Masukan nama pengguna
Langit Jakarta sore itu seperti meratapi sesuatu yang tak bisa diubah—gelap, berat, dan gerimis menyelimuti jalanan. Di dalam ruang sederhana yang juga berfungsi sebagai kantor hukumnya, Ari baru saja selesai membenahi berkas-berkas penyuluhan hukum dari sebuah LSM. Meja kayu tua di sudut ruangan itu penuh kertas, buku tebal, dan termos kopi yang sudah mulai dingin. Ia tahu, malam ini akan panjang. Namun panggilan itu datang seperti petir di senja yang senyap.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia ragu sejenak, lalu menjawab.
“Hallo?”
Suara perempuan di seberang sana terdengar panik, terguncang.
“Pak Ari? Maaf... maaf sekali saya ganggu malam-malam begini. Saya Lestari, istri dari Andika. Suami saya ditangkap polisi semalam. Mereka bilang... dia bunuh atasannya. Tapi itu tidak mungkin, Pak! Dia bukan pembunuh. Tolong... tolong bantu kami…”
Suara itu terputus oleh isakan. Tangis yang begitu tulus—bukan hanya ketakutan, tapi juga rasa tidak percaya pada apa yang sedang terjadi.
Ari menarik napas. Ia sudah sering menerima panggilan seperti ini. Namun dari caranya berbicara, Ari tahu perempuan ini tidak sedang mengarang cerita. Tangisnya bukan dibuat-buat. Ketakutannya nyata.
“Tenang, Bu Lestari. Tarik napas dulu,” ucap Ari dengan nada tenang dan penuh empati. “Ceritakan semuanya secara perlahan.”
Lestari mengisahkan bagaimana suaminya, seorang sopir pribadi, bekerja pada seorang pengusaha properti sukses bernama Hendra Wijaya. Malam itu, Hendra ditemukan tewas di rumahnya dengan luka tusuk. Yang paling mencurigakan, Andika ditemukan di kamar sebelah dalam kondisi pingsan, dengan pakaian bernoda darah. Di tempat kejadian, pisau ditemukan dengan sidik jari Andika.
“Dia tidak punya alasan membunuh, Pak. Suami saya hanya sopir. Dia patuh, setia. Saya tahu siapa dia.”
“Sudah ada pengacara yang dampingi?” tanya Ari.
“Sudah… awalnya. Tapi setelah lihat bukti, mereka mundur semua. Katanya… sudah pasti kalah. Tapi saya mohon... walau satu orang saja percaya pada kami…”
Ari diam. Di benaknya terlintas begitu banyak kasus yang hanya diselesaikan berdasarkan ‘apa yang tampak’, bukan ‘apa yang benar’. Ia tahu betul—sering kali, kebenaran tidak cukup kuat jika tidak dibela.
Lalu dengan nada rendah namun tegas, Ari menjawab:
“Keadilan itu bukan soal kemungkinan menang. Tapi soal keberanian membuktikan kebenaran. Saya akan bantu.”Lestari menangis lebih kencang. Tapi kini bukan tangisan putus asa. Ada secercah harapan di sana.
Ari mematikan panggilan, meraih jaket dan payung. Ia tahu, malam ini akan panjang. Tapi langkahnya pasti.
Hujan masih turun deras ketika Ari tiba di Polres Jakarta Selatan malam itu. Kantor tampak sepi, hanya suara tetesan air dari genteng dan derap sepatu petugas jaga yang terdengar di lorong.
Seorang perwira muda menyambutnya di pos depan, mencatat identitasnya, lalu mempersilakan masuk setelah Ari menunjukkan surat kuasa dari Lestari yang ditandatangani terburu-buru di atas kertas nota belanja.
“Pak Ari, ruang tahanannya di belakang. Tapi kalau mau bicara sama penyidik, silakan naik ke lantai dua,” kata petugas itu.
“Terima kasih,” jawab Ari singkat.
Di lantai dua, ia bertemu dengan penyidik bernama Kompol Haryadi. Lelaki berusia sekitar empat puluhan dengan ekspresi kaku dan suara datar. Haryadi membuka map merah dan menggelar foto-foto TKP di atas meja.
“Sidik jari ada di pisau. Darah korban ada di baju tersangka. Dia ditemukan di rumah korban, sempat pingsan katanya, dan tidak bisa menjelaskan kronologi dengan jelas. Jelas, bukan?”
Ari memandangi foto-foto itu dengan tenang. Ia menunjuk salah satu foto: pisau di lantai kamar dengan ceceran darah yang tampak ‘terlalu sempurna’ posisinya.
“Sudah ada hasil forensik soal posisi luka dan sudut tusukan?” tanya Ari.
“Belum semua keluar. Tapi Pak Ari, Anda pengacara. Anda pasti tahu, kasus ini bukan sekadar bukti fisik. Motif ada. Tersangka sempat cekcok dengan korban dua hari sebelumnya. Kami punya rekaman CCTV kantor yang menunjukkan mereka bersitegang.”
“Rekaman CCTV malam kejadian ada?”
“Tidak ada. CCTV rumah mati. Alasan klasik: sedang diperbaiki.”
Ari tersenyum miring. Sesuatu terasa janggal. Rumah pengusaha sebesar itu, dan CCTV bisa 'mati' begitu saja?
“Boleh saya lihat barang bukti fisik?” tanya Ari lagi.
Haryadi menatapnya curiga, tapi mengangguk. “Silakan, asal jangan disentuh langsung.”
Beberapa menit kemudian, Ari memandangi pakaian Andika yang bernoda darah. Ada sobekan di lengan kiri yang tak sesuai dengan luka apapun di tubuh Andika. Di pikirannya, mulai tersusun sebuah kemungkinan: Andika tidak membunuh. Ia dijebak.
Hari sidang tiba. Gedung pengadilan dipenuhi wartawan dan warga yang penasaran. Kasus ini sudah menghiasi media nasional selama seminggu. Headline macam "Sopir Bunuh Majikan Gara-Gara Utang" menghiasi beranda portal berita. Tak ada ruang untuk praduga tak bersalah di mata publik.
Ari duduk di sisi kanan ruang sidang, mendampingi Andika yang tampak pucat dan lesu. Jaksa Penuntut Umum, Ibu Ratna Siregar, membuka sidang dengan nada yakin.
“Yang Mulia, kami akan membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap majikannya sendiri dengan niat balas dendam. Kami akan menghadirkan bukti, saksi, dan rekaman yang menunjukkan ketidakwajaran sikap terdakwa sebelum kejadian.”
Ari hanya tersenyum kecil.
Ia tahu, pengadilan bukan soal siapa yang paling keras suaranya. Tapi siapa yang punya data, logika, dan empati.
Ketika gilirannya berbicara, Ari berdiri dan membungkuk ringan.
“Yang Mulia, saya akan buktikan bahwa klien saya bukan hanya tidak bersalah, tapi sedang dijadikan korban pengalihan dosa oleh pihak-pihak yang ingin menyembunyikan kebenaran. Dan saya minta waktu agar kami bisa membuka ulang semua bukti yang selama ini diabaikan.”
Hakim menatap Ari lama. Lalu mengetuk palu.
“Baik. Sidang akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Penuntut umum diminta menyiapkan rekaman dan transkrip lengkap percakapan terdakwa dan korban.”
Di minggu itu, Ari tak tidur. Ia dan asistennya, Dita—seorang mahasiswa magang dari fakultas hukum—menelusuri rekam jejak digital korban. Mereka menyisir email, log panggilan, hingga data cloud yang berhasil diakses dengan ijin istri korban yang juga curiga dengan kejanggalan kasus ini.
“Ada file backup WhatsApp di sini, Mas Ari. Tapi terenkripsi,” ujar Dita.
“Pakai program pengurai. Fokus cari dua minggu sebelum kematian.”
Dita butuh tiga hari penuh untuk membuka sebagian data itu.
Dan di malam keempat, mereka menemukan pesan yang mencurigakan:
“Kalau lo gak kasih saham seperti janji, gue akan buka semuanya. Gue tahu semua kebusukan proyek Surya Green.” – Pengirim: “Ardi” (asisten pribadi korban)Nama itu asing bagi media, tapi Ari mengingatnya. Ardi, asisten pribadi yang selalu tampak setia, bahkan menangis saat diwawancarai wartawan.
Tak hanya itu. Dita juga menemukan rekaman CCTV dari toko kelontong di seberang rumah korban. Rekaman yang ‘tidak dilihat’ polisi.
Cuplikan itu menampilkan mobil korban masuk ke rumah pukul 21.17 malam. Terlalu malam untuk jam kerja. Dan di dalam mobil itu, ada siluet sosok mengenakan jas dan jam tangan mewah.
“Andika nggak pernah pakai jas. Dia sopir,” gumam Ari.
Dan di situlah semuanya berubah.
Hari sidang lanjutan tiba. Kali ini, suasana ruang sidang berbeda. Ari datang membawa bukti baru, dan media mencium aroma 'twist' dalam kasus ini.
Satu per satu, saksi dari kejaksaan bersaksi. Namun, ketika Ari maju, ia membawa laptop, proyektor, dan file yang terorganisir rapi.
“Yang Mulia, kami menemukan rekaman dari toko sekitar TKP yang sebelumnya tidak diminta oleh penyidik. Mohon izin memutarnya.”
Hakim memberi izin.
Di layar, semua melihat dengan jelas: mobil korban, sosok lelaki berjubah formal yang masuk ke rumah. Ari menghentikan video, lalu menunjukkan print-out pesan ancaman dari Ardi.
“Yang Mulia, ini percakapan antara korban dan asistennya, Ardi. Percakapan penuh kemarahan, ancaman, dan motif. Kami juga akan memanggil saksi baru minggu depan: istri korban dan pemilik toko yang menyuplai rekaman ini.”
Jaksa terdiam. Hakim mengernyit. Suasana berubah.
Dan Ari tahu, kebenaran mulai naik ke permukaan.
Hari itu, ruang sidang kembali penuh. Para wartawan duduk berjejal di bangku belakang, berharap ada drama. Kali ini, suasana benar-benar berbeda. Dari balik pintu kayu, saksi baru memasuki ruangan: Ibu Lestari, istri korban.
Wajahnya pucat tapi tegas. Ia mengenakan kerudung abu-abu dan blazer hitam. Sebelum duduk, ia menatap singkat ke arah Andika. Pandangan yang campur aduk antara simpati dan beban rasa bersalah.
"Silakan, Ibu. Ceritakan yang Ibu ketahui," kata Ari dengan suara tenang.
Lestari menarik napas panjang, lalu mulai bicara.
“Saya dan suami saya... akhir-akhir ini sering bertengkar. Salah satunya tentang proyek properti ‘Surya Green’ yang dijalankan bersama rekan bisnisnya, Ardi. Saya tahu suami saya tidak bersih. Tapi saya tidak menyangka... bahwa ancamannya bisa sejauh ini.”
Suara Lestari bergetar.
“Dua malam sebelum dia meninggal, saya melihat Ardi datang malam-malam ke rumah. Mereka bertengkar hebat. Saya tidak berani mendekat, tapi saya mendengar Ardi mengancam... ‘Kalau gue jatuh, lo ikut jatuh.’ Saya tidak pernah cerita ini ke penyidik karena takut... takut anak saya kehilangan segalanya.”
“Apakah Ibu mengenali sosok dalam rekaman CCTV yang ditunjukkan minggu lalu?”
Lestari mengangguk pelan. “Itu Ardi. Saya ingat jam tangannya. Limited edition Tag Heuer. Suami saya belikan tahun lalu.”
Setelah itu, Ari memanggil saksi berikutnya: pemilik toko kelontong tempat CCTV dipasang.
Pria tua itu, Pak Roni, bersaksi bahwa ada seorang laki-laki datang ke tokonya sehari setelah pembunuhan dan menanyakan tentang CCTV. Pria itu membawa uang Rp5 juta dan memohon agar semua file dihapus.
“Saya curiga, makanya saya salin dulu ke flashdisk sebelum pura-pura hapus,” kata Pak Roni sambil terkekeh.
“Apakah Bapak mengenali pria tersebut?”
Pak Roni mengangguk. “Saya lihat wajahnya di TV. Itu si Ardi.”
Di luar ruang sidang, media mulai mengendus arah baru kasus ini. Tagar #BebaskanAndika menggema di media sosial. Banyak yang sebelumnya menghujat, kini mulai meminta maaf di kolom komentar.
Ari tahu, ini belum selesai. Tapi saat ia kembali ke kantor malam itu, Andika memegang tangannya dan berkata, “Saya belum tahu bagaimana hidup saya setelah ini, Pak. Tapi saya percaya Bapak tidak sekadar membela... Bapak menyelamatkan martabat saya.”
Itu cukup.
Dua minggu kemudian, sidang mencapai puncak.
Jaksa Penuntut Umum akhirnya mencabut sebagian dakwaannya setelah Ardi ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Polisi menemukan sidik jarinya di gagang pisau melalui teknik forensik baru yang memperkuat analisa lama. Selain itu, motif finansial dan ancaman korban telah terbukti.
Namun karena sistem hukum tetap harus berjalan, Hakim membacakan putusan secara hati-hati.
“Setelah mempertimbangkan semua bukti, saksi, dan fakta persidangan, pengadilan menyatakan terdakwa Andika tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan seperti dalam dakwaan jaksa. Oleh karena itu, terdakwa dinyatakan bebas murni dan dipulihkan harkat serta martabatnya.”
Suara palu terdengar seperti petir kemenangan.
Andika menangis.
Lestari pun berdiri, menghampiri Andika, dan memeluknya sambil berkata, “Maafkan kami... maafkan kami semua...”
Ari hanya diam.
Baginya, keadilan bukan soal selebrasi. Tapi tentang memperjuangkan apa yang benar—meski harus menabrak opini publik, melawan aparat, bahkan menghadapi tuduhan gila.
Hari itu, pengadilan bukan hanya membebaskan satu orang.
Tapi juga membebaskan banyak orang dari ketakutan untuk berkata "tidak semua orang kecil bersalah".
Seminggu setelah sidang, Ari kembali ke rumah kecilnya yang juga kantor hukum.
Di mejanya, sudah menumpuk surat—sebagian besar dari warga biasa yang ingin mencari keadilan: ibu rumah tangga yang kehilangan rumah karena ditipu developer, buruh pabrik yang dipecat tanpa pesangon, dan seorang mahasiswa hukum yang menulis:
“Pak Ari, saya ingin jadi pengacara seperti Bapak. Yang tidak takut berdiri di depan sistem yang cacat. Yang tidak menjual idealisme demi honor. Terima kasih karena membuat kami percaya bahwa hukum masih bisa membela yang benar.”Ari membaca surat itu dengan tenang. Ia mengambil gitarnya, memainkan lagu lama yang ia ciptakan di masa kelamnya dulu.
Lagu tentang orang-orang kecil yang ingin bersuara. Tentang keadilan yang tidak punya juru bicara.
Kini, ia adalah juru bicara itu.
Dan selama napas masih ada, ia akan terus berdiri di garis depan.
Membela yang tak terbela.