Masukan nama pengguna
Namanya Bu Marni, seorang ibu penjual lontong sayur di sudut terminal kecil di kota pinggiran. Suaminya sudah lama meninggal, dan ia membesarkan anak semata wayangnya, Rino, seorang remaja kelas 3 SMA yang rajin dan bercita-cita menjadi guru.
Sampai suatu hari, hidup mereka berubah.
Rino ditangkap polisi karena dituduh mencuri laptop seorang pejabat dinas pendidikan yang kebetulan sedang inspeksi ke sekolahnya. Laptop itu berisi data penting dan rahasia negara, katanya. Tuduhan berat. Ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Satu-satunya bukti: rekaman CCTV kabur dari ruang guru.
Rino menangis. “Saya gak pernah masuk ruang guru. Saya cuma numpang ngecas HP di koridor.”
Tapi polisi bersikeras. Dan karena Bu Marni buta hukum, tak mampu bayar pengacara, mereka hanya bisa pasrah.
Hingga Bu Marni menulis surat.
Surat itu ditulis dengan ejaan sederhana, tinta pulpen biru yang mulai pudar. Surat yang ia kirim ke kantor hukum milik Pengacara Ari.
“Pak Ari yang terhormat,Saya cuma ibu penjual lontong. Saya gak ngerti hukum. Tapi anak saya gak mungkin maling. Dia gak bisa bohong. Tolong... Kalau Bapak gak sempat, gak apa-apa. Saya cuma ingin anak saya punya harapan.”Ari membaca surat itu di malam hujan.
Dan tanpa ragu, esok paginya, ia pergi ke penjara kota untuk menemui Rino.
Rino adalah anak pendiam. Matanya sembab, tapi ia bicara dengan sopan dan jujur. Ia tidak tahu bagaimana caranya membela diri, apalagi menghadapi aparat.
“Bapak guru itu sering marah kalau siswa main HP di sekolah. Tapi saya nggak curi apa-apa, Pak. Saya takut banget...”
Ari mengangguk. “Kita akan mulai dari nol. Biar saya yang hadapi mereka.”
Ari langsung bergerak.
Ia menelusuri rekaman CCTV lengkap dari semua lorong sekolah. Di satu kamera yang tidak diambil polisi, ada satu sosok lain—seorang petugas cleaning service muda yang masuk ke ruang guru lebih dulu. Namanya Eko, lulusan SMP yang dipekerjakan sekolah lewat outsourcing.
Namun, Eko sudah tidak masuk kerja sejak kejadian.
Ari menelusuri Eko hingga ke kampungnya di pinggiran kota. Dan di sana, ia menemukan kenyataan: Eko sedang merawat ibunya yang sakit stroke. Dan akhirnya mengaku.
“Saya khilaf, Pak. Saya buka laptop itu buat dijual. Saya takut... Makanya saya kabur.”
Ari tidak marah. Ia hanya menepuk bahu Eko dan berkata, “Jujur itu langkah pertama dari penebusan.”
Eko setuju untuk menyerahkan diri, dengan syarat: Ari menjadi pengacaranya juga.
Di ruang sidang, banyak orang hadir. Para guru yang dulu memarahi Rino. Wartawan lokal yang menulis headline kejam: “Siswa Pencuri Laptop, Anak Penjual Lontong Dijerat Pasal Berat.”
Ketika Eko berdiri dan mengaku, semua mata membelalak. Ia mengaku di depan hakim, menceritakan tekanan hidup, dan bahwa Rino tidak tahu apa-apa.
“Kalau saya diam, orang baik bisa hancur,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Hakim terdiam lama. Jaksa bahkan menunduk.
Dan akhirnya, putusan dibacakan.
“Terdakwa Rino dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan seketika.”Tangisan terdengar di sudut ruang. Bu Marni langsung berlari memeluk anaknya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menangis keras, hingga lututnya lemas.
Ari berdiri jauh. Tidak ikut menangis. Tapi senyum tipis di wajahnya cukup menjelaskan segalanya.
Beberapa bulan kemudian, sebuah surat datang ke kantor Ari.
Tulisannya sama. Ejaan sederhana. Tapi kali ini, tinta tidak luntur.
“Pak Ari...Terima kasih sudah percaya sama anak saya.Rino sekarang diterima jadi relawan mengajar anak-anak jalanan.Kata dia, ingin jadi seperti Bapak.Katanya: ‘Kalau aku besar nanti, aku juga mau bela orang yang gak ngerti cara melindungi diri.’Terima kasih, Pak. Saya gak bisa balas apa-apa.Tapi saya doakan, Allah sendiri yang jaga Bapak.”Ari menutup surat itu perlahan.
Lalu menatap keluar jendela. Di luar, hujan turun pelan. Sama seperti malam saat ia pertama kali membaca surat dari seorang ibu yang hanya ingin satu hal dalam hidupnya: keadilan untuk anaknya.
Dan karena satu surat itu, seorang anak diselamatkan.
Dan seorang pengacara kembali percaya, bahwa harapan bisa datang dari hal-hal sederhana.
Beberapa bulan setelah kasus itu berakhir, warung kecil Bu Marni di terminal mulai ramai. Bukan hanya karena lontong sayurnya yang enak, tapi karena kisah di baliknya sudah tersebar ke mana-mana.
Di atas gerobak kayunya, terpampang spanduk sederhana bertuliskan:
“Lontong Keadilan – Dulu kami nyaris kehilangan segalanya, sekarang kami berikan harapan lewat rasa.”Banyak yang datang hanya untuk sekadar membeli, tapi tidak sedikit pula yang ingin bertemu langsung dengan Bu Marni dan mendengar kisahnya. Beberapa dari mereka bahkan menitipkan amplop, membeli lebih dari yang mereka makan, lalu berkata dengan senyum:
“Ini untuk Bu Marni, buat terus semangat ya, Bu. Rino anak baik.”Suatu hari, seorang pemuda dengan pakaian rapi turun dari mobil dan membeli seporsi lontong. Ia memperkenalkan diri sebagai produser konten sosial.
“Bu, saya boleh nggak bikin video tentang kisah Ibu dan Rino? Banyak orang perlu tahu kalau keadilan masih mungkin ditemukan di negeri ini…”
Bu Marni tersenyum. Ia tidak terlalu paham soal konten, tapi ia mengangguk.
Dan beberapa hari kemudian, kisah itu viral. Cuplikan tentang Rino, pengacara Ari, dan pengakuan Eko ditonton jutaan kali. Netizen menyebut Ari sebagai “Pengacara Rakyat”, dan Rino sebagai “Pemuda yang tak kehilangan harapan.”
Kini Rino tidak hanya mengajar anak-anak jalanan. Ia menjadi koordinator komunitas belajar gratis di empat lokasi berbeda. Ia menggunakan bekas garasi, taman kota, dan teras masjid sebagai ruang kelas darurat.
Setiap minggu, ia membawa papan tulis kecil, spidol, dan modul belajar yang ia buat sendiri. Ia mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, dan... Hukum Dasar untuk Anak Muda.
“Supaya kalau suatu hari kalian difitnah atau diintimidasi, kalian tahu cara melindungi diri,” katanya di depan sekelompok anak.Salah satu anak bertanya, “Mas Rino belajar hukum dari mana?”
Rino tersenyum. “Dari satu orang yang membela saya waktu saya bahkan gak tahu harus ngomong apa.”
Anak itu menunduk, terdiam sejenak. Lalu mengangkat tangan, “Kalau gede nanti, aku mau jadi pengacara juga. Tapi bukan yang galak, yang kayak Mas Ari.”
Sementara itu, Eko, petugas kebersihan yang dulu mengaku bersalah, menjalani masa hukumannya selama satu tahun karena kerja sama dan pengakuannya yang jujur. Tapi kisahnya tak berhenti di sana.
Ari tetap mengunjunginya setiap bulan. Bukan sebagai pengacara, tapi sebagai mentor.
“Eko, kamu bisa bangkit. Satu kesalahan tidak menentukan seluruh hidupmu.”
Setelah keluar dari penjara, Ari membantunya mendapatkan pelatihan kerja dari lembaga swadaya masyarakat. Eko kini bekerja di sebuah koperasi percetakan dan belajar desain grafis.
Yang mengejutkan? Eko membuat desain ulang spanduk Bu Marni yang viral itu. Ia juga membuat poster-poster edukasi hukum untuk Rino dan komunitas belajarnya.
Di satu sudut posternya, Eko menuliskan:
“Kadang kita tersesat bukan karena gelap, tapi karena gak tahu jalan. Terima kasih, Pak Ari, sudah jadi cahaya buat banyak dari kami.”Beberapa bulan kemudian, Ari mendapat surat dari seorang hakim senior.
“Pak Ari, saya menyimak perjuangan Anda di kasus Rino. Kami ingin mengundang Anda menjadi pembicara dalam pelatihan calon hakim muda tentang pentingnya keadilan restoratif dan empati hukum.”Ari sempat termenung.
Ia, seorang pengacara yang dulu sering dicibir karena ‘terlalu membela orang kecil’, kini diundang oleh institusi hukum tertinggi untuk menjadi guru.
Dan di hari pelatihan itu, di hadapan puluhan calon hakim muda, ia mengatakan:
“Kalau kalian hanya ingin menegakkan pasal, kalian bisa jadi hakim. Tapi kalau kalian ingin menegakkan keadilan—dengarkan cerita di balik pasal. Karena hukum bukan soal benar atau salah. Tapi soal manusia dan harapan.”Beberapa peserta menunduk. Beberapa meneteskan air mata.
Di malam peringatan setahun bebasnya Rino, komunitas belajar mengadakan acara kecil. Mereka menyalakan lilin-lilin kecil di halaman dan menonton tayangan dokumenter pendek tentang kisah perjuangan Rino dan Ari.
Ketika tayangan usai, anak-anak bersorak, dan salah satu guru muda berkata,
“Kita nggak punya gedung, nggak punya dana tetap, tapi kita punya sesuatu yang lebih besar: harapan.”Dan di tengah senyum dan tawa itu, Bu Marni datang membawa rantang besar berisi lontong sayur.
Semua makan bersama, tertawa, bercerita.
Dan Ari, yang duduk di pojok halaman dengan jaket lusuhnya, hanya diam. Ia tak butuh panggung. Tak butuh pujian.
Karena dalam diamnya, ia tahu satu hal:
Ia bukan hanya menyelamatkan satu anak. Tapi menyalakan ribuan cahaya kecil yang tak akan padam.Beberapa minggu kemudian, sebuah surat kembali datang ke meja Ari. Kali ini, dari Rino sendiri:
“Pak Ari,Dulu Ibu yang nulis surat. Sekarang giliran saya.Terima kasih karena Bapak gak cuma jadi pengacara saya, tapi juga orang yang bikin saya percaya, bahwa hidup ini bisa berubah kalau ada yang percaya.Saya sedang mendaftar kuliah jurusan hukum. Bukan untuk jadi hebat. Tapi supaya saya bisa jadi seperti Bapak—membela mereka yang bahkan gak tahu bagaimana caranya bicara.Saya akan lanjutkan jalan ini.Rino.”Ari menutup surat itu. Ia tersenyum.
Dan dalam hati ia tahu:
Sebagian hukum ditulis dengan tinta. Tapi sebagian keadilan—ditulis dengan keberanian.