Cerpen
Disukai
96
Dilihat
22,307
Mumu, Karnap, dan Cerita yang Tak Perlu Dipercaya
Drama

MENURUT MUMU sekira sejam yang lalu nyawaku melayang. Meninggalkan tubuh yang terkulai lemas di sofa. Mumulah yang melanjutkan ketikan ini sampai akhir. Sialnya tak ada yang memercayainya, dalam beberapa bagian harus diubah sesuai kelumrahan dunia manusia, bukan dunia fauna, atau duniaku sebelum bergentayangan seperti ini.

Yang mengubahnya bukan Mumu juga bukan aku. Karnap berlagak jadi editor. Ia lelaki kulit putih, mengambil prodi Bahasa dan dinyatakan lulus oleh universitas setelah enam tahun. Fakultas merasa Karnap hanya main-main. Memang ada benarnya. Ia tak tampak seperti mahasiswa pertukaran atau mahasiswa cerdas dan pekerja keras yang meraih beasiswa internasional. Bagiku ia Gen X yang biasa-biasa saja.

Aku bertemu Mumu di parkiran minimarket. Kucing hitam tanpa ekor itu menggelesot manja di kakiku. Sorot kedua matanya menumbuk mataku. Terus terang tingkahnya membuatku geli dan risih. Tapi sepertinya Mumu tahu, ia rebah di lantai sambil tetap menatap. Saat itu Karnap belum kembali dari kediaman seorang pejabat “Makelar proyek,” katanya. “Negaramu diuntungkan dengan proyek ini, percayalah.” Ia lalu menghilang di kelokan komplek perumahan, meninggalkanku dengan rokok tak lebih dari setengah bungkus.

Ketika menyulut sebatang, kucing hitam itu tiba-tiba melompat ke atas paha. Refleks, kujauhkan rokok dan geretan dari jangkauannya. Mau bagaimana tak peduli seorang perokok, aku tak tega abu rokok apalagi percikan bara rontok di kepalanya. Ia lalu merebahkan badan, selangkanganku agak bergetar sekaligus jijik. Tapi ia tenang menelekan kepalanya di atas pahaku. Rokok menyala dan embusan asapnya pecah di udara.

“Gak takut covid, Neng?” sapanya.

“Nang-neng nang-neng, nama gue Risa. Kamu?”

Perkenalan kami singkat sekaligus ajaib. Mumu langsung mendukung rencanaku. Kadang aku membutuhkan orang-orang asing, atau hewan. Seperti mendapat tepukan kecil di pundak yang menambah kepercayaan diri.

Tak berselang lama Karnap pun mendekat menjinjing kotak bolu pandan. Ia hampiri motor dan memberiku helm. Aku duduk di boncengnya dengan Mumu di pangkuan. Aku tinggal bersama Karnap, di kediaman yang ia sewa selama tujuh tahun berturut-turut. Kami sampai di rumah dan aku merasa tak enak mengudap bolu sendirian. Mumu mengitari komplek membuntutiku dan membuang air seni di halaman. “Ini bolu. Makanlah. Aku tak tega melihat kucing kurus sepertimu.” Ia hanya mengumpat dalam bahasa kucing sementara aku terpingkal-pingkal.

 

KARNAP tak pernah suka kucing dan aku tahu itu. Ia tak pernah mengizinkan Mumu masuk sekalipun di ruang tamu. Aku menyukai ketegasannya, di lain pihak aku tak risau akan keberadaan Mumu. Jika butuh apapun ia akan memanggilku dari jendela dan ia akan bercerita panjang-lebar dari situ. Ia tak segan bercerita tentang manusia dan kucing-kucing komplek yang menarik perhatiannya.

“Aku kira seperti Murakami pernah gambarkan, perawakanmu tak seceking ini.”

“Tak semua kucing terlihat lucu. Salah satunya aku,” tukas Mumu.

“Kucing ceking banyak kutemui di semesta Amerika Latin, tapi semua kucing Murakami tampak sehat dan punya hidup setenang PNS.”

“Kau mengada-ada, Risa”

“Kau kenal Larry? Kucing gembrot yang kerap nangkring di Downing Street?”

Sebetulnya, nasib Mumu bisa agak baik meski tak harus jadi PNS. Ia lahir dari keluarga yang berkecukupan. Sejak kedua matanya belajar menangkap cahaya, ia tak pernah merasakan kelaparan. Ibunya rajin membawakannya ikan sarden pemberian sang majikan, seorang ibu beranak empat bersuamikan ustad kondang. Sepayah-payahnya ayah Mumu, jantan berbulu kuning itu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Nasib mujurnya bertahan sampai kira-kira Mumu berumur satu tahun dan hancur seketika saat memergoki ibunya disemburit kucing buduk di balik gerumbul semak. Saat itu juga ia pergi meninggalkan keluarganya, yang terdiri dari satu betina kakaknya dan satu jantan adiknya.

“Adikku tak pernah mencecap gurihnya daging burung dara. Ia terlindas motor saat menyebrang jalan. Hancur dan mati seketika.”

“Itu tragis. Kuharap kau tak berakhir seperti adikmu, atau seperti kebanyakan kucing di luar sana.”

“Apa yang kau maksud dengan di luar sana?”

“Misalkan, kau berakhir di perut biawak, atau ada seseorang yang menculikmu dan menamaimu Putri meski tahu ada sesuatu menggantung di pantatmu.”

Mumu tak pernah bersedih atau gusar. Ia benar-benar kucing yang tangguh. Sebaliknya, meski baru saja memasuki kepala tiga, aku masih perempuan yang cengeng. Aku memang tak menangis, tapi air mata selalu menggenangi kedua mataku saat mendengar Claire de Lune. Karnap bilang aku perempuan sensitif sekaligus bercitarasa tinggi. Mungkin karena itu ia tertarik denganku dan memutuskan tinggal bersama. Meski aku sendiri bingung “citarasa tinggi” itu persisnya seperti apa.

“Apa karena aku mendengar musik barat?”

“Mungkin, tapi itu hanya satu dari sekian banyak citarasa, dari selera.”

“Apa karena aku menyukaimu, lelaki kulih putih, dan bukannya lelaki sini yang berkulit sawo matang?”

“Boleh jadi. Tapi aku sendiri ragu. Yang jelas, kamu perempuan yang mempunyai selera.”

“Selera Bundo?”

“Itu terdengar seperti rumah makan Padang, ya? Eh, jadi, di mana letak perbedaannya dengan warteg?”

Ia pernah bertanya mengapa Claire de Lune membuatku menangis, “Seseorang lain di luar sana dapat menguras air mata ketika mendengar Liebestraum,” katanya. Aku tak mampu mengungkapkan yang sebenarnya. Komposisi itu mengalun dengan lembut dan semua orang dapat menyetujui hal sederhana ini. Akan tetapi, dapatkah kita menyamakan sensasi dan imaji yang hadir di kepala setiap orang? Arak-arakan awan putih kapas di atas sana tampak seperti gajah bagi Hemingway, bagi sebagian orang boleh jadi tak berarti apa-apa.

Claire de Lune adalah komposisi yang tragis dan Karnap mungkin tak akan pernah setuju dengan pendapatku. Seketika karya Chopin yang fenomenal itu mengalun, ada bayangan seorang anak kecil di kepalaku. Saat tuts piano menyentuh nada tinggi, si anak kecil memasuki adegan-adegan yang memilukan. Ia pergi ke pasar mencari sisa makanan, bungkusan pemberian, dan belas kasihan dari sumpak-sesaknya pasar. Lalu ia terhimpit di sebaris antrian, dan seseorang tiba-tiba melayangkan tinjunya ke wajah anak itu. Semua terjadi dalam adegan yang serba lambat, kepiluan itu terjadi dalam slow motion mengikuti tempo Claire de Lune.

Aku benar-benar menangis. Saat kami bercinta terselip Claire de Lune sebagai musik latar. Aku merasakan remuk redam yang juga dirasakan anak kecil itu. Aku ingin menghentikannya, juga menghentikan Karnap yang tampak terlalu memaksakan diri. Ia seperti pelari marathon yang kehabisan napas dan terpaksa berlari untuk membuat dirinya merasa berguna. Terkadang ia memang seperti itu. Sebelum kutahu maksud Karnap yang sebenarnya, kuliah selama enam tahun tak lebih dari sebuah tanggungan akan kebanggaan agar dirinya tampak berguna.

 

KAU yakin mau mencatatnya, Risa?”

Aku tak pernah seyakin ini dalam 30 tahun hidupku. Konsentrasiku mendadak buyar. Pertanyaan itu ada dalam kepalaku, mengambil bentuk Mumu yang duduk melingkar di atas meja. Tapi Mumu benar-benar ada di atas meja, dan ia duduk melingkar dengan pandangan mata yang menumbuk mukaku. Aku grogi. Ketikanku terbata-bata. Sudah setengah jalan dan bila kuhentikan sekarang hanya karena diriku kurang yakin, alamat sulit tidur seminggu penuh.

“Jawab pertanyaanku.”

“Ya, aku yakin. Kau lihat kan, aku terus mengetik.”

“Ini menyangkut nyawamu.”

“Lebih baik kau segera menyelinap ke luar, menungguku di teras. Karnap tak segan mencingcangmu bila melihatmu bertengger di atas meja.”

Aku mengontak seseorang, memastikan ia akan mengurus perihal ini dengan baik. Mumu meloncat ke luar lewat jendela. Udara sore mengantarkan angin dingin. Pukul lima Karnap akan tiba dan waktuku hanya tersisa tiga puluh menit sebelum kukirim tulisanku lewat email. Sampai saat itu tiba, aku akan terus mengetik, mencatat, dan menerangkan segalanya sejernih mungkin.

Tapi aku hanya bisa berencana, sejauh ini, semantap apapun hatiku berkehendak. Sebab Karnap tiba-tiba saja mencengkeram—maksudku, memeluk erat dari belakang. Dengus napasnya naik-turun, dari mulutnya menguar aroma tuak.

“Kok sudah pulang?”

“Suprise! Aku kangen, jadi aku pulang lebih awal.”

“Memangnya gak ada kerjaan lagi?” Ia melingkarkan lengannya di perutku, bergerak meronta adalah sia-sia. Aku mengulur waktu, ia terus bicara selagi sempoyongan.

“Oh, honey, mereka sudah kuperdaya. Mudah sekali menyulut api di antara kerumunan. Ha-ha-ha...”

“Dengan begitu kamu bisa pulang lebih awal, sayang?

Absolutely! You are such a bright person, honey,” ia menyosor bibirku, ini kesempatan untuk kututup laptop dan membuatnya menjauh dari meja.

“Lantas, setelah itu?”

“Biar mereka yang mengurus keributannya. Bapak-bapak berseragam digaji untuk itu. Aku digaji untuk membikin onar.”

Ia melumat bibirku, menyeretku ke sofa dan menindihku. Berat badan lelaki brengsek ini rupanya telah bertambah dan membuatku sesak. Seperti tertimpa reruntuhan beton, sulit bernapas, gelap. Kedua lenganku tak bisa menjamah apapun, Karnap melilitkan sabuk pinggangnya dan mengikat kedua lenganku. Ia mulai mencabik-cabik tubuhku, memecut punggungku, menampar pipiku, mencekik leher, meninju perut, dan mulai menghantamkan benda di selangkangannya itu tanpa henti.

Mataku buram. Kunang-kunang merangsek ke dalam sudut mataku. Di situ aku melihat Mumu. Ia melompat dari jendela ke atas meja, bertengger di dekat laptop. Napasku tercegat dan tercekat, dingin menjalari punggung. Napasku tak sampai, terhalang cengkeraman jari kekar Karnap di leher. Tapi sesuatu mengalun lembut menyusupi telingaku, mengalir ke dalam rongga kepalaku. Claire de Lune, tak salah lagi. Denting pianonya, dan bayangan anak kecil dengan muka yang koyak. Ia mendekat ke arahku, menengadahkan kepalanya, menatapku lembut, lalu tersenyum. Ia menjulurkan lengannya dan kugapai dengan sekuat tenaga, “Namaku Risa, kamu?”

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)