, spanduk putih bertuliskan: “Kantor Hukum Rakyat – Buka 24 Jam di Hati Kalian.”

Dan di bawahnya:

“Pengacara Ari – Membela Tanpa Gedung, Menang dengan Kebenaran.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)