Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,143
HUKUM TERAKHIR
Thriller

Hujan turun deras sore itu, seolah langit pun ikut menangis atas keputusannya.

MuhammadAriLaw berdiri mematung di depan gedung Mahkamah Agung. Wajahnya basah bukan hanya karena hujan, tapi juga karena kecewa yang mengendap bertahun-tahun. Di tangan kirinya, ada map coklat tebal yang berisi bukti korupsi kelas kakap. Di tangan kanannya, ada surat pengunduran diri dari firma hukum paling elite di ibu kota.

Hari ini, ia memilih untuk berhenti jadi pengacara elite yang hidup dari membela para penguasa.

"Aku tidak bisa lagi membela orang-orang yang aku tahu seharusnya dipenjara," bisiknya pada dirinya sendiri, lirih namun pasti.

Ia teringat kembali bagaimana ia duduk di ruang rapat mewah, dikelilingi oleh jaksa, hakim, dan pengacara kondang—semua tersenyum membahas "strategi" untuk memenangkan kasus koruptor berjubah jabatan. Semuanya sah di atas kertas. Tapi ia tahu, itu semua permainan kotor.

Itulah titik baliknya.

Bukan karena dia suci. Tapi karena nuraninya sudah tidak bisa diajak kompromi.

Tiga bulan kemudian, sebuah kantor kecil bernama Keadilan Untuk Semua berdiri di ujung gang sempit Jakarta Timur. Di sanalah ia memulai kembali— tanpa klien kaya, tanpa fasilitas, dan tentu saja, tanpa perlindungan dari siapa pun.

Namun di sana jugalah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, MuhammadAriLaw merasa hidup.

Hidup... dan bebas.

Hari itu, seorang perempuan tua datang ke kantornya. Anak laki-lakinya dipenjara karena dituduh mencuri kabel PLN. Ia menangis, bukan karena kehilangan anaknya, tapi karena tahu: "Yang sebenarnya mencuri, Pak... itu pejabat kelurahan. Tapi yang ditangkap malah anak saya."

MuhammadAriLaw mendengarkan dengan tenang. Ia tahu kasus seperti ini bukan satu-dua. Tapi ia juga tahu, ini bukan sekadar kasus. Ini adalah pembuka.

Dan di sanalah, ia menuliskan ulang sumpahnya—bukan di atas Alkitab atau Quran, bukan di ruang sidang, tapi di hatinya sendiri.

"Selama hukum hanya berpihak pada penguasa, aku akan berdiri untuk mereka yang tak punya kuasa."

Saat ia berdiri di depan ruang sidang keesokan harinya, semua mata memandang sinis. Jaksa mencibir. Hakim menguap. Wartawan tak tertarik. Tapi ada satu pasang mata—mata perempuan tua itu—yang penuh harap. Dan itu cukup.

Karena bagi MuhammadAriLaw, perjuangan ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal bertahan. Soal melawan. Soal menjadi hukum terakhir... saat semua hukum lain sudah mati.

Gedung pengadilan negeri itu tampak biasa dari luar: cat kusam, halaman sempit, dan pagar berkarat. Tapi bagi MuhammadAriLaw, tempat ini adalah arena pertarungan yang lebih brutal daripada ring tinju. Karena di sini, keadilan bukan ditentukan oleh kebenaran... tapi oleh siapa yang paling kuat.

Sidang kasus "pencurian kabel PLN" dimulai pukul 10 pagi. Terdakwa: Remaja 19 tahun bernama Raka, anak dari ibu yang kemarin menangis di ruang tamunya. Barang bukti? Potongan kabel sepanjang dua meter dan keterangan saksi—yang katanya melihat Raka lari membawa gulungan hitam.

"Sidang dibuka. Hadirin harap tenang," kata hakim sambil mengetuk palu.

MuhammadAriLaw duduk di bangku pembela, hanya membawa satu tas lusuh berisi dokumen dan keyakinan. Di sisi seberang, jaksa mengenakan setelan mahal dan senyum mengejek. Tak perlu waktu lama, jaksa langsung melontarkan argumen yang dibumbui retorika dan kesan dramatis.

"Yang Mulia, terdakwa telah merugikan negara. Tindakannya mencerminkan mental koruptif masyarakat kecil. Kami menuntut hukuman maksimal."

MuhammadAriLaw bangkit perlahan. Ia tidak terburu-buru. Ia tahu: lawan yang sesungguhnya bukan jaksa, tapi sistem yang memelihara ketimpangan.

"Yang Mulia," suaranya tenang namun terdengar jelas. "Terdakwa tidak mencuri. Ia hanya lewat, dikejar, dan dijadikan kambing hitam. Tidak ada sidik jari. Tidak ada rekaman. Dan saksi tunggal justru mantan napi yang sedang dalam masa percobaan."

Hakim menatapnya dengan mata kosong, seperti melihat perdebatan yang sudah tahu akhirnya.

Lalu ia melanjutkan, "Yang Mulia, izinkan saya bertanya: siapa pemilik kabel itu? PLN? Apakah pihak PLN hadir? Apakah kerugiannya tercatat? Kalau iya, mana bukti kehilangan secara resmi?"

Ruang sidang mendadak hening.

Tapi Ari tahu, diam bukan pertanda sadar. Diam adalah bentuk perlawanan paling umum dari sistem yang malu tapi tak mau mengaku salah.

Ia menoleh pada Raka, anak muda dengan mata merah dan tangan gemetar.

Dalam dirinya, ia melihat ratusan wajah lain yang pernah terinjak sistem:

tukang ojek yang dituduh pengedar, buruh yang dipaksa mengaku, pelajar yang dipenjara tanpa bukti.

"Raka bukan masalah," pikir Ari. "Sistem yang membiarkannya dikorbankan... itulah musuh sebenarnya."

Di luar ruang sidang, setelah persidangan ditunda karena "kurangnya bukti tambahan", Ari dihampiri seseorang. Pria gemuk berjas hitam dengan senyum terlalu ramah.

"Pak Ari, saya dari Kejaksaan. Hati-hati ya, Pak. Bapak masuk terlalu dalam. Sistem kita ini... kompleks."

Ari menatap tajam. "Kalau kompleks berarti rusak, lebih baik kita bongkar sekalian."

Pria itu tertawa kecil. "Niat bagus, Pak. Tapi hati-hati. Banyak yang niatnya bagus, tapi akhirnya... jadi berita kematian."

Sore itu, di kantor sederhananya, Ari menyalakan laptop tua. Ia mulai menyusun dokumen rahasia yang ia dapat dari seorang whistleblower PLN— berkas yang bisa mengungkap jaringan korupsi berjamaah di proyek kabel bawah tanah.

Raka mungkin bukan siapa-siapa. Tapi kasus ini... bisa membuka lubang besar di tembok sistem. Dan mungkin, dari lubang itu, cahaya akan masuk.

MuhammadAriLaw tahu: pertarungan belum dimulai. Tapi ia siap jadi pengacara yang terakhir berdiri.

Malam itu, kantor kecil Keadilan Untuk Semua masih terang, meski jalanan di luar sudah sepi. MuhammadAriLaw duduk sendiri di depan layar laptop, menatap dokumen-dokumen digital yang baru saja ia terima dari narasumber rahasia. File-nya bertuliskan:

KABEL_BAWAH_TANAH_PJPK_KORUP_2021.

Berkas-berkas itu bukan hanya bukti. Mereka adalah peluru. Dan seperti semua peluru, bisa menembus target... atau berbalik ke penembaknya.

Sambil menyeruput kopi hitam yang sudah hambar, Ari membuka satu folder berjudul:

"DAFTAR PENGAMAN"

Nama-nama mulai bermunculan. Anggota DPR. Jaksa. Hakim senior. Direktur PLN. Dan satu nama yang membuat Ari mengangkat alis: Hakim ketua sidang kasus Raka.

"Ini bukan sidang biasa," gumamnya pelan. "Ini sandiwara untuk menutupi korupsi besar. Raka cuma pengalih perhatian."

Tiba-tiba lampu kantor mati. Layar laptopnya ikut padam. Gelap.

Ia berdiri cepat dan meraba senter kecil di laci.

BRUK.

Suara keras terdengar dari luar pintu. Langkah kaki. Ari meraih ponsel, tapi tak ada sinyal. Saat ia mendekat ke jendela, ia melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gang. Dua pria turun. Wajah mereka tidak asing.

Salah satunya... adalah orang yang kemarin menemuinya di pengadilan. Jaksa. Yang satu lagi... entah siapa, tapi badannya dua kali lipat Ari.

Ari tidak panik. Ia menutup laptopnya rapat, menyelipkannya ke dalam tas, dan membuka pintu belakang. Langkahnya cepat, menyusuri lorong gelap menuju warung di ujung gang. Ia masuk dan menyapa:

"Bu, boleh saya titip ini sebentar?" katanya sambil menyodorkan tas.

Pemilik warung, seorang ibu tua yang biasa meminjamkan listrik, mengangguk pelan. "Ada yang nyari kamu, ya?"

Ari hanya tersenyum. "Kalau mereka tanya, bilang saya sedang ke kantor polisi. Mau serahkan bukti baru."

Di tempat lain, di ruang rapat ber-AC di lantai 14 sebuah hotel bintang lima, lima pria bersetelan duduk melingkar.

"Nama dia sudah masuk daftar," kata salah satu dari mereka. "Kita kasih peringatan dulu. Kalau masih nekat... kita kasih pelajaran."

"Kalau sampai dokumen itu keluar, kita semua kena," ucap pria lainnya sambil memukul meja. "Dan saya gak mau nama saya masuk berita sebagai 'tersangka proyek bodoh ini'."

Di warung, Ari menyalakan radio tua. Berita malam memutar kabar tentang sidang kasus kabel PLN—kasus Raka.

"Jaksa menolak bukti pembela dengan alasan tidak relevan. Hakim memutuskan sidang akan dilanjutkan minggu depan. Terdakwa masih ditahan..."

Ari menatap langit malam yang mendung.

Ia tahu kini bukan hanya melawan sistem. Ia sedang berdiri di antara dua dunia—kebenaran dan kekuasaan.

Dan kekuasaan, seperti malam, kadang datang tanpa suara.

Kantor kecil itu kembali terang keesokan paginya. Listrik menyala, sinyal kembali, dan suasana tampak seperti biasa. Tapi bagi Ari, semuanya sudah berubah. Ia tahu: seseorang sedang mengawasinya. Atau lebih parah, menyusup ke dalam lingkarannya.

"Lo yakin tasnya aman, Bang?" tanya Fikri, asisten mudanya, sambil membawa dua bungkus nasi uduk. "Warung Bu Rahmah memang tempat paling aman. Gak ada yang curiga. Lagi pula, dia yang dulu bantu simpan dokumen kita waktu kasus pungli Koperasi Tani," jawab Ari sambil menatap layar laptop.

Dia baru saja membuka ulang file berjudul

KABEL_BAWAH_TANAH_PJPK_KORUP_2021. Tapi ada sesuatu yang aneh.

Beberapa folder hilang. Dokumen penting seperti "Memo Internal" dan "Kontrak Siluman" raib. Hanya tersisa jejak file yang pernah ada.

Seseorang sudah mengaksesnya.

Ari menatap Fikri tajam. "Kamu ada buka file ini semalam?"

Fikri menggeleng. "Nggak, Bang. Saya langsung pulang, tidur. Laptop juga nggak saya pegang."

Ari terdiam. Ada dua kemungkinan: orang luar berhasil menyusup ke warung itu... atau—kemungkinan yang lebih pahit—pengkhianat ada di antara orangorang kepercayaannya.

Sore harinya, Ari mengunjungi sahabat lamanya: Sari, seorang jurnalis investigatif yang kini bekerja untuk media online independen.

"Ari, gue baru dapet kabar. Lo jadi bahan obrolan di ruang jaksa. Katanya lo 'kelewat berani'," kata Sari sambil menyeruput kopi dingin. "Lo yakin ini worth it?"

Ari mengangguk. "Kalau bukan kita, siapa lagi? Gue udah lihat anak-anak kecil di penjara karena sistem korup. Kalau semua orang tutup mata, kita ini apa?"

Sari menghela napas. "Kalau gitu, gue bantu lo. Tapi satu syarat: lo harus tahu, kadang musuh itu bukan yang lo lawan di pengadilan. Tapi yang duduk di sebelah lo."

Malamnya, Ari duduk sendiri di kantor. Ia membuka CCTV backup dari ruangan itu. Butuh waktu beberapa jam, tapi akhirnya dia melihatnya— rekaman buram seseorang membuka laptopnya... dan itu terjadi sebelum listrik mati.

Dan wajah yang terlihat... Fikri.

Ari mendatangi Fikri malam itu juga. Mereka bertemu di parkiran kosong dekat lapangan bulutangkis tua. Tanpa banyak basa-basi, Ari bertanya:

"Kamu buka file itu, Fik?"

Fikri gelisah. "Bang... maaf. Saya gak ada niat jahat. Saya disuruh orang. Mereka cuma minta saya copy sebagian file dan kasih flashdisk-nya."

"Siapa 'mereka'?"

Fikri menunduk. "Saya gak tahu namanya. Cuma dikasih uang. Katanya buat jaga-jaga aja biar 'kasus kabel' ini gak bikin repot orang besar."

Ari menutup matanya sejenak. Rasanya seperti ditusuk dari belakang oleh adik sendiri. Tapi ia tahu—Fikri bukan jahat. Ia hanya anak muda biasa, dimanfaatkan sistem yang lebih tua dan licik.

"Kamu masih simpan flashdisk-nya?"

Fikri mengangguk. "Saya belum kasih ke mereka. Saya takut, Bang."

Ari menghela napas panjang. "Kamu baru aja selamatin nyawa kamu sendiri."

Malam itu, Ari menyimpan flashdisk dalam kotak besi, mengunci pintu kantor, dan menuliskan satu kalimat di buku catatannya:

"Kalau pengkhianat bisa ada di tim sendiri, maka kepercayaan adalah kemewahan."

Dan malam itu pula, ia mulai menyusun strategi baru. Karena ia tahu: Perang ini lebih besar dari sekadar kasus kabel. Perang ini... melawan akar negara yang telah tumbuh di tanah busuk.

Pagi itu, Jakarta basah oleh hujan. Tapi kantor Keadilan Untuk Semua justru memanas.

Ari duduk di ruang rapat kecil, ditemani Sari dan Fikri. Di hadapan mereka, flashdisk yang jadi rebutan itu tergeletak seperti benda suci. Di dalamnya, bukan cuma data. Tapi nyawa. Kebenaran. Bahaya.

"Ini bukan cuma soal proyek kabel. Ini tentang siapa yang bisa bikin hukum jadi senjata dan siapa yang jadi korbannya," ucap Ari pelan. "Dan kita sekarang... bukan sekadar pengacara. Kita udah masuk medan perang informasi."

Sari membuka isi flashdisk. Di dalamnya ada satu folder tersembunyi: CONFIDENTIAL-VIP. Sandi masuk. Folder terbuka. Ada sebuah video rekaman pembicaraan antar pejabat tinggi. Suaranya jelas:

"Kalau dia terus ganggu proyek, kasih dia peringatan. Kalau perlu, kita buka kasus lamanya. Dia pasti punya celah." "Kalau gak ada, kita buat. Semua orang bisa dijatuhkan."

Ari menggertakkan giginya. "Jadi... mereka memang main kotor."

Malam itu Ari menghubungi seorang tokoh misterius, mantan pegawai KPK yang kini hidup dalam bayang-bayang. Namanya: Reno .

Reno datang dengan motor tua, memakai helm full face dan jaket hujan. Ia duduk di bangku kayu rusak di samping kantor Ari.

"Apa yang kamu punya cukup untuk guncangkan media. Tapi belum cukup buat robohkan sistem," katanya.

Ari menatapnya. "Lalu, apa yang cukup?"

Reno tersenyum pahit. "Orang dalam."

Beberapa hari kemudian, Ari mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Isinya singkat: "Aku siap bantu. Tapi kita harus bicara di tempat aman. Jangan bawa siapa-siapa. – G"

Ari segera mengenali inisial itu. G adalah seseorang yang dulu bekerja di kementerian, pernah jadi whistleblower, tapi menghilang setelah kasusnya dibungkam. Kini, ia muncul lagi.

Tempat pertemuan mereka adalah sebuah rumah makan di pinggiran Depok.

Sepi. Lampunya redup. Ari duduk di pojokan, memesan kopi, dan menunggu. Lima menit, sepuluh menit...

Lalu seseorang duduk di depannya. Perempuan. Berkerudung abu, raut wajah lelah tapi tajam.

"Masih ingat aku?" katanya.

Ari mengangguk. "Gita."

Gita menatapnya tajam. "Aku punya akses ke sistem internal kementerian.

Aku tahu siapa yang main di proyek kabel. Siapa yang kasih lampu hijau. Bahkan siapa yang tanda tangan final."

"Bisa dibuktikan?"

Gita mengeluarkan flashdisk kedua. "Aku udah siap mati buat ini. Tapi kalau kamu juga serius, kita harus mulai dari dalam. Bukan hanya di pengadilan. Tapi juga di opini publik. Di medsos. Di ruang-ruang yang gak bisa disensor."

Ari menerima flashdisk itu dengan tangan gemetar. Bukan karena takut—tapi karena tahu: Inilah titik baliknya.

Bukan lagi tentang kasus. Bukan lagi tentang membela satu klien. Tapi tentang mengembalikan arti hukum itu sendiri.

Gedung tua itu pernah jadi pengadilan zaman Belanda. Kini kosong, tak terurus. Dindingnya lembap, atapnya bocor. Tapi malam itu, tempat itu kembali hidup. Bukan oleh hukum resmi, tapi oleh keadilan yang sudah lama dibungkam.

Ari berdiri di tengah ruangan besar yang dulunya tempat hakim duduk tinggi di kursi kayu. Di depannya, beberapa kursi plastik dijejer seadanya. Di sana duduk Sari, Fikri, Gita, dan tiga aktivis HAM yang tak pernah tampil di televisi—karena mereka terlalu jujur untuk layar publik.

"Ini bukan sidang formal," ujar Ari membuka pertemuan. "Tapi ini lebih nyata dari ruang pengadilan mana pun. Karena di sini, kebenaran bukan dikurung dalam pasal-pasal yang bisa dibeli."

Gita berdiri dan memutar proyektor ke dinding. File yang ada di flashdisk kedua mulai ditampilkan: dokumen asli pengesahan proyek kabel bawah tanah, bukti aliran dana yang mengalir ke rekening pejabat daerah, dan video rekaman percakapan ilegal antara kontraktor dan auditor negara.

Suara di video terdengar nyaring:

"Uangnya sudah kami pecah jadi 7 bagian. DPRD sudah diam. Jaksa juga sudah setuju. Sisanya tinggal satu orang itu—si pengacara sialan itu."

Ari mengepalkan tangannya. Dia tahu siapa yang mereka maksud. Dan dia juga tahu, setelah ini, namanya benar-benar ada di daftar yang ingin mereka lenyapkan.

"Gita, kalau data ini kita buka, kamu bisa jadi target," kata Sari. "Aku udah siap dari dulu," jawab Gita tenang. "Tapi aku gak mau ini cuma jadi berita dua hari, terus hilang."

Itulah kenapa mereka menggelar "sidang bayangan" . Tujuannya sederhana: menyusun kronologi, memperkuat bukti, membentuk narasi, dan membuat opini publik siap sebelum semuanya dibuka.

Karena satu kebenaran di ruang gelap—lebih berbahaya dari seribu kebohongan di layar kaca.

Fikri maju membawa papan putih. Ia menyusun nama-nama yang muncul di semua data:

Pejabat Pemda (inisial R)

Auditor negara (inisial K)

Kontraktor utama proyek (inisial B)

Ketua tender fiktif (inisial M)

Seorang Jaksa aktif (inisial H)

"Kalau kita buka semuanya sekaligus, mereka bisa saling lindungi. Tapi kalau kita buat runtutan—seperti potongan puzzle—kita bisa dorong publik buat ikut merangkai," kata Ari.

Malam itu, keputusan diambil. Mereka akan memulai fase pertama:

"Pernyataan Terbuka."

Sebuah video akan dibuat. Berisi kronologi, potongan bukti, dan satu suara kuat dari Ari sendiri sebagai pengacara: bukan mewakili klien, tapi mewakili rakyat.

Video itu tidak akan dirilis ke media besar. Mereka akan menggunakan jalur lain: Twitter, Instagram, YouTube, dan forum-forum aktivis hukum. Karena di zaman ini, ruang digital adalah pengadilan baru.

Sebelum bubar, Ari berdiri di tengah dan berkata:

"Kalau mereka bisa beli hukum, maka kita rebut kembali lewat kepercayaan publik. Kalau mereka pakai jaksa dan hakim bayaran, maka kita hadirkan suara rakyat sebagai hakim. Dan jika mereka berpikir kita hanya pengacara kecil... Maka biarkan sejarah mencatat: dari ruang tua ini, hukum lahir kembali."

Malam itu, hujan turun deras. Tapi dari gedung tua yang nyaris runtuh, lahir sebuah harapan baru. Perlawanan telah dimulai.

Jakarta tak pernah benar-benar tidur, tapi dini hari itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Ari duduk sendirian di depan laptop, menatap file video yang baru saja selesai diedit. Di dalamnya, wajahnya terpampang jelas—tegas, tenang, tapi penuh bara. Suaranya menjadi peluru yang ditujukan pada sistem yang korup:

"Saya Muhammad Ari Pratomo. Saya seorang pengacara. Tapi hari ini, saya tidak berbicara sebagai pembela klien. Saya berbicara sebagai warga negara yang lelah melihat hukum dijual, keadilan dibungkam, dan kebenaran dibunuh pelan-pelan. Ini bukan fitnah. Ini fakta. Dan saya siap bertanggung jawab atas setiap kata saya."

Video itu berdurasi 3 menit. Tapi isinya adalah bom waktu. Setelah memastikan metadata-nya aman dan tidak mudah dilacak ke tim mereka, Ari mengunggahnya ke akun media sosial pribadi—Twitter, Instagram, YouTube —lalu menyalin link-nya dan menyerahkannya ke jaringan aktivis digital.

Pukul 03.14 WIB: video tayang Pukul 04.00: 1.500 views Pukul 06.00:

13.000 views Pukul 09.00: trending #1 di Twitter Indonesia

Reaksi datang seperti banjir.

Ada yang memuji keberanian Ari. Ada yang meragukan kebenaran data. Ada yang mengancam, terang-terangan.

"Kamu cari mati, pengacara kampung." "Siap-siap diciduk jam 12."

"Ada yang mau jadi pahlawan kesiangan nih."

Tapi Ari tak goyah. Ia sudah siap. Timnya pun sudah menyusun langkah.

Sari menyiapkan media kit , termasuk semua dokumen bukti dalam bentuk Google Drive dengan sistem akses terbatas. Fikri menghubungi jaringan wartawan independen. Gita mulai menjadwalkan sesi wawancara daring dengan kanal hukum alternatif.

Reno, sang mantan penyidik, memberi pesan satu kalimat:

"Kebenaran tanpa strategi hanya akan jadi martir. Tapi kebenaran dengan narasi yang tepat... bisa jadi revolusi."

Pukul 12.15, telepon Ari berdering. Nomor tidak dikenal. Tapi dia angkat.

"Pak Ari, saya wartawan investigasi dari salah satu stasiun TV besar. Kami ingin mewawancarai Anda. Tapi kami butuh jaminan bahwa kami tidak sendirian."

Ari menjawab datar, "Kalau Anda takut sendirian, liputlah bersama rakyat."

Pukul 14.00, kantor Ari didatangi dua orang tak dikenal. Mereka hanya melihat-lihat dari seberang jalan, tak berkata apa pun. Sari langsung mengunci pintu. Fikri mematikan semua GPS.

Malam harinya, listrik di kantor mereka padam. Internet putus. Tapi mereka sudah siap: backup genset dan modem satelit dari donasi para pendukung.

Karena ini bukan lagi soal hukum. Ini soal hidup atau mati.

Di tengah gelap dan sunyi, Ari berkata:

"Kalau besok pagi aku ditangkap, kalian tahu apa yang harus dilakukan." "Kami lanjutkan perlawanan ini," jawab Gita.

Dan untuk pertama kalinya, di balik tekanan dan ancaman, mereka semua tersenyum. Karena malam itu, mereka sadar satu hal: Perlawanan mereka sudah viral. Dan sistem sudah mulai panik.

Gedung itu bukan gedung pengadilan. Tapi hari itu, orang-orang berkumpul seolah sedang mengikuti sidang agung. Aula kampus hukum swasta di Jakarta Selatan dipenuhi mahasiswa, dosen, aktivis, dan wartawan independen. Tak ada hakim. Tak ada jaksa. Hanya rakyat yang ingin mendengar kebenaran dari mulut orang yang berani mengungkapnya.

Di tengah panggung kecil yang disulap jadi mimbar, berdirilah

MuhammadAriLaw , sang pengacara rakyat, dengan wajah tegas dan suara mantap.

"Jika hukum negara tak lagi dipercaya, maka rakyat berhak menggugat. Jika institusi hukum dibeli, maka suara publiklah yang akan menjadi hakim. Hari ini, saya hadir bukan untuk membela siapa pun—tapi untuk mengungkap segalanya, dengan nama Tuhan dan demi bangsa ini."

Satu per satu layar besar menayangkan bukti yang tak terbantahkan.

📁 Transkrip percakapan pejabat 📁 Dokumen kontrak fiktif 📁 Data transfer antar rekening pribadi dan perusahaan cangkang 📁 Surat perintah yang ternyata tak pernah dikeluarkan resmi

Semuanya disusun dengan sistematis. Tak ada yang dilebihkan. Tak ada fitnah. Hanya kebenaran yang selama ini dikubur dalam sunyi.

Di luar gedung, aparat sudah berjaga. Tapi mereka tak bisa sembarangan bertindak. Kamera sudah menyala dari berbagai sudut. Streaming langsung disaksikan lebih dari 300 ribu orang . Bahkan netizen dari luar negeri mulai menerjemahkan video ke berbagai bahasa.

Sebuah gerakan telah lahir.

Seorang mahasiswa maju dan bertanya:

"Pak Ari, setelah semua ini dibuka, apa yang Anda harapkan akan terjadi?"

Ari diam sejenak. Kemudian menjawab dengan suara pelan, tapi menggetarkan:

"Saya tahu, mungkin saya tidak akan pernah jadi pejabat, tidak akan disukai oleh kekuasaan. Tapi saya ingin anak saya tumbuh di negeri yang tidak takut pada kebenaran. Saya ingin hukum kembali menjadi pelindung, bukan alat penguasa. Dan jika harus dimulai dari seorang pengacara kecil seperti saya... maka biarlah sejarah mencatat, kita semua hadir di hari ketika keadilan mulai bangkit kembali."

Sorak-sorai menggema. Bukan karena pidato. Tapi karena keberanian. Karena semua yang hadir tahu—apa yang mereka saksikan bukan lagi sekadar pembelaan hukum. Tapi perjuangan moral.

Seminggu kemudian , kejaksaan agung membuka penyelidikan. Sebulan kemudian , salah satu pejabat yang disebut Ari ditetapkan sebagai tersangka. Setahun kemudian , gerakan "Pengadilan Rakyat" berubah menjadi platform legal digital, tempat masyarakat bisa mengadukan kasus tanpa takut dimatikan oleh birokrasi.

Dan Ari?

Ia tetap berjalan di jalur yang sama. Membela, menulis, dan bersuara.

Bukan karena ingin terkenal. Tapi karena ia tahu, hukum terakhir di negeri ini adalah suara rakyat.

SELESAI

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)