Masukan nama pengguna
Tiga hari setelah kepergian Aldo, notifikasi terus berdatangan ke ponselnya—bukan dari dunia, tapi dari dunia maya. Komentar di YouTube, repost Instagram, cuplikan TikTok yang pernah viral. Semua orang masih menonton, menyukai, dan… menilai.
"Aldo tuh emang savage banget ya!" tulis satu komentar.
"Ini orang udah meninggal, tapi jejaknya kayak neraka digital," tulis yang lain.
Aldo semasa hidup adalah influencer—kontennya tajam, satir, bahkan kadang menghina. Tapi dia juga pernah sekali membuat video tentang menyelamatkan seekor kucing. Video itu yang diputar ibunya tiap malam, berharap itu bisa jadi amal.
Yang orang tak tahu, di akhir hidupnya Aldo mulai berubah. Tapi algoritma tak peduli. Yang viral adalah yang dulu. Yang menyakitkan. Yang menjatuhkan. Dunia digital mengabadikan jejaknya seperti batu nisan maya.
Nina, adik Aldo, datang ke Ustaz Karim membawa hard disk dan satu pertanyaan:
"Kalau seseorang meninggal dan videonya masih menyebar, apa bisa dia terus berdosa?"
Ustaz Karim terdiam lama. Lalu menjawab, "Kalau video itu mengajak orang pada kebaikan, maka itu ladang amal. Tapi kalau menghina, menyakiti, mencela… maka itu ladang dosa yang panennya tanpa akhir. Kecuali dihapus."
Mereka mulai menyisir channel Aldo. Nina menangis saat menghapus satu demi satu video yang dulu disukai jutaan orang.
"Kalau ini semua aku hapus, dunia akan lupa siapa dia," katanya.
"Tapi Tuhan tidak," jawab sang ustaz.
Nina mengunggah satu video terakhir ke akun kakaknya.
Latar hitam. Teks putih. Tanpa musik.
Isinya:
"Saya Aldo. Kalau video ini tayang, berarti saya sudah tak ada. Saya minta maaf untuk semua ucapan dan candaan yang menyakiti. Saya dulu berpikir konten itu hiburan. Tapi saya lupa, lidah lebih tajam dari pisau, apalagi jika dipotong dan diputar berkali-kali di media sosial.Kalau kalian sayang saya, doakan saya. Dan jaga jejak digitalmu. Karena itu bisa jadi ladang amal… atau ladang siksa yang tak pernah padam."Setelah video terakhir Aldo tayang, komentarnya banjir. Tapi ada yang berbeda. Kali ini, bukan hanya komen kebencian atau pujian kosong. Banyak yang menulis panjang. Banyak yang bercerita.
Salah satunya:
"Gue dulu pernah niru gaya ngomong Aldo yang nyinyir. Dulu lucu, sekarang gue malu. Video terakhirnya nyentil gue banget. Thanks, bro. Semoga tenang di sana." — @vincent_masuksurgaLain lagi dengan seorang ibu:
"Anak saya pernah kena mental karena jadi bahan konten parodi Aldo. Tapi video terakhir itu bikin saya memaafkan. Semoga ini jadi pelajaran buat semua content creator."Namun tak semua begitu.
Ada remaja bernama Reza yang kirim pesan ke Nina:
"Saya dulu bikin video roasting orang sambil nyebut ‘gue belajar dari Aldo’. Sekarang video itu jadi bukti kenakalan saya, dan saya nggak bisa tarik lagi. Udah terlalu banyak yang save."Nina terdiam membaca semuanya.
Aldo, kakaknya, menjadi dua hal di dunia digital: pahlawan bagi sebagian, pemicu luka bagi yang lain. Dan itu tak bisa dibatalkan hanya dengan satu permintaan maaf.
Di sebuah sekolah kejuruan, guru BK memutar video terakhir Aldo kepada murid-muridnya. Suasana kelas sunyi.
“Kalau kalian meninggal minggu depan… apa postingan kalian bisa jadi bukti bahwa kalian orang baik?”
Tak ada yang menjawab. Beberapa menunduk. Ada yang diam-diam menghapus akun spam dan meme penghinaan di ponselnya. Ada pula yang akhirnya mengganti bio-nya:
"Mari tinggalkan jejak yang baik, karena kita semua akan pergi."
Channel “Jejak Baik” milik Nina akhirnya menjadi ruang bagi siapa pun yang ingin menghapus dosa digitalnya. Ia mulai membantu banyak orang menutup akun lamanya, meminta maaf publik, dan bahkan mendokumentasikan proses tobat online seseorang.
Postingan demi postingan diubah. Kata demi kata diperbaiki. Tidak semua bisa dihapus dari internet, tapi sebagian bisa dihentikan sebelum berlanjut.
Dan akhirnya, lahirlah gerakan kecil bernama #JejakBaik, diikuti jutaan pengguna di TikTok dan Instagram. Sebuah gerakan sunyi tapi dalam, yang dimulai dari satu orang yang sadar terlalu terlambat.
Pukul 2 dini hari, Nina mendapat DM dari akun tak dikenal. Pesannya sederhana:
“Kak, dulu saya pernah bikin konten bullying karena terinspirasi Aldo. Sekarang saya sedang dihantui. Doakan saya, saya ingin berubah.”Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali. Matanya basah. Kakaknya, Aldo, mungkin sudah tidak bisa mengubah apa yang pernah terjadi. Tapi kematiannya ternyata menyalakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya—kesadaran.
Dalam doanya malam itu, Nina menangis. Bukan hanya karena rindu, tapi karena sadar: setiap orang bisa salah. Tapi tidak semua orang diberi kesempatan untuk memperbaikinya… apalagi setelah mati.
Nina akhirnya membuat video baru. Kali ini bukan tentang Aldo. Tapi tentang para pengikutnya. Tentang para pembuat konten yang pernah meniru, lalu menyesal. Tentang para korban yang akhirnya mau memaafkan. Tentang orang-orang yang ingin menghapus dosa digitalnya sebelum ajal datang.
Video itu diberi judul:
"Semua Orang Akan Mati. Tapi Jejaknya Tidak."
Dalam video itu, Nina berkata:
“Saudara-saudaraku, bukan kematian yang harus ditakuti… tapi kehidupan setelah kematian yang terus berlangsung di internet. Jejakmu tidak mati saat tubuhmu dikuburkan. Karena di dunia maya, setiap hinaan, sindiran, ejekan—bisa disaksikan berjuta mata. Dan selama itu terus menginspirasi keburukan, kamu masih ikut berdosa… walau tubuhmu sudah dingin di liang kubur.”Hari itu, ribuan orang menyaksikan video Nina. Banyak yang menangis. Banyak yang kembali ke akun lamanya, menghapus postingan lama, atau menulis permintaan maaf terbuka.
Salah satu konten kreator terkenal bahkan menutup channel YouTube-nya yang punya 5 juta subscriber, dan menulis:
"Saya tak mau menjadi sumber dosa yang viral. Saya ingin pulang bersih."
Tak lama setelah itu, gerakan #JejakBaik berubah menjadi komunitas. Mereka mendampingi para remaja, mantan konten kreator, bahkan eks-haters yang ingin menata ulang jejak digitalnya.
Karena satu hal sederhana: setiap kata di internet adalah saksi, setiap unggahan adalah warisan.
Tahun berganti. Nama Aldo perlahan tenggelam. Tapi videonya yang terakhir masih sering dibagikan. Bukan karena kontroversi, tapi karena isinya membuat orang terdiam.
Nina duduk di depan nisan kakaknya, membawa sebatang flashdisk.
“Mas, ini sisa videomu yang terakhir. Aku simpan bukan untuk viral. Tapi untuk pengingat… kalau Mas pernah menyalakan lentera, meski di akhir nyawa.”
Ia tanam flashdisk itu dalam kotak kecil di bawah bunga.
Satu kalimat terukir di batu nisan Aldo:
“Jagalah jejak digitalmu. Karena ia bisa hidup lebih lama dari jiwamu.”Beberapa bulan setelah video terakhir Aldo viral, Nina mendapat undangan untuk berbicara di sebuah seminar nasional bertajuk:
"Etika Digital dan Warisan Maya: Saat Jejakmu Menjadi Doa atau Dosa"Di atas panggung, dengan suara bergetar namun tegas, ia berkata:
“Kita sibuk menyusun CV dunia, lupa bahwa Tuhan juga menyusun riwayat kita di dunia maya. Setiap cuitan, caption, komen — kelak akan dibuka, dan ditimbang. Di sana tak bisa ‘edit post’. Tak bisa ‘hapus tweet’. Dan tak bisa menyalahkan algoritma.”Suasana auditorium hening. Layar menampilkan potongan isi chat terakhir orang-orang yang menyesal. Tidak semua bisa mereka benahi. Tapi mereka ingin orang lain tidak mengulang kesalahan.
Beberapa waktu kemudian, dunia semakin digital. Metaverse, AI, dan realitas campuran menjadi ruang baru. Tapi dosa tetap bekerja dengan cara lama.
Dalam dunia virtual yang makin canggih, satu hal tak berubah: kata-kata tetap bisa melukai. Dan kebaikan tetap bisa menular.
Nina kini hidup lebih tenang. Tapi ia tahu, tugasnya belum selesai. Ia mulai menulis buku berjudul “Postingan Terakhirmu Akan Dibaca Malaikat”, diangkat dari kisah kakaknya dan orang-orang yang menyesal setelah viral.
Di akhir buku itu, Nina menulis:
“Setiap orang akan meninggal. Tapi setiap postingan tetap tinggal. Maka pilih: ingin dikenal karena kebencianmu… atau dikenang karena kebaikanmu?”Buku itu menjadi bacaan wajib di banyak sekolah dan pesantren digital.
Di satu tempat sunyi, seorang bocah remaja duduk memandangi layar ponselnya. Ia hendak mengunggah meme yang menghina temannya. Tapi ia teringat satu kalimat yang viral:
“Kalau hari ini adalah postingan terakhirmu… apakah kamu siap?”Jari-jarinya ragu. Ia akhirnya menutup aplikasi. Ia memilih diam. Kadang, keadilan bukan soal menghukum. Tapi soal menghentikan sesuatu sebelum melukai.
Dan di situlah, jejak Aldo — meski sudah lama tiada — tetap hidup. Karena kebaikan digital pun bisa menjadi amal jariyah.
Waktu terus berjalan. Teknologi semakin maju. Tapi kebenaran tetap sederhana: manusia hidup dua kali — satu di dunia nyata, satu di dunia maya.
Dan keduanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Nina kini bukan hanya dikenal sebagai adik Aldo, tapi sebagai suara dari gerakan #JejakBaik — sebuah komunitas yang mengajarkan anak-anak muda untuk berpikir ulang sebelum mengetik, membagikan, atau menghina.
Di acara penutupan kampanye nasional Digital Ethics for All, Nina berdiri di depan ribuan anak muda dan pejabat negara. Ia hanya membaca satu kutipan:
“Jika engkau telah mati, dan masih ada orang yang saling menyakiti karena tulisanmu — berarti engkau belum benar-benar selesai. Bahkan Tuhan pun masih mencatat.”Ia menatap wajah-wajah muda di depannya. Wajah yang mungkin pernah membully, menyindir, atau tertawa atas penderitaan orang lain di layar ponsel mereka.
Lalu Nina menutup pidatonya dengan doa:
“Tuhanku… jadikan setiap jejak kami sebagai pahala yang tak padam. Hapuskan yang tercela. Biarkan dunia mengenang kami bukan karena kontroversi… tapi karena cinta yang kami semaikan lewat kata.”Malam itu, tidak ada tepuk tangan. Hanya hening. Tapi di dalam hati semua orang, seperti ada lonceng yang berdentang.
Karena akhirnya semua orang sadar:
Postingan terakhirmu bisa lebih jujur dari surat wasiatmu. Dan jejak digitalmu bisa menjadi ladang amal... atau ladang azab.