Masukan nama pengguna
“JANGAN sungkan. Ambil dan minumlah,” Jen mengangkat gelas, bibirnya berkilat-kilat.
“Aku tak percaya kita bisa bertemu, dan bersulang seperti ini,” Lim meletakkan gelasnya, ia melolos sebatang filter putih, menyulutnya, menghisapnya dalam-dalam.
“Semua itu ada seninya, Lim,” Jen bersandar di sofa meluruskan kaki. Jempol kaki mereka saling bersentuhan.
“Termasuk berbohong?”
“Begitulah. Aku tak pernah suka politikus.”
“Aku ‘kan bukan politikus.”
“Semua orang punya bakat alami untuk itu, Lim.”
Di atas meja, di samping asbak, terdapat dua buah nanas yang belum dikupas dan satu botol minuman beralkohol yang namanya sulit diucapkan lidah Lim. Bacot, Blanchot, Bekicot?
Polisi mendatangi kamar mereka tiga jam kemudian. Mengolah TKP, mengumpulkan barang bukti. Kamar nomor 11 itu ditutup sementara sampai waktu yang belum ditentukan.
***
PADA hari ketujuh, Mel belum memutuskan hendak ke mana ia dan Lim menghabiskan jatah cuti nikah yang hanya tersisa empat hari lagi. Masa bulan madu mereka bertepatan dengan hari-hari kelulusan anak sekolah dan hari besar keagamaan. Harga hotel dan tiket pesawat kelas ekonomi melonjak tiga kali lipat pada musim liburan seperti itu.
Mel dan Lim mengangsur apartemen yang siap ditempati tepat sebelas hari sebelum mereka menyebarkan undangan resepsi pernikahan. Di ruang tengah, Lim beberapa kali membuka dan menutup tab di laptopnya, mencatat dan mencorat-coret pada selembar kertas nama-nama tempat wisata yang mereka ingin datangi.
“Aku kira Labuan Bajo itu sejenis rujak cingur,” kata Lim, “dan Wakatobi itu ada di Jepang,” tangannya menggaruk-garuk kening.
“Ayolah sayang. Coba kau ketik di google: BATU,” balas Mel dari kamar mandi. “Pastikan kau mengejanya dengan benar.”
Telunjuk Lim mengetik dan mengetuk-ketuk touch pad.
“Kau ingin bulan madu kita memburu batu-batu aneh seperti ini, Mel? Yang benar saja!”
Di laman google terpampang batu akik dan batu obsidian, batu marmer dan batu merah delima, batu bata dan kota Batu, Malang. Hanya dengan handuk sebatas dada, Mel melompat keluar kamar mandi dan meraih ponsel, menyentuh layarnya dengan ujung jari yang lentik dan memesan tiket pesawat. “Berkemaslah, atau aku akan pergi sendiri sebagai lajang.”
Mereka berangkat menggunakan penerbangan terakhir ke Malang. Di dalam pesawat, Lim duduk di sisi jendela dengan kursi bernomor 11F. Terpisah dua baris di belakang Lim Mel tertidur pulas. Lim beberapa kali menolehkan kepalanya ke arah Mel. Dua lelaki paruh baya mengapit tubuh Mel. Lelaki sebelah kanan mengenakan jas hitam yang tak dikancingkan. Lelaki sebelah kiri tampak kelelahan, lehernya seolah tak lagi mampu menyangga kepalanya yang tertunduk lemas, dan sesekali terkulai di pundak Mel.
Lim sempat memohon pada pria di sebelahnya agar si pria sudi bertukar kursi dengan Mel. “Biar tidur istri saya tak mengganggu orang di sebelahnya,” kata Lim, “jarang sekali mau pakai bantal, nanti malah merepotkan orang yang duduk di sampingnya.” Pria di sebelah Lim tersenyum dan tangannya bergerak-gerak di udara. Lim menyatukan kedua telapak lengannya seperti seorang Budha kepada penyandang tunarungu yang baru saja diajaknya bicara. Pesawat keburu lepas landas dan setelah lampu tanda sabuk pengaman dimatikan, pria tunarungu di sisinya terlelap.
Pengalaman tahun lalu, Mel lah yang memohon agar seorang wanita paruh baya, dengan busana mirip Judy Dench dalam ajang piala Oscar serta parfum lavender yang bisa tercium dari jarak sepuluh meter, agar enyah baik-baik dari sisinya dan memberikan kursi itu untuk Lim. Wanita di sisinya menjawab tanpa menoleh ke arah Mel, “Mengapa tidak pacarmu saja yang pindah ke sini?” Setelah selesai dengan jawaban pendeknya itu, sang wanita Oscar menelengkan wajah, menatap Mel dari ujung rambut hingga ujung sepatu, memasang kacamata hitam perlahan dan mulai mendengkur.
Pada tahun yang sama, Mel melihat Lim di pemakaman ibunda Lim. Dan Lim bertemu Mel di resepsi pernikahan kakak perempuan Mel, sebelas bulan sebelum ibu Lim terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Ketika itu Mel baru saja kembali setelah sebelas bulan berada di London. Sang kakak memintanya untuk hadir di resepsi dan bersedia berdiri selama dua jam di samping sang mempelai. “Kau tahu, Mel, ini memang pernikahanku yang kedua dan kamu adikku satu-satunya, ini benar-benar untuk yang terakhir kalinya, aku berjanji.”
Di pesta pernikahan, Mel menjawil lengan kakaknya setelah satu jam berdiri dengan bibir yang tak henti merekah. Mel melipir ke halaman gedung resepsi, menyulut sebatang filter, pandangannya menerawang kerumunan undangan yang hilir-mudik seperti merpati-merpati lepas dari kandang. Tampak di antara tamu undangan, seorang lelaki memotong antrian masuk dan berjalan ke arah Mel. Lelaki itu Lim, dan mereka melangkah menuju meja prasmanan lewat pintu belakang gedung. Mel dan Lim mengambil menu yang sama, mengambil potongan buah nanas dengan jumlah yang sama, juga mengambil minuman dari teko yang sama. “Setengah dari darahku nampaknya perasan buah nanas,” Lim memperlihatkan isi gelasnya, kuning seperti matahari jam sebelas siang.
“Aku ragu apakah aku terlahir dari rahim ibu atau dari biji nanas,” balas Mel.
Mereka bertukar nomor ponsel dan melaksanakan resepsi tiga bulan sesudah pemakaman ibunda Lim. Pesta pernikahan itu dihadiri para sahabat dan kerabat, namun tak satupun yang datang dari pihak Lim dan Mel. Mel sendiri telah meyakinkan kakaknya dengan keyakinan serupa yang pernah kakaknya sampaikan dahulu, “Kakak tahu ‘kan, aku adik perempuanmu satu-satunya dan ini adalah pesta pernikahanku untuk yang pertama kalinya,” kata Mel. Di seberang telepon hanya terdengar bunyi ‘tuuuutt’ yang panjang setelah sang kakak menjawab “Kau ini sinting, Mel. Kau sungguh sinting!”
***
“INI semua salahku. Harusnya kuusir kamu saat itu juga! Bodoh memang. Ia toh akan jatuh juga di pelukanmu, sebagaimana aku dahulu jatuh di dekapanmu, seketika lirikkan bola matamu padaku. Sialan! Aku dua kali terjerembab!”
Jen menuangkan kembali alkohol (Blanchot?) ke dalam gelas dan menenggaknya tanpa berkedip.
“Kamu tak bisa langsung menuduhku seperti itu, Jen. Aku datang dan benar-benar berniat memberimu ucapan selamat, bukan yang lain.”
“Tapi kamu tahu, Lim, aku tak pernah bisa melupakanmu. Kamu ini semacam kutukan.” Jen menegakkan punggung, tampak jelas guratan urat di jemarinya yang masih menggenggam gelas. “Kamu beruntung, Lim. Jika papa dan mama melihatmu, papa mungkin akan memerintahkan bodyguard-nya untuk mencincangmu di tengah pesta pernikahanku dan lengkap sudah deritaku di dunia ini!”
Lim tertunduk, sesaat kemudian mengangkat kepalanya dan menatap Jen.
“Tak usah beri aku pandangan yang memelas begitu, Lim. Bajingan kamu.”
“Aku minta maaf.”
“Tak usah!”
“Apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa, aku... mohon maaf.”
“Kamu tak pernah pantas untuk kumaafkan, sungguh.”
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Apa yang harus kumaafkan? Masa laluku kah? Oh, mungkin, diriku sendiri yang harus kumaafkan? Lim, diriku sssen—dirilah, diriku sendiri yang—”
“Jen...”
Jen terisak, disekanya air mata yang tumpah di pipinya. Lim menatap perempuan di hadapannya tanpa berpaling, sesekali ia embuskan nafas panjang sembari mengedipkan kelopak matanya perlahan. Mel mengambil gelas, menumpahkan seluruh alkohol yang tersisa di botol, menenggaknya secepat ia menghela nafas. “Aku hanya minum. Aku tak lagi merokok dan kamu harus tahu itu, Lim.”
“Syukurlah, aku ikut senang,” balas Lim.
“Dasar bodoh!”
“Itu baik bagi kesehatanmu, Jen.”
“Kubilang, dasar bodoh!”
Lim beranjak dari sofa dan mendekati Jen. Lim menekuk kedua kakinya, dan berlutut di hadapan Jen. Dada perempuan di hadapannya naik turun, mengatur kembali nafasnya yang semula berantakan. Langkah kaki terdengar samar di luar kamar di samping deru AC di dinding. Tak terdengar suara apa pun selain degup jantung mereka. Tak lama, setelah Lim berlutut, dua pasang mata mereka akhirnya saling bertemu, mata Lim dan mata Jen saling bertumbuk.
***
SEORANG perempuan ditetapkan sebagai tersangka setelah membuat keterangan panjang lebar tentang apa yang baru saja dilakukannya di kamar hotel nomor 11 itu. Barang bukti untuk menetapkannya sebagai tersangka terdiri dari sebilah pisau yang sengaja didapatinya dari toko swalayan di samping hotel. Benda itu ia pergunakan saat ia pergoki pasangan di dalam kamar sedang saling jambak.
“Pisau itu amat tajam, jika bapak mau tahu,” kata perempuan kepada penyidik di hadapannya. “Dan sesungguhnya,” lanjut si perempuan, “benda itu kubeli buat mengupas dua buah nanas di atas meja.”