Cerpen
Disukai
1
Dilihat
11,032
Suami
Drama

Langsung saja ke inti dari pada membuka paragraf dengan berbunga-bunga—saya tahu justru di bagian ini yang paling menentukan—soal masalah yang mau saya sampaikan. Eh, masalah? Sepertinya banyak hal yang layak disebut masalah ketimbang sekelumit yang mau saya urai. Bukan berarti tak penting sama sekali. Tapi, yah, Ibu tahu lah. Perkara teknis dalam suatu cerita tak lebih penting dari isi dan daya pikat sebuah cerita. Sekarang kita tentukan saja setelahnya. Deal?

Jadi, sejak cerita itu Ibu lansir, tersebar, dan menginap di kantung simpan digital pembaca, saya jadi gusar sendiri. Tak biasanya saya punya perasaan seperti itu. Saya seperti menahan kencing di malam suntuk karena malas ke jamban, dan harus terbangun tak lama setelah terlelap hanya untuk membuang air seni ke pelimbahan. Terasa lega tapi setelahnya sulit memejamkan mata untuk kembali tertidur. Saya gusar, saya gelisah.

Tokoh Amang yang saya utamakan perannya dalam cerita itu, seolah bergerak sendiri di luar kuasa saya. Semula saya tak menaruh curiga, malah saya pura-pura tenang, meski suami yang duduk di sisi saya mungkin tahu gelagat mencurigakan setamatnya saya membaca cerita. “Kok gak kelihatan bungah? Honornya belum cair?” katanya. Saya nyengir, melipir ke kamar. Membuka lagi lembar letak halaman sastra dan membacanya lagi.

Ibu mungkin pernah membaca, atau pernah mendengar—saya harap keduanya pernah Ibu alami—soal intervensi editor terhadap naskah yang ia lansir. Orhan Pamuk pernah mengeluh kenapa Shekure tampak sebagai tokoh di luar kuasanya saat novel fenomenal itu dirilis. Jangan-jangan ada petingkah yang dirubah atau bahkan ditambahi pada karakter itu. Atau jangan-jangan, di tengah cerita, tokohnya memang benar-benar hidup dan meminjam tangan Pamuk untuk menuliskan kisahnya.

Di sore itu, Amang lewat depan rumah saya. Pemandangan yang lazim seperti ratusan sore yang telah lalu. Helm hitamnya berkilat-kilat memantulkan sinar matahari, terkadang bintik-bintik hujan memantul-mantul dari helmnya. Celana jins hitam, sepatu boot, jaket merah marun. Di atas motor matic Jepang berwarna putih ia melangsir begitu saja di depan rumah, sementara saya mengamatinya dari jendela lantai dua. Sebagai orang baru di daerah ini saya belum ingin bergaul terlalu sering, tapi saya tahu dari tetangga, Amang bekerja di perusahaan tambang.

“Dia mah menambang duit. Dari tanah keluar uang, bukan minyak,” ujar Bu Las, tetangga samping rumah.

“Masa sih, bu? Harusnya pakai mobil jip besar dong, gak pakai motor begitu,” timpal Bu Tri, tetangga depan rumah.

“Lha, gimana sih, orangnya pelit begitu, mana mau beli barang-barang. Tuh lihat, rumahnya aja kan masih ngontrak.”

“Eee... bisa saja uangnya dipakai istrinya foya-foya di kampung.”

“Hus! Jangan keras-keras dong.”

Saya berada di antara mereka dan cuma nyengir kuda. Saya yakin stok sinetron kita tak akan habis untuk dua abad ke depan. Tapi, sialnya, saya tersihir dengan gosip sesederhana itu. Cara Bu Las dan Bu Tri bergosip masih dalam taraf wajar. Di sini saya bersyukur, teknologi di ponsel mereka belum mampu mengakses media sosial. Iklim media sosial kita akan lebih sensasional bila genre sejenis ini mendapatkan tempat selayaknya sinetron mendapatkan tempat di hati pemirsanya.

Sempat saya bertanya pada suami, memangnya Amang itu seperti apa, boleh jadi ia pernah ngeronda bareng atau tegur-sapa di rapat balai warga. Jawaban suami saya sederhana dan tak memuaskan rasa penasaran. Lebih tepatnya, saya tak mendapatkan kenapa Amang tinggal sendirian. Apakah benar istrinya berada jauh darinya di suatu tempat, menunggu kedatangannya, membawa uang sekarung lantas berfoya-foya?

Seringkali saya membuntutinya dengan mata saya sampai ia ditelan kelokan gang. Suami pun tahu saya punya rasa penasaran yang besar, tapi tak punya keberanian untuk menjawabnya. Ini berkait dengan status saya sebagai istri. Soal menanyakan langsung kepada orang yang baru saya kenal, seperti Amang misalnya, khawatir menimbulkan perasaan kurang sedap pada suami saya. Meski saya tahu ia orang yang tulus dan tak terganggu dengan siapa saya menjalin pertemanan, sejak saya masih sekolah, bekerja, kemudian menikah dengan umur rumah tangga berjalan dua tahun.

Setelah saya hangatkan pisang goreng untuk kelak dikudap suami setibanya ia di rumah, saya naik ke lantai dua, bertengger di balik jendela. Pukul lima sore, biasanya Amang melintas dengan motornya. Kali ini saya akan menyimaknya. Saya akan merekam suara motornya, merek motornya, bila dimungkinkan kecepatan motornya saat melintas di depan rumah. Saya bersiap dengan pena, secarik kertas, juga ponsel. Detail adalah segalanya.

Sepuluh menit saya menunggu Amang tak juga lewat.

Saya hanya melihat Bu Las dan Bu Tri berjalan beriringan menuju rumah masing-masing dengan menenteng kantung plastik berisi daun bawang, sebongkah tempe, dan sisanya yang tak begitu jelas. Tapi Amang tak kunjung tampak. Saya mulai curiga, bisa jadi hari ini ia lembur. Atau malah ia tersendat macet. Tapi, jarang sekali saya mendengar ada kemacetan di jalan menuju perumahan ini. Apa di jalan ada yang ditabrak mobil? Kejadian seperti itu mengundang orang-orang untuk berkerumun dan memacetkan jalan. Tapi, bagaimana bila Amang sendiri yang ditabrak?

Saya tak mau berlebihan. Dari sekian bulan, baru di sore ini saja ia tak tampak di waktu yang biasanya ia lewat. Saya pastikan jam ponsel benar, setelah saya usap terpampanglah 17:20. Sepuluh menit lagi suami saya tiba. Saya turun ke bawah, mengambil handuk, masuk kamar mandi. Saya sampirkan handuk di gantungan, lalu menanggalkan pakaian satu persatu. Saya putar tuas keran dan rintik shower mengguyur kepala.

Oh I dream a highway back to you love

A winding ribbon with a band of gold

A silver vision come and rest my soul

I dream a highway back to you

Saya teringat kali pertama lagu itu diputar suami di kamar kosnya. Katanya, cara Gillian Welch menyanyi mirip dengan cara ibunya bersenandung. Perbedaannya, ibu mertua menyenandungkan Pileleuyan dengan bahasa Sunda, sedang Welch berbahasa Inggris. “Coba kita tukar,” katanya, “kalau Welch menyanyi pakai bahasa Sunda cengkoknya pasti sama seperti ibu. Tapi kalau kamu yang nyanyi kok beda.”

“Memangnya terdengar seperti apa?”

“Seperti perempuan yang sedang menunggu.”

“Maksudmu?”

“Ya, menunggu sesuatu.”

“Bisa lebih spesifik? Bisa jadi dia menunggu bedug buka puasa.”

“Ya kurang lebih seperti itulah.”

Suami saya mengarang, atau mengambil perumpamaan, dan membuat saya harus berpikir sendiri sampai paham. Namun di situ letak kenyamanan yang saya dapatkan. Ia tak pernah memaksakan apapun yang saya ungkapkan untuk sesuai dengan kepalanya, meski toh pada akhirnya ia hanya tertawa, mengecup kening saya dengan lembut. “Kamu tuh, lucu tauk kalau lagi mikir.”

Saya meraih shampo, memijit botolnya perlahan. Biasanya ia sudah terduduk di ruang tengah, menyalakan televisi, menyulut rokok filter sambil mengusap-usap ponsel, lalu meraup pisang goreng di dapur. Ia akan mandi sehabis Magrib. Selalu seperti itu. Tapi saya tak mendengar suara televisi meski tuas saya putar dan air tak lagi mengucur ke kepala. Busa shampo mengucur ke dahi dan mata. Terasa perih. Tapi telinga saya tak menangkap suara apa pun di luar.

Tanpa aba-aba, saya mengguyur kepala dengan air di bak, meraih sabun, melumuri sekujur badan sampai terasa licin, dan mengguyurnya lagi. Saya raih handuk, memasang telinga erat-erat pada setiap bunyi yang mampu saya dengar dari kamar mandi. Terdengar decit daun pintu disusul suara pintu merapat ke dinding kusen. Dalam hati saya merasa lega. Tapi, langkah saya keluar dari kamar mandi seperti tertahan. Seolah handuk yang saya kenakan menarik saya kembali ke dalam kamar mandi.

“Sudah pulang?”

Hanya suara langkah kaki, tumit menapak di atas lantai, bergantian, merambat menuju ruang tengah. Apa iya suamiku sudah pulang? Kok diam saja?

“Assalamualaikum, bu.”

Itu bukan suara suami saya.

“Assalamualaikum, permisi.”

Lancang sekali kok sampai masuk ke ruang tengah? Apa iya bertamu bisa masuk ke rumah orang, tanpa dipersilakan masuk si tuan rumah? Dada saya berdetak-detak, saya dapat merasakan dari handuk yang membebat dada yang masih basah menguarkan lavender. Saya raih gagang pintu kamar mandi, menariknya perlahan dan menyasar arah suara lelaki barusan, bersijingkat lalu mengintip dari balik dinding pemisah dapur dan ruang tengah.

Amang.

Itu Amang, di ruang tengah, memunggungi saya. Helm hitamnya ia jinjing, jaket parasut merah marunnya masih ia kenakan, celana jins hitam itu rupanya bukan berbahan jins, tapi katun twill hitam yang kaku. Saya raih pisau, menggenggamnya erat, menyembunyikannya di lengan kanan di balik punggung.

“Ada apa, pak? Kok masuk gak ketuk pintu dulu?” hardik saya. Saya tahu ini basa-basi, tapi ia menoleh kaget, tatapan matanya menghunjam mata saya.

“Mohon maaf, bu. Saya Amang, mengontrak di ujung belokan.”

“Iya, saya sudah tahu. Ada perlu apa?”

“Mohon maaf sekali lagi, bu. Suami ibu.”

“Ada apa dengan suami saya?”

“Suami ibu, tadi, eh... tadi suami ibu di jalan.”

“Iya! Memangnya ada apa dengan suami saya, heh?”

Ponsel berdering. Genggaman pada pisau di lengan balik punggung terasa lemas. Saya meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa. Nomor tidak dikenal. Abaikan. Apa-apaan ini? Saya tatap Amang, tapi mukanya menumbuk lantai.

“Cari apa pak di lantai?” bentak saya lagi.

“Maaf, bu, begi—”

“Sudah, jawab dulu, ada apa dengan suami saya?”

“Di jalan pulang tadi, saya bertemu suam—”

Ponsel berdering lagi. Nomor tak dikenal. Kesal, saya tekan ikon jawab. Kedua kaki saya mendadak lemas. Pisau terjatuh, kedua lengan lunglai menggantung. Pandangan kabur, kepala saya berat.

“Ibu bisa ikut saya menjemput.”

Seperti tersihir, saya masuk ke kamar, mengenakan pakaian, menyampirkan tas di bahu. Di luar rumah, Bu Las dan Bu Tri diam mematung. Mata saya basah. Keduanya memeluk saya dengan mata yang basah. Sepanjang perjalanan kepala saya seperti terlepas dari tubuh. Saya diam, berpegangan pinggang Amang, menatap nanar pantulan wajah sendiri di helm hitamnya.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)