Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,471
Akhir yang Tak Selalu Baik
Drama

AIR HUJAN dari atap asbes yang bocor jatuh menetes melumuri pundak Ratih. Ia agak menyesal mengapa tak mengenakan parka sejak dari rumah. Kini jaket hitamnya yang berbahan katun rajutan itu membuat tetesan lekas meresap, merembes ke pundak Ratih sedikit demi sedikit.

Di Simpang Dago, udara dingin sekali hempas membuat kepalanya linu. Sudah sejam lebih ia terpekur menanti hujan reda. Beruntung ia menepi seketika hujan tiba-tiba turun. Jalanan yang semula aspal di hadapannya telah berubah menjadi aliran sungai. Hanya terlihat bebatuan dan kantung plastik berawarna-warni menyangkut di sembarang tempat. Derasnya aliran air itu bukan malah masuk ke lubang drainase, tetapi selokan di pinggirannyalah yang justru mennghibahkan air kecoklatan menutupi seluruh jalan hingga setinggi mata kaki. Walau merdu di telinga karena beriak-riak, bergemercik, dan deras, tapi sesekali bau menyengat bertamu juga ke hidungnya.

Di samping kiri Ratih sebuah mobil carry putih terparkir. Teronggok di situ semenjak Ratih berteduh. Selama itu pula tempias hujan membasuh debu yang melekat di kaca jendela mobil; mengikis bangkai serangga dengan isi perut terburai yang semula menempel lekat-lekat. Sementara tempat Ratih mematung menunggu hujan tak memberi banyak pilihan untuknya bergeser. Ia harus berbagi tempat dengan pedagang cuanki pikul yang ikut berteduh. Di samping kanan Ratih juga terparkir etalase tukang reparasi jam yang ditutupi kain terpal biru. Pemiliknya entah pegi ke mana. Ratih sungkan untuk menggeser etalase itu walau dilengkapi dengan roda seperti gerobak.

Ratih menanti. Pikirannya sibuk. Layar ponsel beberapa belas kali ditatapnya, dikibaskan ibu jarinya dan disentuhnya. Pesan dari Anwar lagi-lagi masuk, “Pakai jaket? Jangan sampai kehujanan.” Ratih hanya membalas, “Iya” lalu terkirim. Dua kali panggilan masuk tak terjawab. Keduanya dari Anwar. Lelaki itu bukan tak sabar menanti Ratih di sebuah kedai kopi, melainkan ia jenis lelaki yang selalu saja khawatir. Ketika seluler Ratih berdering untuk yang ketiga kalinya, Ratih hanya menjawab, “Tak usah. Aku tak apa-apa.” Namun Anwar meminta, “Kalau memang kamu bosan di situ, aku akan menjemputmu. Tak baik di luar berlama-lama. Angin bikin badanmu linu.” Terlambat. Kepala Ratih memang sudah linu semenjak beberapa waktu lalu.

 

HUJAN berhenti setelah lama sekarat melalui gerimis yang tak bergairah. Itu memberi waktu bagi Ratih untuk bergegas. Ia mengirimkan pesan, “Otw,” lalu melanjutkan berjalan kaki. Ya; berjalan kaki. Dari Simpang Dago menuju kedai di sekitaran UNPAD, tempat Anwar menanti. Jaraknya memang lumayan jauh. Orang-orang menggunakan angkutan kota, tapi angkutan masal tersebut tak bisa diandalkan akibat terlalu sering berhenti lama. Terlebih, Ratih merasa tak enak dengan pundak jaketnya yang basah. Itu akan membuat orang yang kelak duduk di sebelah Ratih merasa tak nyaman.

Sepanjang jalan –yang tak tersedia trotoar— Ratih meniti emperan pertokoan. Sebetulnya emperan itulah trotoarnya. Tapi, jika sudah beralih fungsi, para pejalan kaki memang harus pasrah. Ratih tak pernah protes. Sepanjang perjalanan isi kepalanya bahkan sudah sampai di kedai. Ia bahkan sudah menyodorkan kalimat final tentang keputusannya yang juga final ihwal hubungan yang selama ini ia jalin bersama Anwar.

Hanya pada beberapa langkah saja ia merasakan bimbang. Langkahnya tampak menimbang-nimbang. Sepasang kaki jenjangnya yang berbungkus jeans hitam ketat seolah tak pernah akur dengan isi kepala. Memang kakinya tetap mengayun, menuntunnya hingga sampai tujuan. Tetapi, ia tak sama sekali mampu memilih mana jalan yang tergenang air, mana yang berlumpur, dan mana yang sudah kering. Sepatu kets dengan ukuran 38 itu tak lagi jelas berwarna hitam atau coklat. Ratih hanya terus berjalan. Melewati sederetan warung fotokopi, warung nasi, sederetan kampus dengan gerombolan pemuda tanggung yang riuh berkerumun di sisi jalan. Diselingi harum petrichor merasuk ke hidung, dan terkadang asap knalpot ikut bersarang juga dan melekati jaket Ratih. Dan ia hanya terus berjalan.

 

ANWAR sigap menawarkan jaketnya yang sejak berabad-abad lampau nampaknya tergeletak di atas sofa, pasrah dan lusuh. Tapi Ratih menggeleng, “Aku takkan lama.” Lalu mereka duduk. Seorang pelayan menghampiri meja dan menyerahkan selembar plakat menu. Ratih menunjuk teh manis hangat, Anwar meminta kopi, “Kopi yang paling pahit.” Pelanggan itu berlalu setelah mencatat pesanan kedua orang di depannya. Ratih dan Anwar duduk berhadapan. Ratih menanggalkan jaketnya. Anwar menatap sosok di depannya lekat-lekat.

“Aku tak tahu apa kesalahanku,” suara Anwar bergetar setelah berdiam cukup lama. Ia bahkan tak tahu letak kesalahannya di mana, jika memang ada.

“Kau memang tak bersalah,” balas Ratih. Sepasang matanya menubruk mata Anwar. Tapi Anwar mengalihkan pandangannya. Ratih paham. Lelaki mana pun akan jatuh cinta pada lengkung mata Ratih. Anwar pun demikian. Hanya saja pertemuan kali ini bukan untuk membuat Anwar jatuh ke sebalik mata Ratih.

“Mengapa kau pinta aku untuk menuruti kemauanmu yang tak masuk akal?”

“Aku menginginkannya.”

“Tak ada cara lain?”

“Kupikir, memang tak ada cara lain.” 

“Jadi, karena itukah kau memutuskanku?”

Pelayan kembali dan menyodorkan sebuah teko keramik berwarna putih berisi teh hangat dari atas nampannya, lalu menyerahkan kepada Anwar secangkir kopi, “Ini yang paling pahit, double espresso,” katanya. Anwar hanya mengangguk. Pelayan itu berlalu. Cangkir kopi di hadapan Anwar mengepul. Aromanya pekat. Ia meratapinya, seolah kehilangan kata-kata serta alasan untuk menyambung episodenya dengan Ratih. Sementara Ratih menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir, Anwar bersicepat melipat lengannya di atas meja.

“Kau tahu Bandung adalah kota yang sempit” ujar Anwar terbata “kau tak kan berada terlalu jauh dari sosok yang pernah kau kenal. Baik ia yang pernah mengenalmu sepuluh tahun lalu, atau seseorang yang bakal menjadi suamimu kelak.”

“Aku tak mengerti ucapanmu.”

“Takkan ada yang pernah mau mengerti isi kepalaku.”

“Maafkan aku.”

“Giliranku sekarang. Itu bukan salahmu.”

“Aku hanya memintamu, Anwar. Itu karena aku mencintaimu.”

“Aku paham. Tapi keputusanmu serba mendadak. Tapi, aku paham.”

“Benar kau paham?”

“Apa yang sesungguhnya kau ingini dariku, Ratih? Jika kau mendambakan aku menjadi ustad, aku tak bisa sebab aku tak yakin. Begitupun kini, perlukah kita berdebat soal agama? Tidakkah kau sudah mengetahuinya sejak kali pertama kita bertemu bahwa aku lelaki yang tidak sama sekali relijius?”

“Aku minta maaf.”

“Kini jujurlah, apakah kelak kau akan jatuh cinta pada lelaki yang betul bersesuaian dengan kehendakmu? Atau kau akan dengan terpaksa mencintainya?”

Ratih mengembuskan nafas. Ia alihkan pandangannya ke meja-meja yang masih kosong. Ia bertanya dalam hati apakah juga kepalanya kosong, sebab tak ada rangkaian kata untuk menjembatani kekeraskepalaan mereka. Sementara di luar kedai, sore mulai menguning dan terang meredup. Udara dingin menjelang malam merambati tubuh mereka. Bandung pada jam-jam seperti ini mampu mengekalkan kenangan, juga luka.

“Anwar, kau tak perlu menjadi ustad. Kau hanya perlu memperdalam agama, lalu menjadi imamku. Hanya itu yang kuinginkan darimu.”

“Kau mengubahku menjadi sosok ideal yang hanya ada dalam kepalamu.”

“Kau salah. Aku tak ingin mengubahmu. Karenanya telah kuputuskan ini adalah akhir dari hubungan kita.”

“Kau keras kepala.”

“Kuharap kita dapat saling mengerti dan berpisah secara baik-baik.”

“Kau tak menjawab pertanyaanku.”

“Aku sudah menjawabnya.”

“Dan kau keras kepala, Ratih.”

 

ADA selusin cara untuk mengakhiri pertemuan mereka sore itu. Kau tahu, bisa saja Ratih meminum habis teh hangatnya, kemudian undur diri, lalu berjalan kaki kembali menuju jalur angkutan kota yang akan melewati jalanan depan rumah. Itu jika tidak hujan. Jika hujan, maka ia akan memaksakan diri. Ia akan mencegat angkot jurusan mana saja yang lewat depan kedai itu, dan kembali berteduh. Atau pilihan terakhir, yang akan ia ambil jika situasi bertambah canggung dan membebankan perasaannya. Ratih akan mengungsikan perasaan itu kepada kawannya. Ia memang tak ingin merasakan perasaan canggung itu berlama-lama, ia ingin merasakan hal lain. Ratih hanya ingin pergi dari lelaki yang kini cuma melongo di depannya.

Lalu ia akan berucap, “Kuharap kau baik-baik saja. Aku pamit.” Dan ia kenakan kembali jaket hitamnya yang masih basah di bagian pundak. Ia beranjak dari sofa menuju kasir. Ia membayar tehnya dan secangkir kopi Anwar yang sedari tadi belum Anwar sentuh. Dan kini, adapun Anwar, lelaki itu urung membalas salam perpisahan yang dinginnya lebih mengiris tinimbang tiupan angin sore itu. Ia hanya menatap nanar sofa kosong di depannya, tempat Ratih terduduk beberapa jenak. Tak ada tangis di situ. Tak ada tawa, seoalah tak ada apa-apa di antara kedua insan pada akhir perjalanannya itu. Ratih hanya berlalu, Anwar akan menghempaskan punggungnya; bersender ke sofa. Ia akan menggelesor. Ia tak menyaksikan Ratih telah berada di luar kedai. Kopi di depan Anwar tak lagi mengepul. Itu kopi yang paling pahit. Dan hujan kembali turun.

Barangkali, memang tak ada apa-apa selama ini pada Anwar dan Ratih selain drama, atau telenovela, atau sinetron berjilid khas stasiun TV lokal. Tetapi, kita pun mestinya bersikap adil sejak dari awal: ada selusin cara tersisa bagi Anwar untuk mengakhiri, tepatnya mendaraskan apa yang baginya patut dan tidak patut tentang akhir yang sungguh tidak prosaik ini. Kita bisa mengakhirnya dengan mulut Anwar; ia berceracau tentang urgensi kesadaran, transformasi kesadaran yang lintas segmen multi-sektoral, dan bukan sektarian belaka. Dan kepala Ratih semakin dibuatnya linu. Atau Anwar akan mengambil tindakan yang kharismatik, seperti melayangkan meja di hadapannya hingga tertelungkup di atas lantai, kemudian berlalu menuju pintu bak perayaan kemenangan yang terseok. Atau kita memilih yang paling absurd dari semua itu: kita akan membiarkannya, merelakannya, kita akan melihatnya berlalu, lantas menghilang untuk selamanya.

 

APA yang Ratih rencanakan barangkali benar. Kecuali hujan, yang turun dengan begitu angkuh. Ratih mencegat sembarang angkot. Beban perasaannya mulai tak menentu. Malam beringsut turun. Bandung mendadak bertambah dingin berkali-kali lipat. Ia keluarkan selulernya dan menghubungi Yusuf. Di seberang telepon, lelaki itu akan menjemputnya di suatu tempat. Ratih mengiyakan. Sedangkan jauh, jauh sekali dalam benak Ratih, Anwar takkan membiarkan dirinya disergap udara dingin. Anwar selalu membawa mantel untuk Ratih, dan Ratih dengan senang hati mengenakannya. Sedangkan jauh, jauh sekali dalam benak Ratih, Anwar akan melindunginya dari terpaan cuaca beserta tajamnya angin dengan tubuhnya sendiri. Ia tak peduli tubuhnya basah kuyup, “Ratih jangan sampai kedinginan,” kata Anwar, suatu kali ia menyaru tembok guna menghalau hujan yang mau menyiram Ratih pada sebuah pondokan kecil tempat mereka berteduh.

Masih di sekitar Dago, Yusuf menyambut Ratih, “Kau kehujanan.” Sambil mempersilakan perempuan itu duduk di sisinya, jemarinya menyisihkan bulir-bulir air yang tersisa di pundak dan pasmina biru Ratih. “Hanya basah, aku baik-baik saja,” kata Ratih. Ia menanggalkan jaketnya yang belum juga kering di bagian pundak. Dan sebagaimana kafe di pelosok negeri mana pun, seorang pelayan akan datang menyapa menawarkan menu. Ratih tak memesan apapun, namun Yusuf menggelengkan kepala, “Kau harus mengisi perutmu. Kau harus makan.” Ia menunjuk sesuatu bergambar nasi yang dihiasi banyak sayuran, “Dua porsi,” katanya. Pelayan mencatat dan berlalu.

“Tak apa, ini hanya sementara,” Yusuf meluruskan kaki, menyenderkan punggungnya, lalu menggamit lengan Ratih dan menggenggam jemarinya.

“Aku tahu,” Ratih menatap meja, terpaku pandangannya di situ.

“Semua punya ujung pangkal dan kalian adalah pasangan yang baik.”

“Aku tahu.”

“Kau baik-baik saja, kan?”

“Ya. Tapi perasaanku janggal.”

“Apanya yang janggal?”

“Perasaan.”

“Maksudmu?”

“Tak semestinya aku merasa baik-baik saja. Aku mencintainya dan ia pun mencintaiku. Hubungan kami bukan sebulan dua, tapi berbelas bulan,” Ratih memalingkan wajahnya ke hadapan Yusuf.

“Kau mengharapkan akhir yang kacau-balau.”

“Tidak. Perasaanku tak berkata demikian,” Ratih menggelengkan kepalanya. Ia terus menggelengkan kepalanya, agak lama, lalu matanya berkaca-kaca. Tumpah ia di hadapan Yusuf. Lelaki itu merengkuhnya. Memeluknya erat, pundaknya ikut terbasahi linangan air mata Ratih. Kemudian sebuah kecupan di kening Ratih, lalu ia seka airmata gadis itu dengan punggung jemarinya. Ia rapikan pasmina gadis itu dengan buku jemarinya. Lengan Ratih semakin erat melingkari sementara badannya semakin condong di dada Yusuf.

“Sudah Isya, sebaiknya kita mengambil wudhu,” kata Yusuf, mengajak sambil meninggalkan senyum pada Ratih. Keduanya berjalan bergandengan tangan menuju mushola yang disediakan kedai itu agak di belakang letaknya.

Yusuf berada di depan Ratih saat mereka sembahyang selama empat rakaat. Tak terdengar apa pun kecuali keretap hujan di atap, serta beberapa ucapan salam dan doa yang lirih. Sesekali wangi parfum keduanya menguar, saling bertukar di udara. Yusuf menghidu harum tubuh Ratih, dan Ratih mencecap wangi tubuh Yusuf. Hingga sembahyang selesai, keduanya memanjatkan doa. Seusainya, terduduk mereka di atas hamparan sajadah dan Yusuf membalikkan tubuhnya. Ia melihat Ratih yang masih khidmat berdoa. Hingga Ratih membuka matanya, jemari yang berada di balik mukenanya meraih jemari Yusuf dan mereka bergenggaman.

“Kuharap kau tahu doaku barusan,” bisik Ratih, pelan sekali.

Ratih menatap jemarinya yang berada di genggaman jemari Yusuf. Hujan masih alot. Sementara jauh, jauh sekali di sebalik benak dan angan Ratih, ia ingat Anwar pernah menjadi imamnya untuk beberapa waktu. Ia ingin pada akhirnya Anwar lah yang mengucapkan apa yang Yusuf ucapkan. Tapi kepala Ratih tak bisa menggeleng untuk menidak. Ia hanya teringat. Dan hujan terdengar semakin angkuh.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)