Masukan nama pengguna
Sirkus Parlemen
Cerpen oleh Desto Prastowo
Di jantung Kota Dvipantara, berdiri sebuah kompleks yang tak hanya menampung suara, tetapi juga sejarah dan harapan. Gedung Parlemen, dengan kubah hijau menyerupai kepakan sayap burung, adalah simbol yang dirancang untuk terbang tinggi membawa aspirasi rakyat. Namun, tak jarang ia hanya melayang rendah, terhalang oleh kepentingan yang membebani.
Bangunan ini bukan sekadar beton, kayu, dan kaca. Ia adalah warisan dari masa pemimpin revolusi pertama, dibangun pada tahun 1965 untuk menyambut konferensi negara-negara baru yang ingin menantang tatanan dunia lama. Arsiteknya merancang bentuknya sebagai metafora: dua sayap yang siap mengepak, melambangkan kebebasan dan kemajuan. Kini, sayap itu tampak berat, seperti enggan terbang.
Di dalamnya, aula sidang utama berdiri megah. Kursi-kursi kelas premium berderet rapi, mikrofon berjajar seperti saksi lantang dari debat yang kadang berisik, kadang kosong. Lorong-lorongnya panjang dan sunyi, menyimpan jejak langkah para wakil rakyat yang datang dan pergi, membawa janji—namun lebih sering lupa bukti.
Namun di balik kemegahan itu, ada aroma yang tak terlihat—aroma ambisi, kepentingan, dan kadang, pengkhianatan.
Di sinilah cerita dimulai.
Tiga Jalan Menuju Kursi
Namanya Raka Pradipta, seorang aktor sekaligus penyanyi yang wajahnya menghiasi layar kaca selama lebih dari satu dekade. Ia masuk parlemen bukan karena gagasan, melainkan karena basis penggemarnya yang militan. Partai memilihnya sebagai magnet suara. Di ruang sidang, Raka lebih sering diam, sesekali mengangguk, dan lebih sering bertanya kepada stafnya tentang istilah-istilah hukum yang tak pernah ia pelajari. Stafnya pun dibayari oleh negara. Oh ya, masih ada satu lagi kebiasaannya: berjoget-joget di sela sidang parlemen, seolah panggung politik tak beda dari panggung hiburan.
Lalu ada Mirna Santosa, pengusaha tekstil yang sukses membangun imperium dari nol. Ia cerdas dalam bisnis, namun regulasi publik bukanlah dunianya. Ia duduk di Komisi Ekonomi, namun setiap usulan yang ia ajukan selalu beraroma kepentingan industri miliknya. Ia percaya bahwa negara harus mendukung pengusaha, meski kadang lupa bahwa negara juga harus melindungi buruh.
Yang ketiga, Damar Wicaksana, mantan aktivis mahasiswa yang dulu memimpin demonstrasi besar di depan gedung yang kini ia masuki setiap pagi. Ia berapi-api, pidatonya mengguncang, tapi di balik semangatnya, ada kebingungan. Ia tahu cara menggerakkan massa, tapi tak tahu cara menyusun pasal demi pasal. Ia sering frustrasi, merasa sistem terlalu rumit, terlalu lambat, terlalu penuh kompromi.
Naskah yang Tak Pernah Selesai
Setiap hari, mereka duduk berjejer di ruang sidang yang dinginnya tak pernah habis, bahkan ketika AC dimatikan. Ruangan itu dipenuhi kursi empuk berlapis kulit, mikrofon yang mengilat, dan jam besar yang jarumnya terus berputar, namun waktu di dalamnya seolah berhenti. Di balik meja panjang berwarna mahoni, suara mereka saling berbenturan.
Raka berbicara tentang regulasi hiburan, tapi suaranya lebih mirip nada promo konser yang tak pernah benar-benar peduli pada musik itu sendiri.
Mirna mengangkat tangan, bicara soal insentif pajak untuk pengusaha, bibirnya melengkung ke arah kamera media yang selalu setia mengabadikan senyum politikus.
Damar, dengan mata yang masih memelihara sisa idealisme, mencoba menyelipkan pasal-pasal tentang integritas dan keadilan. Tapi suaranya teredam, seperti lagu yang diputar di bawah air—didengar, namun tak pernah menyentuh.
Perdebatan panjang itu berakhir seperti biasanya: sebuah kompromi yang lebih mirip pembagian kue daripada pengambilan keputusan. Aturan yang paling cepat disepakati adalah yang paling dekat dengan perut mereka sendiri. Tak perlu riset, tak perlu debat panjang. Bahkan anak kelas tiga SD pun bisa menebak arahnya.
Di luar gedung tinggi yang berkilau seperti istana kaca, seorang pemuda duduk di kamar kos berukuran tiga kali tiga meter. Balesta namanya. Mahasiswa hukum, rambutnya berantakan, matanya merah karena begadang. Di depannya, layar laptop menyala dengan siaran langsung sidang parlemen. Ia menatapnya seperti menatap cermin retak—memantulkan masa depan yang ia takutkan.
Ia mulai menulis di blognya:
"Mengapa untuk menjadi ASN harus melewati tes ketat? Mengapa bekerja di perusahaan butuh wawancara, portofolio, bahkan psikotes? Tapi untuk menjadi wakil rakyat, cukup bermodal nama di baliho dan wajah di layar kaca?
Kita mempercayakan nasib negeri ini pada tangan yang mungkin tak tahu cara menggenggam tugasnya. Bukankah itu gila?"
Tulisan itu menyebar. Seperti api kecil yang ditiup angin, masuk ke ruang-ruang diskusi mahasiswa, ke grup-grup WA para dosen, hingga ke meja rapat kementerian. Ada yang menertawakan, ada yang setuju, ada yang hanya diam.
Balesta mengusulkan sesuatu yang sederhana namun tegas:
"Calon legislatif harus melewati seleksi kompetensi. Diselenggarakan oleh perguruan tinggi, diawasi publik. Bukan untuk membatasi, tapi untuk memastikan mereka paham apa yang mereka kerjakan. Bagaimana bisa seseorang mengendalikan kapal jika ia bahkan tak tahu membaca peta?"
Tapi usulan itu akhirnya sampai juga ke meja yang sama—meja mahoni di ruang sidang ber-AC tadi.
Raka membacanya sambil memainkan bolpoin mahal di tangannya.
Mirna meliriknya sekilas, lalu membuka pesan dari partainya.
Damar membacanya lebih lama dari yang lain, tetapi akhirnya meletakkannya di tumpukan kertas lain yang menunggu untuk dilupakan.
“Terlalu teknokratis,” kata Raka, tanpa rasa bersalah.
“Bisa menghambat regenerasi politik,” Damar beralasan, suaranya lebih pelan, seperti sedang meyakinkan diri sendiri.
“Tidak menguntungkan partai,” ucap Mirna, jujur sekaligus telanjang.
Dan begitu saja, ide itu dikubur hidup-hidup di antara map-map rapat.
Di luar, malam turun. Balesta menatap bintang-bintang di langit kota yang samar-samar. Ia bertanya dalam hati: Apakah demokrasi selalu begini? Terlihat penuh suara, padahal sunyi?
Ia tersenyum pahit, menutup laptop, dan berbisik pada dirinya sendiri,
"Besok aku tulis lagi. Sampai kata-kata ini menemukan rumahnya."
----
Pagi itu, Balesta turun ke jalan. Ia mengenakan jaket lusuh dan membawa selembar karton bertuliskan: “Seleksi Kompetensi untuk Wakil Rakyat: Demi Demokrasi yang Waras.” Ia berdiri di depan gedung parlemen, di antara lalu lintas yang sibuk dan pejalan kaki yang terburu-buru. Beberapa melirik, sebagian besar berlalu. Seorang ibu penjaja gorengan memberinya teh hangat. Seorang satpam memintanya menjauh dari pintu masuk.
Ia tidak berteriak. Ia hanya berdiri. Diam, tapi penuh makna. Seperti pohon yang tak tumbang meski diterpa angin.
Hari berganti. Ia kembali ke tempat yang sama. Kadang sendiri, kadang ditemani dua atau tiga mahasiswa lain yang membaca tulisannya dan merasa terpanggil. Mereka membawa spanduk kecil, selebaran, dan harapan yang belum patah.
Namun, sorotan media tak datang. Para pejabat tak menoleh. Bahkan dosen pembimbingnya menyarankan agar ia fokus pada skripsi saja.
Tekad Untuk Perubahan
Meski ditolak, Balesta tak berhenti. Ia mengumpulkan dukungan, berdiskusi dengan akademisi, menyusun simulasi seleksi legislatif. Ia percaya bahwa perubahan harus datang dari luar. Ia percaya bahwa suara rakyat lebih nyaring daripada mikrofon parlemen.
Damar membaca semua itu, awalnya dengan sikap sinis. “Idealistis, tapi naif,” gumamnya dalam hati. Setiap kali nama Balesta disebut dalam rapat, ia hanya mengangkat alis, setengah mengejek. Baginya, sistem politik adalah rawa: dalam, keruh, dan penuh jebakan. Ia tahu itu karena ia sendiri sudah bertahun-tahun berenang di dalamnya—kadang tenggelam, kadang pura-pura berenang.
Namun malam-malam panjang mulai mengusiknya. Setiap kali ia pulang larut, gedung parlemen yang megah justru terasa seperti penjara kaca. Ia duduk di ruang kerjanya yang sunyi, menatap layar penuh data anggaran yang dimanipulasi, lalu beralih ke berita tentang rumah sakit yang kekurangan dana, guru yang gajinya telat dibayar. Ia menutup laptop, tapi suara-suara itu tak ikut padam. Mereka menetap di kepalanya, seperti gema yang tak tahu jalan keluar.
Suatu malam, hujan mengguyur ibu kota. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam alkohol, tapi rasa getirnya tak hilang. Ia teringat masa mudanya—saat ia berdiri di jalan raya dengan jas hujan tipis, memimpin orasi tentang keadilan. Waktu itu, ia percaya satu suara bisa mengubah banyak hal. Kini, bertahun-tahun kemudian, ia bertanya-tanya: kapan tepatnya ia berhenti percaya?
Tangannya gemetar saat ia kembali membuka tulisan Balesta. Kata-katanya sederhana, tapi menusuk:
“Jika rakyat berhenti menuntut, maka wakilnya berhenti bekerja.”
Damar menutup mata, membiarkan kalimat itu menamparnya berkali-kali. Ia tahu betul Balesta benar—dan rasa malu yang jarang ia rasakan kembali menyelinap, pelan tapi pasti, seperti air hujan yang merembes ke dalam celah yang selama ini ia tutup rapat.
Pagi itu, Damar berdiri di depan cermin sebelum berangkat sidang. Ia melihat dirinya: jas rapi, dasi mahal, tapi mata yang kosong.
“Apakah aku hanya bayangan dari diriku yang dulu?” bisiknya pelan.
Esoknya, ruang sidang penuh agenda biasa—laporan keuangan, revisi regulasi yang tak berarti. Tapi saat mikrofon di depannya menyala, Damar menarik napas panjang.
“Saudara-saudara,” suaranya berat namun tegas, “hari ini saya ajukan usulan rancangan undang-undang yang mungkin tidak disukai di ruangan ini: Seleksi kompetensi bagi calon legislatif.”
Raka terdiam. Mirna mengernyit. Ruang sidang hening.
Dan di tengah keheningan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Damar merasa hidup.
Namun di luar gedung, rakyat bersorak. Mereka tahu, naskah baru sedang ditulis. Bukan oleh tangan-tangan yang ingin berkuasa, tetapi oleh hati-hati yang ingin melihat negeri ini baik-baik saja.
Blora, Kemerdekaan 2025