Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,538
Jejakku Dilorong Gelap
Aksi

Langit kota itu kelabu, seperti menyimpan rahasia yang enggan terbuka. Di sudut gang sempit, suara motor berderu, disusul teriakan dan langkah kaki yang berlarian. Seorang remaja bernama Gibran, usia 17 tahun, tertangkap warga saat mencoba membawa kabur motor matic milik tetangganya. Wajahnya babak belur sebelum polisi datang menjemput.

Di kantor polisi, Gibran hanya tertunduk. Matanya kosong. Ia tidak menangis, tidak meronta, hanya diam. Di saku jaketnya ditemukan ponsel dengan ratusan notifikasi—tagihan judi online. Semua atas nama "pelarian" dari rasa hampa.

Sementara itu, di ruang berbeda, seorang pria berjas sederhana sedang membaca laporan kasus. Namanya Ari. Pengacara pro bono, dikenal suka membela yang tak mampu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dalam. Bukan kasusnya, tapi wajah kosong si anak dalam foto yang disertakan.

"Saya akan tangani anak ini," kata Ari pada petugas.

"Dia cuma maling, Pak. Buang waktu."

Ari menatap lurus. "Justru karena itu. Saya mau tahu apa yang membuat dia sampai jadi seperti ini."

Ari duduk di seberang Gibran di ruang interogasi. Tidak ada dokumen yang dibuka, tidak ada ancaman yang dilontarkan. Hanya pertanyaan sederhana:

"Kalau kamu bisa mengulang hidupmu, kamu mau jadi apa?"

Gibran menatap Ari untuk pertama kalinya. Pandangannya goyah, seperti tak percaya ada yang benar-benar ingin tahu jawabannya. Lama ia terdiam, sebelum akhirnya berkata pelan:

"Saya cuma pengin banggain ibu saya, Pak."

Dan di situlah, kisah ini berubah.

Alih-alih membawa Gibran langsung ke meja hijau dengan tuntutan maksimal, Ari mengajukan alternatif: rehabilitasi dan pendampingan psikososial di sebuah rumah pembinaan yang ia dirikan sendiri bernama Jejak Muda.

"Saya percaya, Yang Mulia. Anak ini bukan sampah. Dia cuma anak yang tak pernah diajak bicara," ucap Ari di sidang praperadilan.

Hakim mengangguk. Jaksa pun, meski dengan berat hati, menyetujui uji coba tersebut.

Jejak Muda bukan lembaga resmi negara. Tapi tempat itu lebih hidup daripada banyak institusi. Dindingnya dipenuhi mural, kursinya hasil buatan anak-anak binaan, dan setiap sudut ruangan menyimpan cerita. Di sanalah Gibran mulai belajar desain grafis. Ternyata, sejak kecil ia suka menggambar, tapi tidak pernah punya alat.

Ari mengajarkan bukan hanya keterampilan, tapi juga tanggung jawab. Setiap pagi dimulai dengan diskusi kecil, bukan hanya soal hukum, tapi soal hidup. Tentang keberanian, kegagalan, dan arti memaafkan diri sendiri.

Enam bulan berlalu. Gibran kini memegang laptop, bukan lagi ponsel judi. Ia menciptakan desain logo untuk UMKM, bahkan ikut lomba nasional dan menang. Namanya mulai dikenal di media sosial sebagai desainer muda berbakat yang pernah nyaris tenggelam.

Ia kembali ke ruang sidang, bukan untuk diadili, tapi untuk bersaksi. Memberi testimoni bahwa pemulihan bisa mengalahkan hukuman. Di hadapannya, ada anak lain bernama Farel—dulu pengguna narkoba yang ditangkap dalam kondisi overdosis.

Gibran menatap Farel dan berkata:

"Lu belum hancur. Lu cuma belum tahu, ada pintu lain yang bisa dibuka. Gue udah masuk, dan ternyata di dalamnya terang."

Ari melihat semua itu dari kejauhan. Ia tidak bicara, hanya tersenyum. Karena satu anak terselamatkan, berarti satu masa depan dipulihkan.

Namanya mulai sering disebut-sebut. Bukan hanya di lingkungan hukum, tapi juga di komunitas pendidikan, pemuda, bahkan pemerintahan. Ari, sang pengacara, bukan lagi sekadar pembela di pengadilan—tapi pemantik perubahan sosial.

Program Jejak Muda yang awalnya hanya rumah kecil dengan mural dan studio musik sederhana, kini menjelma menjadi gerakan. Berawal dari Gibran yang kini jadi mentor desain, Tika yang rutin mengisi acara musik dan berbagi kisah pemulihan, serta Farel yang sudah menjadi relawan penyuluhan anti-narkoba di sekolah-sekolah menengah.

Namun, saat semua tampak berjalan baik, Ari tahu perjuangan ini belum usai.

Suatu malam, di tengah hujan deras, seorang pemuda datang mengetuk pintu Jejak Muda. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh. Namanya Rio, 20 tahun. Ia tidak bilang banyak. Hanya satu kalimat:

“Bang... lu yang selamatin Gibran, kan? Tolongin gue juga…”

Ari menatapnya, lalu mempersilakan masuk.

Rio bukan pengguna narkoba biasa. Ia adalah bandar kecil yang dulunya merekrut anak-anak putus sekolah. Hidupnya keras, penuh manipulasi dan kebohongan. Tapi malam itu, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang manusia yang lelah dan ingin menyerah.

Ari tidak serta-merta mempercayainya. Tapi ia juga tidak menolaknya. Di rumah pembinaan, kepercayaan adalah hak istimewa yang harus dirawat.

Beberapa minggu berlalu. Rio banyak diam. Namun ia punya satu kebiasaan: duduk di pojok ruangan dan mengamati Tika latihan musik. Suatu hari, Ari menyodorkan selembar naskah ke Rio.

“Gue tahu lu bisa baca emosi orang. Coba tulis ulang ini dari sudut pandang lu. Jadi monolog teater.”

Rio menatap kertas itu. Awalnya enggan. Tapi malamnya, ia kembali ke ruang tamu dengan draft penuh coretan. Bait-baitnya tajam, kelam, tapi jujur. Monolog itu dibacakan Tika di depan siswa SMA sebulan kemudian. Penonton berdiri dan menangis.

“Gue nggak tahu kalau narkoba tuh bisa diceritain dengan cara sekeren itu,” kata salah satu guru.

Kini Jejak Muda bukan lagi hanya satu rumah. Dengan bantuan dari para alumni, donatur yang terinspirasi, dan bahkan pejabat lokal yang mulai peduli, gerakan ini menjelma menjadi jaringan pembinaan anak muda di lima kota besar.

Gibran membuka kelas desain daring gratis.

Tika merilis EP mini album tentang pemulihan dan diterima oleh komunitas musik indie.

Rio menjadi fasilitator pelatihan empati dan storytelling.

Dan Ari?

Ia tetap seperti biasa. Datang paling pagi, duduk di meja kayu usang, menyambut siapa pun yang datang tanpa syarat. Ia tahu, setiap anak muda yang mengetuk pintu bukan beban—tapi halaman kosong yang siap ditulis ulang.

Suatu hari, dalam sebuah forum pemuda nasional, Ari diminta naik panggung menerima penghargaan.

Tapi ia hanya tersenyum dan menunjuk ke arah Gibran, Tika, dan Rio.

“Mereka bukan korban. Mereka bukan pelaku. Mereka manusia yang diberi kesempatan untuk sembuh, tumbuh, dan menyala.”“Saya hanya tukang nyalain lilin.”

“Bang Ari... kita diundang ke Universitas,” ujar Gibran dengan mata berbinar. “Fakultas Psikologi mau kerja sama buat bikin pelatihan bareng kita. Mereka mau mahasiswa ikut langsung ke lapangan bareng anak-anak Jejak Muda.”

Ari tersenyum kecil, menaruh gelas tehnya.

“Dari dulu, aku percaya perubahan bukan soal pintar, tapi soal peduli,” ujarnya lirih.

Kabar tentang Jejak Muda makin luas. Kali ini bukan hanya dari media sosial atau televisi. Tapi lewat cerita—cerita hidup yang menyentuh banyak hati.

Di sebuah desa kecil di pinggiran Sumatera, seorang guru honorer membuat versi mini dari Jejak Muda. Ia menggunakan garasi rumahnya sebagai ruang belajar, tempat anak-anak bisa menulis puisi dan bernyanyi setelah pulang sekolah. Di dindingnya terpajang kutipan:

“Setiap anak punya nyala. Kadang nyalanya cuma butuh satu lilin untuk hidup kembali.” – Ari, Pengacara Jejak Muda.

Di Makassar, seorang mantan pengguna membuka bengkel motor gratis untuk anak jalanan.

Di Yogya, sekelompok mahasiswa hukum membuat posko konsultasi dan literasi hukum remaja, terinspirasi dari konten edukasi yang dibagikan Ari secara cuma-cuma di media sosialnya.

Gerakan ini tidak lagi hanya soal rehabilitasi. Tapi regenerasi.

Bahkan pejabat kementerian mulai tertarik. “Bagaimana kalau kita buat program nasional, bangun Jejak Muda di tiap kota?” ujar salah satu direktur muda saat bertemu Ari.

Tapi Ari menatapnya tenang.

“Jangan dibangun karena proyek. Bangun karena percaya. Anak-anak bukan bahan baku proposal. Mereka manusia. Mereka cerita. Mereka bisa gagal, tapi mereka juga bisa menyala.”

Sore itu, langit Jakarta jingga keemasan. Di depan gedung pertunjukan seni yang sederhana, orang-orang mulai berdatangan. Bukan untuk menonton selebritas. Tapi untuk menyaksikan pertunjukan “Luka Jadi Nyala” — karya kolektif alumni Jejak Muda.

Tika tampil membawakan lagu berjudul “Suara yang Sempat Hilang”. Rio membacakan monolog berjudul “Anak Jalanan Tak Perlu Maaf Lagi”. Gibran menampilkan video animasi perjalanan seorang anak yang melawan stigma, dengan suara latar asli rekaman tawa mereka saat pertama kali direhabilitasi.

Tepuk tangan bergema lama sekali.

Ari duduk di bangku paling belakang. Sendirian. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan haru.

Seseorang menepuk bahunya. Seorang gadis kecil—mungkin anak dari salah satu alumni—menatapnya polos.

“Om Ari yang bikin mereka jadi hebat, ya?”

Ari tersenyum. Mengusap kepala si gadis.

“Om nggak bikin mereka hebat. Mereka memang sudah hebat. Om cuma bantu mereka percaya itu.”

Beberapa bulan kemudian, Ari kembali ke rumah kecil pertama tempat Jejak Muda lahir. Bangunannya kini jadi museum kecil. Di dalamnya ada dokumentasi tulisan tangan Rio, gitar pertama Tika, dan buku sketsa Gibran yang robek-robek tapi penuh warna.

Di dinding terakhir ada papan bertuliskan:

"Jangan pernah menilai masa depan seseorang dari masa lalunya. Karena bara paling gelap pun bisa jadi nyala yang paling terang."

Tertulis kecil di bawahnya:

Muhammad Ari Pratomo — Pengacara Jejak Muda.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)