Masukan nama pengguna
Dik,
Sengaja aku buka surat ini dengan sebuah permohonan. Aku harap ini saat yang tepat, secarik surat ini, dan seluas samudra yang bisa menggenapkan perasaan masmu ini padamu. Semoga kamu dapat memahaminya, dik. Ada hal yang tak bisa masmu rincikan ke dalam kata-kata. Setibanya surat ini di genggamanmu, lekaslah berkemas. Masukkan pakaian yang diperlukan. Bawa serta seluruh ingatan tentang kita ke dalam buku catatanmu.
Masmu ini memohon dengan sangat. Tolonglah, untuk sekali ini menuruti perkataan masmu. Sudah dua hari mataku sulit terpejam. Punggungku senantiasa basah kuyup di malam-malam tenggat. Aku sudah terbiasa tidur beralas papan, atau ubin sembarang surau yang dapat kusinggahi untuk bermalam. Namun, dua hari ke belakang seperti ada yang mengganjali mataku dengan batang korek api. Kantuk tak kunjung datang, badanku seolah tak mau diajak rebah, sementara pikiranku berlarian ke sembarang arah.
Dik, pergilah ke suatu tempat. Pergilah tanpa meninggalkan jejak apapun. Jangan menoleh ke belakang. Aku berjanji, kita akan bertemu di tempat itu, aku akan menunggumu di sana. Masmu akan merentangkan kedua lengan ini dan memelukmu erat. Kita akan tertawa, mungkin sedikit isak tangis, tapi tak apa. Rindu, dik, memang akan terasa sangat berat bagi sepasang yang belum bertemu selama bertahun-tahun. Aku tak ingin selama itu menanggung rindu. Tiga bulan saja terasa seperti tiga abad, dik.
Bawalah bekal untukmu saja. Perutku tidak merasa lapar, tidak kosong dan kembung. Alhamdulillah, dik, atas ridho Allah aku sehat walafiat. Itu berkat doamu juga. Meski lengan dan telapak kakiku semakin menggelap, pecah-pecah dan penuh ruam, aku masih bisa berjalan tegak dan bila dibutuhkan berlari secepat kilat. Tolong sampaikan pada bapak, terima kasih atas doanya. Di sela lima waktu kulafalkan barisan huruf Arab yang beliau terakan pada secarik kertas wajik itu. Memang, aku tak menyebutnya sebagai jimat. Aku hanya percaya gusti Allah-lah yang masih meridhoi jalanku hingga detik kutulis surat ini. Mudah-mudahan, insyallah.
Dik, sejujurnya aku juga ingin memohon maaf. Bukan aku tak mau bersanding denganmu. Bukannya aku tak ingin melunasi janjiku membawamu ke Puncak Jaya, dan membacakan puisimu saat di atas kepala kita hanya ada gemintang yang bertebaran di langit gelap. Aku tak melupakan satu apapun yang kamu catat untuk kita lakukan bersama. Menyelam di Bunaken, bermalam di Parangtritis, memandangi lusinan kuda liar di Sumba, atau menjerang air di dataran tinggi Dieng. Sungguh, aku tak melupakannya. Aku masih ingat seulas senyum bibirmu itu saat kamu mencatatnya baik-baik; caramu menggenggam pena dan menorehkan tinta di atas buku catatan itu.
Jemari paling indah yang pernah kulihat di dunia ini hanya milikmu, dik, kamu tahu itu. Begitu lentik dan lancip, tegas, namun juga amat lembut. Kurasakan saat jemarimu mengelus rambut di kepalaku yang pekat oleh muntahan asap metromini di jam-jam Jakarta paling sibuk. Tahu kah kamu, dik? Tiada yang lebih menenangkan saat dengan leluasa jemarimu mengusap kepalaku, rambutku, dan wajah kusut masai masmu ini. Kamu kerap bersenandung setelahnya, lagu-lagu yang berasal dari nun jauh, tetapi terasa begitu teduh. Ah, tiadakah di dunia ini yang lebih indah dari itu, dik? Wangi rambutmu, hela napasmu, dekap hangat tubuhmu?
Aku, masmu ini, mungkin manusia paling gegabah yang pernah ada dan singgah di hidupmu. Tapi aku percaya, jarak yang sekarang terbentang antara kita tidaklah akan selamanya ada. Benteng yang memagari suatu saat akan rubuh, tiran suatu saat akan tumbang. Sedemikian rindu yang mengisi bentangan jarak ini, dik, suatu saat akan lebur juga. Pada saatnya akan timpas dan kita akan saling melunasinya dengan dekap, kecup, dan segudang cerita yang mengalir deras dari bibirku, bibirmu.
Kamu percaya itu, kan, dik?
Izinkan aku untuk tetap menaruh harap pada gemintang itu, pada rembulan yang menggantung di punggung malam. Pada mentari yang mengintip dari balik bukit. Seperti katamu, dik, harapan adalah yang membuat seseorang dapat hidup, meski tak lagi berpunya apapun. Ya; harapan tentang semua ini akan berakhir dengan baik, harapan tentang suatu saat kita dapat kembali bertemu. Karena, ah, bukankah seperti baru kemarin sore kita bertemu? Sore yang abadi itu, saat kusadari diriku dihanyutkan kehadiranmu. Dengan elok kamu membacakan puisimu dari atas mobil komando, dengan megafon di genggaman, dan kepalan kiri meninju udara. Kamu memilih jalan ini, suatu lajur yang terjal dan seringkali berbau amis.
Aku kerap kali khawatir akan keputusanmu itu, dik. Namun kamu yang pada akhirnya meluruhkan kekhawatiran masmu ini. Sederhana, kamu menatap mataku, seolah hendak merasukiku lewat kedua arteri mungil di sudut mata, dan menyiram debar jantungku dengan air sejuk dari botol minum alumunium yang kerap menginap di dalam ranselmu. Kamu tersenyum dan berkata, tak usah khawatir, kita lalui ini bersama-sama, dan kita berpelukan seolah esok mentari tak lagi terbit. Selalu seperti itu, menyongsong pagi dengan pelukan, menyambut hari dengan berita pagi berisi Harmoko di televisi, serta rekaman gambar seorang pegawai sedang menghitung uang.
Dik, sampai di sini, biarlah kerinduanku ini kupikul dan kudekap. Kuhidu dalam-dalam, agar setiap jengkal badanku terisi olehmu, oleh napas dan aroma tubuhmu. Sebab hanya itu yang bisa menenangkanku, mengembalikanku dari suatu ruang yang membuat nanar mataku dan remuk rusukku. Setrum yang mereka aliri ke dadaku masih kalah oleh doa-doa darimu, dik. Allah masih memberiku hidup, dan aku percaya itu. Kamu pun percaya itu, kan, dik? Kamu pun percaya aku masih hidup, masih di sini, ada di bumi ini?
Sedemikian, dik, Allah memberiku hidup yang begitu lengkap. Saat kedua sosok tegap memakai sepatu lars menyodok perutku dengan tinjunya, aku tahu bahwa hidup ini sangatlah layak untuk kujalani, meski hanya sedepa demi sedepa. Mereka menjemputku dari kontrakan reot itu, tempat aku dan para sahabat memarkirkan lelah dan lelap yang datang dengan sungkan di situasi serba genting ini. Kepalaku dibungkus kain hitam, sepanjang perjalanan membuatku mual karena menguarkan aroma kaus kaki apak. Meski begitu pendengaranku menangkap sedikit perbincangan dan deru kendaraan melintas.
Hingga sampai di suatu tempat yang entah, karena gelap dan kunang-kunang merubungi mataku yang lamur, aku tak tahu-menahu tempatku berada saat itu. Aku hanya terduduk sampai derap sepatu lars yang sama mendekat. Kedua orang itu menjawil lengangku, memerintahkanku berdiri dan berjalan melewati sebuah lorong. Samar kudengar jeritan istigfar dan pekik takbir yang tertahan di tenggorokan. Gedebuk kayu, benturan yang menggema, serta lusinan gertak makian. Lalu tibalah giliranku. Napasku terputus untuk beberapa saat ketika daya kejut dari batang besi didaratkan ke dadaku. Pendengaranku mulai kabur, kelopak mata menjadi begitu lengket.
Saat itu, dik, saat paling rendah dalam harkat manusia itu, aku hanya bisa berkata pelan, lamat-lamat, dengan bibir berkecumik seperti ikan sekarat di dasar danau. Ya Allah, bila ini merupakan kehendakmu, maka kuatkanlah aku dan ikhlaskanlah. Lalu daya kejut itu menyerang dan membuatku mengerang dengan takbir yang kembali tertahan di pangkal lidah. Sampai, entah hari ke berapa, kusadari matahari mulai menyongsong. Ada sinar yang memasuki celah dan menerangi sudut gelap tempatku mendekam. Entah kenapa, aku melihat hidup pada seutas cahaya itu. Hatiku berkata, ada cahaya, ada hidup, ada hal yang harus kuselesaikan. Ada hal yang harus aku sampaikan.
Dik, kamu tahu, mungkin hanya dengan surat inilah mampu kusampaikan meski hanya secuil apa yang masmu alami dalam beberapa bulan ke belakang. Allah memberiku anugerah, yakni hidup, yang akan kusempurnakan dengan segala apa yang dapat kutulis di sini. Kamu pasti mengerti, kamu pasti paham. Masmu di sini, di suatu tempat, sangat bersyukur akan hal itu. Tak akan kusia-siakan barang sehelaan napas pun. Sebab dari hidup ini, aku juga diberi kesempatan untuk bertemu denganmu, dik, bertemu anugerah-Nya dalam rupamu yang tak ingin kuhapus dari semesta hidupku.
Sungguh aku tak ingin berhenti menulis dan menyapamu lewat surat-surat seperti ini. Kalaupun ini menjadi penutup surat-surat kita, baiklah itu kuterima sebagai kehendak Ilahi. Semua hal mengenyam umur, dik, mereka berawal dan berakhir. Bila memang takdir berkata lain, aku harap kamu tetap mempercayai satu hal ini. Bila kelak tubuhku harus tugur, lakonku harus tumbang, timpas, hilang tak berkepalang rimba, percayalah ini, dik, bahwa semangatku akan tetap ada. Bahwa nyala, bara dan apiku akan menjalari setiap insan dan meneranginya sebagai sulur-sulur cahaya.
Sebab itulah yang kudapati di saat mataku gelap. Kamu tahu, dik, ketigabelas sahabat kita lebih dulu malih rupa menjadi cahaya. Saat kupandangi langit malam, kerap kujumpai bintang melesat meninggalkan ekor yang benderang. Tak jarang kusaksikan bintang nun di atas sana berarak, pelan sekali, sampai mataku tak lagi mampu menjangkaunya. Mereka menerangiku dalam pekatnya malam, memberi petunjuk ke mana aku harus melangkahkan kaki. Mereka cahaya dalam gelap, mereka terang dalam diriku.
Kini bergegaslah, dik. Beranjaklah, dan melangkahlah. Seandainya waktuku tak lama lagi, percayalah dalam seutas sulur cahaya di pagi hari aku menyapamu. Bila aku timpas ditelan waktu, hilang ditelan peta dan amuk sejarah, maka aku akan menyapamu lewat bintik yang paling terang di sudut gugus gemintang malam. Aku akan menjadi cahaya, menjadi lilin, menjadi abadi dalam tiap kepalan yang dilangitkan sahabat-sahabat kita. Lalu kabarkanlah cinta kasih ini, yang tak akan pernah padam oleh apapun. Oleh musim dan cuaca, tak juga oleh tiran dan ancaman. Seperti cinta kasihmu yang deras mengalir padaku, masmu ini, yang selalu menguatkan satu sama lain. Untuk menumbuhkan, menguatkan, menerangi.
Sampai di sini dulu, dik. Rinduku, selamanya, Bintang Pagi.