Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,881
Asap dan Muasal
Thriller

Asapku meninggalkan celah rongga tubuh yang keropos dan menghitam. Membubung menembus atap rumbia. Meninggalkan arang, meninggalkan jasad. Gosong. Menguarkan hangit yang pekat. Malam kian menjadi, mataku lamur, di telingaku pekik suara sirna perlahan.

Tak pernah terpikirkan caraku mati ternyata seperti ini. Ujung kisah yang tak hanya mengubahku menjadi abu, tapi juga mengubahku jadi segumpalan asap kelana tanpa tubuh yang terus membubung jauh. Menjauhi kerumunan yang hanya tinggal bintik-bintik kecil.

Aku mati dibakar orang. Mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Para calon penghuni surga itu. Para alim penuntun jalan itu. Aku tahu, mereka sangat menyayangiku. Segan melihatku menderita terlalu lama di dunia. Karenanya, mereka mengirimku ke sini dengan caranya yang paling tepat. Asap lebih cepat meninggi ke langit ketimbang harus menguburku dahulu beberapa jengkal di bawah tanah.

Mungkin, ini semacam ritual baru yang aku sendiri tak mengetahuinya. Bisa jadi inilah sebuah bukti bahwa kedekatanmu dengan para alim pimpinan tak akan menjaminmu mengetahui rahasia paling kekal dari sebuah kebakaan. Kusadari aku takabur, namun aku tak ingin mencurigai apa pun. Kuyakini ini sebagai kejutan, sebagai hadiah sakral dari pedepokan. Aku harus menerimanya walau badanku menggosong.

Aku ingat hari-hari menjelang kutinggalkan tubuhku. Kudapati suasana padepokan hampir tak berubah. Semua alim menghadiri upacara ritual siang-malam. Lusinan bocah membuat gaduh di balairung. Nyanyian puja-puji mereka terdengar seperti petasan yang meletup-letup. Begitu khidmat, begitu membahagiakan, begitu takzim. Rasa-rasanya, alangkah mustahil peperangan bisa terjadi di negeri kami. Aku semakin taksa berdoa demi kedamaian abadi.

Tapi doaku kalah cepat dari doa alim pimpinan.

“Kau berdoa untuk kedamaian di saat kita bersiap menerjang musuh?”

“Aku hanya menginginkan kedamaian.”

“Berarti kau membela musuh!”

Atas kehendaknya, aku ikut berdoa. Aku memohon agar padepokan negeri kami memenangi peperangan. Aku mengamini dengan lantang sebagaimana sikap seorang prajurit yang mau pergi perang. Walau entah akan berhadapan dengan musuh atau bukan.

“Membela padepokan negeri ini adalah jalan restu yang paling mulia!”

“Karena kita berada di jalan tuhan, dan dengan kehendaknya kita memenangi peperangan!”

Kalimat terakhir itu kubiarkan tak terucap. Hanya gemuruh para alim mengikuti ucapan alim pimpinan di mimbar. Terkadang, aku hanya ingin menangis seharian, lebih sering malah ingin pergi ke hutan paling lebat. Menyepi, mendengarkan suara-suara yang bersemayam di dalam hutan. Tapi padepokanku melarang orang-orang untuk menyepi. Aku tak bisa menolak untuk dilanda kesedihan. Jika tuhan tak bisa kutemukan pada riuh rendah, apakah juga ia tak bakalan ada dalam kesunyian?

Hanya pada alim sahabat kuutarakan kesedihanku. Hanya pada dirinya kudapati keluwesan bahan bicara. Ia membiarkanku merengek, mengumbar segala keresahanku. Sesekali kami bicara hal-hal yang membikin beberapa alim padepokan pusing. Bersama alim sahabat, kami saling melempar tantangan. “Matilah,” demikian ia berujar, “mungkin kau mampu melihat tuhan karena hanya itulah kemungkinan bagi manusia, jika tidak pada saat kita hidup, untuk bersitatap dengan sang khalik.” Lantas kutanyakan padanya, “Apa kita telah benar-benar bersaksi akan dirinya tatkala kita hidup?”

“Barangkali begitu.”

“Tapi aku ragu.”

“Imani keraguanmu.”

“Kau melantur.”

“Kita semua sedang melantur, bukan?”

“Melantur lebih baik dari peperangan.”

Beberapa alim padepokan mungkin akan cepat gusar jika kuutarakan hal demikian. Mungkin perasaan itu yang membebani kedua orang tuaku bertahun-tahun, dan akhirnya mengirimku ke padepokan untuk “mempelajari langsung dari ahlinya agar tidak sesat,” kata mereka suatu hari. Sejujurnya, mereka adalah alim-alim yang baik, yang rajin menasehatiku, dengan cakap menuntunku di jalan yang mereka yakini. Jalan kebenaran, jalan tuhan.

“Mengapa kita harus membenci ciptaan tuhan, guru?” Aku pernah bertanya demikian pada guruku. Aku membayangkan makian dan cercaan, pedang-pedang dan tombak-tombak itu, buat memenggal kepala musuh padepokan.

“Kita hanya menjalankan perintah tuhan,” jawabnya.

“Kenapa ia memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal keji?”

“Mereka itu musuh.”

“Aku tak mau menuruti perintah tuhan semacam itu.”

“Sebutlah nama tuhanmu!”

Telingaku berdenging keras dan pipiku merah. Ia pergi meninggalkanku dengan mata yang hampir copot. Sejujurnya aku tak ingin mati meninggalkan seribu pertanyaan tak terjawab. Aku tak bisa mengimani orang lain. Nuraniku seolah menolaknya dan aku tak sanggup mendustainya lebih jauh. Karena aku yang bersaksi dengan mata kepalaku. Tak kupinjam mata kepalanya. Juga tak kupinjam telunjuk dan hidung guruku.

Pernah juga kusangsikan seseorang dari negeri seberang yang mengaku sebagai tuhan. Kupikir ia sama gilanya denganku. Hanya kenekatannya saja yang menyerupai halusinasi, jika tak dikata sebagai kelihaian memainkan lelakon lucu. Padahal, semakin kau tua kau harus pintar-pintar menahan gelitikan seperti ini. Kebaikan-kebaikan bisa datang dari mana saja, termasuk menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa yang mendadak.

Sayangnya, lelakon seperti dirinya tak bisa awet. Padepokan negeri kami mempunyai aturan yang mesti ditaati segenap rakyat. Orang yang mengaku sebagai tuhan itu dimandikan di ujung muara, pada pertemuan air tawar dan air asin. Ini dilakukan agar padepokan senantiasa terhindar dari kesialan sepanjang tahun. Upacara mandi ini lebih mirip perayaan, rakyat berdesakan menontonnya dari bibir sungai. Para alim pimpinan melarang keras bocah-bocah menciduki air sungai selepas prosesi usai. Dasar bocah, mereka memakainya buat kumur-kumur demi menghilangkan sakit gigi.

Adalah mungkin bila banyak orang bertanya-tanya. Hanya alim pimpinan negeri ini yang telah bertemu tuhan. Mereka tentu merahasiakan keberadaannya; hanya mau memberi tahu pada beberapa alim terpilih. Namun, seperti beberapa tahun yang lalu, ada saja alim pilihan yang mencoba membocorkan rahasia paling sakral itu. Artinya, tindakan demikian sama saja dengan mendekatkan diri pada sang ajal. Kepala alim pilihan itu pun dipenggal, badan dan kepalanya dibakar terpisah. Begitu si kepala menggelinding, bocah-bocah padepokan memanfaatkannya buat bermain bola sepak.

Sejak kejadian itu, aku semakin heran mengapa padepokan ini gemar mempersoalkan tuhan. Apa yang akan dilakukan manusia jika tuhan ada atau tidaklah yang penting. Tapi itu pun bukan lagi tugasku. Mungkin saja tuhan sedang duduk-duduk di balai bambu. Mungkin sedang mengamati gerak matahari. Mungkin sedang berada di pucuk daun. Bagi sebagian alim padepokan, ia ada di sekitar kita. Ia hadir di antara kita; ada di sini sekaligus ada di sana. Begitu dekat, sangat dekat. Sedang bagi sebagian alim lainnya, ia tak patut dipertanyakan ada tidaknya sebab tak ada alasan bagi kedua pertanyaan itu. Pertanyaannya saja yang perlu digeser: tak cukupkah segala nikmat semesta yang hadir di hadapanmu sebagai tanda kuasa dari keberadaan tuhan?

Sesungguhnya, aku tak sedang menolak ada atau tidak. Akan tetapi, sesuatu yang buruk memang lebih cepat tersiar ketimbang kebaikan-kebaikan lain. Tiba juga giliranku diberi pelajaran saban malam. Perkaranya sederhana: meragukan keberadaan ilahi; meragukan iman para alim yang membelanya dengan darah. Lantas tingallah para alim pemimpin, segenap pini sepuh, guru-guru yang sudah lanjut, ikut menggusah setan yang katanya sedang bersemayam di dalam tubuhku. Aku tak sendiri. Sahabat alimku berada satu saf denganku. Kami saling bertukar sungging bibir sebelum diarak menuju ujung muara.

Saat itu, aku mendengar pintu pondok digedor dan akhirnya roboh. Aku tercekat, terbangun dari tidur ayam dengan pandangan yang masih buram. Tanpa sempat berpakaian, seseorang yang kerap kali kulihat menenteng badik dan memakai sorban, menghambur ke dalam pondok bersama lusinan orang. Ia mencekik leherku, matanya merah, dan yang kudengar setelahnya hanya dengungan panjang di telinga kanan serta rahangku yang panas dan kaku.

Tangan dan kakiku diikat anyaman sabuk kelapa. Mulutku disumpal goni, meski mual aku tak bisa memuntahkan isi perutku. Terpaksa kutelan kembali, sisanya menyembur dari kedua lubang hidungku seperti mercon. Samar kudengar para alim menyanyikan puja-puji, ditingkahi derau dan sorak bocah-bocah, “Keluarkan setannya! Matikan, hoi!” Aku tak bersedih, entah kenapa aku merasakan hal yang ganjil, dan ribuan pertanyaan di kepalaku perlahan tanggal seiring tubuhku tak kuasa mengganjal cairan yang menyembur dari hidung dan mulutku.

Mungkin sebentar lagi, aku bakalah keluar dan menyerah. Tapi, kalau pun tidak, aku pasrah, lillahita’ala.

Setelah diarak menuju penghujung muara, tubuhku lantas dicelupkan beberapa kali ke dalam aliran sungai itu. Diangkat, dicelupkan, diangkat kembali, dibasuh, dan diangkat kembali. Pekik seorang alim terdengar getas, melabrak seorang bocah yang menciduki air di bibir sungai. Begitu kepalaku pengar, aku tak lagi dapat menangkap suara-suara. Gelap sudah kujelang. 

Asapku membubung semakin ringan. Perlahan aku menembus langit.

Aku menembus, aku menyibak arakan awan, mengawang di atas langit. Sosok yang akrab itu menyapaku. Senyum dan pancaran matanya, haribaannya, aku tak kuasa dalam takjub dan tangis.

Dan beginilah akhirnya. Alamat kematian memang tak bisa ditebak. Di sungai, mereka berhasil mencuci tubuhku, setan yang bersemayam dalam tubuhku menggigil, memaksanya untuk tunduk, dan membakarnya kemudian. Mereka berhasil mengeluarkanku, yang hanya bisa mati dari apa aku tercipta. Aku kembali menjadi asap. Walau jasadku gosong di bawah sana, aku telah purna melaksanakan titahnya. Aku berdoa, meski entah manusia tahu atau tidak, siapa sebenarnya yang menyuruhku berlaku demikian.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)